FB

FB


Ads

Selasa, 17 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 057

Tiba-tiba Ceng Ceng menggerakkan pedangnya ke kiri.
“Crekkk!” dan roboh kembalilah anggauta Pulau Neraka yang tadinya hendak bangkit duduk.

Orang yang tadinya menderita luka itu, roboh dan tewas karena pedang Ban-tok-kiam membacok lehernya hampir putus! Melihat ini, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee terkejut sekali. Kian Lee mengerutkan alisnya sedangkan Kian Bu memandang bengong. Dan kagum akan kecantikan dan kegagahan dara ini, akan tetapi mengapa dara ini sekarang menjadi seorang manusia yang begini buas dan kejam, jauh sekali bedanya dengan dahulu ketika mereka jumpa di pasar kuda? Dahulu, dara itu berwajah cantik manis dan berseri, agaknya selalu riang dan sinar matanya menari-nari, bibirnya selalu tersenyum.

Akan tetapi sekarang, biarpun cantiknya masih sama, bahkan bertambah karena kelihatannya kecantikannya makin matang, tubuhnya makin padat berisi, gerak-geriknya makin lincah, namun di balik wajah yang cantik jelita itu terbayang sifat yang dingin membeku, kebencian yang membayang dari pandang matanya, bibirnya ditarik seperti orang yang kesakitan dan menderita hebat, dan perbuatannya tadi amatlah kejam dan mengerikan. Membacok mati seorang bekas lawan yang sudah tidak berdaya seperti itu hanya dapat dilakukan oleh seorang yang berhati kejam dan penuh kebencian!

Segala macam kekacauan, kejahatan dan permusuhan di dunia ini bersumber kepada pikiran. Pikiran adalah si aku yang berkembang karena ingatan. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan menyusahkan ditumpuk di dalam ingatan dan menjadi pupuk bagi pikiran yang menciptakan si aku. Si aku yang ingin mengulang kembali kesenangan yang pernah dinikmatinya. Si aku yang ingin menghindari kesusahan yang pernah diderita. Maka muncullah rasa khawatir, rasa takut kalau-kalau akan mengalami lagi hal yang menyusahkan dan kalau-kalau tidak akan dapat mengalami hal yang menyenangkan.

Rasa takut ini mendorong kita untuk melakukan segala macam kekerasan di dalam kehidupan, bersumber kepada si aku yang pandai sekali mencari-cari akal sebagai alasan untuk melindungi diri sendiri, untuk mempertahankan pendiriannya yang dianggap benar. Kalau si aku dirugikan, lahir maupun batin, maka aku akan menaruh benci dan dendam, dan menggunakan alasan bahwa yang merugikan aku itu adalah jahat dan perlu dibasmi! Kalau si aku diuntungkan, lahir maupun batin, maka aku akan mencintanya dan membaikinya, dengan menggunakan alasan bahwa yang menguntungkan aku itu adalah baik dan perlu didekati.

Kita memuja dan menyembah-nyembah para dewa, para nabi, bahkan Tuhan, karena kita yakin bahwa mereka itu menguntungkan kita, setidaknya menguntungkan batiniah dan menimbulkan harapan, menjadi pegangan, jelasnya mendatangkan harapan keuntungan lahir batin bagi kita, maka kita memuja dan menyembahnya.

Sebaliknya, kita membenci dan mengutuk setan dan iblis, karena kita yakin pula, sungguhpun keyakinan ini hanya merupakan jiplakan dari tradisi belaka, bahwa setan dan iblis atau hantu itu merugikan kita, lahir maupun batin. Jelasnya, yang kita anggap baik, yaitu yang menguntungkan kita lahir maupun batin, akan kita puja-puja. Sebaliknya, yang kita anggap jahat, yaitu yang merugikan kita lahir atau batin, akan kita kutuk dan benci.

Jelas, bahwa rasa suka atau benci kita bukan karena keadaan si benda diluar diri kita, melainkan diputuskan oleh pertimbangan kita sendiri, yaitu merugikan atau menguntungkan. Rasa suka atau benci melahirkan anggapan kita tentang baik dan jahat, yang menguntungkan kita adalah baik dan yang merugikan kita adalah jahat.

Kenyataan ini sudah berlangsung ribuan tahun didalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai alat yang “lumrah”. Kita tidak lagi melihat kejanggalan dan kepalsuannya. Si aku ini bisa melebar dan meluas, menjadi si kami, menjadi harta benda-ku, keluarga-ku, partai-ku, suku bangsa-ku, bangsa-ku, negara-ku, Tuhan-ku, agama-ku dan selanjutnya. Dan selama si aku ini menguasai, pertentangan dan kekacauan sudah pasti timbul, karena pertentangan muncul di antara si aku dan si kamu.

Seorang manusia akan dianggap sebagai orang sejahat-jahatnya oleh pihak musuh akan tetapi manusia ini pula akan dianggap sebagai orang sebaik-baiknya oleh pihak lawan. Seseorang bisa dianggap sebagai “pahlawan” oleh negaranya, akan tetapi orang ini pula akan dianggap sebagai “penjahat” oleh negara lain yang bermusuhan. Jadi sebutan pahlawan atau penjahat itu bukan tergantung dari keadaan si orang itu sendiri, melainkan tergantung dari negara yang bersangkutan, dirugikan atau diuntungkankah negara itu.

Pertentangan diluar diri adalah pencerminan dari pertentangan yang terjadi di dalam diri sendiri. Di dalam diri sendiri terdapat kemarahan yang bertentangan dengan si aku yang ingin sabar, terdapat cemburu yang bertentangan dengan si aku yang ingin mencinta, terdapat keadaan apa adanya yang bertentangan dengan keadaan yang kukehendaki yang lain dari apa adanya.

Keadaannya begini, aku ingin begitu. Si aku menjadi makin subur dipupuk oleh pikiran. Si aku adalah pikiran itu sendiri. Dan pikiran adalah masa lalu, pikiran adalah kenangan atau ingatan masa lalu. Bebas dari masa lalu, bebas dari pikiran, berarti bebas dari si aku tukang mengacau kehidupan ini. Pikiran hanya baik kalau dipergunakan didalam tugasnya yang tak dapat dihindarkan lagi, untuk bekerja, bicara, dan segala pelaksanaan pekerjaan sehari-hari. Namun sekali pikiran bercampur tangan memasuki perhubungan antara manusia, akan rusaklah keadaannya.

Ceng Ceng telah diracuni oleh pikirannya sendiri karena dia selalu teringat akan peristiwa yang menimpa dirinya. Dirinya telah diperkosa, berarti telah dirugikan secara hebat oleh seseorang, maka kenangan akan hal ini mendatangkan kebencian yang amat hebat dan kebencian ini meracuni dirinya, membuat dia membenci semua manusia, terutama kaum pria!

Tentu saja dia mengerti bahwa dia telah diselamatkan oleh Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Andaikata dua orang yang menolongnya itu wanita, agaknya dia tidak akan segan-segan untuk menghaturkan terima kasihnya.

Akan tetapi karena dua orang penolongnya adalah pria, masih muda-muda pula sehingga mengingatkan dia akan pemuda yang memperkosanya, kebenciannya terhadap kaum pria lebih besar daripada rasa terima kasihnya. Mendengar kata-kata Kian Bu dia malah menjadi gemas dan membacok mati anggauta Pulau Neraka yang belum tewas, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi kepada dua orang pemuda yang telah menyelamatkannya tadi!






“Heiii....! Eh, Nona....!”

Kian Bu berteriak, akan tetapi Ceng Ceng tidak menjawab, menoleh pun tidak, bahkan kini dara ini melarikan diri dengan cepat, seluruh perhatiannya telah dipusatkan ke depan untuk mencari pemuda laknat yang telah memperkosanya!

“Heiiii....!” Kian Bu berteriak lagi.

“Sudahlah, Bu-te. Orang tidak mau melayanimu, mengapa memaksa?” Kian Lee berkata, kemudian dengan alis berkerut pemuda ini berkata, “Aku melihat dia itu seperti orang yang menanggung penderitaan hebat. Sungguh kasihan dia....”

“Ehhh....? Gadis sombong dan angkuh seperti itu, yang telah kita tolong dan kita selamatkan nyawanya dari ancaman bahaya maut akan tetapi sepatah katapun tidak sudi melayani kita bicara, engkau malah menaruh kasihan kepadanya?”

“Bu-te, jangan tergesa-gesa menjatuhkan pendapat akan seseorang yang belum kita kenal keadaannya. Gadis itu patut dikasihani....”

Kian Bu menghela napas.
“Kau memang aneh, Lee-ko. Banyak dara lincah jenaka, yang wajahnya seperti bulan purnama selalu berseri, yang matanya seperti bintang pagi bersinar-sinar, yang mulutnya selalu tersenyum cerah seperti matahati pagi, engkau tidak pedulikan. Akan tetapi satu ini, yang kejam dan dingin seperti.... seperti....”

“Cukup, Bu-te! Mari kita lanjutkan perjalanan kita,”

Kian Lee berkata singkat lalu pergi dari situ. Kian Bu membelalakkan matanya, menggoyang pundak lalu terpaksa mengikuti kakaknya.

Bagaimana dua orang pemuda ini dapat berada di tempat itu sehingga secara kebetulan dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Seperti telah kita ketahui, Kian Lee dan Kian Bu berada di kota raja dan didalam pesta yang diadakan oleh Pangeran Liong Bin Ong, dua orang pemuda Pulau Es ini telah bertemu dengan kakak mereka, Puteri Milana.

Mereka diajak pulang oleh Puteri Milana dan setelah kakak beradik itu bercakap-cakap penuh kegembiraan dan keharuan, akhirnya beberapa hari kemudian Milana mengambil keputusan untuk mengirim dua orang adiknya ini menjumpai Jenderal Kao Liang di utara.

Puteri ini maklum betapa pihak pemberontak telah menyusun kekuatan. Tidak ada orang lain yang lebih dapat dipercaya daripada Kian Lee dan Kian Bu untuk membawa suratnya kepada Jenderal Kao yang dia tahu merupakan satu-satunya orang yang terkuat dan menguasai bala tentara besar, juga amat setia kepada Kaisar. Dia lalu menulis surat untuk Jenderal Kao Liang, mengajak jenderal itu untuk bersama-sama menumpas pemberontak, menggunakan pengaruh kedudukannya dan menggunakan kekuatan pasukannya.

Demikianlah maka pada hari itu Kian Lee dan Kian Bu tiba di dekat Lembah Bunga Hitam, melihat keadaan dusun yang keracunan, mendengar dari para pengungsi akan malapetaka yang menimpa dusun mereka. Sebagai dua orang putera Pendekar Super Sakti, biarpun mereka bukan ahli-ahli menggunakan racun, namun dengan dasar sin-kang yang amat kuat dan bersih, kedua orang pemuda ini tidak takut menghadapi pengaruh racun dan mereka tertarik mendengar kabar tentang pertandingan antara ahli-ahli racun di Lembah Bunga Hitam, maka keduanya lalu memasuki lembah itu dan secara kebetulan dapat menolong Ceng Ceng.

Setelah mereka berdua mendapat kenyataan bahwa satu diantara dua pihak yang bertanding itu adalah gerombolan penghuni Pulau Neraka dipimpin sendiri oleh Hek-tiauw Lo-mo, keduanya tidak suka mencampuri lagi, apalagi melihat betapa Ceng Ceng yang mereka tolong itu tidak mempedulikan mereka.

Mereka menganggap bahwa tempat itu adalah tempat orang-orang dari golongan sesat, juga gadis yang ditolongnya itu, maka mereka lalu meninggalkan Lembah Bunga Hitam untuk melanjutkan perjalanannya ke utara, ke perbatasan untuk mencari Jenderal Kao di bentengnya.

Yang tidak mengenalnya dan tidak mengetahui keadaannya, tentu akan mengira bahwa gadis cantik yang pakaiannya kusut rambutnya awut-awutan itu sedang menderita sakit jiwa. Akan tetapi yang tahu akan keadaan Ceng Ceng pada saat itu, tentu akan merasa kasihan sekali.

Sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar penuh gairah hidup itu kini tampak merah dan agak membengkak, muka yang biasanya berseri dengan kedua pipi kemerahan dan segar, seperti setangkai bunga yang sedang mekar, kini menjadi pucat dan layu. Bibir yang biasanya selalu kemerahan dan membasah itu, yang siap melontarkan senyum manis, bahkan selalu kelihatan mengarah senyum, kini kelihatan kering dan cemberut, kadang-kadang tergetar kalau tangis melanda hatinya.

Air matanya sudah mengering, sumbernya sudah hampir kehabisan karena terlampau banyak dia menangis. Tiap kali dia teringat akan malapetaka yang menimpanya didalam guha itu, air matanya bercucuran dan dadanya terisak-isak sampai sukar untuk bernapas.

Tiga hari sudah dia meninggalkan Lembah Bunga Hitam. Lupa makan lupa tidur, terus melakukan perjalanan ke selatan tanpa tujuan karena memang dia tidak tahu kemana harus mencari pemuda laknat yang amat dibencinya itu, pemuda yang telah memperkosanya dan sekarang tujuan hidupnya hanya satu, yalah mencari dan mengadu nyawa dengan pemuda laknat itu!

Sebetulnya tubuhnya lemas dan lunglai, karena sudah tiga hari tiga malam dia tidak makan tidak tidur. Jalannya tersaruk-saruk dan kadang-kadang terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya.

Matahari telah naik tinggi dan panas terik menyengat kulit. Ceng Ceng berhenti di dalam bayangan batu karang dan menyeka keringatnya sambil mengeluh. Tubuhnya seperti merintih-rintih minta beristirahat, namun kekerasan hatinya melarang karena dia tidak akan berhenti sebelum bertemu dengan pemuda laknat itu!

“Nona, perlahan dulu....” Tiba-tiba terdengar suara halus ketika dia memaksa kedua kakinya melangkah maju lagi.

Suara itu sudah cukup untuk membuat darah Ceng Ceng seperti bergolak. Suara seorang laki-laki! Dan menahan langkahnya, tangan kiri dikepal dan tangan kanan meraba gagang Ban-tok-kiam, siap untuk membunuh orang! Langkah-langkah ringan dan halus menghampirinya dari belakang.

“Nona, hatiku ikut hancur menyaksikan keadaanmu....”

Ceng Ceng bergerak cepat, membalik dan tampak sinar terang berkelebat ketika Ban-tok-kiam telah dicabutnya. Ternyata yang berhadapan dengan dia adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana namun bersih, gerak-geriknya halus dan penuh hormat, sinar matanya lembut dan dia memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh perasaan iba.

“Mampuslah kau, keparat!” Ceng Ceng menjerit dan pedang Ban-tok-kiam sudah menyambar kearah leher kakek itu.

“Hemmmm, sabarlah, Nona!” kakek itu mengelak dengan gerakan halus, namun tepat sehingga pedang Ban-tok-kiam lewat di samping tubuhnya.

Ketika pedang itu menyambar lagi, tahu-tahu kakek ini, dengan gerakan aneh yang sama sekali tidak dikenal Ceng Ceng, telah memegang pergelangan tangan kanan Ceng Ceng sehingga dara ini merasakan lengan kanannya lumpuh dan untung pedangnya masih belum terlepas.

“Tenanglah, Nona. Aku tidak berniat buruk. Aku hanya akan menuturkan tentang pemuda yang telah kau keluarkan dari kerangkeng itu.”

“Aihhh....!” Ceng Ceng yang kini sudah dilepas tangannya, melompat mundur dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. “Kau mau bilang apa? Cepat katakan!” bentaknya.

Kakek itu menarik napas panjang.
“Aku tidak menyalahkan sikapmu ini, Nona, sungguhpun sikap ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagimu, apalagi bagi lain orang. Kita harus berani menghadapi kenyataan, berani membuka mata melihat apa yang telah terjadi dan menimpa kita sehingga kita tidak menjadi mata gelap oleh dendam. Marilah kita duduk dibawah pohon itu, dan aku akan menceritakan siapa adanya pemuda yang kau bebaskan dari kerangkeng itu dan mengapa pula dia melakukan perbuatan terkutuk itu. Maukah Nona mendengarkan?”

Tentu saja Ceng Ceng ingin sekali mendengar. Dia tidak akan mungkin dapat mencari pemuda itu kalau tidak diketahuinya siapa. Dia lalu mengangguk, menyimpan pedangnya dan mengikuti kakek itu duduk diatas batu di bawah naungan pohon sehingga hawa di tempat itu agak sejuk dan nyaman.

“Perkenalkan, Nona. Namaku adalah Louw Ki Sun, dan aku adalah pelayan dari guru pemuda tinggi besar itu.”

“Kakek, aku tidak mau berkenalan dengan kau. Kalau kau tahu tentang pemuda laknat itu, lekas beritahukan kepadaku siapa dia dan dimana aku dapat mencarinya!”

Kakek itu mengangguk-angguk.
“Baiklah, engkau akan mengetahui siapa adanya pemuda itu. Sudah kukatakan tadi, aku adalah pelayan dari suhunya, dan agar jelas bagimu dan juga jelas mengapa dia melakukan perbuatan itu, sebaiknya kalau engkau mendengarkan semua penuturanku dengan sabar.” Kakek yang bernama Louw Ki Sun itu lalu bercerita.

Di tengah gurun pasir yang amat luas di utara terdapat sebuah istana yang amat aneh letaknya dan tidak ada orang yang dapat mendatangi tempat ini karena merupakan rahasia. Pula, siapa percaya bahwa di tengah gurun pasir terdapat sebuah istana yang megah? Istana ini di kalangan Bangsa Mongol terkenal dengan sebutan Istana Gurun Pasir, dan pada waktu itu tidak ada seorangpun bangsa Mongol yang berani mendekatinya karena istana itu dihuni oleh seorang tokoh yang luar biasa, aneh, dan juga amat sakti.

Penghuni Istana Gurun Pasir itu tidak pernah meninggalkan istananya, maka tidak terkenal di dunia ramai, istana itu sendiri adalah sebuah istana kuno, yang pada ratusan tahun yang lalu dibangun oleh Raja Mongol untuk mengasingkan permaisurinya yang telah “dipensiun” karena dituduh berjina dengan seorang pelayan pria. Dibangun di tengah gurun pasir, akan tetapi anehnya, di tempat itu terdapat sumber air! Sumber air di tengah gurun pasir, benar-benar tidak masuk akal, namun kenyataannya demikianlah!

Permaisuri yang malang ini tinggal bertahun-tahun di tempat itu bersama para pelayannya sampai dia mati, dan turun-temurun para pelayan itu tinggal di situ sampai lama-kelamaan jumlah mereka habis. Kini yang tinggal hanyalah Si Dewa Bongkok, yaitu tokoh aneh penghuni istana itu, seorang kakek yang tubuhnya besar dan pendek bongkok, bersama dua orang kakek pelayan yang bernama Thio Sek dan Louw Ki Sun.

Pada suatu hari, Si Dewa Bongkok yang sedang berlatih di tengah gurun pasir menemukan seorang anak laki-laki yang berada dalam keadaan hampir mati. Jelas bahwa anak itu telah tersesat dan menderita hebat sekali selama berhari-hari di padang pasir dan merupakan suatu hal ajaib, kalau anak itu masih dapat bertahan setelah mukanya bengkak-bengkak, matanya melotot merah dan lidahnya terjulur ke luar, seluruh tubuhnya hitam dan kulitnya retak-retak!

Si Dewa Bongkok cepat membawa anak itu ke istana dan berkat kepandaiannya yang tinggi, anak itu dapat diobatinya sampai sembuh. Melihat keadaan anak itu dan kenyataan bahwa anak itu berbakat baik sekali, Si Dewa Bongkok yang selamanya tidak pernah menerima murid itu lalu mengangkatnya sebagai muridnya, murid tunggal.

Seperti biasa, latihan-latihan yang diberikan oleh manusia sakti ini kepada muridnya amatlah beratnya. Pada suatu hari, Si Dewa Bongkok mengajak muridnya ke tengah gurun pasir bagian yang paling panas dan disitu dia melatih sin-kang kepada muridnya itu. Sampai tiga hari tiga malam dia melatih muridnya di tempat itu, tidak tahu bahwa terjadi geger di istananya.

“Ketika majikanku sedang melatih muridnya itu, yang menjaga istana hanya aku dan Thio Sek,” Lauw Ki Sun menyambung ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ceng Ceng. “Tiba-tiba datanglah seorang yang lihai dan yang berusaha untuk mencuri kitab-kitab pusaka dari majikanku. Tentu saja aku melawannya. Akan tetapi celaka, kiranya orang itu yang memiliki kepandaian tinggi diam-diam telah bersekongkol dengan Thio Sek. Tentu saja menghadapi mereka berdua, aku kalah dan aku tidak berhasil mencegah mereka melarikan diri sambil membawa sebuah kitab pusaka tentang racun dalam pukulan, catatan dari majikanku. Mereka melarikan diri karena mereka takut kalau-kalau majikanku keburu datang, dan membawa pergi kitab itu.” Kakek itu menarik napas panjang.

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah pemuda laknat yang memperkosanya, maka hal-hal lain membuat dia hanya menjadi marah karena dia tidak peduli sama sekali.

“Apa hubungannya dengan iblis laknat itu?” bentaknya.

“Sabarlah, Nona. Ketahuilah bahwa pencuri itu kini telah menjadi Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan rekanku pelayan itu adalah....”

“Ketua Lembah Bunga Hitam. Aku sudah menduganya, tapi tentang pemuda itu....”

“Benar, Thio Sek telah berjuluk Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hltam. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil. Sampai hari ini, secara tidak sengaja aku bertemu dengan mereka....”

“Pemuda laknat itu....” Ceng Ceng memotong.

“Pemuda itu adalah Kok Cu, murid majikanku yang ditemukan di gurun pasir itu. Dia terpengaruh hebat oleh penderitaan badai di lautan pasir, hanya teringat akan namanya saja, yaitu Kok Cu, tidak tahu siapa nama keluarganya. Setelah dia tamat belajar, dia diperkenankan meninggalkan istana untuk mencari orang tuanya, sekalian ditugaskan untuk mencari kitab yang tercuri. Karena aku merasa bertanggung jawab akan kehilangan kitab itu, maka diam-diam akupun membayanginya untuk membantu.

Kebetulan sekali, di Lembah Bunga Hitam ini terjadi pertempuran dan ternyata yang bertempur adalah dua orang pencuri itu. Agaknya, menurut penyelidikanku, mereka telah bertengkar dan memperebutkan kitab. Mereka sama kuat dan akhirnya mendapatkan masing-masing separuh dari kitab itu. Kini mereka saling bermusuhan untuk merampas kitab yang separuh lagi.

Kok Cu biarpun telah memiliki kepandaian tinggi, lebih tinggi dari aku sendiri, namun dia kurang pengalaman sehingga dapat terjebak dan terkena racun-racun yang amat jahat. Biarpun dia telah memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga racun-racun itu tidak sampai menewaskannya, akan tetapi.... dia seperti mabok, dia tidak sadar.... dan ketika terjadi peristiwa di guha itu, dia.... dia sama sekali tidak mampu menguasai dirinya, Nona.”

“Keparat! Kau tahu akan semua itu dan kau diam saja!” Ceng Ceng sudah meloncat dan mencabut lagi Ban-tok-kiam.

Kakek itupun meloncat dan cepat mengangkat tangannya,
“Sabarlah, Nona. Ketika aku tiba di Lembah Bunga Hitam, Kok Cu telah tertangkap dan dimasukkan kerangkeng dalam keadaan keracunan hebat. Aku berada didasar sumur ketika engkau tiba, kemudian kau menolong dan melarikan kerangkeng itu dan kau dikejar oleh Ketua Lembah Bunga Hitam dan anak buahnya.

Melihat ini, aku muncul dan menyambut mereka, mencegah mereka melakukan pengejaran terus kepadamu, karena aku hanya mengira bahwa Nona tentu sudah berhasil menyelamatkan Kok Cu. Siapa tahu bahwa didalam guha telah terjadi hal yang amat hebat itu....! Aku baru tahu setelah Kok Cu lari dari dalam guha itu seperti orang gila saking menyesalnya....”

“Tak peduli! Dimana dia sekarang! Aku akan membunuhnya, mencincang hancur tubuhnya!”

“Mana aku tahu, Nona? Dia telah melarikan diri seperti orang gila, bahkan ketika aku menjumpainya, dia seperti tidak mengenalku atau tidak mau peduli, terus lari dengan cepat meninggalkan aku. Mungkin dia ke kota raja karena dia lari ke selatan....!”

“Aku akan mengejarnya!”

Ceng Ceng berteriak dan cepat dia lari meninggalkan kakek itu dengan pedang tetap di tangan. Louw Ki Sun menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang. Kemudian melangkah perlahan-lahan kembali ke utara untuk melaporkan kepada majikannya karena untuk bertindak sendiri terhadap Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, dia tidak mampu.

**** 057 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar