FB

FB


Ads

Jumat, 13 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 049

Ketika tadi melihat Puteri Milana maju menyelamatkan laki-laki gagah yang maju menghadapi dua jagoan dan yang terkena pukulan, Kian Bu dan Kian Lee memandang penuh perhatian. Mereka berdua tidak tahu siapa adanya laki-laki itu. Mereka dahulu masih terlalu kecil ketika bertemu dengan Han Wi Kong sehingga mereka tidak ingat lagi.

Akan tetapi tentu saja hati mereka berpihak kepada laki-laki ini ketika melihat betapa laki-laki gagah ini menghadapi dua orang jagoan yang menantang Pulau Es! Kalau tidak dicegah kakaknya, ketika mendengar tantangan tadi tentu dia sudah meloncat untuk menghajar Sun Giam dan Yauw Siu. Kini melihat kakaknya menolong laki-laki itu dan membawanya duduk kembali ke kursinya, Kian Bu berbisik kepada kakaknya,

“Lee-ko, dia itu adalah Ci-hu (Kakak Ipar)!”

“Ah, benar....! Ci-hu telah terpukul oleh mereka!” kata Kian Lee.

“Dan Enci Milana akan maju sendiri, hayo kita dului!”

Tanpa menanti jawaban Kian Lee, Kian Bu sudah meloncat dan terpaksa Kian Lee mengikuti adiknya sehingga mereka berdua kini berhadapan dengan Sun Giam dan Yauw Siu.

Kian Bu tahu bahwa dia tidak bisa mengandalkan kakaknya untuk bicara, kakaknya yang pendiam itu, maka dia cepat mendahului kakaknya menjawab bentakan Sun Giam tadi.

“Siapa adanya kami bukan hal yang patut diributkan, akan tetapi yang penting adalah siapa adanya kalian berdua! Kalian berdua mengaku hendak melamar pekerjaan pengawal, akan tetapi kami tahu bahwa kalian tidak patut menjadi pengawal, karena kalian hanyalah dua orang badut yang tidak lucu!”

Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya semua orang mendengar ucapan pemuda tampan yang suaranya lantang itu. Betapa beraninya bocah itu menghina dua orang jagoan yang demikian kosen, yang telah berhasil mengalahkan bekas Panglima Pengawal Han Wi Kong, suami Puteri Milana sendiri! Akan tetapi yang lebih heran dan juga amat marah adalah Sun Giam dan Yauw Siu. Yauw Siu melangkah maju.

“Setan cilik, apa kau sudah bosan hidup?”

“Setan gede, kalian yang sudah bosan hidup berani menjual lagak disini. Apa kalian kira kami tidak tahu bahwa tadi kalian bermain curang. Kalau kalian tidak main curang, mana kalian mampu menang menghadapi orang gagah tadi? Manusia macam kalian ini, jangankan menjadi pengawal, menjadi jongospun tidak patut,” kata Kian Bu.

“Wah, pantasnya menjadi apa, Adikku?” Kian Lee bertanya membantu adiknya.

“Jadi apa, ya? Pantasnya mereka ini tukang-tukang pukul kampungan, atau pencopet-pencopet di pasar, menjadi penjahat besarpun tidak patut!”

Tentu saja makin bising keadaan di situ karena para tamu maklum bahwa dua orang pemuda yang masih remaja itu dengan sengaja hendak mencari perkara dan sengaja menghina dua orang jagoan tangguh itu. Hati mereka menjadi tegang dan bertanya-tanya siapa gerangan dua orang muda yang nekat itu.

Yang paling marah adalah Sun Giam dan Yauw Siu. Mereka adalah dua orang yang kasar dan tak mengenal takut karena bertahun-tahun lamanya mereka menjadi orang-orang yang memiliki kekuasaan diantara gerombolan liar dibawah pimpinan Raja Tambolon, maka kini dimaki dan dihina oleh dua orang pemuda tanggung itu, hati mereka seperti dibakar rasanya.

Akan tetapi, disamping kekasaran mereka, dua orang inipun cerdik dan mereka menahan kemarahan hati karena mengingat bahwa di tempat itu terdapat banyak orang pandai dan bahwa mereka berada di kota raja yang besar dan tidak boleh bertindak sembarangan.

Kalau saja tidak berada di tempat itu, tentu mereka sudah sejak tadi turun tangan membunuh dua orang pemuda yang berani menghina mereka seperti itu. Mereka masih tidak tahu siapa dua orang pemuda ini. Siapa tahu, melihat sikap mereka yang begitu berani, dua orang pemuda ini adalah putera-putera pembesar yang berkedudukan tinggi di kota raja! Maka Sun Giam lalu memberi isyarat kepada kawannya agar menahan kemarahan, kemudian dia menoleh dan berlutut kearah Pangeran Liong Bin Ong.

“Mohon paduka mengampuni hamba berdua!” katanya lantang. “Tanpa perkenan atau perintah paduka, hamba tidak berani turun tangan sembarangan. Akan tetapi, dua orang pemuda ini telah menghina hamba berdua dan karena hamba adalah calon pengawal paduka, maka penghinaan yang dilakukan di sini berarti menghina paduka pula. Maka hamba berdua mohon perkenan untuk menghajar dua orang pemuda ini dengan perkenan paduka!”

Tadinya Liong Bin Ong juga terkejut dan marah, dan memang diam-diam dia merasa girang bahwa kedua orang jagoannya itu ternyata boleh diandalkan, berhasil melukai suami Milana dan mungkin akan berhasil membikin malu puteri yang menjadi musuhnya itu. Dia menduga bahwa kedua orang pemuda itu jelas merupakan pendukung puteri itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mengangguk!

Tentu saja girang bukan main rasa hati Sun Giam dan Yauw Siu. Kalau tadi mereka masih terpaksa menelan kesabaran adalah karena mereka ragu-ragu karena tidak mengenal dua orang pemuda itu, takut kalau kesalahan tangan. Kini, setelah memperoleh perkenan Pangeran Liong Bin Ong, tentu saja hati mereka menjadi besar dan dengan muka beringas mereka menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu.

“Bocah-bocah lancang, hayo lekas beritahukan siapa kalian dan siapa orang tua kalian. Kami adalah orang-orang gagah yang tidak mau menghajar anak orang tanpa mengetahui siapa ayahnya!”

Kata Yauw Siu dengan lagak sombong karena dia kini tidak khawatir lagi terhadap ayah anak-anak ini setelah dilindungi oleh Pangeran Liong Bin Ong.






Semua tamu termasuk Milana yang sudah duduk kembali karena dia dapat melihat sifat luar biasa kedua orang anak itu, memandang dan mendengarkan dengan penuh perhatian karena diapun ingin sekali mendengarkan siapa gerangan dua orang pemuda remaja yang sudah begitu berani mengacaukan pesta Pangeran Liong Bin Ong!

Akan tetapi, diantara semua tamu yang hadir, hanya Milana seoranglah yang berani mempersiapkan diri untuk melindungi kedua orang pemuda remaja itu kalau-kalau terancam bahaya maut di tangan dua orang jagoan itu. Puteri ini tentu saja tidak tega membiarkan mereka tewas karena membela dia, atau membela nama Pulau Es yang disebut-sebut dan ditantang oleh dua orang jagoan itu.

Sementara itu, melihat lagak sombong dari Yauw Siu, Kian Lee yang pendiam hanya memandang dengan matanya yang lebar terbelalak, akan tetapi adiknya, Kian Bu sudah tertawa riang dan mendahului kakaknya menjawab,

“Kalian adalah she Yauw dan she Su, dan ketahuilah bahwa kakakku ini namanya Ta-yauw-eng (Pendekar Pemukul Orang she Yauw) dan namaku adalah Ta-sun-eng (Pendekar Pemukul Orang she Sun)! Nah, kalian tidak lekas berlutut minta ampun?”

Jawaban yang tak disangka-sangka orang ini selain menimbulkan kemarahan hebat didalam hati dua orang jagoan itu, juga membuat geli hati mereka yang berpihak kepada suami Puteri Milana yang terluka tadi.

Namun kegelisahan hati mereka bercampur dengan kekhawatiran karena mereka maklum betapa marahnya dua orang tukang pukul yang sudah memperoleh perkenan dari Pangeran Liong Bin Ong untuk menghajar dua orang pemuda remaja itu dan tentu mereka tidak akan bertindak kepalang tanggung. Mungkin akan dibunuhnya dua orang pemuda remaja yang tampan dan sedikitpun tidak mengenal takut itu.

“Bocah setan! Kau sudah bosan hidup!” Sun Giam dan Yauw Siu membentak dan keduanya menerjang dan menyerang Kian Bu.

“Heeiiitt....! Eiiittt....!”

Kian Bu sudah berloncatan ke belakang dengan sikap mengejek dan mempermainkan, lalu menudingkan telunjuknya kearah muka mereka bergantian.

“Kiranya kalian ini benar-benar hanyalah tukang-tukang pukul kampungan yang beraninya mengeroyok orang! Tadi kalau tidak mengeroyok dan curang, tentu kalian telah roboh oleh orang gagah itu. Apa sekarang kau hendak mengeroyok aku pula?”

Wajah kedua orang jagoan itu menjadi merah. Sudah banyak mereka menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekarang mereka merasa diperrnainkan oleh seorang anak-anak!

“Kalian juga berdua, majulah!” teriak Sun Giam menahan kemarahannya karena diapun malu kalau dikatakan mengeroyok seorang bocah!

“Eh-eh, nanti dulu!”

Kian Bu mengangkat kedua tangan ke atas menahan mereka, juga sekaligus menahan kakaknya yang sudah bersiap hendak menerjang Yauw Siu.

“Katanya kalian adalah orang-orang gagah, maka sekarang di depan begini banyak tamu agung, perlihatkanlah kegagahanmu. Kalian merupakan dua jago tua dan kami adalah dua orang jago muda, mari kita bertanding satu-satu agar lebih sedap ditonton dan lebih dapat dinikmati bagaimana kalian menghajar kami satu-satu! Betul tidak?”

“Betul....!” Otomatis Yauw Siu menjawab karena tertarik oleh cara Kian Bu bicara.

“Hushhh!”

Sun Giam membentak dan barulah Yauw Siu sadar bahwa dia telah terseret oleh kata-kata bocah itu dan menanggapinya! Terdengar suara tertawa diantara para tamu menyaksikan sikap dua orang jagoan itu.

Yauw Siu yang menjadi malu sekali sudah melangkah maju.
“Baik, mari kita bertanding satu lawan satu!” bentaknya sambil membusungkan dadanya yang bidang dan kekar.

“Nanti dulu, kau tidak sabar amat!” Kian Bu berkata sambil tersenyum. “Lawanmu adalah kakakku, ingat? Kakakku adalah Ta-yauw-eng, jadi harus dia yang memukul engkau! Sedangkan aku adalah Ta-sun-eng, biarlah sekarang aku menghadapi Sun Giam lebih dulu, baru engkau.”

“Setan! Siapapun diantara kalian boleh maju, kalau perlu boleh maju berdua kulawan sendiri!” teriak Yauw Siu yang hampir tak dapat menahan kemarahannya lagi.

“Heiit, sabar, sabar! Hanya mau mengalami hajaran saja mengapa tergesa-gesa amat? Hayo, engkau orang she Sun, kau hadapilah aku Tukang Pemukul Orang she Sun!”

Sun Giam lebih pendiam daripada kawannya, dan juga dia tidak kelihatan menyeramkan seperti Yauw Siu yang tinggi besar bermuka hitam itu. Akan tetapi, orang berusia empat puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus, bermuka kuning dan matanya sipit ini sebetulnya memiliki keahlian yang lebih berbahaya dibandingkan dengan Yauw Siu.

Kalau Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin-tiat-liong (Naga Besi Bermuka Hitam) itu adalah seorang yang bertenaga raksasa dan seorang ahli gwa-kang (tenaga otot), sebaliknya Sun Giam adalah seorang ahli lwee-keh (tenaga dalam) yang tangguh. Hal ini diketahui dengan baik oleh Milana ketika wanita sakti ini tadi menangkis pukulan mereka berdua. Tentu saja untuk dia pribadi, kepandaian mereka berdua itu tidak ada artinya, akan tetapi kini melihat betapa Sun Giam berhadapan dengan pemuda remaja yang usianya paling banyak enam belas tahun itu, tidak urung hati Milana menjadi tegang juga.

Sun Giam orangnya pendiam, akan tetapi menyaksikan lagak dan mendengarkan ucapan pemuda tampan yang amat memandang rendah kepadanya itu, dia juga sudah tak dapat menahan kemarahannya.

“Baik, bocah kurang ajar. Engkau yang menantang dan semua tamu agung yang hadir menjadi saksi. Kalau kau terpukul mampus nyawamu jangan penasaran dan menyalahkan aku!”

Setelah berkata demikian, Sun Giam sudah menggulung kedua lengan bajunya sehingga tampaklah kedua lengannya yang kurus kecil dan panjang. Melihat ini, Kian Bu tertawa,

“He-he-he, kedua lenganmu kecil seperti kayu kering yang lapuk, perlu apa dipamerkan? Jangan-jangan untuk menyerangku menjadi patah-patah nanti!”

Kembali terdengar suara tertawa. Biarpun semua orang masih ragu-ragu apakah pemuda remaja yang tampan dan nakal jenaka itu dapat menandingi Sun Giam, namun setidaknya godaan-godaan itu cukup membuat hati mereka yang tidak suka kepada dua orang jagoan itu menjadi senang.

Akan tetapi suara ketawa itu terhenti dan semua mata memandang penuh ketegangan ketika mereka melihat Sun Giam menggerak-gerakkan kedua lengannya dengan jari tangan berbentuk cakar dan terdengarlah bunyi berkerotokan mengerikan dari tulang-tulang lengan dan tangannya! Juga tampak betapa kedua lengan itu berubah menjadi kehijauan dan mengeluarkan getaran hebat.

Milana menggenggam tangan kanannya. Dia mengenal ilmu yang dimiliki oleh Sun Giam itu, semacam tok-ciang (tangan beracun) yang mengandung sin-kang kuat dan berbahaya karena beracun! Dia mengerti bahwa hantaman kedua tangannya itu selain amat kuat, juga dapat menembus kulit daging dan meracuni tulang dan otot di tubuh lawan. Dugaannya memang tidak salah, Sun Giam telah melatih semacam pukulan beracun dan kedua tangannya itu mahir dengan Ilmu Cheng-tok-ciang (Tangan Beracun Hijau) yang dahsyat!

“Wah-wah, kiranya engkau pandai main sulap. Tentu kau dahulu adalah seorang penjual obat yang suka main di pasar-pasar, bukan? Sayang permainanmu kurang menarik dan tidak kebetulan aku tidak membawa uang kecil!”

Kata Kian Bu sambil menyeringai. Tentu saja, sebagai putera Pulau Es, diapun mengenal kedua tangan itu, akan tetapi dia memandang rendah.

“Bocah sombong, terimalah pukulan mautku!”

Sun Giam sudah menghardik sambil bergerak maju. Gerakannya cepat sekali, kedua kakinya maju tanpa diangkat, hanya bergeser mengeluarkan suara “syet-syet!” dan kedua lengannya sudah bergerak-gerak, setelah dekat dengan Kian Bu dia membentak keras,

“Huiii....! Wut-wut-wut-wut!”

Empat kali beruntun kedua tangannya menyambar dahsyat, dimulai dengan tangan kiri membacok dengan tangan terbuka ke leher, disusul tangan kanan mencengkeram iga, kemudian tangan kiri menusuk lambung dan diakhiri dengan tangan kanan mencengkeram kearah bawah pusar. Setiap serangan merupakan cengkeraman maut yang dapat merenggut nyawa seketika.

“Aihh....! Wuusss.... plak-plak-plak....!”

Dengan gerakan lincah sekali Kian Bu mengelak lalu menangkis tiga kali dengan tangannya, lagaknya seperti orang kerepotan akan tetapi semua tangkisannya tepat membuat kedua tangan lawan terpental.

“Sayang luput.... desss....!”

Kembali dia menangkis hantaman kearah mukanya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya menampar ke depan.

“Plakk....! Aughhh....!”

Sun Giam terkejut setengah mati. Bukan hanya semua serangannya dapat dielakkan dan ditangkis, bahkan tahu-tahu pipi kirinya kena ditampar keras sekali sampai kepalanya mendadak menjadi puyeng dan matanya berkunang, pipi kirinya panas berdenyut-denyut! Dia terhuyung ke belakang sambil mengusap pipi kirinya.

“Wah, mukamu menjadi hitam sebelah!” Kian Bu menggoda. “Mari biar kutampar yang sebelah lagi agar tidak menjadi berat sebelah!”

Bisinglah keadaan para tamu ketika menyaksikan hal yang dianggapnya amat aneh ini. Pemuda nakal itu dalam segebrakan saja telah mampu menampar pipi Sun Giam! Dan dilakukan dengan cara semudah itu, seperti mempermainkan seorang anak kecil saja, malah diejek seolah-olah Sun Giam merupakan lawan yang sama sekali tidak mempunyai kepandaian apa-apa.

Sun Giam mengeluarkan suara melengking dari kerongkongannya, lalu tubuhnya mencelat lagi ke depan, kini menggunakan jurus yang amat hebat, kedua lengannya sampai kelihatan menjadi amat banyak saking cepatnya kedua tangan itu bergerak mengirim pukulan-pukulan maut yang amat gencar bertubi-tubi dan saling susul-menyusul.

“Wuuut-tak-tak-tak-syuuuttt.... aih, lagi-lagi kena angin belaka!”

Kian Bu mengejek, tubuhnya berloncatan, berputaran, seperti menari-nari dan dengan gerakan aneh menyelinap kesana-sini namun selalu dia dapat mengelak atau menangkis semua pukulan itu.

“Mampuslah!”

Sun Giam yang terus menyerang itu tiba-tiba berteriak, dan kaki kanannya melayang kearah bawah pusar Kian Bu. Kalau tendangan maut ini mengenai sasaran bagian tubuh yang paling lemah dari seorang pria itu, tentu sukar dapat menyelamatkan nyawa.

Semua orang yang ahli dalam ilmu silat diam-diam menahan napas menyaksikan serangan maut ini, kecuali Milana yang tampak tenang saja akan tetapi kini matanya mengeluarkan sinar aneh memandang pemuda remaja itu, duduknya enak dan sama sekali tidak bersiap-siap lagi untuk membantu.

“Wirrr....!”

Tendangan itu melayang dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Kian Bu seolah-olah tidak melihat ini, akan tetapi begitu kaki lawan mendekat, dia menggeser tubuh ke kiri, membiarkan kaki lewat disebelah kanan tubuhnya, tangan kanannya menyambar dan merangkul pergelangan kaki, sedangkan tangan kirinya menyambar ke depan.

“Plakkk!”

Kembali Sun Giam terhuyung ke belakang dan mengeluh, otomatis tangan kanannya mengusap pipi kanannya yang kena ditampar.

“Nah, sekarang baru berimbang, mukamu menjadi kemerah-merahan seperti muka seorang dara cantik yang segar, he-he-heh!”

Kian Bu berkata sambil bertepuk tangan. Para tamu yang berpihak kepadanya juga tertawa dan bahkan ada yang bertepuk tangan pula.

Sun Giam menjadi mata gelap saking marahnya. Dia tahu sekarang bahwa pemuda yang bengal ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang mujijat. Bukan hanya dapat menangkis tangan beracunnya tanpa terluka sedikitpun, juga pemuda itu memiliki gerakan yang kelihatannya seenaknya dan sembarangan saja, namun selalu dengan tepat dapat menangkis semua pukulannya, dan setiap kali pukulannya tertangkis, Sun Giam merasa betapa seluruh lengannya dari ujung jari sampai ke ketiaknya, terasa tergetar hebat sekali tanda bahwa pemuda itu memiliki sin-kang yang amat luar biasa!

Dia maklum, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menyerah begitu saja. Dia tidak sudi menerima kenyataan bahwa dia kalah menghadapi seorang bocah bengal. Maka sambil mengeluarkan lengking dahsyat, kembali ia menubruk, dengan kedua lengan dikembangkan dan kedua tangan membentuk cakar harimau, lagaknya persis seekor harimau kelaparan yang menubruk kambing.

Kembali banyak orang terkejut karena melihat betapa pemuda itu enak-enak saja tertawa dan bertepuk tangan, seolah-olah terkaman itu tidak ada artinya sama sekali atau dia tidak tahu betapa dirinya terancam bahaya maut yang mengerikan. Dua lengan lawan itu bergerak-gerak dan sukar diduga ke arah mana akan menyerang dan sekali saja dirinya kena dicengkeram tentu akan hebat akibatnya.

Namun tentu saja ini pendapat para penonton, tidak demikian dengan pendapat Kian Bu sendiri. Dia dapat melihat dengan jelas, dapat mengikuti gerakan kedua tangan lawan itu, maka dia enak-enak saja. Ketika jaraknya sudah dekat, tiba-tiba diapun mengulur kedua lengannya dan kedua tangannya menyambut cengkeraman kedua tangan lawan dan berbareng dia mengangkat lutut kirinya “memasuki” perut lawan.

“Ngekk....!”

Biarpun Sun Giam sudah mengerahkan lwee-kangnya untuk membuat perutnya keras dan kebal, namun hantaman lutut yang dilakukan dengan kuat dan tiba-tiba itu tidak urung membuat perutnya mulas dan napasnya sesak, dan pada saat itu Kian Bu sudah menggerakkan tangan kanan yang saling berpegangan dengan tangan kiri lawan, menariknya tiba-tiba sehingga tubuh Sun Giam tertarik dan terbawa maju, lalu dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kian Bu menekuk lengan kanannya itu, sikunya menyambar ke depan.

“Croott....!”

Siku itu mencium muka Sun Giam, tepat mengenai hidungnya. Bagian ini sukar untuk diisi tenaga lwee-kang sekuatnya, maka biarpun batang hidung itu tidak remuk, akan tetapi getaran pukulan siku itu membuat darahnya muncrat keluar dari dalam!

“Aughhh....!”

Sun Giam mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Sibuklah kedua tangannya, yang satu mengelus perut yang mulas, yang satu lagi menutupi hidungnya yang berdarah.

“Bocah setan....!” Tiba-tiba Yauw Siu memaki dan langsung dia menubruk kearah Kian Bu.

“Heiii....! Eh, uh, luput! Eh, kau adalah lawan kakakku!”

Kian Bu mengelak ke sana ke mari dengan cekatan sekali sehingga setiap pukulan, setiap tubrukan mengenai tempat kosong. Namun Yauw Siu yang marah sekali menyaksikan betapa temannya tadi dipermainkan, saking marahnya terus menerjang seperti seekor harimau, kedua lengannya yang besar panjang itu bergerak-gerak dan kedua tangannya menyambar-nyambar ganas. Mukanya yang hitam menjadi makin hitam dan matanya melotot lebar menyeramkan.

Melihat betapa calon lawannya itu mengamuk dan menyerang adiknya, Kian Lee hanya berdiri tersenyum. Tentu saja dia tahu bahwa orang kasar itu sama sekali bukan tandingan adiknya, biar ada sepuluh orang seperti itu belum tentu akan dapat mengalahkan adiknya, maka dia tenang-tenang saja dan membiarkan adiknya yang jenaka itu bergembira memborong semua lawan!

“Wah.... eiiittt.... Koko, bagaimana ini?” Kian Bu masih mengelak terus.

“Ambil saja untukmu, biar aku menonton saja!” jawab Kian Lee.

“Begitukah? Ha-ha, Yauw Siu, engkau masih untung! Kalau melawan kakakku, tentu kepalamu akan hancur. Aku masih mending, kau hanya akan mengalami benjut-benjut saja!”

“Keparat....!”

Yauw Siu sudah menubruk lagi, kedua kaki dan tangannya dipentang lebar, agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi Kian Bu untuk mengelak. Dan pemuda inipun sama sekali tidak mengelak lagi! Bahkan dia memapaki, menyambut terkaman itu, kedua tangannya didorongkan ke depan dan.... tubuh tinggi besar itu seperti daun ditiup angin, terlempar ke samping dan terbanting keras.

Yauw Siu terkejut bukan main. Dia tidak tahu bagaimana dia tadi terbanting roboh, yang dirasakannya hanyalah ada angin menyambar dahsyat, angin yang terasa amat dingin. Akan tetapi dia merasa penasaran, cepat dia meloncat berdiri dan menerjang lagi seperti angin puyuh, mengamuk membabi buta mengirim pukulan dan tendangan.

Kian Bu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan amat mudah dia mengelak dengan jalan meloncat ke belakang dan tahu-tahu lenyaplah dia dari depan Yauw Siu yang menjadi bingung dan terbelalak memandang, mencari ke kanan kiri.

Terdengar gelak tawa para penonton karena mereka dapat melihat betapa tubuh pemuda lihai itu tadi mencelat dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata, tahu-tahu telah berada dibelakang Yauw Siu sambil tersenyum-senyum.

Mendengar suara ketawa para penonton, Yauw Siu menjadi makin bingung dan matanya memandang liar. Tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. Dia membalik dan....

“Plak-plak!” kedua pipinya kena ditampar dan dia terhuyung-huyung ke belakang.

Tepuk tangan menyambut “kemenangan” pemuda itu dan Pangeran Liong Bin Ong memandang pucat, memberi isyarat dengan pandang matanya kepada para pengawalnya.

Yauw Siu terkejut dan makin marah. Biarpun dia kini juga maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai, namun rasa malu dan marahnya membuat dia nekat.

“Srattt....!” Dia telah mencabut sebatang ruyung lemas yang bergigi, yang tadi melingkar di pinggangnya.

“Singg.... wir-wir-wirrr....!”

Sun Giam kini juga sudah mengeluarkan senjatanya yang tadi melibat pinggangnya, yaitu sebuah senjata rantai baja dengan bola berduri di kedua ujungnya.

“Mundurlah, Bu-te!”

Kian Lee berkata dengan marah melihat betapa dua orang jagoan itu benar-benar tak tahu diri. Betapapun juga, dia amat sayang kepada adiknya dan melihat kenekatan dua orang itu yang telah mengeluarkan senjata, dia cepat melompat maju.

Kian Bu meloncat ke belakang.
“Celakalah kalian sekarang,” katanya mengejek kepada dua orang jagoan itu.

Akan tetapi dua orang jagoan yang sudah amat marah itu tidak mempedulikan ejekan Kian Bu. Melihat bahwa sekarang pemuda ke dua yang maju dengan tangan kosong saja, dengan sikap tenang sekali namun dengan wajah yang tampan itu membayangkan kemarahan dan mata yang tajam itu memandang tanpa berkedip, mereka sudah menerjang maju menggerakkan senjata masing-masing tanpa mempedulikan lagi teriakan-teriakan para tamu yang memaki mereka dan yang mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar