FB

FB


Ads

Selasa, 17 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 059

Jenderal Kao Liang sudah merasa tidak enak hatinya semenjak dia meninggalkan kereta. Sebagai seorang panglima perang yang hidupnya selalu berhadapan dengan bahaya maut, agaknya di dalam dirinya sudah terdapat ketajaman perasaan apabila dia terancam bahaya. Maka di samping kekecewaannya dan penyesalannya akan peristiwa yang menimpa dirinya, dipanggil oleh Kaisar tanpa sebab dan secara tiba-tiba itu, diam-diam dia telah mempersiapkan diri untuk menjaga dirinya baik-baik, karena dia hampir merasa yakin bahwa di balik panggilan Kaisar ini tentu tersembunyi sesuatu yang mengancam keselamatan dirinya.

Pagi-pagi rombongan itu meninggalkan dusun, diantar dan ditonton oleh semua penduduk dusun itu, dan tentu saja, seperti kebiasaan di jaman itu, bahkan kebiasaan di jaman dahulu sampai sekarang, para pembesar setempat tidak melupakan “kewajiban” mereka untuk membekali apa-apa yang berharga untuk pembesar utusan Kaisar yang mulia berikut seluruh perwira dan pasukan pengawalnya, dengan harapan tentu saja bahwa jasa baik mereka ini akan memperoleh imbalan dari atasan atau setidaknya pujian yang akan memperkuat kedudukan mereka sebagai pemimpin dusun itu!

Akan tetapi, mereka itu sama sekali tidak berani memberi sesuatu kepada Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya, karena mereka sudah cukup mengenal akan watak jenderal ini yang pasti akan marah keras kalau ada pembesar setempat memberi apa-apa kepadanya secara tidak wajar dan tidak semestinya.

Dengan gembira, kecuali Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang maklum dan dapat merasakan kedukaan pemimpin mereka, rombongan itu meninggalkan dusun menuju ke bukit di depan. Setelah melewati bukit yang melintang di depan itu, mereka akan tiba di daerah yang makmur dan ramai, dimana banyak terdapat kota dan dusun yang akan menyambut mereka dengan penuh penghormatan dan perjalanan tidaklah begitu sukar lagi seperti di daerah padang pasir ini.

Masih teringat oleh utusan Kaisar dan para pengikutnya betapa di kota-kota dan dusun-dusun di seberang perbukitan itu, ketika mereka berangkat ke utara, mereka disambut dengan segala kehormatan dan keramahan. Dan masih terasa oleh mereka akan keramahan beberapa orang pembesar setempat, sedemikian ramahnya mereka sehingga selain hidangan makanan lezat dan bekal perak dan emas, juga di waktu bermalam mereka disuguhi wanita-wanita cantik untuk menemani dan menghibur mereka! Sungguh suatu pelayanan istimewa yang dipergunakan oleh para pembesar dalam menjamu tamu-tamu agungnya, pelayanan yang juga sudah ada semenjak jaman kuno sampai sekarang!

Hari itu panas sekali. Matahari memuntahkan cahayanya dengan bebas tanpa penghalang. Rombongan itu bersama kuda mereka mandi keringat mendaki perbukitan. Berkali-kali pembesar utusan Kaisar mengeluh panjang pendek. Baju-baju bulu tebal yang mereka terima sebagai hadiah kepala dusun dan yang indah dan mahal, yang tadi mereka pakai ketika meninggalkan dusun itu dengan penuh kebanggaan, kini mulai dirasakan mengganggu.

Pembesar itu sudah menanggalkan baju bulunya, meletakkannya di atas pelana kuda di depannya, bahkan membukai kancing bajunya untuk mengurangi kegerahan. Demikian pula para perwira dan pasukan pengawal. Hanya Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang tetap saja tidak berubah. Mereka adalah perajurit-perajurit sejati yang sudah biasa akan segala penderitaan badan, sudah biasa akan serangan panas hebat dan dingin membeku. Biarpun muka dan leher mereka penuh keringat, namun mereka tidak pernah mengeluh, dan menganggap hal ini wajar saja.

“Setan keparat, panasnya!” Pembesar gendut utusan Kaisar mengeluh dan menyeka muka dan leher dengan saputangan sutera yang sudah basah kuyup. “Dimakan setan aku kalau pernah menderita kepanasan seperti ini. Keparat! Hayo kita mengaso di depan sana, di lapangan rumput yang teduh itu!”

Dia menunjuk ke depan dan rombongan itu mempercepat jalannya kuda mereka menuju ke pohon besar sehingga tempat itu cukup teduh.

Akan tetapi baru saja mereka semua turun dari kuda dibawah pohon, tiba-tiba Jenderal Kao Liang meloncat bangun lagi dan berseru,

“Awas....!”

Semua orang terkejut dan memandang. Ternyata tempat itu telah dikurung oleh belasan orang, dipimpin oleh seorang pemuda tampan dan dua orang kakek aneh, yang seorang berbaju bulu tebal bermuka putih, yang seorang lagi bertelanjang baju bermuka merah.

“Hei, kalian mau apa....?”

Baru saja seorang pengawal membentak demikian, dia sudah roboh berkelojotan karena perutnya pecah disambar golok seorang diantara mereka! Tentu saja kejadian ini membuat semua orang terkejut. Para pengawal segera mencabut senjata masing-masing, enam orang perwira pengawal meneriakkan aba-aba dan pasukan itu cepat membentuk lingkaran melindungi pembesar gendut dan Jenderal Kao. Pembesar itu berdiri dengan muka pucat, lalu membusungkan dadanya dan berkata dengan lantang,

“Heii, kalian orang-orang gagah, dengarlah baik-baik! Aku adalah seorang utusan istimewa dari Kaisar! Jangan kalian berani mengganggu rombongan kami karena hal itu berarti pemberontakan!”

Terdengar suara terkekeh-kekeh yang diikuti oleh suara ketawa semua orang yang mengurung tempat itu, kecuali Si Pemuda Tampan. Yang terkekeh itu adalah dua orang kakek aneh tadi. Kakek bermuka merah, bertubuh kurus kering dan bertubuh telanjang bagian atasnya sambil terkekeh meloncat dan tahu-tahu tubuhnya melayang melalui kepala para pengawal, dan turun didekat pembesar utusan Kaisar.

“Memberontak? Heh-heh, memberontak!” katanya sambil mengeluarkan sebatang pecut baja yang tadinya melingkari pinggangnya.






“Pemberontak! Tangkap mereka!”

Pembesar gendut itu berteriak, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara meledak, pecut itu menyambar dan pembesar gendut tadi menjerit dan roboh dengan kepala hampir remuk!

“Manusia jahat!”

Jenderal Kao membentak, dia sudah mencabut pedang dan menerjang ke depan dengan pedangnya, menyerang kakek telanjang.

“Singg.... tarr.... cringgg....!”

Jenderal Kao terkejut dan terhuyung ke belakang. Pertemuan senjata itu membuat lengannya tergetar hebat, tanda bahwa kakek itu memang lihai bukan main.

“Lam-thian Lo-mo, tinggalkan dia untukku!” teriak Si Pemuda Tampan dan tubuhnya sudah melayang ke atas.

Sementara itu, pasukan pengawal sudah bergerak dan terjadilah perang kecil yang seru diantara para pengepung dan para pengawal. Enam perwira itupun mengamuk dengan senjata mereka. Dua orang kakek kembar itu bukan lain adalah Siang Lo-mo yang amat lihai.

Mendengar seruan pemuda tampan yang bukan lain adalah Tek Hoat itu, Lam-thian Lo-mo tertawa dan meninggalkan Jenderal Kao, lalu bersama saudaranya yang berbaju bulu mereka berdua mengamuk dan merobohkan para pasukan dengan mudahnya. Mereka segera dikurung oleh enam orang perwira pengawal.

Sementara itu, Tek Hoat telah meloncat tinggi kearah Jenderal Kao sambil membentak,
“Jenderal Kao, kau ikut bersamaku!”

Dari kanan kiri, dua orang pengawal pribadi jenderal itu menyambut dengan pedang mereka, menusuk dari kanan kiri kearah tubuh pemuda tampan yang tidak bersenjata itu. Tek Hoat mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, dan dengan kedua tangan telanjang dia menyambut datangnya dua pedang dari kanan kiri, menangkap pedang tajam itu dan sekali dia mengerahkan tenaga, pedang-pedang itu patah!

Dua orang pengawal terkejut sekali, akan tetapi tampak dua sinar terang menyambar dan dua orang itu menjerit dan roboh terjengkang, dada mereka tertembus oleh potongan pedang mereka sendiri yang disambitkan oleh Tek Hoat.

Bukan main kagetnya hati Jenderal Kao menyaksikan hal itu. Dua orang pengawal pribadinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun mereka dirobohkan secara demikian mudah dan aneh oleh pemuda ini.

“Siapa kau? Mengapa kau menyerang kami?” Jenderal Kao bertanya.

Pemuda itu hanya tersenyum, tidak menjawab, hanya melangkah maju menghampiri Jenderal Kao, sikapnya ini bahkan menimbulkan ancaman mengerikan. Tiba-tiba terdengar seruan halus,

“Kao-goanswe, tenanglah, serahkan saja pemberontak she Ang ini kepada kami!”

Dua bayangan orang berkelebat menyambar. Yang seorang turun di depan Jenderal Kao melindungi, yang seorang lagi langsung menghantam dengan tangan kosong kearah lambung Tek Hoat sambil berteriak,

“Manusia sombong, rasakan perhitunganku ini!”

Pemuda yang menyerang ini bukan lain adalah Suma Kian Bu, dan dia telah mengerahkan sin-kang memukul lambung lawan.

“Eihhh....! Desss....!”

Tangkisan Tek Hoat membuat keduanya terpental dan keduanya terkejut setengah mati. Kian Bu terkejut karena baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang demikian kuatnya, yang membuat pukulannya yang mengandung sin-kang Hwi-yang Sin-ciang tadi membalik karena bertemu dengan hawa pukulan yang amat kuat.

Di lain pihak Tek Hoat juga terkejut karena tangkisannya tadi membuat lengannya tergetar dan terserang oleh hawa yang amat panas. Tahulah dia bahwa pemuda di depannya ini adalah seorang yang amat lihai. Juga dia heran mengapa dua orang pemuda ini telah mengenal namanya. Akan tetapi karena pada saat itu dia menghadapi tugas amat penting, yaitu menculik Jenderal Kao, dia tidak mempedulikan hal ini.

“Siang Lo-mo, harap kalian hadapi bocah ini!” teriaknya.

Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo meloncat ke depan dan cambuk baja mereka meledak-ledak mengancam Kian Lee dan Kian Bu. Dua orang kakek kembar ini tadi dalam waktu singkat telah merobohkan enam orang perwira yang mengeroyoknya dengan amukan cambuk mereka!

“Bagus, dahulu kami tidak sempat membunuh kalian!” teriak Kian Bu yang cepat menerjang maju menghadapi cambuk ditangan Lam-thian Lo-mo.

“Tar-tar-tar.... wuuuuttt.... desss....!”

Lam-thian Lo-mo mengeluarkan seruan kaget. Sambaran cambuknya tadi dua kali dapat dielakkan pemuda itu dan yang ke tiga kalinya bahkan ditangkis oleh tangan kiri pemuda itu sedangkan tangan kanan pemuda itu memukulnya dengan dahsyat. Ketika dia menangkis dengan tangan kirinya, dia merasakan hawa yang amat dingin menyusup ke lengannya!

Juga Pak-thian Lo-mo berhadapan dengan Kian Lee yang langsung mengirim pukulannya yang paling ampuh, yaitu pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), ilmu khas dari Pulau Es. Pukulannya ini membuat cambuk Pak-thian Lo-mo terpental dan kakek ini terhuyung karena terdorong oleh hawa pukulan yang selain amat kuat juga mengandung hawa dingin sekali.

“Pulau Es....!” Siang Lo-mo berseru hampir berbareng.

“Dulu kalian menyerang pulau kami, sekarang kalian membantu pemberontak. Manusia-manusia jahat!”

Kian Lee membentak dan dua orang kakak beradik ini kembali telah menyerang dengan hebatnya. Siang Lo-mo terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang pemuda Pulau Es itu, bahkan berteriak memanggil teman-temannya untuk membantu mereka.

Sementara itu, Tek Hoat sudah menerjang Jenderal Kao. Jenderal ini yang maklum akan kelihaian pemuda yang memimpin penyerbuan itu, cepat menggerakkan pedangnya menyambut dengan serangan dahsyat. Namun dengan amat mudahnya Tek Hoat mengelak beberapa kali, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan dan uap hitam menyambar.

Jenderal Kao terkejut, sudah cepat mengelak, namun masih ada bau uap hitam itu tersedot olehnya. Tiba-tiba dia merasa pening dan dia tidak dapat menghindarkan lagi ketika pergelangan tangannya tercium ujung sepatu Tek Hoat yang tadi menggunakan uap beracun.

Pedang jenderal itu terlempar dan di lain saat dia telah roboh tertotok oleh Tek Hoat yang amat lihai. Andaikata pemuda ini tidak mempergunakan uap beracun yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Jenderal Kao, kiranya tidaklah begitu cepat dia dapat merobohkan jenderal yang perkasa ini.

Namun Tek Hoat sudah merasa khawatir kalau-kalau tugasnya gagal ketika melihat munculnya dua orang pemuda yang amat lihai itu, maka dia mengeluarkan kelihaiannya menggunakan racun, atau pukulan beracun yang dapat mengeluarkan uap hitam, satu diantara ilmu-ilmu yang dia pelajari dari kitab-kitab para datuk Pulau Neraka.

Cepat bagaikan seekor burung walet, Tek Hoat sudah menyambar tubuh jenderal itu dan biarpun jenderal itu bertubuh tinggi besar, namun dengan ringannya Tek Hoat dapat memanggulnya dan membawanya lari seperti kijang melompat.

Melihat hal ini, Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali. Mereka mendengar dari Milana bahwa Jenderal Kao memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan tadipun mereka sudah melihat gerak-gerik jenderal itu memang cukup hebat, akan tetapi mereka sama sekali tidak menyangka bahwa dalam beberapa jurus saja jenderal itu telah dapat dirobohkan dan ditawan oleh pemuda yang amat lihai itu!

Mereka tentu saja hendak mengejar dan menolong jenderal yang telah diculik, akan tetapi Siang Lo-mo dan beberapa orang pembantunya sudah mengepung dan menyerang mereka berdua dengan hebat.

Kini Siang Lo-mo sudah ingat kepada dua orang pemuda ini. Beberapa tahun yang lalu, ketika mereka dan beberapa orang tokoh dunia persilatan golongan sesat menyerbu Pulau Es, dua orang pemuda ini juga membantu keluarga Pendekar Super Sakti sehingga mereka semua dipukul mundur dan terpaksa melarikan diri dari Pulau Es.

Dari pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa, pukulan khas dari Pulau Es karena kiranya tidak ada tokoh dunia persilatan yang mampu mempergunakan pukulan seperti itu kecuali keluarga Pulau Es, mereka dapat mengenal Kian Lee dan Kian Bu. Maka Siang Lo-mo lalu menggerakkan seluruh kepandaian dan para pembantunya untuk mengepung dua orang pemuda berbahaya ini.

Kian Lee dan Kian Bu juga maklum bahwa tidak mungkin seorang diantara mereka meninggalkan gelanggang pertempuran untuk mengejar pemuda yang menculik Jenderal Kao. Pihak pengeroyok yang dipimpin oleh Siang Lo-mo ini cukup kuat dan berbahaya sehingga perlu dilayani oleh mereka berdua. Kalau seorang diantara mereka pergi mengejar penculik Jenderal Kao, berarti meninggalkan saudara terancam bahaya.

“Kalian memang pantas dibasmi habis!”

Kian Bu berteriak marah sekali dan kini gerakannya seperti seekor burung rajawali mengamuk. Biarpun dia dan kakaknya tidak bersenjata, namun mereka memiliki gerakan yang amat tangkas dan cepat sekali, bahkan tidak kalah cepatnya oleh gerakan cambuk-cambuk baja di tangan Siang Lo-mo!

Kian Lee dan Kian Bu mengamuk hebat dan dalam gebrakan selanjutnya, mereka telah merobohkan empat orang pengeroyok dan memaksa Siang Lo-mo untuk melangkah mundur sampai tiga tindak.

“Lee-ko, kita basmi mereka!” seru Kian Bu yang sudah marah.

“Tidak, Bu-te. Mari ikut aku, kita harus menolong Jenderal Kao!”

Kian Lee berkata. Mereka menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mundur karena gentar menghadapi sepak terjang mereka, untuk meloncat cepat seperti sepasang rajawali sakti, meninggalkan lapangan pertandingan secara berbareng.

“Wir-wirrr....!”

“Sing-sing....!”

“Siuuut....!”

Senjata-senjata rahasia yang bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum dan peluru baja menyambar kearah Kian Lee dan Kian Bu. Namun kedua orang muda itu tidak peduli, hanya melindungi tubuh mereka dengan sin-kang, sehingga ketika senjata-senjata kecil itu mengenai tubuh belakang mereka, senjata-senjata itu runtuh ke tanah seperti mengenai arca baja saja. Hal itu membuat para pembantu Siang Lo-mo memandang dengan bengong dan terbelalak kaget dan jerih.

“Hanya setan yang tahu bagaimana bisa muncul dua bocah Pulau Es di sini!”

Pak-thian Lo-mo mengomel.
“Hayo kejar mereka!”

Semua pengawal kaisar telah roboh, termasuk pembesar utusan kaisar dan para perwira, juga dua orang pengawal pribadi Jenderal Kao. Akan tetapi pihak Siang Lo-mo juga tinggal enam orang lagi, delapan orang bersama mereka, dan kini mereka melakukan pengejaran. Akan tetapi enam orang pembantu mereka mengejar dengan muka pucat dan hati jerih, apalagi mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah orang-orang dari Pulau Es, nyali mereka sudah terbang sebagian.

Hati Siang Lo-mo menjadi lega ketika melihat betapa dua orang muda itu mengejar ke arah jurusan yang keliru, bukan ke jurusan dimana Tek Hoat melarikan Jenderal Kao seperti yang telah direncanakan semula. Maka dua orang kakek ini bersama teman-temannya juga terus mengejar seenaknya, apalagi karena memang dalam hal ilmu berlari cepat, mereka kalah jauh oleh dua orang muda yang berlari seperti sepasang rajawali sedang terbang itu.

Kian Lee dan Kian Bu memang sudah kehilangan jejak Tek Hoat. Penculik Jenderal Kao itu tadi berlari juga amat cepatnya, sehingga ketika dua orang pemuda Pulau Es itu menghadapi pengeroyokan Siang Lo-mo dan teman-temannya, Tek Hoat telah lari jauh dan lenyap.

Kian Lee dan Kian Bu mengejar tanpa arah, dan mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dibawa oleh penculiknya menghadap kepada pemberontak, dan mengingat akan percakapan mereka dengan Milana bahwa pemberontak secara diam-diam dipimpin oleh Pangeran Liong, mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dilarikan oleh penculik lihai itu ke kota raja.

Karena ini, maka merekapun melakukan pengejaran terus menuju ke kota raja. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa Tek Hoat membawa jenderal itu ke puncak pegunungan itu, di tempat tersembunyi didalam hutan yang sunyi, dan akhirnya memasuki sebuah kuil tua di hutan lebat itu.

Kian Lee dan Kian Bu mempercepat larinya karena mereka mengambil keputusan bahwa apabila mereka tidak berhasil mengejar penculik Jenderal Kao, mereka akan segera melaporkan hal ini kepada enci mereka, Puteri Milana.

**** 059 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar