FB

FB


Ads

Jumat, 13 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 046

Tiba-tiba tampak bayangan dua orang di sebelah dalam terowongan. Karena di dalam terowongan itu memang gelap sekali, maka yang tampak hanya bayangannya saja, akan tetapi dengan jantung berdebar Ceng Ceng merasa pasti bahwa bayangan itu tentulah sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, musuh dari gurunya. Apakah mereka itu akan menginjak lantai yang beracun? Ataukah akan meloncati tempat itu? Akan tetapi kini dia mengerti akan siasat gurunya.

Gurunya mengajak dia bersembunyi, dan hal ini merupakan jebakan dan pancingan. Kalau tidak kelihatan ada orang disitu, tentu dua orang kakek itu akan berhati-hati dan akan maju perlahan-lahan, tidak berani sembarangan meloncat begitu saja, khawatir akan terjebak. Dan karena hati-hatinya, tentu dua orang kakek itu akan menginjak lantai yang sudah dipasangi racun dan yang tidak nampak sama sekali.

Ceng Ceng melihat dua orang atau dua bayangan itu bergerak melangkah maju, dan dia melihat pula betapa Siauw-liong, ular besar itu sudah mulai menjulurkan kepalanya ke bawah, agaknya dengan air liur membasahi lidahnya binatang itu sudah siap untuk mencaplok korban yang akan menjadi mangsanya itu.

Setapak demi setapak dan bayangan orang itu melangkah maju, makin mendekati lantai beracun, dan makin berdebar pula rasa jantung Ceng Ceng. Mereka itu makin dekat dan tiba-tiba terdengar jerit melengking dan kedua orang itu roboh tepat di atas lantai beracun. Mereka roboh begitu kaki mereka menyentuh lantai itu!

Bukan main ngeri, kagum dan juga girangnya hati Ceng Ceng karena melihat dua orang musuh tangguh dari gurunya itu dapat dirobohkan sedemikian mudahnya. Dia hendak meloncat keluar akan tetapi mengurungkan niatnya ini ketika dia menoleh ke arah gurunya, dia melihat gurunya itu dengan muka pucat dan pandang mata gelisah memberi isyarat agar dia tetap bersembunyi. Bahkan gurunya kini siap untuk melemparkan jarum-jarumnya ke depan!

Selagi Ceng Ceng terheran-heran dan bingung melihat sikap gurunya, tiba-tiba terdengar suara dua orang tertawa-tawa dan dari dalam terowongan berkelebatlah dua sosok bayangan orang. Sambil tertawa-tawa dua orang itu meloncat ke depan, menginjak punggung dua orang pertama yang masih menelungkup diatas lantai beracun, kemudian dari punggung itu mereka meloncat ke depan dan barulah tampak oleh Ceng Ceng bahwa yang meloncat hanya satu orang sedangkan orang kedua duduk di atas pundak orang pertama. Orang pertama yang berada di bawah itu memakai sepatu kulit tebal dan orang ke dua yang duduk di atas pundak orang pertama itu tidak bersepatu, bahkan tidak berpakaian kecuali hanya sepotong cawat!

Tiba-tiba ular besar tadi menyerang ke bawah.
“Heh-heh-heh!” Orang yang tidak berpakaian dan hanya bercawat itu terkekeh. “Masih ada permainanmu yang lain lagi, Nenek Buruk?”

Bentaknya dan kedua tangannya bergerak cepat, dengan jari-jari tangan kurus panjang disodokkan kearah kepala ular, jari-jari tangan itu telah menembus kulit ular seperti pisau-pisau runcing masuk ke dalam kepala dan leher ular besar itu! Darah muncrat-muncrat dan tubuh ular itu melorot turun, mencoba untuk membelit dua orang tadi.

Pada saat itu, Ban-tok Mo-li sudah menggerakkan kedua tangannya bergantian dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah dua orang kakek itu, disusul sinar-sinar merah dari jarum-jarum Ceng Ceng dan sinar putih dari pasir beracunnya.

Namun, sambil tertawa kakek yang telanjang itu telah memutar-mutar bangkai ular besar sehingga semua serangan jarum dan pasir mengenai tubuh ular, membuat ular itu mati seketika dan tidak berkelojotan lagi. Kakek telanjang membuang bangkai ular dan melompat turun, kemudian kedua orang kakek itu melompat keluar mulut guha.

Ceng Ceng kini dapat memandang dengan jelas. Wajah kedua orang kakek itu bentuknya sama benar dan jelas bahwa mereka adalah orang kembar. Namun kesamaan ini lenyap oleh perbedaan-perbedaan lain yang amat mencolok. Kakek pertama memakai pakaian lengkap dan serba baru, dari sepatu kulit sampai baju bulunya yang amat indah, mukanya pun berwarna pucat putih seperti kapur dan mukanya serius.

Melihat baju mantel bulu dan penutup kepala bulu halus yang mahal itu pantasnya dia adalah seorang hartawan besar yang mengenakan pakaian untuk musim salju dan agaknya dia terus merasa kedinginan!

Adapun kakek kedua sama sekali tidak memakai pakaian kecuali cawat atau celana pendek sekali itu, tubuhnya yang kurus itu seperti selalu terasa gerah dan mukanyapun kemerahan seperti dipanggang! Kakek inilah yang tertawa-tawa dan sikapnya seperti orang gembira biarpun wajahnya yang merah itu kelihatan menyeramkan seperti orang mabuk atau orang yang marah.

“Heh-heh-heh-heh, Ban-tok Mo-li, kau kira kami orang-orang bodoh? Untung kami menemukan dua orang diatas sana dan untung pula ada ular besar. Heh-heh!” kata kakek bermuka merah.

“Ban-tok Mo-li, cepat kau berikan kitab catatan racun kepada kami!”

Kakek muka putih menyambung. Si Muka Putih ini berjuluk Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Utara) sedangkan Si Muka Merah adalah adik kembarnya, berjuluk Lam-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Selatan).

Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, kedua orang kakek kembar ini lebih terkenal dengan sebutan Siang Lo-mo (Iblis Tua Kembar) dan pernah menyerbu ke Pulau Es memusuhi Pendekar Super Sakti namun dikalahkan oleh pendekar itu dan kedua orang isterinya yang sakti. Mereka ini berasal dari Formosa (Taiwan) dan memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.






Si Muka Putih Pak-thian Lo-mo itu memiliki Im-kang yang amat kuat sehingga tubuhnya kedinginan terus maka dia selalu memakai pakaian tebal. Sebaliknya, Si Muka Merah Lam-thian Lo-mo adalah seorang ahli Yang-kang sehingga tubuhnya yang kurus itu selalu telanjang karena dia merasa gerah terus.

“Aku tidak akan menyerahkan kitab apapun kepada kalian dua manusia iblis!”

Ban-tok Mo-li memekik dengan marah, matanya memandang dengan sinar berapi penuh kebencian.

“Kau bosan hidup!” Pak-thian Lo-mo membentak marah.

“Heh-heh-heh, siapa takut mampus? Kalian majulah, hendak kulihat siapa diantara kita yang akan mampus lebih dulu!” nenek itu menantang sambil tertawa mengejek.

“Singgg....!” Pak-thian Lo-mo sudah melolos sabuknya yang panjang berupa pecut baja yang mengerikan.

“Eihh, Pak-heng (Kakak Pak), perlahan dulu. Jangan mudah dibujuk oleh nenek busuk ini. Keenakan kalau dia dibunuh begitu saja, ha-ha-ha!” Lam-thian Lo-mo mencegah kakak kembarnya. “Kalau dia berkeras tidak mau memberikan catatan itu memang sudah selayaknya dia mampus, akan tetapi harus mati perlahan-lahan dan kita siksa dulu sepuasnya!”

Agaknya Pak-thian Lo-mo yang amat menginginkan pengetahuan tentang segala macam racun itu, mengerti akan akal adik kembarnya, maka dia hanya bersungut-sungut sambil menyimpan kembali senjatanya yang ampuh.

“Ban-tok Mo-li dengarlah.” Lam-thian Lo-mo berkata sambil tertawa. “Telah puluhan tahun engkau hidup seperti ular, kedua kakimu lumpuh, akan tetapi engkau masih dapat menggunakan kedua lenganmu untuk mengesot dan merangkak. Sekarang, kalau kau tidak mau menyerahkan catatan itu, kami akan melumpuhkan kedua lenganmu pula. Hendak kullhat bagaimana kau akan dapat merayap maju, apakah akan berlenggak-lenggok seperti ular, ha-ha-ha!”

“Heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo. Siapa tidak mengetahui kelicikan kalian manusia iblis yang sudah mau mampus?” nenek itu balas mengejek. “Kalian takut mendekati aku, karena begitu mendekat, kalian tentu akan mampus, maka kalian menggertak. Hendak kulihat bagaimana kalian hendak membuntungi atau melumpuhkan kedua tanganku ini, hi-hik. Majulah!”

Dua orang kakek itu saling pandang. Memang apa yang diucapkan oleh nenek ini benar. Mereka berdua maklum betapa nenek ini setelah lumpuh kedua kakinya, selama dua puluh tahun memperdalam ilmunya sehingga kini merupakan lawan yang amat berbahaya, seolah-olah keadaan di sekeliling nenek itu beracun!

“Pak-heng, memang kau benar. Nenek busuk ini harus dihajar. Disangkanya kita tidak bisa menghajarnya dari jarak jauh!” kata Si Muka Merah.

“Memang dia harus dihajar sampai mampus!” jawab Si Muka Putih. “Lam-te, mari kita serang dia dengan batu dari jauh, baru kita menggunakan senjata.”

Pada saat itu, Ceng Ceng sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia meloncat ke depan sambil berseru,

“Dua orang kakek berhati kejam!”

“Lu Ceng, jangan....!”

Ban-tok Mo-li berteriak namun terlambat karena dara itu sudah menyerang kepada dua orang kakek itu dengan pukulan-pukulan tangannya.

“Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-li sudah mempunyai seorang pembantu yang nekat!”

Lam-thian Lo-mo tertawa mengejek ketika dia bersama kakaknya dengan mudahnya mengelak dari serangan-serangan Ceng Ceng yang marah sekali.

“Sepasang manusia iblis keji! Kalian telah menyiksa Subo, telah membuat hidup Subo amat sengsara, dan kalian masih saja mendesak dan mengganggunya!”

Ceng-Ceng memaki-maki sambil menyerang lagi dengan ganas. Namun semua serangannya gagal karena dua orang kakek itu amat mudah mengelaknya tanpa banyak bergerak.

Melihat betapa Ceng Ceng membelanya mati-matian, nenek itu tercengang dan terheran-heran. Tadinya dia adalah seorang pembenci manusia, siapapun dibencinya dan dimusuhinya karena dia seperti merasa bukan manusia lagi. Juga terhadap Ceng Ceng sebetulnya dia benci, hanya karena dia enggan kehilangan dara itu yang telah datang di tempat itu dan dapat menjadi temannya, bahkan dapat pula kelak dipaksa untuk mengajaknya keluar, maka dia tidak membunuh Ceng Ceng bahkan menerimanya sebagai murid.

Akan tetapi sekarang, melihat betapa dara itu membelanya mati-matian dengan nekat melawan dua orang kakek itu, timbul perasaan terharu dan sayang kepada Ceng Ceng, maka tentu saja dia menjadi amat khawatir melihat betapa Ceng Ceng menyerang dua orang kakek yang tentu saja sama sekali bukan lawan muridnya itu.

“Lu Ceng muridku...., jangan....! Mundurlah dan biar aku yang menghadapi mereka!” Nenek itu berteriak-teriak sambil mengesot maju.

Dua orang kakek kembar itu adalah orang-orang yang cerdik. Sebetulnya mereka tidak ingin benar membunuh nenek itu karena memang tidak mempunyai permusuhan apa-apa. Yang penting bagi mereka adalah kepandaian nenek itu tentang racun, dan semua penyiksaan dan ancaman yang mereka lakukan terhadap Ban-tok Mo-li semata-mata karena ingin memaksa nenek itu menyerahkan catatan tentang racun. Kalau sampai mereka membunuh nenek itu tentu karena kecewa dan marah akan kekerasan hati nenek itu.

Kini mereka dapat melihat sikap Ban-tok Mo-li, dan mendengar dalam suara nenek itu terkandung rasa sayang kepada gadis yang menjadi muridnya itu, maka sekaligus mereka telah dapat menentukan sikap dan akal mereka. Memang ada pertalian batin yang aneh diantara dua orang kembar ini, kadang-kadang tanpa kata-kata mereka sudah dapat mengerti isi hati masing-masing.

Lam-thian Lo-mo tertawa bergelak, lalu tubuhnya bergerak membalas serangan Ceng Ceng. Dara ini terkejut bukan main menyaksikan serangan yang amat dahsyat itu. Lengan telanjang itu menyerangnya dengan berbareng, yang kiri mencengkeram kearah dadanya dengan jari-jari terbuka, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya.

Dia cepat meloncat ke belakang sambil menggerakkan kedua tangan menangkis, akan tetapi tiba-tiba ada hawa dingin menyambar dari arah belakang dan sebelum dia sempat mengelak, kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh kedua tangan Pak-thian Lo-mo!

Ceng Ceng meronta-ronta, akan tetapi Lam-thian Lomo tertawa-tawa dan sudah menyambar ke bawah dan dilain saat tubuh dara itu sudah tergantung dan terlentang seperti seekor rusa ditangkap dan hendak disembelih.

Kedua tangannya dipegang oleh Pak-thian Lo-mo sedangkan kedua kakinya dipegang oleh Lam-thian Lo-mo. Ceng Ceng hanya meronta-ronta memaki-maki, akan tetapi tidak berdaya melepaskan diri dari pegangan kedua orang kakek itu. Kalau mereka menghendaki, betapa mudahnya bagi mereka untuk membunuh dara itu.

“Lu Ceng....!” Ban-tok Mo-li menjerit ketika melihat muridnya tertawan. “Siang Lo-mo, keparat busuk! Lepaskan muridku!”

“Ha-ha-ha!” Lam-thian Lo-mo tertawa dan bersama kakak kembarnya dia menghampiri tepi jurang depan guha. “Ban-tok Mo-li, kau lihatlah dulu muridmu yang cantik jelita dan muda belia ini terbang ke bawah sana agar tubuhnya hancur lebur di dasar jurang yang tak tampak dari sini, dengar saja jeritnya yang melengking nanti agar dapat kau nikmati sebelum kau mampus pula di tangan kami. Ha-ha-ha!”

Bersama kakak kembarnya, Lam-thian Lo-mo mengayun-ayun tubuh dara itu dan siap untuk melepaskan pegangan dan melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.

“Tunggu....! Tahan....! Kalian menghendaki catatan racun? Sudah kubuatkan....!”

Nenek itu menjerit penuh kegelisahan melihat tubuh muridnya sudah hampir dilempar ke jurang.

“Ha-ha-ha-ha, siapa percaya omonganmu, nenek busuk?” Lam-thian Lo-mo mengejek.

“Bedebah! Ini kitabnya! Sudah kupersiapkan!” Nenek itu merogoh pinggangnya mengeluarkan sejilid kitab kecil bersampul hitam.

“Bagus! Berikan itu kepada kami dan kami akan membebaskan muridmu,” kata pula Lam-thian Lo-mo, girang bukan main karena isi kitab itu akan membuat mereka berdua bertambah lihai.

“Lemparkan dia kepadaku dan aku akan melemparkan kitab ini kepadamu!” nenek itu kini menahan karena melihat betapa musuh amat menginginkan kitab itu.

“Baik, aku akan melemparkannya kepadamu. Akan tetapi kau juga harus melemparkan kitab itu kepadaku.” Lam-thian Lo-mo berkata.

“Nanti dulu, Lam-te!” Pak-thian berkata tenang. “Jangan sampai dapat ditipu nenek busuk itu! Peganglah tangan gadis ini!”

Lam-thian Lo-mo memegang pergelangan kedua kaki Ceng Ceng dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya kini menggantikan kakak kembarnya memegangi kedua pergelangan tangan gadis itu. Kuat sekali kedua tangan kakek kurus bermuka merah ini sehingga Ceng Ceng merasa betapa kedua kaki tangannya seperti dijepit alat dari baja dalam genggaman jari-jari tangan kakek itu. Pak-thian Lo-mo lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan putih, kemudian memakainya. Setelah itu baru dia berkata,

“Nah, sekarang pertukaran boleh dilakukan, Lam-te.”

“Ha-ha-ha, kau benar cerdik, Pak-heng. Aku sampai lupa bahwa tentu kitab itu penuh dengan racun berbahaya pula!” Dia memandang nenek itu yang kelihatan marah-marah. “Ban-tok Mo-li, lagi-lagi siasatmu tidak berhasil, ha-ha! Hayo lempar kitab itu kepada Pak-heng dan aku akan melemparkan dara ini kepadamu!”

“Keparat, iblis busuk!”

Nenek itu memaki dan melemparkan kitab hitam kepada Pak-thian Lo-mo pada saat Lam-thian Lo-mo melemparkan tubuh Ceng Ceng kepadanya.

Tubuh Ceng Ceng tentu akan terbanting kalau saja kedua tangan subonya tidak menyangganya dan menariknya agar dara itu duduk di sebelahnya dan dapat dilindunginya.

Sementara itu, Pak-thian Lo-mo sudah membalik-balik kitab kecil dan wajahnya yang serius itu kini berseri melihat catatan racun-racun dengan obat pemunahnya. Dia mengangguk kepada adik kembarnya dan keduanya lalu melompat jauh melewati kepala Ceng Ceng dan Ban-tok Mo-li, melompati pula lantai beracun seperti tadi, yaitu Lam-thian Lo-mo, diatas pundak kakak kembarnya yang meloncat dan menginjak mayat dua orang tadi sebagai batu loncatan, kemudian keduanya menghilang di dalam terowongan gelap.

Ceng Ceng sudah bangkit berdiri hendak mengejar, akan tetapi tangannya dipegang oleh nenek itu.

“Kau mau apa?”

“Subo, aku hendak membayangi mereka untuk mencari jalan keluar mereka.”

“Sssttt.... percuma. Mereka bergerak cepat sekali dan kalau sampai ketahuan kau membayangi mereka, tentu kau akan mereka bunuh.”

Ceng Ceng mengurungkan niatnya, akan tetapi diam-diam dia mengingat semua peristiwa tadi, tentang kemunculan mereka, suara mereka ketika pertama kali datang, agar dia dapat menyelidiki dan mengira-ngira dari mana kiranya mereka itu datang ke dalam terowongan. Dia menyangka bahwa sudah pasti di dalam terowongan yang gelap itu terdapat sebuah pintu rahasia yang menghubungkan tempat itu dengan dunia luar.

“Jangan mengharapkan yang bukan-bukan, muridku. Selama betahun-tahun aku telah menyelidiki seluruh tempat itu, telah memeriksa seluruh terowongan, namun tidak berhasil menemukan. Sekarang lebih baik kau tekun belajar agar dapat menguasai semua ilmuku sehingga kelak kalau mereka berdua datang, kau akan mampu merobohkan mereka dan memaksa mereka mengantarmu keluar dari sini.”

“Apakah mereka akan datang lagi setelah berhasil merampas kitab?”

Nenek itu menyeringai lalu tertawa.
“Heh-heh-heh, mereka mengira aku ini orang macam apa? Sudah kuatur sebelumnya dan biarpun racun yang kuoleskan pada kitab itu tidak berhasil karena kecerdikan Pak-thian Lo-mo, namun aku sengaja membuat obat ramuan pemunah satu diantara racun yang paling jahat secara keliru. Kalau mereka kelak mendapat kenyataan itu, apalagi kalau mereka membutuhkan obat pemunah, tentu mereka akan turun lagi kesini! Dan sementara itu, engkau tentu sudah pandai dan dapat kita bersama membunuh mereka....”

“Membunuh....?”

“Maksudku, membunuh setelah mereka kita paksa membawa kita keluar.”

Nenek itu cepat menyambung. Ceng Ceng boleh jadi cerdik, namun dia tidak mampu melawan kecerdikan nenek itu sehingga tidak dapat menduga isi hati nenek itu yang sebenarnya. Nenek itu sama sekali sudah tidak mempunyai keinginan untuk keluar dari tempat itu. Apa gunanya keluar kalau dia sudah menjadi seorang manusia tak berguna seperti itu? Hanya akan mendatangkan penghinaan dan rasa malu.

Akan tetapi dia ingin melihat muridnya ini berkepandaian tinggi agar kelak dapat membalaskan sakit hatinya, dapat membunuh dua orang kakek itu. Soal mereka akan dapat keluar dari tempat itu atau tidak, sama sekali tidak diperdulikannya.

Ceng Ceng yang tidak melihat jalan lain lalu menghibur diri dengan belajar secara tekun sekali sehingga dia memperoleh kemajuan pesat dan perlahan-lahan diapun mulai memasukkan sari-sari racun yang terdapat diantara jamur-jamur yang tumbuh di terowongan dan makin lama dia makin berbahaya karena mulailah dia menjadi seorang “manusia beracun” seperti ibu gurunya sehingga setiap tendangan, setiap pukulan, setiap tamparan atau cengkeraman, mengandung racun hebat. Bahkan dia mulai melatih ilmu sin-kang beracun untuk membuat setiap anggauta tubuhnya, sampai ke ludah-ludahnya mengandung racun yang berbahaya!

**** 046 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar