FB

FB


Ads

Selasa, 17 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 051

Tengah malam telah lewat. Udara amat dingin membuat para penjaga yang berkumpul di gardu benteng mengantuk dan mereka berusaha untuk melawan dingin dengan api unggun besar. Perang antara dinginnya hawa udara dan panasnya api unggun mendatangkan kehangatan yang membuat orang cepat mengantuk, apalagi setelah bertugas menjaga dan meronda sehari semalam menanti penggantian giliran besok pagi.

Banyak diantara para penjaga itu yang mendengkur tanpa dapat ditahan lagi, ada yang berbaring begitu saja dibawah gardu, ada yang tidur sambil bersandar gardu, dan yang belum tidur rata-rata sudah melenggut digoda kantuk yang berat. Mereka sudah malas meronda. Pula, perlu apa diadakan perondaan secara ketat? Benteng itu penuh pasukan tentara, siapa berani mengantar nyawa memasuki benteng?

Kelengahan para penjaga karena ngantuknya ini makin memudahkan dua orang yang bergerak seperti iblis saja di malam hari itu. Dengan gerakan ringan bukan main mereka meloncat keatas pagar tembok, lalu melayang turun dan cepat menyelinap diantara bangunan-bangunan didalam benteng, menghindarkan diri dari pertemuan dengan penjaga-penjaga yang bertugas di dalam.

Dua sosok bayangan orang itu berkelebatan kadang-kadang naik keatas genteng dan berloncatan, kemudian melayang turun lagi dan menyelinap diantara bangunan-bangunan rumah asrama para pasukan tentara. Dari gerak-gerik mereka, jelas bahwa selain memiliki kepandaian tinggi, juga dua orang ini sudah hafal akan keadaan di situ.

Tentu saja demikian karena seorang diantara mereka ini adalah Jenderal Kao Liang dan yang seorang lagi adalah Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Seperti telah diceritakan dibagian depan, Jenderal Kao Liang dibantu Gak Bun Beng pergi ke benteng yang dikuasai oleh Panglima Kim Bouw Sin, untuk menumpas para pemberontak.

Menyetujui pendapat Bun Beng agar tidak mendatangkan perang saudara secara terbuka antara pasukan-pasukan sendiri, maka jenderal itu bersama Bun Beng memasuki benteng berdua saja secara diam-diam dan menggunakan waktu malam untuk menyelidik.

Sudah tentu saja andaikata Jenderal Kao masuk dari pintu gerbang, para penjaga akan mengenalnya dan tidak akan ada yang berani melarangnya, akan tetapi kalau hal itu dilakukan dan Kim Bouw Sin mendengar akan kedatangannya, tentu panglima yang memberontak itu akan mengadakan persiapan untuk mencelakakannya.

Maka mereka berdua memasuki benteng malam itu secara diam-diam, dan berkat pengetahuan jenderal itu tentang benteng di mana dahulu dia pernah menjadi komandannya, maka mereka berdua dapat dengan mudah menyelinap masuk dan langsung menuju ke tempat kediaman Panglima Kim Bouw Sin.

Akhirnya, Jenderal Kao dan Bun Beng sudah tiba di balik pintu ruangan besar dimana Panglima Kim Bouw Sin tampak sedang berunding dengan belasan orang, dan kelihatan panglima itu marah-marah.

“Kalian sungguh-sungguh tidak ada gunanya!” Agaknya entah sudah berapa puluh kali dia memaki seperti itu. “Sekarang, semua gagal dan kita akan celaka.”

“Kim-ciangkun, apakah tidak sebaiknya kalau kita mengirim pasukan yang lebih kuat dan diam-diam berusaha lagi untuk....”

“Jangan sembrono! Setelah kegagalan itu, tentu Kao Liang akan berjaga dengan teliti dan kuat. Lebih baik kita cepat melaporkan kepada Pangeran Liong dan kalian yang ikut membantu di sumur maut harus cepat menyembunyikan diri sehingga andaikata dia datang memeriksa, dia tidak akan menemukan bukti apa-apa disini.”

“Bagus sekali siasatmu, akan tetapi rahasiamu telah terbuka, Kim Bouw Sin! Pengkhianat hina, pemberontak busuk, menyerahlah kalian!”

Bentakan suara Jenderal Kao yang amat nyaring ini tentu saja amat mengejutkan semua orang yang berada didalam ruangan itu. Mereka meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat kearah jendela yang tiba-tiba bobol dari luar diikuti melayangnya tubuh dua orang yang kini sudah berdiri di situ memandang mereka dengan sinar mata berapi.

Kim Bouw Sin tidak mengenal siapa adanya laki-laki gagah berpakaian sederhana bercaping lebar yang berdiri di samping Jenderal Kao itu, akan tetapi mengerti bahwa rahasianya telah terbuka, dia cepat berseru,

“Bunuh mereka!”

Sebelum menyerbu masuk, Jenderal Kao yang melihat betapa diantara belasan orang itu terdapat Kim Bouw Sin dan tiga orang panglima pembantunya, juga terdapat dua orang yang dia lihat ikut mengeroyoknya disumur maut, telah membisiki Gak Bun Beng bahwa mereka berdua harus dapat menangkap hidup atau mati Kim Bouw Sin, tiga orang pembantunya, dan dua orang pengeroyok itu.

Yang lain-lain hanyalah kaki tangan yang tidak begitu penting, akan tetapi tiga orang pembantu dan dua orang pengeroyok itu merupakan saksi penting sekali akan pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong seperti dapat dibuktikan dari perundingan mereka tadi. Gak Bun Beng mengangguk dan menyerbulah mereka ke dalam ruangan itu.

Aba-aba yang dikeluarkan oleh mulut Kim Bouw Sin tidak perlu diulang kembali karena semua yang hadir dalam perundingan itu mengenal belaka siapa adanya laki-laki berusia lima puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa dan berpakaian panglima itu.

Sungguhpun kebanyakan diantara mereka tidak ada yang mengenal laki-laki yang lebih muda, berusia empat puluh tahunan berpakaian sederhana itu, namun mereka dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah kaki tangan Jenderal Kao. Hanya dua orang yang ikut menyerbu ke sumur maut mengenal Bun Beng dan mereka ini menjadi begitu kaget dan ketakutan sehingga ketika Kim Bouw Sin dan yang lain-lain mencabut senjata dan menyerbu, dua orang ini lari menyelinap dan berusaha pergi dari tempat berbahaya itu.

Pada saat itu, Jenderal Kao Liang sudah mencabut pedang panjangnya dan dengan gagah perkasa menghadapi serbuan lima enam orang, sedangkan Gak Bun Beng dengan tangan kosong sedang menghadapi hujan senjata para kaki tangan Kim Bouw Sin yang rata-rata terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi.

Akan tetapi melihat dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao sedang berusaha menyelinap pergi, Bun Beng melepaskan topi caping lebarnya dan sekali tangannya bergerak, topi caping lebar itu meluncur, mengeluarkan suara berdesing, berputar-putar seperti gasing dan menyambar ke arah lutut kedua orang yang melarikan diri itu dari belakang.

“Crak-crakkk!”






Dua orang itu mengeluarkan suara menjerit dan roboh terjungkal karena kedua lutut kaki mereka seperti dibacok senjata tajam, membuat mereka berdua lumpuh tak dapat bangun kembali sedangkan mata mereka terbelalak memandang ke arah benda yang masih berputaran dan kini melayang kembali ke arah Gak Bun Beng.

Caping itu memang dilemparkan dengan gerakan istimewa pergelangan tangan sehingga berputar amat cepatnya, maka ketika menyentuh lutut kedua orang itu, dalam keadaan terputar seperti golok tajamnya dan bersentuhan dengan lutut mereka itu membuat caping tadi yang masih berputar cepat itu berbalik arah dan melayang kembali ke arah pemiliknya. Memang hal ini telah diperhitungkan oleh Bun Beng melalui latihan-latihan yang tekun bertahun-tahun lamanya.

Dengan tenang Bun Beng menghadapi pengeroyokan orang banyak, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas ketika dia melihat capingnya melayang kembali dan menyambar benda itu, terus dipakai diatas kepalanya dan mulailah dia menggunakan kaki tangannya menghadapi pengeroyok.

Jenderal Kao yang dikeroyok oleh Kim Bouw Sin sendiri bersama kaki tangannya, mengamuk hebat. Pedangnya bergerak seperti seekor naga bermain-main di angkasa, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi segulungan sinar yang menyilaukan mata tertimpa cahaya lampu di ruangan itu dan dalam belasan jurus saja dia telah berhasil merobohkan dua diantara tiga panglima pembantu Kim Bouw Sin yang mengakibatkan seorang tewas dan yang seorang lagi setengah mati karena kaki kanannya buntung dan pundaknya terluka parah.

Gak Bun Beng yang sudah lama sekali, belasan tahun sudah, tidak pernah melukai orang apalagi membunuh, merasa ngeri juga maka dia mengambil keputusan untuk cepat mengakhiri pertempuran itu tanpa terlalu banyak membunuh orang. Tiba-tiba dari dalam perutnya, melalui kerongkongannya keluar pekik melengking yang luar biasa sekali, sedangkan kedua lengannya didorongkan ke depan.

Menyambarlah angin-angin pukulan yang berhawa dingin, dan semua pengeroyoknya yang berjumlah delapan orang itu roboh semua, sebagian karena sudah lumpuh mendengar pekik melengking itu dan sebagian lagi roboh oleh dorongan angin pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa itu.

Kemudian tubuhnya mencelat kearah Jenderal Kao yang sedang mengamuk dan dengan beberapa kali menggerakkan tangan dan kakinya, robohlah seorang panglima pembantu dan dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao, yaitu dua orang yang pernah mengeroyok jenderal itu di sumur maut.

Jenderal ini kagum dan juga girang sekali, pedangnya mendesak hebat kepada bekas pembantunya dan betapapun Kim Bouw Sin mempertahankan dengan pedangnya, namun tidak sampai sepuluh jurus dia roboh, pedangnya terlepas dari pegangan dan lehernya sudah dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri Jenderal Kao!

Melihat robohnya para panglima itu, sisa para pengeroyok menjadi jerih dan cepat melarikan diri keluar dari ruangan sambil berteriak-teriak minta bantuan. Dari luar berbondong-bondong masuklah para pengawal dari penjaga yang bersenjata lengkap.

“Gak-taihiap, lekas bawa dua orang itu!”

Bun Beng sendiri bingung menghadapi keadaan yang amat gawat itu. Kalau semua pasukan datang menyerbu, mereka berdua mana mungkin mampu melawan puluhan ribu orang tentara? Maka dia tidak banyak bertanya, cepat dia menyambar dua orang yang dirobohkannya tadi, menotok mereka lalu mengempit tubuh mereka, mengikuti Jenderal Kao yang sudah memanggul tubuh Kim Bouw Sin dan meloncat keluar dari ruangan itu melalui jendela.

Terdengar suara anak panah yang banyak sekali mengaung dan berdesir menyambar, namun Jenderal kao dapat meruntuhkannya dengan putaran pedangnya sedangkan Bun Beng sudah melesat ke atas dengan cepat sekali, diikuti oleh Jenderal Kao.

“Mari kau ikuti aku!”

Jenderal Kao berkata dan keduanya lalu berloncatan melalui atap rumah-rumah di dalam benteng itu menuju ke menara! Dengan kecepatan luar biasa keduanya dapat tiba di menara. Belasan orang penjaga menara ketika melihat bahwa yang muncul adalah Jenderal Kao yang mengempit Panglima Kim Bouw Sin dan seorang pria gagah yang membawa dua orang, menjadi terkejut, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Hai, para penjaga! Aku Jenderal Kao datang untuk membasmi pemberontakan dan pengkhianatan. Hayo kalian lekas bunyikan tanda agar seluruh perajurit berkumpul!” dengan suara yang nyaring dan penuh wibawa jenderal itu membentak, lalu menambahkan. “Ataukah kalian hendak ikut memberontak pula dan ingin kubunuh semua disini?”

Para penjaga itu menjadi ketakutan, apalagi melihat bahwa panglima mereka telah tidak berdaya. Dua orang diantara mereka cepat meniup terompet dan memukul tambur tanda berkumpul bagi seluruh penghuni benteng itu.

Sementara itu pagi sudah mulai tiba, biarpun cuaca masih remang-remang, namun tidaklah segelap tadi. Para perajurit yang sedang tidur lelap itu terbangun dan menjadi kaget sekali, cepat-cepat mereka berpakaian dan berlari-lari menuju ke lapangan terbuka dibawah menara.

Dalam keadaan hiruk-pikuk itu, tentu saja berita tentang penyerbuan dua orang yang menggegerkan itu diterima dalam keadaan bingung dan simpang-siur oleh para perajurit sehingga mereka itu tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi dan menyangka bahwa tanda berkumpul itu tentu ada hubungannya dengan berita kekacauan itu.

Karena sudah terlatih, dalam waktu singkat saja semua perajurit telah berkumpul rapi di lapangan itu, menghadap ke menara dipimpin oleh perwira yang mengepalai pasukan masing-masing.

Dari atas menara, Jenderal Kao melihat bahwa tidak ada seorangpun panglima yang hadir. Dari atas dia dapat melihat jelas karena para perajurit yang bertugas bagian penerangan telah memasang banyak lampu dan obor untuk menerangi tempat itu. Padahal Kim Bouw Sin mempunyai lima orang pembantu sebagai panglima-panglima di benteng itu.

Tiga orang diantara yang lima itu ikut mengkhianati pemerintah dan telah dirobohkan, akan tetapi yang dua lagi, Panglima Kwa dan Panglima Coa, tidak nampak hadir. Apakah yang dua itupun ikut memberontak dan dalam keadaan berbahaya itu telah melarikan diri?

Setelah semua perajurit telah berkumpul, Jenderal Kao membawa Panglima Kim Bouw Sin yang setengah pingsan itu kedepan menara sehingga tampak oleh semua perajurit karena dibagian depan menara itu telah dipasangi lampu oleh para penjaga yang menjadi bingung sekali melihat betapa panglima mereka ditawan oleh Jenderal Kao yang terkenal galak dan ditakuti juga disegani dan dihormati semua perajurit itu.

Melihat munculnya Jenderal Kao yang memegang tengkuk Panglima Kim Bouw Sin dan memaksa bekas komandan benteng itu berdiri di sampingnya, terkejutlah semua perajurit dan di bawah menjadi bising.

“Semua tenang....!”

Suara Jenderal Kao bergema sampai jauh di bawah menara dan seketika keadaan menjadi hening, tidak ada seorangpun yang berani membuka suara. Hati jenderal itu menjadi lega menyaksikan ketaatan ini. Hal ini hanya berarti bahwa belum semua perajurit dipengaruhi oleh rencana pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong. Dan diapun bersyukur sekali bahwa dia menyetujui rencana Gak Bun Beng untuk mengakhiri urusan ini secara menyelundup kedalam benteng, dibantu oleh pendekar yang sakti itu.

Kalau dia datang bersama sepasukan tentara, tentulah terjadi salah paham dan pasukan benteng itu akan dapat mudah dibujuk untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi sekarang, setelah semua panglima yang memimpin pemberontakan dirobohkan dan ditawan, mereka tidak sempat lagi membujuk dan para perajurit yang kebingungan baru bangun tidur itu tentu saja tidak berniat untuk memberontak karena yang muncul hanyalah seorang saja, yaitu Jenderal Kao Liang yang mereka takuti dan hormati.

Setelah melihat semua perajurit tenang dan suasana menjadi hening, jenderal itu bicara dan suaranya menggema dari atas menara,

“Para perwira dan para perajurit yang gagah perkasa! Diantara kalian tentu ada yang sudah tahu, ada yang dapat menduga dan mungkin ada pula yang belum tahu bahwa Panglima Kim Bouw Sin juga menjadi komandan kalian, yang menjadi pembantuku yang kupercaya, ternyata telah berkhianat dan menyelewengkan kalian kearah pemberontakan yang amat hina dan rendah!”

Jenderal itu berhenti sebentar dan melihat banyak mata memandang dengan ketakutan. Cepat dia menyambung,

“Kalian tahu apa yang akan menimpa kalian kalau hal itu terlaksana? Kalian akan dibasmi, dihancurkan dan masing-masing akan menerima hukuman berat sekali, dicap sebagai pengkhianat dan pemberontak yang amat rendah sehingga sampai beberapa keturunan nama kalian menjadi busuk, bahkan nama nenek moyang terbawa-bawa kedalam kehinaan! Untung bahwa aku mengetahui hal itu dan cepat malam ini aku turun tangan menangkap pengkhianat Kim Bouw Sin ini bersama kaki tangannya. Dan aku tahu bahwa kalian tidak berdosa, bahwa kalian hanya terbawa-bawa saja oleh atasan yang menyeleweng, oleh karena itu, kalau kalian mau insyaf dan mulai saat ini tunduk dan setia kepada pemerintah, aku Jenderal Kao Liang akan menanggung bahwa kalian tidak akan dihukum dan tidak dianggap berdosa. Bagaimana pendapat kalian?”

Hening sejenak, keheningan yang amat menegangkan hati Gak Bun Beng karena pendekar ini maklum bahwa kalau sampai jenderal itu gagal menguasai para perajurit ini sehingga mereka memberontak, tentu dia dan Jenderal Kao tidak dapat meloloskan diri lagi dari kepungan puluhan ribu orang perajurit itu!

“Hidup Jenderal Kao....!”

“Basmi pemberontak....!”

Gak Bun Beng bernapas lega dan diam-diam dia kagum sekali atas ketenangan dan kepribadian jenderal itu. Jenderal Kao mengangkat kedua tangannya dan semua kebisingan yang di bawah berhenti.

“Yang memimpin pemberontakan adalah Kim Bouw Sin dan tiga orang pembantunya, mereka sudah kurobohkan, dibantu pula oleh tenaga-tenaga dari luar benteng. Akan tetapi aku tidak melihat adanya Panglima Kwa dan Panglima Coa, kemanakah kedua orang itu?”

Terdengar jawaban dari bawah, dari mulut seorang perwira,
“Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun telah ditangkap dan ditawan oleh Kim Bouw Sin!”

“Ahh!” Jenderal Kao Liang berseru. “Lekas bebaskan mereka dan hadapkan kepadaku!”

Dari bawah terdengar suara menyanggupi dan tampak beberapa orang perwira berlari ke dalam rumah tahanan dan tak lama kemudian mereka datang kembali membawa dua orang laki-laki bertubuh tegap yang pakaiannya kusut dan robek-robek, yang tubuhnya banyak luka-luka bekas cambukan. Mereka ini berlari ke depan, dan cepat menjatuhkan diri berlutut dibawah menara, menghadap kearah Jenderal Kao.

“Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun, apa yang terjadi? Mengapa kalian ditangkap oleh Kim Bouw Sin?” Jenderal Kao bertanya.

“Kami berdua menentang pemberontakannya, tidak mau terbujuk, maka kami ditangkap dan kami disiksa untuk mau membantu, akan tetapi kami berdua lebih baik memilih mati daripada harus memberontak,” jawab Kwa-ciangkun.

“Para perwira dan perajurit! Kalian sudah mendengar sendiri. Itulah baru suara seorang perajurit sejati! Maka, untuk sementara waktu ini, aku mengangkat Kwa-ciangkun sebagai komandan benteng ini yang baru dan Coa-ciangkun menjadi wakilnya!”

Kembali terdengar sambutan sorak-sorai, sebagian besar dari para perajurit yang merasa beruntung sekali bahwa mereka yang tadinya terbujuk untuk membantu Kim Bouw Sin, memperoleh pengampunan yang demikian mudahnya.

Baru sekarang mereka melihat kenyataan betapa lemah kedudukan mereka, betapa lemah pemimpin mereka yang mengajak memberontak sehingga dengan munculnya dua orang saja, para pemimpin itu telah dibuat tidak berdaya sama sekali! Kalau mereka terlanjur memberontak, menghadapi pasukan pemerintah dibawah pimpinan seorang panglima seperti Jenderal Kao, tentu mereka akan dibasmi hancur!

Jenderal Kao lalu menyerahkan pimpinan kepada kedua orang panglimanya yang baru. Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun lalu menggunakan kesempatan itu untuk memberi “kuliah” kepada para perajurit sampai hari menjadi terang, sedangkan Jenderal Kao dan Gak Bun Beng menyerahkan para tawanan itu, Kim Bouw Sin dan dua orang kaki tangannya yang akan diajukan sebagai saksi, kepada para penjaga agar mereka itu ditawan dengan kaki tangan dibelenggu.

Akan tetapi ketika mereka turun dari menara dan memasuki ruangan pertempuran tadi, ternyata tiga orang pembantu panglima yang menjadi kaki tangan Kim Bouw Sin telah tewas semua, membunuh diri!

“Ahhh.... saya yang ceroboh, Panglima!” Bun Beng berseru menyesal. “Semestinya mereka itu kutotok lumpuh sebelum kita tinggalkan tadi.”

“Tidak mengapa, Taihiap. Merekapun sudah sepatutnya mampus, manusia-manusia rendah yang hanya mengejar kesenangan tanpa mempedulikan lagi caranya itu sehingga mereka mau saja diperalat oleh Pangeran Liong untuk memberontak. Yang penting adalah Kim Bouw Sin sebagai tokoh utamanya dan dua orang pembantunya itu sebagai saksi karena mereka berdua ikut mengeroyokku di sumur maut.”

Jenderal Kao lalu mengajak dua orang komandan baru untuk berunding, kemudian dia bersama Gak Bun Beng kembali ke bentengnya sendiri dikawal oleh sepasukan istimewa yang membawa Kim Bouw Sin dan dua orang pembantunya itu dalam kereta kerangkeng, karena Jenderal Kao menghendaki agar tiga orang tawanan itu dibawa ke bentengnya agar langsung berada di bawah penjagaannya sendiri menanti saatnya mereka dihadapkan ke kota raja.

Diapun sudah memerintahkan dengan tegas agar mereka bertiga tidak diberi kesempatan untuk membunuh diri, karena di dalam hatinya jenderal ini mengambil keputusan untuk menggunakan mereka bertiga itu untuk membongkar rahasia pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong.

Rasa persahabatan terhadap Bun Beng makin mendalam berakar dihati jenderal yang perkasa itu. Di sepanjang perjalanan kembali ke bentengnya, mereka yang duduk berkuda berdampingan, tiada hentinya bercakap-cakap dan di dalam percakapan ini Jenderal Kao Liang menceritakan tentang keadaannya.

Didalam pelaksanaan tugasnya yang penting, berbahaya, dan di perbatasan yang sunyi dan liar, dia tidak membawa keluarganya, meninggalkan isteri dan tiga orang anaknya di kota raja setelah terjadi hal menyedihkan ketika keluarganya dibawanya dahulu di perbatasan itu.

Di waktu keluarganya ikut bersamanya di benteng perbatasan, puteranya yang sulung, ketika itu baru berusia sepuluh tahun, pada suatu hari telah lenyap ketika anak itu bermain-main di luar benteng seorang diri. Tentu saja Jenderal Kao sudah mengerahkan pasukan mencari-cari, dia sendiripun sudah mencari, mengarungi padang pasir di utara, namun hasilnya sia-sia, puteranya pun tidak dapat diketemukan kembali bahkan mayatnyapun tidak!

Setelah terjadi peristiwa menyedihkan itu, dia lalu mengirim kembali keluarganya ke kota raja dan peristiwa yang sudah terjadi selama belasan tahun yang lalu itu masih saja berbekas di dalam hatinya, kadang-kadang membuatnya termenung memandang padang pasir yang luas, teringat akan nasib puteranya yang dianggapnya tentu telah tewas tak tentu kuburnya itu.

Adapun Gak Bun Beng juga merasa makin kagum terhadap pribadi jenderal ini, yang ternyata selain seorang yang amat setia kepada pemerintah, keturunan orang-orang besar dalam bidang kemiliteran, juga adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berjiwa besar. Maka hatinya pun menjadi lega bahwa dia telah membawa Syanti Dewi kepada jenderal itu. Dan diapun lalu menceritakan tentang diri Syanti Dewi selengkapnya, seperti yang diketahuinya.

“Saya merasa kasihan sekali terhadap Syanti Dewi. Dia seorang puteri raja, akan tetapi nasib membawanya mengalami banyak kesengsaraan lahir batin. Tidak hanya dia terpaksa mentaati kehendak orang tua untuk menikah dengan seorang pangeran tua yang sama sekali belum pernah dijumpainya, akan tetapi juga ternyata bahwa pangeran itu seorang berhati curang, bahkan mungkin sekali, karena hal ini belum dapat terbukti kuat, adalah seorang pengkhianat dan pemberontak. Lebih lagi setelah tiba disini, dia mendengar akan kematian Candra Dewi atau Nona Lu Ceng, adik angkatnya.”

Mendengar disebutnya nama Lu Ceng, Jenderal itu memejamkan matanya sebentar dan merasa betapa jantungnya seperti ditusuk. Nona yang telah mati karena menolongnya itu! Tak pernah dia akan dapat melupakan betapa nona itu benar-benar telah mengorbankan nyawa untuk menebus nyawanya sendiri, karena kalau bukan Ceng Ceng yang menendangnya keluar dari sumur, tentu bukan dara itu melainkan dia yang akan tewas!

“Memang kasihan sekali dia....” katanya, tidak tentu lagi siapa yang dimaksudkan dengan “dia”, puteri itukah atau Ceng Ceng.

“Maka saya mengharapkan kebijaksanaan dan kemurahan hatimu, Kao-goanswe, untuk menerima gadis itu dan melindunginya. Saya hendak pergi melanjutkan perjalanan, dan saya menitipkan Syanti Dewi kepadamu agar kelak dapat kau antarkan dia kepada Puteri Milana....”

“Hemm, kenapa kepada Puteri Milana?” Jenderal itu menatap tajam wajah pendekar itu.

Bun Beng menahan getaran jantungnya dan bersikap tenang dan biasa saja.
“Siapa lagi yang dapat melindunginya selain puteri yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang yang gagah perkasa dan budiman, puteri dari Pendekar Super Sakti itu? Kalau Syanti Dewi berada di bawah perlindungannya, barulah hatiku akan merasa tenang.”

“Baiklah, Taihiap. Syanti Dewi akan kuanggap sebagai anakku sendiri. Anakku ada tiga orang, kesemuanya laki-laki, yang paling besar telah hilang, dan aku akan senang sekali menganggap dia sebagai anakku sendiri. Akan kulindungi dia sampai ada kesempatan bagiku untuk mengantarnya sendiri kepada Puteri Milana.”

Gak Bun Beng seketika mengangkat kedua tangannya memberi hormat dengan wajah berseri-seri.

“Budimu amat besar, dan aku tidak akan melupakannya, Goanswe!”

Jenderal Kao memandang wajah itu makin tajam penuh selidik, kemudian dia menarik napas dan berkata,

“Gak-taihiap, engkau memutarbalikkan kenyataan dan demikian memang sifat pendekar-pendekar budiman. Engkaulah yang telah menyelamatkan nyawaku, kemudian membantuku membasmi pemberontak. Tanpa bantuanmu, takkan begitu mudah urusan ini dapat diatasi. Akan tetapi.... hemm, sungguh aneh sekali.... aneh sekali....!”

Gak Bun Beng yang duduk di atas kudanya disebelah kiri jenderal itu, menengok dan bertanya heran,

“Apakah yang aneh, Kao-goanswe?”

“Taihiap, pernahkah engkau mendengar Jit-hui-houw, tujuh jagoan dari kota Shen-bun?”

Bun Beng memandang penuh pertanyaan, tidak mengerti mengapa jenderal itu menanyakan ini, mengingat-ingat, kemudian menggeleng kepalanya.

“Dan kurang lebih dua tahun yang lalu, pernahkah Taihiap tinggal di kota Shen-yang?”

“Shen-yang dekat kota raja?”

Jenderal itu mengangguk.

“Tidak pernah, Goanswe. Belasan tahun saya mengembara di gunung-gunung dan dusun-dusun, tidak pernah tinggal di kota besar.”

Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk.
“Sudah kuduga demikian.... akan tetapi menurut berita, namanya juga Gak Bun Beng dan juga amat lihai, lebih terkenal dengan julukan Si Jari Maut....”

“Aiih, dahulu ketika pertama kali kita saling berjumpa, engkaupun menyebut Si Jari Maut. Siapakah dia dan apa sangkut-pautnya denngan saya, Kao-goanswe?”

“Saya sendiri tidak pernah bertemu dengannya, hanya menurut kabar, dia lihai sekali, lihai dan kejam. Namanya Gak Bun Beng, julukannya Si Jari Maut, kabarnya masih muda, akan tetapi engkaupun belum tua benar, Taihiap.”

“Hemm, tentu dia orang lain. Apakah pekerjaannya?”

“Dia merampok, membunuh, memperkosa....”

“Ahhh....!” Bun Beng mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, tentu hanya ada dua kemungkinan.”

“Maksudmu, Taihiap?”

“Pertama, memang ada seorang penjahat keji yang lihai dan yang memiliki nama dan she yang sama dengan saya. Ke dua, dia adalah seorang musuh tersembunyi yang sengaja hendak merusak nama saya. Yang manapun kenyataan dari kedua kemungkinan itu, saya harus pergi mencarinya, Kao-goanswe.”

Jenderal itu mengangguk-angguk.
“Saya lebih condong menyangka kemungkinan ke dua, Taihiap. Seorang yang lihai seperti Taihiap tentu dahulu sudah sering kali bentrok dengan golongan hitam dan kaum sesat, maka tidaklah aneh kalau ada yang mendendam dan kini membalas dengan cara memburukkan namamu.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar