FB

FB


Ads

Selasa, 17 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 056

“Keparat kau.... keparat kau....!”

Dia memaki-maki pemuda itu yang meninggalkan dia seperti itu. Dia telah menolong pemuda itu, kenapa pemuda itu berbalik memperlakukannya seperti itu? Dan kini meninggalkannya dalam keadaan tertotok dan sama sekali tidak berdaya?

“Hekkk....!”

Napas Ceng Ceng terhenti dan matanya memandang terbelalak keluar guha. Tampak bayangan orang diluar guha, bayangan yang perlahan-lahan datang mendekat! Bayangan orang lembah? Makin dekat bayangan itu makin ngeri rasa hati Ceng Ceng. Dia berusaha mengerahkan sin-kangnya untuk membebaskan diri dari totokan, namun sia-sia belaka. Dia tidak berani bersuara bahkan napaspun ditahan agar jangan mengeluarkan bunyi.

Akhirnya bayangan itu muncul di depan guha dan ternyata adalah pemuda tadi! Rambutnya awut-awutan, mukanya merah dan matanya kembali mengeluarkan sinar aneh yang berapi-api. Dengan langkah satu-satu pemuda itu menghampiri Ceng Ceng, langkah yang seolah-olah terjadi diluar kehendaknya.

“Jangan.... ah, jangan....” Ceng Ceng merintih perlahan sambil memandang dengan muka penuh ketakutan.

Pemuda itu kelihatan bingung, menjadi makin beringas dan sudah berlutut di dekat Ceng Ceng. Sampai hampir pecah rasa dada Ceng Ceng karena jantungnya berdebar keras penuh ketegangan. Pemuda itu menggerakkan tangannya sehingga rantai belenggu berdencingan, lalu jari-jari tangannya mengelus pipi Ceng Ceng. Dara ini mengeluh dan memejamkan matanya lagi, kemudian dikeraskan hatinya dan dia membuka mata lalu memaki,

“Keparat laknat! Apa yang akan kau lakukan? Tidak malukah engkau? Aku telah berusaha menolongmu dan kau membalasnya dengan penghinaan seperti ini? Manusia macam apa engkau? Laki-laki macam apakah engkau ini?”

Kemarahan mengusir semua rasa takut dan ngeri dan kini Ceng Ceng memandang dengan mata bersinar-sinar. Pemuda itu seperti terpukul oleh dampratan itu, dia bangkit berdiri lagi, meragu dan tiba-tiba tangannya bergerak menampar kepalanya sendiri, lalu membalikkan tubuh dan terhuyung pergi ke pintu guha. Hati Ceng Ceng menjadi lega.

Tiba-tiba Ceng Ceng menjadi pucat. Sampai di pintu guha, pemuda itu berhenti, perlahan-lahan membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh gairah berahi, kemudian mengeluarkan suara keluhan dalam di kerongkongannya lalu.... meloncat seperti seekor harimau menerkam ke arah tubuh Ceng Ceng! Ceng Ceng menjerit akan tetapi mulutnya tersumbat ciuman dan ketika jari-jari tangan pemuda itu bekerja, Ceng Ceng merintih dan pingsan tidak ingat apa-apa lagi!

Apa bedanya manusia dengan binatang kalau kesadarannya lenyap? Kesadaran lenyap menghilangkan pengertian, dan yang tinggal hanyalah kekerasan berdasarkan dorongan kebutuhan jasmaniah belaka, seperti binatang. Naluri yang ada hanyalah naluri kebutuhan badan.

Demikian pula dengan keadaan pemuda itu. Terpengaruh oleh racun yang amat hebat, yang bagi orang lain tentu mendatangkan akibat maut yang tak mungkin dapat dihindarkan lagi, pemuda ini kehilangan kesadarannya. Biarpun dia sudah berusaha melawannya dengan sedikit ingatan yang masih ada, namun hawa racun itu akhirnya menang, merampas seluruh kesadarannya dan membuat dia bertindak seperti binatang dan menurutkan dorongan kebutuhan jasmani yang pada saat itu dikuasai oleh nafsu berahi yang amat dahsyat sebagai akibat pengaruh racun yang memenuhi tubuhnya. Maka terjadilah hal yang tak mungkin dapat terelakkan lagi oleh Ceng Ceng dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi oleh pemuda itu.

Beberapa lama kemudian, tampak pemuda itu melangkah keluar dari guha, berkali-kali menampar kepalanya sendiri, dengan wajah muram namun tidak liar lagi, dan mulutnya mengeluarkan kata-kata berulang-ulang,

“Terkutuk....! Terkutuk....!”

Jauh lebih lama kemudian, Ceng Ceng mengeluh dan siuman. Ternyata dia sudah dibebaskan dari totokan. tubuhnya terasa sakit-sakit dan ada sesuatu yang tidak wajar.

Ceng Ceng teringat akan semua pengalamannya sebelum dia pingsan. Ingatan ini mengejutkan hatinya, apalagi setelah dia melihat betapa pakaiannya terbuka dan terdapat noda darah di pahanya, tiba-tiba dia menjerit dan roboh pingsan lagi!

Perlahan-lahan dara yang tertimpa malapetaka itu siuman, merintih dan menangis dengan sedih sekali. Dia mencengkerami tanah dan batu, memukul-mukul tanah dan menangis makin sedih. Makin dikenang, makin dibayangkan, makin sakit rasa hatinya karena dia kini sudah merasa yakin bahwa dia telah diperkosa oleh pemuda itu.

Tiba-tiba dia meloncat berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang terbuka, kedua tangannya dikepal, lalu disambarnya pedang Ban-tok-kiam yang masih berada di lantai guha.

“Jahanam....! Keparat buruk....! Manusia laknat! Iblis keji, aku bersumpah akan membunuhmu! Aku akan menyiksamu, akan kusayat-sayat tubuhmu, kuhancurkan kepalamu, kuremuk semua tulang di tubuhmu!”

Dia memaki-maki dengan air mata bercucuran, kemudian sambil menangis dia membetulkan pakaiannya dan lari keluar dari guha dengan pedang terhunus di tangannya. Timbul kebenciannya yang hebat kepada pemuda itu, kepada laki-laki pada khususnya, kepada manusia pada umumnya.

Tanpa disadarinya, saat itu terjadilah perubahan hebat pada dirinya. Di lubuk hatinya tumbuh perasaan benci yang amat berat, yang meracuni seluruh darahnya, yang mengakibatkan watak yang kejam didalam dirinya.

Peristiwa hebat yang mengguncangkan seluruh batinnya itu menambah dengan hebatnya perubahan yang memang mulai terjadi di dalam dirinya akibat ilmu tentang racun yang sifatnya kejam semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-1i.






Dengan semangat berapi-api untuk mencari pemuda itu dan mengadu nyawa dengannya, Ceng Ceng kembali memasuki dusun yang menjadi sarang Lembah Bunga Hitam. Dari jauh sudah tampak olehnya serombongan orang yang jumlahnya sembilan, dan orang-orang itu menjadi terkejut ketika melihat seorang gadis dengan pedang di tangan berlari cepat mendatangi dan langsung menyerang mereka dengan ganas!

Dengan kemarahan dan kebencian meluap di dalam hatinya, Ceng Ceng merobohkan dua orang, lalu menghadapi pengeroyokan tujuh orang anggauta lembah. Pedang Ban-tok-kiam merupakan senjata ampuh yang membuat jerih para pengeroyoknya. Seorang diantara mereka lalu bersiul-siul dan datanglah lebah-lebah beterbangan. Lebah putih yang beracun!

Melihat ini, Ceng Ceng yang masih memutar pedangnya, cepat mengeluarkan bubuk hijau dan menanti sampai lebah-lebah itu datang mendekat. Disebarnya bubuk hijau itu di sekeliling dirinya dan lebah-lebah yang terkena serbuk hijau ini sebagian jatuh dan mati, sebagian lagi mabok dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh anggauta lembah yang bersiul-siul!

Sebaliknya, Ceng Ceng lalu mengeluarkan serbuk merah, sambil menyerbu ke depan dan menaburkan serbuk merah ini ke udara, kemudian dengan gerakan pedangnya yang diputar-putar sehingga mendatangkan angin, dia berhasil membuat serbuk merah yang kini berubah menjadi semacam uap merah, menyambar ke arah para pengeroyoknya!

Orang-orang lembah yang kesemuanya adalah ahli-ahli racun, ternyata tidak mengenal uap merah ini. Mereka hanya menjauhkan diri lalu menghampiri Ceng Ceng dari arah lain agar tidak terkena serbuk merah. Akan tetapi mereka mencium bau tajam dan celaka bagi mereka yang terdekat, karena kelihaian racun serbuk merah ini adalah pada baunya. Begitu mencium bau keras ini, dua orang menjadi pening dan terhuyung-huyung, berseru,

“Celaka!” lalu meninggalkan gelanggang pertempuran.

Sementara itu, Ceng Ceng sudah menerjang lagi, pedangnya berhasil merobohkan seorang lagi karena hawa beracun yang keluar dari pedang itu, dan ludahnya merobohkan dua orang lain!

“Mampuslah kalian, keparat! Mampuslah!”

Berkali-kali mulutnya berkata demikian karena dia membayangkan para pengeroyok itu sebagai pemuda yang telah memperkosanya, atau setidaknya mereka itu dianggap wakil pemuda itu yang harus dibalasnya. Oleh karena itu, sepak terjangnya mengerikan, dan dia mengamuk seperti seekor harimau kelaparan.

Akan tetapi berbondong-bondong datanglah orang-orang lembah yang tadinya meninggalkan lembah itu untuk melakukan perang melawan orang-orang Pulau Neraka. Karena menyangka bahwa gadis itu tentulah seorang diantara orang orang Pulau Neraka, mereka menyerbu dan mengeroyok.

Ceng Ceng tidak peduli dan sama sekali tidak gentar menghadapi pengeroyokan banyak orang ini. Dia mengamuk terus, menggerakkan pedangnya yang ampuh dan menyebar racun-racunnya, melakukan pukulan-pukulan beracun bahkan menyerang dengan ludahnya. Banyak diantara para pengeroyoknya roboh menjadi korban dan akhirnya terdengar bentakan keras,

“Mundur semua!” dan Ceng Ceng berhadapan dengan seorang kakek tua yang amat mengerikan.

Kakek ini usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tinggi kurus dan mukanya hanya kelihatan tengkorak terbungkus kulit belaka. Pakaiannya serba hitam dan matanya hampir hitam seluruhnya karena bagian putihnya juga gelap, kemerahan mengarah warna hitam sehingga kalau dia memandang orang, amatlah mengerikan.

“Nona, siapakah kau? Apakah kau seorang Pulau Neraka?”

“Banyak cerewet! Engkau tentu Ketua Lembah Bunga Hitam, bukan? Nah, majulah!”

Bentak Ceng Ceng yang sudah menerjang maju dengan pedangnya menyerang kakek itu. Kakek itu bertangan kosong, ketika dia menggerakkan kedua tangannya, terdengar suara,

“Ccinggg....!” dan tangan kanan Ceng Ceng tergetar.

Kiranya kakek itu telah menggunakan kuku jari tangannya menyentil dan sentilan ini saja sudah membuat pedangnya tergetar dan hampir terlepas dari pegangan! Hal ini cukup menjadi bukti bahwa kepandaian kakek ini hebat sekali, tenaga sin-kangnya juga jauh lebih tinggi dan kuat daripada tenaganya sendiri.

Namun tidak ada sedikitpun rasa gentar di dalam hati dara yang sudah terbakar hangus oleh rasa dendam yang amat hebat itu. Mati baginya bukan apa-apa lagi dan yang terasa hanyalah kebencian, kebencian yang bernyala makin besar dan membakar semua perasaan ini. Dengan kenekatan yang luar biasa dia menyerang kakek bermuka tengkorak itu dengan pedangnya.

Ketua Lembah Bunga Hitam itu tertawa dan menghadapi Ceng Ceng dengan tangan kosong saja, akan tetapi biarpun demikian, segera dia membuat dara itu kalang-kabut karena memang kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi. Ceng Ceng kembali mengalami pertandingan seperti ketika dia melawan Ketua Pulau Neraka, dan merasa dipermainkan tanpa dapat mendesak lawan sama sekali.

Biarpun dia juga membantu pedangnya dengan pukulan beracun tangan kiri, dan bahkan menggunakan rambutnya dan ludahnya yang beracun, namun tetap saja dia dipermainkan dan didesak hebat.

“Ha-ha-ha, bocah lancang, ilmu kepandaianmu lumayan dan pengetahuanmu tentang racun hebat. Lekas kau berlutut dan menjadi muridku, dan aku akan mengampunkan kesalahanmu....”

“Mampuslah!” Ceng Ceng membentak dan menusukkan pedangnya dengan nekat dan dahsyat.
“Pedang baik....!” kakek itu mengelak. “Tapi kau keras kepala!”

Pada saat pedang meluncur lewat, kakek itu menggerakkan kakinya yang merupakan tendangan berputar, sama sekali tidak diduga oleh Ceng Ceng sehingga lambung dara ini terkena tendangan. Dia terjengkang dan terbanting keras.

Akan tetapi sebelum kakek itu menyusul dengan serangan lain yang tentu akan merupakan bahaya bagi Ceng Ceng, tiba-tiba terdengar suara lembut yang datangnya dari arah sumur tua yang pernah dipakai oleh Ceng Ceng untuk bersembunyi mengintai ketika pemuda yang telah memperkosanya itu menjadi tawanan dalam kerangkeng!

“Thio Sek, apakah kau sudah melupakan Istana Gurun Pasir....?”

Ceng Ceng mendapat kesempatan untuk meloncat berdiri karena tiba-tiba, mendengar suara itu, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut setengah mati, mengeluarkan suara lirih dan berdiri bengong seperti orang melihat setan di tengah hari.

“Thio Sek, majikan kita menanti engkau datang menyerahkan kitab dan nyawa!” kembali suara aneh dan halus itu terdengar dari dalam sumur.

Ketua lembah memandang kearah sumur, mukanya pucat sekali sehingga dia makin mirip dengan mayat hidup, kemudian terdengar keluhan aneh dari dalam kerongkongannya dan dia membalikkan tubuhnya, mencelat jauh dan lari secepatnya, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari situ. Anak buahnya yang melihat keadaan ketua mereka ini, juga serentak lari pergi terbirit-birit dengan ketakutan.

Ceng Ceng masih berdiri dengan pedang Ban-tok-kiam di tangannya. Hatinya lega karena baru sekarang dia sadar bahwa dia telah terbebas dari ancaman bahaya maut, ditolong oleh suara dari sumur itu.

Teringatlah dia ketika dia pernah melihat bayangan samar-samar didasar sumur. Timbul keinginan-tahunya. Tentu ada seorang aneh didalam sumur itu. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri sumur itu, menjenguk ke dalam. Akan tetapi tidak tampak apa-apa lagi, bahkan bayangannya pun tidak ada. Tentu orang itu sudah pergi, pikirnya. Betapa lihainya orang itu.

Suara sorak-sorai mengejutkannya. Dia cepat membalik dan melihat tujuh orang laki-laki memasuki pintu gerbang dusun itu sambil bersorak. Orang-orang ini semua memegang senjata di tangan kanan dan seekor ular berbisa di tangan kiri, sikap mereka buas dan seperti orang-orang yang gila.

Apalagi ketika mereka melihat Ceng Ceng, mereka segera menyerbu dengan kata-kata yang membuat dada Ceng Ceng seperti dibakar, karena mereka mengeluarkan kata-kata kotor terhadap dirinya!

“Ha-ha, nona manis kesepian sendiri!”

“Engkau tentu sudah lama rindu kepada laki-laki!”

“Kami datang untuk menghiburmu, Nona!”

“Kalau kami bertujuh masih terlampau sedikit, teman-teman kami masih banyak di belakang!”

Ceng Ceng yang sedang berduka dan marah itu, tentu saja makin meledak kebenciannya terhadap pria. Sambil mengeluarkan seruan seperti lengking seekor binatang yang dahsyat, dia menyerbu, tangan kirinya sudah siap dengan segenggam bubuk putih yang tadi dia keluarkan dari saku bajunya, pedangnya diputar-putar diatas kepala. Tujuh orang itu tentu saja memandang rendah, sambil tertawa mereka menyambut dan mengurung.

“Yang memegang lebih dulu, mendapat giliran lebih dulu, ha-ha!”

Akan tetapi suara ketawa mereka terhenti seketika karena selagi mereka menangkis pedang Ceng Ceng yang menyambar-nyambar, dara ini menyebar bubuk putih ke udara. Terdengar teriakan-teriakan kaget karena bubuk putih yang dipandang rendah itu begitu tampak oleh mereka, menimbulkan rasa pedas dimata mereka sehingga air mata mengalir ke luar dan pandangan mata mereka menjadi kabur. Dalam keadaan seperti ini, mudah saja Ceng Ceng menggerakkan pedangnya dan empat orang roboh dan tewas seketika disambar Ban-tok-kiam!

Tiga orang lain terkejut bukan main. Mereka meloncat ke belakang, menggosok-gosok mata mereka. Celaka, makin digosok makin pedas dan gatal, bahkan kini mata mereka mulai membengkak!

Seorang diantara mereka cepat mengeluarkan sebuah tanduk menjangan dan meniupnya sehingga terdengarlah suara mengaung. Adapun dua orang temannya sudah menerjang Ceng Ceng yang mengejar mereka.

Ular ditangan kiri mereka mendesis-desis dan ketika mereka lontarkan, dua ekor ular itu menyambar Ceng Ceng. Gadis ini mengangkat lengan kirinya menangkis dan dua ekor ular itu dengan tepat menggigit dan bergantung kepada lengan kiri itu. Dua orang itu girang sekali karena menyangka bahwa tentu gadis yang sudah tergigit dua ekor ular mereka itu akan roboh.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat Ceng Ceng mengibaskan lengan kirinya dan dua ekor ular itu terbanting ke atas tanah dan.... berkelojotan!

Agaknya bukan gadis itu yang keracunan, sebaliknya dua ekor ular itulah, karena hawa beracun yang dikerahkan gadis itu dari lengan yang tergigit membuat dua ekor ular itu seperti dibakar kepanasan.

Selagi dua orang itu masih bengong, Ceng Ceng sudah meloncat, pedang Ban-tok-kiam menyambar. Mereka berusaha menangkis, namun terlambat, apalagi karena hawa beracun dari pedang itu sudah membuat mereka lemas. Robohlah dua orang ini dengan leher hampir buntung!

Orang terakhir itu masih meniup tanduk menjangan berkali-kali. Dalam ngeri dan takutnya menyaksikan kehebatan dara itu, dia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk meniup suling memanggil teman-temannya. Akan tetapi suara mengaung dari tanduk yang ditiup itu segera terhenti dan diapun roboh dibawah tusukan pedang Ceng Ceng yang menembus perutnya!

Barulah agak puas hati Ceng Ceng setelah berhasil membunuh tujuh orang itu. Akan tetapi baru saja dia mencabut kembali pedang Ban-tok-kiam dari dalam perut lawan terakhir setelah dia membiarkan pedang itu “meminum darah” agak lama di dalam tubuh orang itu, terdengar suara hiruk-pikuk.

Dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat seorang kakek perkasa dengan langkah lebar menghampiri tempat itu. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka, diikuti oleh belasan orang anak buahnya!

“Keparat! Bocah setan, kau lagi! Kau berani membunuh tujuh orang anak buahku? Sekarang terpaksa aku tidak dapat mengampunimu lagi!”

Kakek itu berseru marah bukan main setelah dia melihat mayat tujuh orang anak buahnya menggeletak di sekitar tempat itu. Baru sekarang Ceng Ceng tahu bahwa tujuh orang yang tadinya disangka adalah anak buah Lembah Bunga Hitam, ternyata adalah anak buah Pulau Neraka yang menjadi musuh Lembah Bunga Hitam!

Akan tetapi dia tidak takut. Tanpa menjawab dia sudah menerjang ke depan, disambut oleh Hek-tiauw Lo-mo yang dalam kemarahannya telah mengeluarkan sebuah diantara senjata-senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah jala tipis yang digulung dan dikepal dalam tangannya. Dia ingin menangkap gadis itu, sebelum dibunuh dia akan menyiksanya dan akan diperasnya agar gadis itu dapat menyerahkan ilmunya yang hebat tentang racun kepadanya.

Ceng Ceng yang menerjang ke depan hanya melihat bayangan hitam melebar seperti payung menerkamnya. Dia kaget dan memutar pedangnya menangkis. Terdengar suara berdencingan dan pedangnya bertemu dengan benda yang keras akan tetapi ulet dan bayangan itu terus menerkamnya, tidak terhalang oleh putaran pedangnya.

Tahu-tahu dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sehuah jala tipis yang lebar dan ke manapun dia bergerak, dia tidak dapat membebaskan diri dari dalam jala itu! Dia melihat kakek raksasa itu memegang tali jala dari tempat yang jauhnya ada tiga empat meter, sambil tertawa. Kemarahannya timbul dan dia menjadi nekat, biarpun berada di dalam jala, dia meloncat dengan maksud menerjang kakek itu dan menyerang dengan pedangnya dari balik jala.

Akan tetapi tiba-tiba kakek itu membetot dan Ceng Ceng yang merasa kakinya diangkat, kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terguling roboh di dalam jala. Dia mengamuk, meronta, memutar pedangnya, namun sia-sia belaka, seperti seekor ikan besar dalam jala, semua gerakannya terbatas dan hanya gerakan sia-sia belaka.

Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan belasan orang anak buahnya juga tertawa girang melihat gadis yang liar dan buas itu telah tertawan. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti ketika terdengar suara orang mengejek,

“Aih, Lee-ko, orang-orang disini sungguh tidak tahu malu, ya? Belasan orang laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, aturan mana yang dipakai ini? Sungguh curang, licik dan tidak tahu malu!”

Semua orang menengok dan Hek-tiauw Lo-mo terkejut sekali melihat dua orang pemuda tampan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Kalau sampai ada dua orang asing dapat muncul di tempat itu tanpa diketahui oleh dia sendiri dan anak buahnya, maka hal ini hanya membuktikan bahwa yang datang adalah orang-orang luar biasa!

Akan tetapi, melihat bahwa mereka hanyalah dua orang pemuda remaja yang masih amat muda sekali, dia memandang rendah. Dengan tangan kiri memegang tali jala dimana Ceng Ceng tertawan, dia membentak,

“Eh, dari mana datangnya dua bocah lancang ini dan siapakah kalian?”

Ceng Ceng juga sudah berhenti meronta dan dari dalam jala dia memandang ke luar. Matanya terbelalak lebar. Kini dia mengenal dua orang pemuda itu. Tidak salah lagi. Dua orang itu adalah dua orang pemuda yang pernah berjumpa dengan dia di pasar kuda! Dua orang pemuda yang tampan dan seorang diantaranya ceriwis, pandang matanya nakal dan mulutnya selalu tersenyum penuh gairah, sedangkan yang ke dua pendiam dengan sinar mata yang tajam dan tenang.

Ceng Ceng sendiri memandang rendah. Kalian mencari mampus, pikirnya. Tentu dua orang pemuda ini akan tewas di tangan Ketua Pulau Neraka dan anak buahnya yang lihai. Akan tetapi dia tidak peduli. Biarlah mampus semua laki-laki di dunia ini, apalagi dua orang pemuda tampan ini mengingatkan dia akan pemuda laknat yang dicarinya dan dibencinya. Mampuslah kalian! Mampuslah kalian semua laki-laki di dunia!

Ceng Ceng memandang dan kini mereka telah mulai bertanding. Dua orang pemuda itu tadinya bersikap tenang saja. Akan tetapi pemuda yang lebih muda, yang tersenyum-senyum dan bermata nakal, memandang Ketua Pulau Neraka dan berkata,

“Aih, kiranya Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya. Pantas saja tidak segan melakukan kecurangan, kiranya Ketua Pulau Neraka yang seperti iblis. Masih baik kita keburu datang untuk mencegah perbuatanmu yang buruk!”

Mendengar ini, Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya menjadi terkejut bukan main. Jarang ada orang yang mengenal Ketua Pulau Neraka, apalagi hanya dua orang pemuda remaja ini.

“Kalian siapa, bocah lancang?” bentaknya.

“Kami adalah orang-orang yang akan menghabiskan riwayatmu, Hek-tiauw Lo-mo. Kami adalah Sepasang Rajawali Putih!”

Mendengar julukan yang tak pernah didengar sebelumnya ini, Hek-tiauw Lo-mo mendongkol. Tentu bocah ini sengaja menggunakan julukan Rajawali Putih untuk mempermainkannya, karena dia sendiri berjuluk Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam).

“Keparat, bersiaplah untuk mampus!” bentaknya tanpa peduli lagi akan nama mereka dan dia sudah memberi isyarat kepada para anak buahnya.

Belasan orang itu maju mengepung dua orang pemuda itu yang tetap bertangan kosong. Akan tetapi begitu mereka menyerbu ke depan, dua orang pemuda itu mengeluarkan suara melengking seperti dua ekor rajawali, dan Ketua Pulau Neraka menjadi bengong dan kaget melihat betapa dua orang pemuda itu kini bergerak secepat burung-burung rajawali. Mereka berkelebat ke sana-sini dan berturut-turut robohlah empat orang anak buah Pulau Neraka tanpa mereka itu tahu bagaimana mereka dirobohkan karena cepatnya gerakan dua orang pemuda itu!

Ceng Ceng sendiri memandang kagum. Kini dia melihat Ketua Pulau Neraka melepaskan tali jala dan maju sendiri menyerbu, setelah melolos sebatang cambuk baja lemas yang tadinya membelit pinggangnya yang besar.

Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika cambuk itu menyambar-nyambar ganas mengikuti berkelebatnya bayangan dua orang pemuda itu. Hebat memang tenaga Hek-tiauw Lo-mo dan cambuk panjang itu dahsyat sekali. Namun dengan lincah, dua orang pemuda itu dapat mengelak dengan loncatan-loncatan yang tampaknya tubuh mereka itu meloncat ke sana-sini seperti kilat menyambar.

Ceng Ceng meronta setelah melihat tali jala tidak dipegang lagi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dari dalam jala, dia menarik tali yang mengikat jala dan perlahan-lahan dia dapat membebaskan diri, Setelah bebas, dengan pedang diputar ganas dia menyerbu dan menyebar racun di antara para anak buah Pulau Neraka.

Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo menjadi khawatir sekali. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan betapa dua orang pemuda itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Ketika dia menggunakan sin-kang sekuatnya di kanan kiri mendorong ke depan, pemuda yang lebih tua menyambut dorongan tangan itu dengan tangan kanannya.

“Dukkk!”

Hek-tiauw Lo-mo meloncat mundur dan mukanya menjadi pucat. Dia mengenal ilmu sin-kang Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang membuat lengan kirinya terasa dingin sekali.

“Pulau Es....!”

Serunya dan kini matanya terbelalak lebar. Dia ingat akan dua orang putera Majikan Pulau Es yang pernah ditawannya dan dua orang anak itu berhasil melarikan diri dengan menunggang dua ekor burung rajawali putih.

“Kiranya kalian....”

Dua orang pemuda itu memang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Mereka hanya tersenyum dan kini Hek-tiauw Lo-mo maklum bahwa kalau sampai ayah atau ibu dua orang pemuda itu ikut datang, dia dan anak buahnya akan celaka. Maka dia bersuit nyaring lalu meloncat ke belakang, dan larilah Ketua Pulau Neraka ini diikuti oleh sisa anak buahnya.

Kian Lee dan Kian Bu tidak mengejar. Kian Bu berpaling memandang Ceng ceng yang masih berdiri dengan pedang di tangan.

“Syukur kau telah selamat, Nona,” kata Kian Bu yang lebih berani menghadapi seorang wanita daripada kakaknya. “Dan selamat berjumpa untuk yang ke dua kalinya. Kita saling bertemu untuk pertama kali di pasar kuda itu. Ingat, bukan? Perkenalkan, namaku adalah Suma Kian Bu dan ini adalah kakakku, Suma Kian Lee. Bolehkah kami mengetahui namamu?”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar