FB

FB


Ads

Rabu, 18 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 060

Ceng Ceng merasa betapa tubuhnya lemas, hampir habis tenaga karena kelelahan dan juga amat laparnya. Dia memasuki hutan di dekat puncak pegunungan kecil itu dan melihat sebuah kuil tua di tengah hutan, dia lalu memasukinya dan menjatuhkan dirinya dengan lemas diatas lantai kuil yang tidak terpelihara dan penuh dengan lumut karena atap diatas tempat itu sudah berlubang sehingga air hujan dan sinar matahari dapat menerobos masuk dan menciptakan lumut.

Dia mengeluh perlahan dan memejamkan matanya. Dia tidak mampu untuk menangis lagi. Sudah habis tangisnya, sudah terkuras kering air matanya. Teringat dia betapa sejak peristiwa hebat yang terjadi didalam guha itu, sampai saat ini, dia tidak pernah makan atau minum!

Tubuhnya menggigil, gemetar dan perutnya mengeluarkan bunyi. Dia membiarkannya saja bahkan lalu merebahkan diri. Begitu lemas tubuhnya, pening kepalanya dan kosong perasaannya. Ketika dia memejamkan matanya, terasa tubuhnya seperti melayang-layang.

Aku kelaparan, pikirnya, tubuhku lemas kepalaku pening. Akan tetapi betapa nikmatnya begini, betapa nikmatnya rebah untuk tidak bangkit kembali. Betapa enaknya mati, daripada hidup menanggung aib dan malu, menanggung derita yang amat hebat.

Tiba-tiba dia membuka matanya dan seperti ada kekuatan baru, dia meloncat dan berdiri, mengepal tinjunya, matanya bersinar-sinar dan muka yang pucat itu kini bersinar kemerahan seperti dibakar.

“Tidak....! Tidaaaakkk....!”

Dia berteriak dan baru sadar bahwa dia berteriak-teriak ketika mendengar gema suaranya sendiri. Bibirnya bergerak-gerak, akan tetapi kini dia tidak berteriak lagi.

“Aku tidak boleh mati! Aku harus hidup, aku harus mencari dia, aku harus membunuh dia, baru aku boleh mati!”

Timbul kembali semangat dan gairahnya untuk hidup ketika di dalam himpitan kedukaan itu dia teringat akan sakit hatinya, seolah-olah didalam kegelapan dia melihat titik terang. Apalagi sekarang dia memperoleh harapan baru untuk mencari pemuda laknat yang telah menghancurkan harapan hidupnya setelah dia mendengar cerita pelayan Si Dewa Bongkok. Pemuda itu katanya menuju ke kota raja! Jangankan hanya ke kota raja, biar pergi ke neraka sekalipun akan dikejar dan dicarinya.

Gairah baru yang timbul itu membuat Ceng Ceng berlari keluar dari kuil dan tak lama kemudian dia sudah kembali lagi membawa seekor bangkai kelinci dan beberapa macam buah yang dipetiknya di hutan. Kemudian dia memillh tempat yang bersih di dalam kuil tua, memanggang daging kelinci dan mengisi perutnya yang sudah amat lapar.

Setelah perutnya kenyang, tenaganya pulih maka mulailah dia mengantuk karena matanyapun sangat membutuhkan istirahat. Dia membersihkan kolong meja di belakang sebuah arca Jilaihud yang besarnya melebihi manusia itu, arca yang tidak terpelihara dan sudah berlumut karena tertimpa hujan dan cahaya matahari. Seperti seekor kucing malas, Ceng Ceng merebahkan diri di belakang arca dan melingkar, sebentar saja dia sudah tertidur.

Ceng Ceng tidak tahu sama sekali akan apa yang terjadi diluar kuil, tak lama kemudian dia tidur pulas. Dari dalam hutan, diluar kuil itu, muncullah Ang Tek Hoat yang masih mengempit tubuh Jenderal Kao Liang, diiringi oleh dua orang lain, yaitu seorang nenek yang berwajah kejam dan seorang laki-laki tua berkepala gundul berpakaian pendeta berwarna kuning yang sudah kumal.

Hwesio tua bertubuh tegap itu memegang sebatang toya dan mereka berdua mengiringkan Tek Hoat dengan wajah yang serius. Mereka ini termasuk kaki tangan pemberontak yang diperbantukan kepada Tek Hoat di samping Siang Lo-mo yang amat lihai itu.

Setelah tiba di depan kuil, Tek Hoat melepaskan kempitan lengannya sehingga tubuh jenderal itu terjatuh keatas tanah. Jenderal Kao tidak mampu melawan lagi karena kedua kakinya telah ditotok oleh pemuda lihai itu sehingga lumpuh dan dia hanya mampu menggerakkan tubuh dari pinggang ke atas.

“Uhhh....!”

Dengan sukar jenderal itu berhasil bangkit duduk, memandang kepada Tek Hoat sambil tersenyum mengejek lalu berkata,

“Orang muda, engkau lihai sekali, Sayang engkau menjadi kaki tangan pemberontak. Setelah kau berhasil menawanku, tidak lekas membunuh mau menanti apa lagi?”

Tek Hoat tidak menjawab, hanya memandang tajam, kemudian dia mengeluarkan dari balik jubahnya yang lebar itu sehelai kertas putih, pit dan bak, kemudian menyodorkan alat-alat tulis itu kepada Jenderal Kao sambil berkata,

“Jenderal Kao, engkau sudah menjadi taklukan dan tawanan kami. Akan tetapi mati atau hidupmu adalah engkau sendiri yang menentukannya. Kami memberimu dua pilihan, yaitu engkau memilih hidup ataukah mati.”

Tek Hoat menghentikan sebentar kata-katanya dan Jenderal Kao mendengarkan dengan sikap tidak peduli. Kemudian dia melanjutkan,

“Kalau engkau memilih hidup, tulislah pengakuan diatas kertas ini bahwa engkau merencanakan pemberontakan dan bahwa Panglima Kim Bouw Sin telah berani menentang usaha pemberontakanmu maka kau lalu menangkapnya. Nah, pengakuanmu itu berarti hidup bagimu karena engkau akan kubebaskan. Kalau engkau menolak, berarti engkau memilih mati.”

Tiba-tiba jenderal itu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh dan terdengar menyeramkan bagi Tek Hoat dan dua orang pembantunya. Dengan sinar mata berapi dan wajah membayangkan kegagahan, jenderal yang sudah tidak berdaya itu menjawab,

“Orang muda, siapapun adanya engkau dan betapa lihaipun engkau, jangan harap untuk dapat membujuk aku untuk melakukan perbuatan rendah itu dengan ancaman kematian. Aku orang she Kao adalah seorang laki-laki sejati yang tidak gentar menghadapi kematian. Bagiku, seribu kali lebih baik mati dalam kebenaran daripada hidup bergelimang kehinaan. Andaikata aku memiliki sepuluh nyawa sekalipun akan kurelakan semua daripada harus melakukan apa yang kau minta itu, apalagi nyawaku hanya satu. Kau hendak bunuh, bunuhlah. Dunia tidak akan berubah dengan matinya seorang manusia!”






Tek Hoat memandang kagum akan tetapi juga mendongkol. Tugasnya adalah memaksa jenderal ini membuat surat pengakuan itu, karena Pangeran Liong Bin Ong amat membutuhkan surat seperti itu untuk menyatakan kebersihan dirinya dan melemparkan kekotoran pemberontak kepada Jenderal Kao Liang sehingga dengan demikian dia akan dapat melanjutkan usaha kotornya dengan aman.

Kini, menghadapi sikap jenderal yang benar-benar amat jantan, timbul rasa kagum di hati Tek Hoat. Akan tetapi dia teringat akan tugasnya sendiri, teringat akan cita-citanya sendiri untuk meraih kedudukan setinggi mungkin melalui pengabdiannya kepada Pangeran Liong, maka dia lalu berkata dengan suara dingin,

“Baiklah, engkau sendiri yang memilih mati dan jangan kau mengira akan dapat mati dengan mudah dan enak saja.” Dia menoleh kepada hwesio dan nenek itu sambil berkata, “Bikin api unggun yang besar. Kita bakar dia hidup-hidup, hendak kulihat apakah dia masih begitu tenang menghadapi kematian!”

Dengan sikap ini Tek Hoat masih ingin menakut-nakuti jenderal itu dengan harapan Jenderal Kao akan menurut. Akan tetapi jenderal itu bersikap tetap tenang, bahkan dia tersenyum melihat dua orang itu mulai membuat api unggun.

Melihat sikap jenderal itu, Tek Hoat menjadi makin kagum. Dia lalu duduk diatas anak tangga kuil tua, menghadapi jenderal yang duduk diatas tanah itu dan berkata,

“Jenderal Kao, mengapa engkau mati-matian membela Kaisar? Engkau bahkan siap mengorbankan nyawamu! Betapa bodohnya engkau! Apakah kau tidak melihat bahwa engkau hanya diperbudak saja oleh Kaisar dan keluarganya, oleh mereka yang duduk di atas? Engkau diperas tenagamu, kesetiaanmu, engkau hidup di tempat terasing, setiap hari terancam bahaya, selalu berperang dan semua itu hanya untuk mengamankan dan menyenangkan kehidupan para atasan yang hanya tahu berfoya-foya belaka. Betapa bodoh untuk mengorbankan diri sendiri demi kesenangan dan kelangsungan hidup makmur orang-orang lain!”

Jenderal Kao memandang pemuda itu sejenak, sinar matanya tajam sekali.
“Orang muda, aku tidak mengenalmu akan tetapi engkau adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sayang engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri sehingga engkau tidak lagi dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar, engkau tidak segan-segan melakukan perbuatan rendah hanya untuk memenuhi keinginan dirimu yang mengejar kesenangan belaka. Engkau tidak tahu dan tidak mengerti mengapa aku bersikap seperti ini. Sama sekali bukan karena ingin menyenangkan dan menjaga kelangsungan hidup makmur Kaisar dan keluarganya, melainkan demi kebenaran. Aku seorang jenderal, seorang komandan pasukan yang tahu akan tugas dan kewajibanku dan ini adalah benar, maka aku siap membela dengan jiwa ragaku, bukan sekali-kali demi Kaisar, sungguhpun beliau merupakan satu diantara manusia yang telah melepas budi kepadaku.”

“Hemm, kau keras hati, Jenderal Kao. Sayang bahwa aku terpaksa akan membakarmu hidup-hidup. Betapa murahnya nyawamu, hanya seharga pengakuan di atas kertas.”

“Terserah, aku siap untuk mati. Hanya kalau boleh, sebelum mati aku ingin menyatakan terima kasih dan penghormatanku yang terakhir kepada mereka yang telah melepas budi kepadaku ketika aku masih hidup.”

Tek Hoat makin kagum. Jenderal ini selain gagah perkasa, juga ternyata merupakan seorang jantan yang tidak melupakan budi orang sampai saat terakhir. Berat baginya untuk menolak, maka dia mengangguk.

“Aku akan bersembahyang di depan arca Jilaihud dan menyembahyangi arwah mereka.”

Sambil merangkak, menggunakan kekuatan kedua lengannya saja jenderal itu naik anak tangga menghampiri meja besar, yaitu meja sembahyang yang sudah butut di depan arca Jilaihud. Tek Hoat mengikutinya dari belakang, siap dan waspada menjaga jangan sampai tawanannya ini meloloskan diri.

Dari dalam saku baju dalamnya, jenderal itu mengeluarkan beberapa helai gambar. Pertama-tama adalah gambar kaisar tua, yaitu ayah Kaisar sekarang yang dianggapnya sebagai orang pertama yang telah melimpahkan budi kepadanya dan kepada ayahnya dan kakeknya. Kemudian dia mengeluarkan gambar-gambar kakeknya, ayahnya, dan ibunya, dan yang terakhir sekali dia mengeluarkan sehelai gambar lain yang membuat Tek Hoat terheran-heran. Gambar ini adalah gambar wajah seorang wanita muda remaja yang cantik jelita. Gambar itupun diletakkannya diatas meja, di sudut dan terpisah dari gambar-gambar yang lain.

Ceng Ceng sudah sadar dari tidurnya ketika mendengar suara ribut-ribut tadi. Dia mengintai dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat bahwa yang ribut-ribut itu adalah Jenderal Kao Liang yang menjadi tawanan dari pemuda yang amat dikenalnya, pemuda nakal yang pernah menolongnya dari dalam sungai, Ang Tek Hoat! Dia tidak mengenal dua orang yang lain, akan tetapi dapat menduga bahwa hwesio tua dan nenek berwajah bengis itu tentulah pembantu-pembantu Tek Hoat, berarti kaki tangan pemberontak!

Tentu saja dia ingin sekali keluar dan menolong Jenderal Kao, akan tetapi melihat jenderal itu lumpuh kedua kakinya, dia menahan diri. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang cerdik sekali, maka dia tidak menurutkan hatinya menghadapi peristiwa itu. Dia maklum bahwa kalau dia muncul begitu saja, tidak akan ada gunanya karena pemuda itu lihai bukan main.

Ingin menyelamatkan Jenderal Kao, jangan-jangan malah dia sendiri yang tertawan. Maka dia menanti kesempatan yang baik dan hanya mengintai ketika Jenderal Kao mendekati meja besar didepan arca untuk menyembahyangi leluhurnya.

Hampir saja dia menjerit ketika dia melihat dan mengenal gambar gadis diatas meja itu. Gambar itu adalah gambar wajahnya! Dialah yang disembahyangi oleh jenderal itu, di samping kaisar tua leluhurnya.

Mengertilah kini Ceng Ceng. Tentu jenderal itu menganggap dia sudah mati dan mengingat betapa dahulu dia menolong jenderal itu sehingga tidak terjeblos kedalam sumur maut, maka jenderal itu menganggapnya sebagai penolongnya dan selalu menyimpan gambarnya yang agaknya disuruh buat seorang ahli lukis yang pandai. Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Ceng Ceng. Dia merasa terharu sekali, keharuan yang membuat dia hampir nekat untuk menerjang keluar.

“Heiii....!” Tiba-tiba Tek Hoat berseru keras ketika pemuda ini juga mengenal gambar Ceng Ceng. “Kiranya gambar dia....?”

Dan hal yang aneh sekall terjadi. Pemuda itu cepat membuang muka, membalikkan dirinya dan tidak berani memandang gambar Ceng Ceng! Hal ini adalah karena pada dasarnya, Tek Hoat adalah seorang laki-laki yang juga menjunjung tinggi kegagahan. Dia pernah bersumpah kepada Ceng Ceng bahwa setiap kali bertemu dengan gadis itu dia tidak akan memandangnya. Kini, begitu mellhat gambar wajah gadis itu, otomatis dia terdorong oleh janji sumpah itu dan dia membuang muka.

Ceng Ceng yang bersembunyi di balik arca besar itu melihat keadaan Tek Hoat dan dia mengambil keputusan untuk menerjang ke luar menolong Jenderal Kao yang sedang berlutut terhadap gambar-gambar itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding di dekat jenderal jebol disusul masuknya sesosok tubuh seorang pemuda yang tinggi besar.

Ceng Ceng terbelalak memandang. Mukanya pucat seketika dan jantungnya berdebar tegang, matanya mengeluarkan sinar berapi dan bibirnya tertarik beringas, kedua tangan dikepal, napasnya agak terengah-engah. Tentu saja dia mengenal wajah pemuda tinggi besar ini. Pemuda laknat yang telah memperkosanya!

Melihat munculnya seorang pemuda tinggi besar yang asing, hwesio tua pembantu Tek Hoat yang tadi membuat api unggun cepat menerjang dengan tongkatnya karena dia menduga bahwa tentu pemuda ini datang untuk menolong Jenderal Kao. Serangannya dahsyat sekali, toya di tangannya mengeluarkan suara mengiuk ketika memecahkan angin dan menyambar kearah kepala pemuda tinggi besar itu. Akan tetapi pemuda itu tidak mengelak, melainkan menggerakkan lengan kirinya menangkis.

“Dukkk....!”

“Ehhhh....!”

Hwesio Itu terpental dan terhuyung sampai lima langkah, terpaksa menggunakan kedua tangan untuk memegangi toyanya yang hampir terlepas dari pegangannya! Pemuda tinggi besar itu menggerakkan kepala dengan sikap gagah sekali dan rambutnya yang amat panjang, gemuk dan hitam berputar melingkari lehernya dan dia siap berdiri melindungi Jenderal Kao yang masih berlutut dengan kedua tangan terkepal dan mata memandang tajam kearah tiga orang lawan itu.

Tek Hoat terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, sambil bertolak pinggang kiri, telunjuk kanannya menuding dan dia membentak dengan suara nyaring,

“Siapa kau berani mencampuri urusan kami?”

Akan tetapi pada saat itu, terdengar lengking nyaring dan dari balik arca besar meloncat sesosok tubuh manusia yang langsung menerjang dan menyerang pemuda tinggi besar itu dengan kedua tangan terbuka, kedua tangan yang melancarkan pukulan-pukulan beracun yang amat ampuh. Dari kuku-kuku jari tangan itu menyambar angin dahsyat dan tercium bau harum yang aneh, tanda bahwa kuku-kuku itu mengandung racun amat hebat.

“Wut-wut-plak-plak, bretttt....!”

Pemuda tinggi besar itupun terkejut, maklum bahwa dia diserang orang dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman beracun yang amat berbahaya, maka dia sudah mengelak dan kemudian menangkis dengan lengannya, akan tetapi tetap saja ujung dengan bajunya yang digulung di bawah sikunya tercengkeram dan robek.

“Huh.... pemberontak hina....!”

Pemuda tinggi besar itu menghardik, suaranya nyaring dan besar, matanya bernyala memandang wajah orang yang menyerangnya. Wajah yang hitam hanya tampak matanya saja yang bersinar-sinar penuh kebencian.

Ceng Ceng telah melumuri mukanya dengan kotoran dan hangus hitam di belakang arca besar sebelum dia melompat ke luar tadi. Dia melakukan hal ini karena tadinya dia ragu-ragu melihat betapa pemuda laknat itu ternyata datang untuk menolong Jenderal Kao!

Kalau saja dia tidak merasa enggan dan malu terhadap Jenderal Kao, tentu dia tidak akan menyembunyikan mukanya. Akan tetapi, terjadi perang didalam hatinya. Sebagian dia harus bersyukur dan membantu pemuda yang datang menolong Jenderal Kao, akan tetapi sebagian lagi mengingat akan kebenciannya dia harus menyerang dan sedapat mungkin membunuh pemuda laknat itu! Maka ketika kebenciannya yang menang, dia menutupi mukanya agar tidak dikenal oleh Jenderal Kao.

“Mampuslah!”

Ceng Ceng membentak, kemudian dia menubruk lagi ke depan dengan menggunakan seluruh sin-kang untuk mendorong semua racun di tubuhnya ke dalam kedua tangannya.

“Dukk! Dess..... Aahh....!”

Pemuda itu mengeluh dengan kaget ketika merasakan lengan tangannya yang menangkis menjadi panas dan gatal, tanda bahwa dia terkena racun yang amat ampuh. Akan tetapi di lain pihak, Ceng Ceng tidak kuat menahan tangkisan pemuda yang luar biasa kuat tenaga sin-kangnya itu sehingga dia terbanting ke kiri dan roboh bergulingan. Ketika dia meloncat bangun lagi, pemuda tinggi besar itu telah memondong tubuh Jenderal Kao dengan lengan kiri.

“Hendak lari kemana kau?”

Nenek pembantu Tek Hoat meloncat ke depan dan nenek ini sudah menyerang dengan tangan kosong yang dibentuk seperti cengkeraman kuku garuda. Terdengar suara bersiutan ketika kedua cakar itu menyambar-nyambar, yang satu hendak meraih dan merampas Jenderal Kao, yang lain mencengkeram kearah leher pemuda tinggi besar.

Namun, dengan gerakan indah dan gesit, pemuda itu mengelak, lalu menggunakan tangan kanannya menyambar ke depan, menangkap pergelangan tangan yang berbentuk cakar itu dan sekali sendal, tubuh nenek itu terjungkal dan terguling-guling sampai jauh!

“Wuuuutttt....! Singggg....!”

“Aihhh....!”

Pemuda tinggi besar itu cepat meloncat dan mukanya agak berubah. Ternyata Tek Hoat telah menyerang dengan sebatang pedang yang mendatangkan hawa mengerikan. Itulah pedang Cui-beng-kiam yang amat hebat, pedang peninggalan dari Datuk Pulau Neraka yang amat sakti.

Karena melihat betapa pemuda tinggi besar itu ternyata lihai sekali dan Jenderal Kao telah dipanggulnya, Tek Hoat yang tidak ingin melihat tugasnya gagal telah mengeluarkan pedang simpanannya dan menyerang pemuda itu.

Melihat betapa pemuda tinggi besar yang memanggul tubuh Jenderal Kao itu masih dapat mengelak dengan sigapnya, Tek Hoat menjadi amat penasaran. Tadinya pemuda ini menganggap dirinya sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tidak ada lawannya. Akan tetapi ternyata pemuda tinggi besar ini hebat sekali kepandaiannya dan kalau sampai jenderal itu dapat dirampasnya, Tek Hoat akan merasa malu dan kehilangan muka terhadap dua orang pembantunya itu.

Bahkan Siang Lo-mo sendiri mengakui keunggulannya dan dua orang tokoh besar itu tidak keberatan ketika ditunjuk oleh Pangeran Liong Bin Ong untuk “membantu” dia karena mereka sudah mengenal kelihaian Tek Hoat. Kalau sampai kini seorang pemuda saja mampu merampas Jenderal Kao, benar-benar dia akan merasa malu sekali.

“Jahanam, jangan harap akan dapat lolos dari sini....!”

Tek Hoat menghardik marah sekali dan tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke depan. Gerakannya amat ringan dan cepat.

Pemuda tinggi besar itu kembali terkejut. Tak disangkanya bahwa pemuda tampan yang menculik jenderal itu ternyata bukan main lihainya. Dia hanya melihat bayangan berkelebat didahului sinar pedang Cui-beng-kiam yang mendirikan bulu roma. Pemuda tinggi besar itu maklum bahwa serangan ini bukan main hebatnya, pedang meluncur menusuk lehernya, sedangkan tangan kiri pemuda itu meraih untuk merampas jenderal di pundaknya.

“Haiiittt....!”

Pemuda tinggi besar itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking keras sekali menggetarkan hati Tek Hoat yang cepat mengerahkan khi-kangnya dan melanjutkan serangannya. Pemuda tinggi besar itu menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang panjang dan yang tadi melingkar di lehernya itu mendadak mencuat ke depan menangkis pedang.

“Plakkk!”

Ujung rambut itu terus membelit pedang seperti ekor ular yang hidup. Tek Hoat terkejut sekali, lalu merobah cengkeraman tangan kirinya menjadi pukulan yang disertai sin-kang kuat.

“Dessss....!”

Lengan kanan pemuda tinggi besar itu menangkis dan akibatnya membuat keduanya terkejut dan terhuyung sampai lima langkah jauhnya! Pedang yang terlibat ujung rambut terlepas. Tek Hoat menjadi merah mukanya. Hatinya makin penasaran dan kembali dia meloncat ke depan dan menyerang pemuda tinggi besar yang masih memanggul tubuh Jenderal Kao dengan tangan kirinya itu.

Pedang Cui-beng-kiam berkelebat dan kembali disambut oleh ujung rambut yang tebal dan panjang. Kini Tek Hoat menggunakan tangan kiri mendorong dengan telapak tangan terbuka dan hawa sin-kang yang amat dahsyat menyambar ke depan. Dia telah mengerahkan sin-kang yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu Tek Siauw-jin yang disebut Tenaga Inti Bumi. Dahsyatnya bukan kepalang dan debu mengepul tinggi kearah pemuda tinggi besar itu.

“Hebat....!”

Pemuda tinggi besar itu berseru kagum, kembali tangan kanannya menangkis dengan dorongan yang sama ke depan dan kini yang bertemu di udara hanyalah dua tenaga sakti yang tidak kelihatan, akan tetapi yang memiliki kekuatan dahsyat.

Pada saat itu, hwesio pembantu Tek Hoat sudah menyerang dengan toyanya, menghantam punggung pemuda tinggi besar. Tentu saja pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini tahu akan datangnya serangan toya, akan tetapi karena dia sedang bertanding sin-kang dengan lawannya yang amat tangguh dia terpaksa menerima gebukan itu.

“Bukkk....!”

Pemuda tinggi besar itu mengeluh sedikit, tubuhnya tergetar lalu tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang lalu melarikan Jernderal Kao yang masih terpondong di pundak kirinya.

“Jangan lari.... ahh....!”

Tek Hoat terkejut sekali karena tiba-tiba orang yang mukanya hitam itu telah menyerangnya dengan kedua tangan yang mengandung hawa beracun! Tek Hoat mengelak dengan loncatan ke samping. Dia menjadi bingung. Jelas bahwa orang bermuka hitam ini tadi menyerang pemuda tinggi besar itu mati-matian, akan tetapi mengapa kini berbalik menyerangnya?

“Apakah kau gila? Siapa kau?” bentaknya dan melihat orang itu tetap menyerangnya dengan ganas, Tek Hoat menjadi marah.

Tentu saja dia tidak takut akan serangan orang itu dan untuk memperlihatkan kelihaiannya, dia menangkis dengan lengan kiri sambil mengerahkan tangannya.

“Desss....!”

Untuk kedua kalinya, tubuh Ceng Ceng terlempar dan terbanting sampai bergulingan. Tubuhnya sakit-sakit rasanya, akan tetapi di lain pihak Tek Hoat terkejut merasakan lengannya panas dan gatal-gatal seperti habis menyentuh ular berbulu yang beracun!

“Keparat, kau berani menggunakan racun....?”

Tek Hoat menghardik dan kini dia melangkah maju, pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan kanannya. Melihat ini, maklumlah Ceng Ceng bahwa dia tidak akan mampu menang menghadapi Tek Hoat yang amat lihai itu. Maka dia cepat menggosok kedua pipinya dan meloncat berdiri.

“Lihat, siapa aku? Berani kau melanggar sumpah memandang aku?”

Sejenak Tek Hoat terbelalak dan memandang bingung ketika mendapat kenyataan bahwa wajah yang tersembunyi di balik kotoran hangus itu adalah wajah seorang dara yang cantik. Akan tetapi ketika dia melihat sehelai saputangan dikeluarkan oleh gadis itu, teringatlah dia.

“Kau....?”

Serunya kaget dan heran sekali, akan tetapi otomatis dia lalu membalikkan tubuhnya membuang muka!

Ceng Ceng mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat keluar dari kuil tua setelah dia menyebar tiga macam racun bubuk yang dulu dibawanya keluar dari dalam terowongan bawah tanah. Lalu dia menggunakan ilmunya berlari cepat, meninggalkan pemuda yang masih membelakanginya itu.

Tek Hoat adalah seorang yang amat lihai. Biarpun matanya tidak melihat, namun telinganya dapat menangkap gerakan Ceng Ceng dan dia tahu bahwa dara itu telah meloncat pergi. Cepat dia membalik dan merasa menyesal mengapa dia dahulu begitu mudah bersumpah sehingga kini dia mengalami kesukaran dari gadis liar itu.

“Lari kemana kau?” bentaknya karena dia mulai merasa marah, merasa tertipu dan dipermainkan oleh gadis itu yang mempergunakan sumpahnya sebagai senjata.

Akan tetapi terkejutlah dia ketika mencium bau yang luar biasa kerasnya, dan melihat tanah di depannya mengeluarkan asap seperti terbakar! Tahulah dia bahwa gadis itu, entah bagaimana, kini telah menjadi seorang ahli racun yang amat berbahaya.

Dia berseru keras menahan napas dan cepat meloncat tinggi melampaui tanah yang mengandung racun itu. Dia menoleh dan bergidik. Racun-racun itu amat hebat, selain dapat membuat batu-batu hancur, juga ada yang mengeluarkan bau keras mujijat yang memabokkan. Maka dia mengambil keputusan untuk membiarkan Ceng Ceng pergi dan dia lalu berlari cepat hendak mengejar pemuda tinggi besar yang telah melarikan Jenderal Kao dan yang tadi telah dikejar oleh dua orang pembantunya.

Kurang lebih satu li jauhnya, ketika dia berada di luar hutan, Tek Hoat berhenti tiba-tiba dan berdiri termenung memandang mayat dua orang yang menggelatak diatas tanah. Mayat hwesio dan nenek pembantunya tadi! Dia mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa pembantu-pembantunya begitu tidak becus, sedangkan orang-orang yang membantu Jenderal Kao adalah orang-orang pandai, seperti pemuda tinggi besar itu, dan dua orang pemuda tampan yang telah muncul secara tidak terduga-duga ketika dia dan para pembantunya menyerbu rombongan Jenderal Kao.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar