FB

FB


Ads

Selasa, 17 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 058

Kian Lee dan Kian Bu memasuki warung di dusun itu. Dari penduduk dusun yang mereka lalui sepanjang perjalanan mereka, benteng Jenderal Kao Liang tidak jauh lagi, berada di balik bukit yang melintang di depan, di sebelah utara dusun-dusun yang mereka tanyai tentang benteng itu, betapa Jenderal Kao amat terkenal dan dihormati serta dipuji oleh para penduduk dusun. Begitu mendengar bahwa dua orang pemuda ini mempunyai hubungan dengan Jenderal Kao, sikap mereka menjadi penuh hormat dan ramah tamah.

“Lee-ko, wajahmu kembali muram seperti matahari tertutup mendung. Kenapakah, Lee-ko?”

“Bu-te, harap jangan bergurau.” Kian Lee menegur adiknya.

Kian Bu menghela napas, akan tetapi pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah kakaknya. Dia terlalu sayang kepada kakaknya ini sehingga setiap perubahan pada wajah kakaknya tampak jelas olehnya karena perhatiannya tak pernah lengah.

“Lee-ko, sekali ini aku tidak bersendau-gurau. Sudah beberapa hari aku melihat perubahan wajahmu, akan tetapi aku tidak menyinggungnya, khawatir kalau hal itu akan menambah kekeruhan pikiranmu. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau menyusahkan sesuatu. Alismu selalu berkerut, pandang matamu jauh dan kosong, dan engkau, bahkan tidak lagi dapat menghadapi sendau-gurauku. Dan semua ini terjadi semenjak kita berjumpa dengan Nona di Lembah Bunga Hitam itu.”

“Bu-te....!”

“Sekali lagi aku tidak bergurau sekali ini, Koko. Aku melihat perubahan itu pada wajahmu.”

Kian Lee menundukkan mukanya dan menarik napas panjang, kemudian berkata lirih,
“Memang benar, Adikku. Aku selalu memikirkan dia karena aku merasa menyesal dan kasihan sekali kepadanya.”

“Hemm, kita tidak kenal dia, Lee-ko. Pula, melihat bahwa dia hadir di tempat menyeramkan itu, melihat pula betapa dia membunuh orang tanpa berkedip mata, dia tentulah seorang diantara tokoh-tokoh dunia hitam, seorang wanita sesat yang berhati kejam....”

“Tidak, Bu-te. Apakah kau lupa ketika kita bertemu dengan dia di pasar kuda dahulu? Masih terbayang olehku betapa wajahnya cerah dan sama sekali tidak membayangkan sinar kejam. Akan tetapi di lembah itu.... ah, bagaikan bumi dengan langit bedanya. Inilah yang membuat aku menyesal dan kasihan, Adikku karena aku dapat menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang amat hebat dengan dia!”

Hening sejenak, tiba-tiba Kian Bu memegang lengan kakaknya diatas meja.
“Lee-ko, engkau telah jatuh cinta!”

Kian Lee merenggut lengannya dan memandang dengan mata terbelalak.
“Jangan main gila kau!” bentaknya lirih.

Kian Bu menggeleng kepalanya perlahan dan tersenyum.
“Tidak, Lee-ko. Akan tetapi kau pikir saja sendiri. Engkau kenalpun belum dengan gadis itu, tahu namanya pun belum, akan tetapi engkau sudah menaruh perhatian sedemikian rupa sampai engkau melamun dan kelihatan muram. Engkau merasa sedih melihat keadaannya, apalagi namanya ini kalau bukan jatuh cinta?”

“Jangan engkau main-main, Bu-te. Terus terang saja aku memang amat tertarik kepada dia, merasa kasihan sekali kepadanya, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa aku jatuh cinta karena aku sendiri tidak tahu bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Sudahlah, jangan kau menggodaku dengan pembicaraan yang tidak ada gunanya ini.”

Kian Bu masih tidak mau terima dan hendak membantah, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik dan tampak diluar pintu warung itu para penduduk dusun hilir mudik dan nampak sibuk sekali. Berbondong-bondong penduduk datang memasuki dusun itu, mungkin dari luar dusun dan wajah mereka rata-rata gembira seolah-olah mereka sedang menghadapi suatu peristiwa yang menggembirakan.

Ketika pelayan warung datang menghidangkan bakmi yang mereka pesan, Kian Bu bertanya,
“Twako, apakah ribut-ribut itu? Dan mengapa semua orang keluar ke jalan raya?”

“Ada kabar gembira, Kongcu (Tuan Muda). Baru saja terdapat berita bahwa rombongan panglima akan lewat di dusun ini. Tentu saja semua penduduk di sini, bahkan penduduk dusun-dusun sekitar sini, keluar dari rumah semua untuk menyambut panglima yang kami cinta dan hormati!”

Dua orang kakak beradik itu merasa heran mengapa penduduk dusun begitu cinta kepada seorang panglima pasukan tentara. Biasanya, penduduk hanya mempunyai satu perasaan saja terhadap pasukan tentara, yaitu perasaan takut dan hormat yang timbul karena takut. Akan tetapi cinta?

“Apakah panglima itu baik sekali terhadap penduduk, Twako?” Kian Lee bertanya karena dia pun merasa heran sekali.

“Baik? Aih, Kongcu, beliau adalah pelindung kami, pelindung rakyat kecil di daerah utara ini. Kalau tidak ada beliau, entah apa jadinya dengan kami yang setiap hari selalu diganggu oleh suku bangsa liar dan bahkan oleh tentara sendiri yang bertugas di perbatasan, yaitu sebelum beliau berada di sini. Sekarang, kami hidup tenteram dan damai, semua berkat beliau yang bijaksana.”

“Mengagumkan sekali!” Kian Lee berseru.






“Pernah dulu, di waktu kami di dusun-dusun kehabisan makanan karena musim kering terlalu panjang, beliau membagi-bagikan ransum pasukan kepada rakyat sehingga biarpun pasukannya agak memgurangi makan, namun rakyat tertolong dari bahaya kelaparan. Mengingat kebaikannya, di waktu panen yang berhasil baik, tanpa diminta rakyat sering mengirim hasil bumi ke benteng sehingga selalu terdapat hubungan baik antara rakyat dan tentara yang dipimpinnya. Memang, di dunia ini kiranya hanya dapat dihitung dengan jari tangan pembesar sebaik Jenderal Kao Liang itu.”

“Jenderal Kao....?” Kian Bu berseru amat kagetnya. Kiranya Jenderal Kao Liang yang dibicarakan pelayan ini! Dan mereka berdua sedang dalam perjalanan untuk menemui jenderal itu. “Jadi diakah yang akan disambut oleh rakyat ini?”

“Benar, kabarnya beliau hendak pergi ke kota raja dan lewat di sini.”

Pelayan itu menghentikan kata-katanya dan berlari ke luar karena sudah terdengar suara riuh-rendah menandakan bahwa rombongan jenderal itu telah memasuki dusun!

“Ah, bagaimana ini, Lee-ko? Kita mengunjunginya, akan tetapi dia malah akan pergi ke kota raja!” Kian Bu berkata kepada kakaknya.

“Mari kita melihatnya, Bu-te, dan tentu saja kita harus memutar haluan pula, kembali ke kota raja karena kalau dia sudah pergi ke kota raja, surat ini tidak perlu lagi. Dia tentu akan bertemu pula dengan Enci Milana,” kata Kian Lee tenang.

Keduanya lalu lari ke luar pula dari warung itu untuk menonton rombongan Jenderal Kao yang dielu-elukan oleh rakyat di sepanjang tepi jalan.

Ketika kedua orang kakak beradik ini keluar dan berdiri di tepi jalan bersama para penduduk dusun yang semua memandang sambil tersenyum ramah dan melambaikan tangan, ada yang memberi hormat, akan tetapi semua pandang mata menyinarkan kekaguman dan penghormatan, dengan mudah mereka berdua menduga siapakah diantara rombongan itu yang bernama Jenderai Kao Liang.

Jenderal yang tinggi besar, bertubuh tegap kuat seperti seekor singa tua, duduk diatas kudanya dengan tegak. Jenderal ini diapit oleh dua orang pengawal pribadinya. Hanya dua orang pengawal pribadi itulah anak buahnya, karena tidak ada pasukan pengiringnya yang terdiri dari anak buahnya sendiri.

Di belakangnya tampak seorang pembesar gendut, utusan Kaisar yang ditemani oleh enam orang perwira pengawal Kaisar sendiri yang berpakaian gemerlapan indah. Setelah ini barulah berbaris pasukan pengawal Kaisar yang jumlahnya dua losin orang, semua berpakaian seragam dan naik kuda yang besar-besar.

Tampak sekali perbedaan pada wajah jenderal yang dicinta rakyat itu dengan wajah para perwira pengawal Kaisar. Pembesar utusan Kaisar itu bersama enam orang pengawal perwira, kelihatan berseri-seri wajahnya melihat sambutan penghuni dusun yang dilewati rombongan mereka. Dengan tersenyum-senyum, kadang-kadang mengerling penuh gaya kepada wanita-wanita muda yang ikut menyambut, mereka ini mengangkat dada, mengurut kumis dan menegakkan kepala, bangga bukan main hati mereka menyaksikan penyambutan itu. Mereka merasa diri mereka amat “penting” dan menjadi pusat perhatian dan penyambutan rakyat.

“Lee-ko, lihat, dia begitu muram....” bisik Kian Bu.

Memang benar demikian. Berbeda dengan utusan Kaisar dan para perwira pengawal istana yang menyambut dan membawanya ke kota raja untuk menghadap Kaisar yang memanggilnya, Jenderal Kao Liang kelihatan muram wajahnya, sama sekali tidak bergembira. Wajahnya yang gagah dan angker itu bahkan agak pucat, seolah-olah dia menghadapi hal yang amat tidak menyenangkan hatinya.

Dia tidak kelihatan gembira dan bersemangat seperti biasanya, kini kelihatan lesu dan lemas diatas kudanya. Untuk sekedar menerima penghormatan rakyat yang sebetulnya semua ditujukan kepadanya seorang, jenderal ini hanya melambaikan tangan ke kanan dan kiri.

Memang Jenderal Kao sedang merasa berduka. Hatinya sedang risau sekali. Dia sedang amat dibutuhkan di perbatasan untuk mengadakan pembersihan terhadap pengaruh pemberontak didalam pasukan penjaga di perbatasan, dan semua itu harus dihadapinya sendiri secara langsung karena dia maklum akan bahayanya pengaruh itu. Dia harus yakin benar bahwa tidak ada kaki tangan pemberontak Kim Bouw Sin yang menyelundup. Dan dia masih pula sedang merencanakan untuk membawa pemberontak itu ke kota raja agar diadili di sana di samping membuat laporan lengkap kepada pemerintah.

Akan tetapi tiba-tiba Kaisar memerintahkan dia menghadap ke istana dengan segera dan dia tidak diperkenankan membawa pasukan pengawal, kecuali dua orang pengawal pribadinya yang juga bertugas sebagai pelayannya itu. Bahkan utusan Kaisar itu lalu menggunakan kekuasaannya untuk mengangkat seorang panglima di benteng itu untuk menjadi komandan sementara.

Yang amat menggelisahkan hati Jenderal Kao sama sekali bukanlah keadaan dirinya sendiri, melainkan ada dua hal, yaitu pertama-tama Syanti Dewi yang terpaksa harus ditinggalkannya di benteng, dan kedua adalah Kim Bouw Sin, yang masih menjadi tahanan. Dia khawatir sekali kalau dia tidak berada di benteng itu, kaki tangan Kim Bouw Sin akan bergerak dan membebaskan bekas pemberontak itu.

Dia tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri sungguhpun dia merasa curiga akan peristiwa panggilan Kaisar ini. Betapapun juga, ada sedikit cahaya terang baginya kalau dia mengingat bahwa di kota raja terdapat Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, dua orang tokoh yang ia percaya adalah orang-orang yang setia kepada negara dan dapat diandalkan untuk menghadapi pihak pemberontak yang dia tahu secara rahasia dipimpin oleh dua orang Pangeran Tua Liong.

Kian Lee dan Kian Bu hendak meninggalkan warung itu setelah membayar akan tetapi ketika mereka berdua tiba di pintu warung hampir saja mereka bertabrakan dengan tiga orang yang baru turun dari atas kuda dan mereka bertiga itu memasuki warung dengan tergesa-gesa sehingga hampir menabrak dua orang kakak beradik itu.

Akan tetapi, tiga orang itu dapat mengelak dengan gerakan yang gesit, kemudian tanpa mempedulikan Kian Lee dan Kian Bu, mereka terus memasuki warung. Gerakan mereka yang amat gesit itu tentu saja menarik perhatian dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka menengok dan memandang.

Tentu saja mereka berdua terheran-heran melihat betapa tiga orang itu tidak duduk diatas bangku-bangku warung seperti lajimnya tamu yang hendak makan, melainkan terus menyelonong ke dalam melalui pintu tembusan kecil. Pelayan yang melihat merekapun diam saja, seolah-olah hal itu tidak merupakan hal yang aneh.

Kian Lee dan Kian Bu saling berpandangan, merasa heran. Akan tetapi karena mereka tidak mengenal tiga orang itu, mereka tidak mengambil perhatian lagi lalu keluar dari dalam warung. Baru beberapa langkah mereka meninggalkan pintu warung, kembali ada dua orang yang sikapnya mencurigakan, dengan gesit telah menyelinap memasuki warung sambil menoleh ke kanan kiri. Ketika Kian Bu yang menaruh curiga itu memperhatikan, dua orang inipun terus masuk ke bagian belakang warung itu seperti halnya tiga orang terdahulu!

“Eh, Lee-ko, dua orang itupun masuk ke dalam!” Kian Bu berbisik sambll menyentuh lengan kakaknya.

“Biarkanlah, Bu-te. Kita tidak perlu mencampuri urusan orang. Yang penting kita harus membayangi rombongan Jenderal Kao,”

Jawab Kian Lee yang biarpun tertarik nanun terpaksa menekan perasaannya karena ada tugas yang lebih penting bagi mereka, yaitu membayangi Jenderal Kao yang kelihatan berduka untuk melindungi sahabat baik dari kakak mereka itu.

Rombongan Jenderal Kao yang berkuda itu sudah lewat jauh dan hampir keluar dari dusun itu, maka dua orang kakak beradik ini tergesa-gesa menyusul. Tentu saja karena di situ terdapat banyak orang, mereka tidak mau memperlihatkan kepandaian menggunakan ilmu berlari cepat, hanya berjalan biasa secepatnya agar tidak menarik perhatian orang.

“Awas, Bu-te....!”

Tiba-tiba Kian Lee berseru ketika dari jalan simpangan, seorang penunggang kuda membalapkan kudanya.

Kuda itu besar dan baik sekali, penunggangnya seorang pemuda tampan yang sikapnya agak ugal-ugalan sehingga seolah-olah dia tidak peduli bahwa kudanya membalap dan akan menabrak dua orang pemuda yang sedang berjalan di depan itu.

Tentu saja mudah sekali bagi Kian Bu dan Kian Lee untuk bergerak ke samping dan menghindarkan diri ditabrak kuda. Terdengar suara ketawa dari pemuda yang menunggang kuda itu, yang ternyata pada saat itupun sudah berhasil menyimpangkan kudanya dengan gerakan seorang ahli.

“Jahanam kau, manusia sombong!” Kian Bu membentak dan sudah mengepal kedua tinjunya untuk mengejar dan menyerang.

“Sssttt.... jangan layani dia, Bu-te....!” Kian Lee memegang lengan adiknya yang marah-marah itu. “Tugas kita lebih penting daripada urusan remeh itu.”

Kian Bu bersungut-sungut, akan tetapi dia dan kakaknya menjadi makin terheran-heran melihat betapa pemuda penunggang kuda itu dengan sigapnya meloncat turun dari atas kudanya di depan warung, kemudian bergegas memasuki warung itu.

“Aihh, ini terlalu aneh. Pasti ada hubungannya dengan rombongan Jenderal Kao....” Kian Lee berbisik. “Sebaiknya kita selidiki, akan tetapi harap kau jangan menimbulkan gara-gara, Bu-te.”

Mereka lalu menyelinap di antara banyak orang menghampiri warung itu secara diam-diam dari belakang. Sementara itu, haripun mulai gelap. Dua orang kakak beradik menanti sampai keadaan menjadi sunyi, bersembunyi tidak jauh dari warung.

“Kita terpaksa menanti sampai gelap, Bu-te.”

“Bagaimana kalau rombongan jenderal itu meninggalkan kita terlampau jauh?”

“Tidak, mereka tentu akan berhenti di dusun besar selatan yang telah kita lewati pagi tadi dan bermalam di sana. Malam ini kita bisa mengejar dan menyusul mereka di sana.”

Setelah suasana menjadi sunyi dan cukup gelap, dua orang kakak beradik ini berindap-indap menghampiri warung dan akhirnya mereka berhasil mengintai dari balik jendela di ruangan belakang warung itu.

Ternyata bahwa enam orang itu sedang bercakap-cakap dengan suara perlahan, duduk mengelilingi sebuah meja. Melihat sikap mereka, jelas bahwa pemuda berkuda yang hampir menabrak mereka tadi merupakan orang penting, dan agaknya dialah yang memimpin perundingan itu. Dengan amat hati-hati dan tidak mengeluarkan suara karena maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan, Kian Lee dan Kian Bu mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.

Dapat dibayangkan betapa terkejut hati kedua orang kakak beradik ini ketika mendengar percakapan enam orang itu. Dari percakapan itu mereka mengerti bahwa enam orang ini adalah kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong dan mereka ini merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Kao Liang!

Juga dari percakapan mereka, atas penjelasan pemuda tampan yang kudanya hampir menabrak mereka tadi, Kian Lee dan Kian Bu mendengar betapa panggilan Kaisar terhadap Jenderal Kao Liang juga diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong! Pangeran ini membujuk Kaisar untuk memanggil dan memeriksa Jenderal Kao, karena menurut Pangeran Liong Bin Ong, Jenderal Kao kini telah menguasai seluruh pasukan inti, maka menjadi amat berbahaya.

Buktinya, jenderal itu seringkali mengambil langkah-langkah pengamanan tanpa melapor ke kota raja lebih dulu sehingga seluruh kekuasaan atas semua pasukan boleh dibilang berada di tangannya. Kalau orang seperti itu sampai memberontak, tentu sukar untuk dibendung, demikian alasan Pangeran Liong kepada Kaisar sehingga Kaisar merasa khawatir juga, maka lalu mengutus pembesar memanggil Jenderal Kao ke kota raja.

Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pangeran Liong Bin Ong yang maklum akan kekuatan pasukan pengawal yang menjemput Jenderal Kao untuk menyiapkan enam orang itu sebagai penculik dan pembunuh!

“Akan tetapi, Ang-taihiap!” seorang diantara mereka membantah kepada pemuda tampan itu. “Dia dikawal oleh dua losin orang pengawal Kaisar, enam orang perwira pengawal, dan jenderal itu sendiri kabarnya memiliki kepandaian tinggi, belum lagi dua orang pengawal pribadinya....”

“Apakah engkau takut?”

Tiba-tiba pemuda itu membentak dan Kian Lee bersama adiknya terkejut. Pemuda itu tadinya bersikap halus, akan tetapi ketika membentak, suaranya mengandung getaran yang amat kuat dan orang itupun gemetar ketakutan.

“Tidak.... tidak, Taihiap.... hanya saya ingin berhati-hati agar jangan sampai gagal....”

“Hemm, kau kira kami begitu bodoh dan ceroboh? Selain kita berenam, masih ada Siang Lo-mo dan teman-temannya yang akan muncul di hutan itu. Mereka sudah menanti di sana. Tentang Jenderal Kao, serahkan saja kepadaku.”

“Jadi kita besok pagi-pagi mengejar dan membayangi dari belakang, setibanya di hutan di lereng bukit di selatan itu kita serbu....”

“Kalian bantu Siang Lo-mo dan teman-temannya menghadapi yang lain, sedangkan Jenderal Kao aku sendiri yang akan menghadapinya. Mengerti?” Pemuda yang disebut Ang-taihiap (Pendekar Besar she Ang) itu berkata lagi.

Kian Lee dan Kian Bu dengan hati-hati mundur menjauhkan diri dari rumah makan. Kian Lee sengaja mengajak adiknya pergi karena dia maklum akan watak adiknya yang keras. Tadi sudah dilihatnya wajah adiknya berubah merah. Setelah agak jauh, Kian Bu benar saja memprotes,

“Lee-ko! Sudah jelas persekutuan busuk itu hendak berbuat jahat, mengapa tidak kita basmi sekarang saja?”

“Ssstt, Bu-te. Urusan ini bukanlah urusan pribadi, melainkan urusan kerajaan yang terancam pemberontakan. Mereka belum melakukan apa-apa, bagaimana kita bisa menentang mereka? Buktinya belum ada, maka sebaiknya kita sekarang menyusul rombongan Jenderal Kao dan melindunginya. Kalau besok di hutan itu mereka turun tangan, barulah kita menghadapi mereka.”

Kian Bu mengangguk-angguk.
“Kau benar, Lee-ko. Juga aku ingin bertemu lagi dengan Siang Lo-mo, musuh besar kita itu. Dulu, di Pulau Es, aku belum sempat menampar kepala botak mereka dan sekarang terbuka kesempatan baik!”

“Bu-te, kuharap engkau berhati-hati dan jangan memandang rendah lawan. Siang Lo-mo yang telah berani menyerbu Pulau Es bukanlah lawan ringan, dan kulihat pemuda yang she Ang itu pun bukan orang sembarangan. Engkau tentu mendengar kekuatan suaranya tadi.”

Kian Bu mengangguk dan kelihatan gemas.
“Orangnya muda, tampan dan gagah, akan tetapi sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Dan dia tadi hampir menubrukku dengan kuda. Awas dia, besok aku akan membikin perhitungan!”

Kakak beradik itu lalu meninggalkan dusun dan melakukan perjalanan cepat sekali mengejar rombongan Jenderal Kao Liang. Tepat seperti yang diduga oleh Kian Lee, rombongan itu bermalam di dusun besar, di tempat kepala dusun sendiri yang menyambut Jenderal Kao dengan penuh penghormatan.

Siapakah pemuda tampan berkuda yang hampir menubruk Kian Bu dan Kian Lee? Melihat shenya, tentu pembaca sudah dapat menduga siapa orangnya. Dia memang Ang Tek Hoat, pemuda yang menjadi amat lihai setelah dia mewarisi kitab-kitab dari para datuk Pulau Neraka yang dibawa oleh tokoh Pulau Neraka Kong To Tek.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, pemuda itu telah menghambakan diri kepada Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang mengusahakan pemberontakan tersembunyi terhadap Kaisar, bersama adiknya, Pangeran Liong Khi Ong. Telah kita ketahui bahwa Tek Hoat berhasil menyelamatkan Ceng Ceng dari perahu yang terguling dan dia tidak mau mengganggu dara itu karena maklum bahwa Ceng Ceng adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang diam-diam telah merampas hatinya!

Tadinya dia mengharapkan akan dapat menemukan puteri itu melalui Ceng Ceng, akan tetapi kemudian mendongkollah hatinya ketika mendapatkan kenyataan bahwa dara itupun sama sekali tidak tahu dimana adanya Syanti Dewi. Apalagi sikap Ceng Ceng amat mengganggunya. Maka, ketika dia mengadakan pertemuan dengan Pangeran Liong Khi Ong di sungai dalam hutan itu dan kembali ke tempat dia meninggalkan Ceng Ceng dia melihat bahwa dara itu telah lenyap, dia pun tidak begitu mempedulikan.

Agaknya lebih baik kalau dia jauh dari dara yang galak dan berbahaya itu, pikirnya, dan diapun lalu mulai mencari-cari Syanti Dewi, bukan hanya memenuhi perintah Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi juga untuk kepentingan hatinya sendiri karena pemuda ini sudah jatuh hati kepada Puteri Bhutan yang lemah lembut itu!

Akan tetapi, usahanya telah gagal. Tak ada seorang pun tahu dimana adanya Syanti Dewi. Hanya dia memperoleh terangan tentang adanya seorang pria setengah tua bersama seorang dara cantik dan asing melakukan perjalanan ke utara. Maka dia hendak menyusul dan mencari ke utara setelah lebih dulu dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong dan menceritakan semua hasil pekerjaannya.

Pangeran ini malah memberi tugas yang amat penting baginya, yaitu untuk memimpin rombongan kaki tangan pangeran itu menghadang, menculik atau membunuh Jenderal Kao Liang yang sedang menuju ke kota raja memenuhi panggilan Kaisar!

Demikianlah, pemuda berkuda yang mengadakan perundingan dengan lima orang kaki tangan pemberontak itu adalah Ang Tek Hoat. Sama sekali pemuda ini tidak menyangka bahwa gerak-geriknya sudah diketahui oleh dua orang pemuda lain, dua orang putera dari Pulau Es yang amat lihai!

**** 058 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar