FB

FB


Ads

Selasa, 17 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 052

Gak Bun Beng menggelengkan kepalanya perlahan.
“Agaknya tidak mungkin, Goanswe. Sudah belasan tahun saya tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw. Betapapun juga, saya akan melakukan penyelidikan.”

“Berita itu mula-mula muncul dari Shen-yang, kemudian di sekitar daerah sebelah selatan kota raja. Kesanalah kalau engkau hendak melakukan penyelidikan, Taihiap.”

“Baik, hari ini juga saya akan berangkat setelah saya pamit kepada Puteri Syanti Dewi.”

Setelah tiba di benteng, Gak Bun Beng segera menemui Syanti Dewi. Akan tetapi puteri itu tidak berada di dalam kamarnya dan menurut pelayan, puteri itu sejak Gak Bun Beng dan Jenderal Kao berangkat, semalam suntuk tidak memasuki kamarnya dan berada di dalam taman. Bahkan para pelayan yang hendak menemaninya disuruh pergi semua.

Cepat Bun Beng memasuki taman dan dengan langkah perlahan dia menghampiri puteri yang sedang duduk menutupi muka dengan saputangan yang basah air mata. Agaknya puteri itu menangis. Bun Beng mengerutkan alisnya dan menduga-duga. Selama dalam perjalanan yang amat susah payah, puteri yang sebetulnya lemah itu telah memperlihatkan sikap yang amat tabah dan tahan uji, tahan menderita, dan baru sekarang dia melihat puteri itu berduka dan menangis, bahkan, katanya semalam suntuk tidak meninggalkan taman itu!

“Dewi....!”

Saputangan basah itu terlepas, muka yang agak pucat dengan mata merah itu tampak, menengok, lalu dia meloncat, lari menghampiri sambil mengeluh panjang,

“Paman...., ahhh, Paman....!” Syanti Dewi menubruk dan merangkul leher Bun Beng, menangis diatas dada pendekar itu.

Bun Beng mengelus rambut kepala yang halus itu, berkali-kali menarik napas panjang dan memejamkan kedua matanya, kemudian baru ia berkata lirih,

“Aih, Dewi, kau kenapakah? Semalam engkau berada di taman dan engkau.... menangis? Apa yang menyusahkan hatimu? Apakah engkau masih berduka karena kematian adikmu Candra Dewi?”

Syanti Dewi terisak-isak dan mempererat pelukannya, kemudian dia melepaskan rangkulannya, memandang wajah pendekar itu, berusaha tersenyum akan tetapi kelihatan makin mengharukan.

“Maafkan aku, Paman....! Tentu saja aku masih berduka kalau teringat kepada Adik Candra, akan tetapi semalam aku.... aku cemas sekali memikirkan Paman....”

Bun Beng tersenyum dan kembali jantungnya seperti ditusuk. Betapa besar kasih sayang dara ini kepadanya! Mencemaskan keadaannya sampai tidak tidur semalam suntuk. Makin terasa olehnya betapa Puteri Bhutan ini mencintanya, makin tidak enaklah rasa hati Gak Bun Beng, apalagi dia juga merasakan betapa hatinya tertarik dan di situ terdapat kecondongan cinta kasih yang amat besar terhadap dara ini, seolah-olah pencurahan kasih sayangnya yang gagal dan terputus terhadap Milana kini dibelokkan kearah Syanti Dewi!

Bun Beng memaksa senyum untuk menutupi perasaan hatinya.
“Dewi, kau lucu sekali. Mengapa mengkhawatirkan aku?”

“Ada dua hal yang membuat aku merasa khawatir sekali dan yang membuat aku menangis, Paman. Sampai saat inipun, biar Paman telah kembali dengan selamat, namun masih ada hal ke dua yang mencemaskan hatiku. Yang pertama, tadinya aku khawatir Paman akan celaka dan ternyata Paman telah kembali dengan selamat. Akan tetapi ada hal ke dua....” Kembali Syanti Dewi menundukkan muka menahan tangisnya.

“Ada apakah, Dewi? Katakanlah kepadaku.”

“Aku.... aku khawatir.... bahwa Paman.... Paman akan meninggalkan aku....”

“Ah, Dewi, mengapa engkau mengkhawatirkan hal itu?”

Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu memegang kedua lengan pendekar itu, wajahnya berseri, matanya bersinar penuh harapan.

“Jadi Paman tidak akan meninggalkan aku? Paman, berjanjilah bahwa Paman tidak akan pernah meninggalkan aku, bahwa kita tidak akan saling berpisah!”






Bun Beng menghela napas panjang.
“Aihh, bukan begitu maksudku, Dewi. Mengapa engkau mengkhawatirkan perpisahan antara kita yang memang sudah semestinya? Biarpun engkau sudah kuanggap sebagai keponakan sendiri, akan tetapi kenyataannya adalah bahwa kita bukanlah sanak kadang, bukan keluarga. Antara kita tidak ada ikatan keluarga, dan memang aku akan melanjutkan perjalananku, meninggalkan engkau di sini bersama Jenderal Kao yang menganggap kau sebagai anak sendiri....”

“Tidak....! Aku ikut denganmu, Paman.”

Bun Beng menggeleng kepala.
“Aku seorang yang hidup sebatangkara, tidak tentu tempat tinggalku, tidak tentu makanku, mana mungkin engkau ikut?”

“Biar! Aku akan ikut kemana pun engkau pergi!”

“Perjalanan hidupku hanyalah menghadapi kesengsaraan belaka....”

“Aku tidak takut! Aku bersedia menderita sengsara di sampingmu, Paman.”

“Akan tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan, Dewi! Diantara kita tidak ada ikatan apa-apa, tidak ada hubungan keluarga dan....”

“Siapa bilang tidak ada ikatan apa-apa, Paman?”

“Maksudmu....”

“Tidak terasakah oleh Paman akan adanya ikatan yang amat erat diantara kita, ikatan batin yang amat kuat? Dan Paman masih mengatakan tidak ada ikatan apa-apa? Mengapa aku, seorang puteri yang biasanya hidup serba mewah dan mudah, dapat melakukan perjalanan yang sukar dan menderita dengan hati tetap bergembira dan berbahagia di samping Paman? Bukankah itu membuktikan adanya ikatan yang amat luar biasa diantara kita?”

“Maksudmu....?”

“Maksudku....?” Wajah itu pucat dan dari kedua matanya mengalir air mata di pipinya, akan tetapi pandang matanya bersinar-sinar. “Masih perlukah kujelaskan lagi? Mengapa aku gelisah kalau Paman pergi? Mengapa aku setengah mati kalau Paman sakit? Mengapa aku berbahagia kalau berada di samping Paman? Perlukah kujelaskan lagi, Paman? Perlukah....?” Syanti Dewi tersedu.

Wajah Bun Beng pucat. Inilah yang ditakutinya, yang dikhawatirkannya selama ini. Bibirnya bergetar, alisnya berkerut, seluruh tubuhnya terasa menggigil.

“Kau.... kau....?”

“Aku cinta padamu, Paman! Kurasa Paman tidak buta untuk melihat hal itu....”

“Aku tahu.... aihh, Dewi.... aku tahu.... tapi....”

“Paman....!”

Syanti Dewi merangkul dan menangis di dada pria itu, dan Bun Beng juga memeluknya, mengelus rambutnya, mukanya ditengadahkan, menghadap ke angkasa seolah-olah dia mohon kekuatan dari atas, akan tetapi dia merasa ngeri untuk menyaksikan kenyataan ini sehingga kedua matanya terpejam. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling peluk sambil berdiri dan tak bergerak seperti telah berubah menjadi arca.

Ketika Syanti Dewi yang tadinya menangis di dada pria itu merasa betapa tubuh itu bergoyang-goyang, dia mengangkat mukanya dan betapa kaget hatinya melihat Bun Beng menitikkan air mata! Pendekar sakti itu menangis!

“Paman....!”

Dia berseru kaget karena hal ini merupakan hal yang amat aneh dan luar biasa. Sukar dapat membayangkan betapa pendekar yang sakti itu, pria yang gagah perkasa, kuat dan budiman, dapat menangis!

Gak Bun Bengg memejamkan kedua matanya, melepas pelukannya dan menghapus air mata di pipi dengan ujung lengan bajunya, kemudian terdengar suaranya agak parau,

“Syanti Dewi, duduklah dan mari kita bicara baik-baik. Tenanglah dan jangan membiarkan perasaan mencengkeram hati kita.”

Dengan pandang mata khawatir Syanti Dewi melepaskan pelukannya lalu duduk diatas bangku taman itu. Bun Beng juga duduk di sampingnya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian setelah berulang kali menarik napas panjang, Bun Beng berkata, suaranya sudah tenang dan biasa kembali,

“Dewi, aku merasa berterima kasih dan terharu sekali bahwa engkau, seorang puteri kerajaan yang cantik jelita dan masih muda sudi memperhatikan dan menaruh hati kasih kepada seorang laki-laki seperti aku, miskin dan pengembara, sengsara dan sudah hampir tua....”

“Paman Gak Bun Beng! Apakah cinta kasih itu harus disertai usia dan kedudukan seseorang?”

“Tentu saja tidak, Dewi. Akan tetapi cinta kasih antara pria dan wanita yang menuju kepada perjodohan, sudah tentu harus memperhatikan hal itu, demi kebahagiaan dan kelangsungan perjodohan itu sampai selama hidupnya. Engkau masih muda, berdarah bangsawan, dan....”

“Cukup, Paman! Aku tidak mau mendengar hal itu lagi. Aku sekarang adalah seorang gadis yang tidak mempunyai apa-apa, yang sebatang kara pula seperti Paman.... dan aku.... aku tidak sanggup kalau harus hidup berpisah dari samping Paman.”

“Dewi....! Pikirlah baik-baik, tidak mungkin keadaan kita ini dilanjutkan. Hari ini juga aku datang menemuimu untuk berpamit. Aku akan pergi melanjutkan perjalananku, melanjutkan hidupku yang merana, dan aku tidak akan begitu kejam untuk menyeretmu ke dalam kehidupanku yang penuh derita ini. Aku hendak pergi, dan aku sudah membicarakan tentang dirimu kepada Jenderal Kao. Dialah yang akan mengatur kesemuanya demi kebaikanmu, Dewi....”

Gak Bun Beng sudah bangkit berdiri, akan tetapi Syanti Dewi juga meloncat bangun dan menubruknya, memegangi lengannya sambil menangis.

“Jangan, Paman.... Jangan tinggalkan aku.... ah, jangan tinggalkan aku, Paman.... aku tidak akan kuat menanggungnya....”

Bun Beng menjadi terharu sekali. Dia benar-benar merasa tidak tega dan berat melihat keadaan dara itu, dan dia hanya dapat mengelus rambut dara itu dengan hati seperti diremas-remas rasanya. Tidak, pikirnya, dia tidak boleh menurutkan kelemahan hatinya, dia harus ingat akan masa depan gadis ini!

“Jangan begitu, Dewi. Aku melakukan ini demi masa depanmu sendiri, aku harus pergi, sekarang juga. Jenderal Kao akan mengurus segala keperluanmu, tinggal engkau rundingkan dengan dia yang menganggap kau sebagai anaknya. Dia dapat mengantarmu kembali ke Bhutan atau kota raja menghadap Kaisar....”

“Paman.... Paman Gak.... apakah Paman tidak cinta kepadaku?”

“Demi Tuhan.... satu-satunya orang yang kusayang sepenuh hatiku pada saat ini adalah engkau seorang, Dewi. Akan tetapi, ngeri aku membayangkan untuk mencintamu dengan disertai keinginan memiliki dirimu lahir batin. Aku.... ah.... agaknya luka di hatiku masih belum sembuh, aku belum berani lagi mencinta wanita.... pengalaman yang lalu.... ah, kau mengerti, Dewi. Betapapun juga, kalau ada orang yang kusayang, kukasihi sepenuh hatiku, selain dia.... ah, kiranya orang itu hanya engkau, Dewi....”

Gak Bun Beng memeluk erat-erat, seolah-olah dia tidak ingin lagi melepaskan dara itu, kemudian mencium dahi yang halus itu, lalu tiba-tiba dia melepaskan rangkulannya dan meloncat pergi, dalam sekejap mata saja lenyap dari pandangan Syanti Dewi, hanya suaranya saja yang terdengar, mengandung rintihan jiwa yang menggetar,

“Selamat tinggal, Dewi....!”

“Paman Gak....!”

Syanti Dewi menjerit dan lari kesana kemari mencari-cari, namun pendekar itu telah lenyap dan akhirnya dara ini menjatuhkan diri diatas tanah, berlutut sambil menangis sampai mengguguk. Sampai lama sekali dara itu menumpahkan kedukaan hatinya seperti itu, sampai lupa waktu.

“Syanti Dewi, anakku.... mengapa engkau berduka seperti ini?”

Syanti Dewi mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Jenderal Kao Liang berdiri di situ, mendengar jenderal itu tidak lagi menyebutnya tuan puteri, bahkan menyebutnya “anakku”, hatinya yang penuh kecewa dan duka itu menjadi terharu.

“Paman....!”

Serunya sambil berlari ke depan lalu menjatuhkan diri berlutut didepan jenderal itu sambil menangis.

Jenderal Kao Liang mengangkatnya bangun dan membiarkan gadis itu menangis dengan muka diatas dadanya, sambil mengelus rambut itu dengan hati penuh kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.

“Tenanglah, anakku. Jangan meneruskan hati yang gelisah dan duka. Engkau tentu menangisi kepergian Gak-taihiap, bukan?”

Tanpa menjawab, Syanti Dewi mengangguk. Jenderal itu menghela napas panjang lalu berkata,

“Dia memang seorang yang amat luar biasa, seorang pendekar besar yang patut dijunjung tinggi, patut dihormati, bahkan patut pula menerima kasih sayang dara seperti engkau. Aku mengerti, seorang gagah seperti dia tentu tidak mau mempergunakan kesempatan untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi jangan kau khawatir, Anakku. Jodoh tidak dapat dipaksakan, juga tidak dapat dipisahkan. Kalau memang sudah berjodoh, tentu kelak dapat berkumpul kembali.”

Sambil menghibur, Jenderal Kao Liang mengajak puteri itu kembali kedalam rumah sehingga akhirnya reda juga kedukaan hati puteri itu. Akan tetapi setelah dia tidak menangis lagi, Syanti Dewi lalu mengajukan permintaan kepada Jenderal Kao Liang untuk mengantarkannya ke kota raja, ke istana Puteri Milana!

“Apakah kau tidak ingin kembali saja ke istanamu di Bhutan?” Jenderal Kao Liang bertanya.

“Tidak, saya ingin bertemu dan bicara dengan Puteri Milana!” jawab Syanti Dewi dengan tegas.

Dia tidak mengatakan kepada jenderal itu bahwa dia ingin bertemu dengan Puteri Milana bukanlah untuk keperluan dirinya sendiri, melainkan untuk menegur puteri itu yang telah membuat hidup Gak Bun Beng menjadi sengsara! Dia ingin menegur Puteri Milana!

“Baiklah, Syanti Dewi. Akan tetapi kau bersabarlah, karena tidak mungkin aku mengantarmu sekarang. Aku sudah menyusun pelaporan ke kota raja dan aku akan menunggu jawaban pelaporan tentang pemberontakan di sini dari Kaisar. Kalau jawaban itu tiba, tentu aku harus menghadap ke sana dan engkau sekalian akan kuantarkan kepada Puteri Milana.”

Terpaksa Syanti Dewi menanti dengan sabar dan menekan kedukaan hatinya yang selalu mengenangkan Gak Bun Beng, pendekar sakti yang amat dikagumi dan yang telah menjatuhkan hatinya itu.

**** 052 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar