FB

FB


Ads

Rabu, 11 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 038

Kita tinggalkan dulu Bun Beng yang sedang menderita sakit dan melakukan perjalanan dengan amat sukar bersama Syanti Dewi menuju ke perbatasan utara untuk menemui Jenderal Kao Liang, dan mari kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang secara kebetulan sekali juga telah melakukan perjalanan ke utara!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng telah ditolong dari bahaya tenggelam oleh Tek Hoat, kemudian secara kebetulan dia dapat mendengarkan percakapan antara pemuda itu dengan Pangeran Liong Khi Ong sehingga terbukalah rahasia pemuda itu sebagai kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong yang membuat rencana pemberontakan.

Masih untung bagi Ceng Ceng bahwa pada saat yang berbahaya itu, dia keburu dicegah oleh Pengawal Kaisar Souw Kee It dan diajak pergi melarikan diri. Andaikata dia tidak bertemu dengan kakek pengawal itu dan terang-terangan menegur Tek Hoat, tentu pemuda itu tidak akan segan-segan untuk membunuhnya agar rahasianya dapat tertutup.

Dengan bantuan Souw Kee It, pengawal kawakan yang telah berpengalaman, Ceng Ceng melakukan perjalanan setelah menyamar sebagai seorang pria tampan yang berkumis tipis! Bermacam perasaan bercampur aduk di dalam hati dara ini. Pertama-tama dia merasa gembira bukan main mendengar dari Souw Kee It bahwa Syanti Dewi telah diselamatkan oleh seorang nelayan. Dia merasa bersyukur sekali dan ingin dia bertemu dengan kakak angkatnya itu yang tidak diketahui kemana perginya.

Akan tetapi di samping kegembiraannya ini terdapat perasaan duka, kecewa dan marah kalau dia teringat kepada Tek Hoat. Pemuda yang amat dikaguminya itu, pemuda yang tampan dan memiliki kepandaian demikian tinggi, ternyata adalah seorang kaki tangan pengkhianat dan pemberontak! Betapa rendah dan hina! Dan pemuda itu dengan terus terang menyatakan bahwa dia mencinta Syanti Dewi!

Kalau dulu di waktu dia mendengar pergakuan ini timbul rasa panas dan agak cemburu di hatinya, kini sebaliknya malah. Dia merasa panas dan marah, tidak rela bahwa kakak angkatnya itu dicinta oleh seorang yang demikian rendah! Dia harus menghalang-halangi ini. Siapa tahu, pemuda yang tampan dan pandai itu akan dapat bertemu dengan Syanti Dewi dan berhasil merayunya atau memaksanya.

Selama dalam perjalanan, Souw Kee It menceritakan kepada Ceng Ceng akan keadaan di kota raja yang kacau karena adanya pertentangan secara diam-diam antara perdana menteri yang setia kepada kaisar dan dua orang pangeran tua, yaitu Pangeran Liong Khi Ong dan Liong Bin Ong.

“Mengapa sri baginda kaisar diam saja? Bukankah jelas bahwa dua orang pangeran itu bermaksud memberontak?”

Souw Kee It menarik napas panjang.
“Sri baginda kaisar adalah amat bijaksana. Beliau tidak menghendaki adanya perpecahan dan keributan antara keluarga kerajaan. Hal ini akan mencemarkan dan melemahkan kedudukan keluarga kaisar dan merendahkan martabatnya di mata rakyat. Apalagi karena niat pemberontakan kedua orang pangeran itu belum ada buktinya, baru merupakan desas-desus belaka. Oleh karena itulah, maka sri baginda hanya memberi tugas kepada para pengawal yang dipercaya, dan dipimpin sendiri oleh Puteri Milana, untuk secara diam-diam membasmi kaki tangan yang berniat memberontak. Jika tidak ada kekuatan dari luar yang mendorong, tentu niat hati kedua orang pangeran itu akan lenyap sendiri.”

Ceng Ceng bersungut-sungut.
“Terlalu sabar. Kalau dikasih hati, dua orang pengkhianat itu makin merajalela.”

“Demikian pula pendapat perdana menteri, sehingga kini secara berterang, para pengawal perdana menteri sering bentrok dengan para pengawal kedua orang pangeran itu. Dan demikian pula pandangan Puteri Milana yang sudah mulai menumpas semua tokoh jahat yang mencurigakan dan yang ada hubungannya dengan niat pemberontak itu.”

“Akan tetapi kulihat pemuda yang bernama Tek Hoat itu lihai bukan main! Kalau dia tidak dapat dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan bahaya!”

Berkata demikian Ceng Ceng teringat kepada kakak angkatnya, Syanti Dewi yang dianggapnya terancam keselamatannya oleh pemuda itu yang telah menyatakan cinta kepada Puteri Bhutan itu.

Souw Kee It mengangguk.
“Memang akupun sudah melihat kelihaiannya. Dia adalah tenaga baru yang belum kami kenal, dan agaknya dia telah ditugaskan untuk mengacaukan dan menggagalkan perjodohan yang hendak diikat oleh sri baginda kaisar antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong.”

“Heran sekali, mengapa sri baginda mengambil keputusan yang demikian aneh? Puteri Bhutan adalah seorang dara yang muda remaja, mengapa hendak dijodohkan dengan pangeran yang sudah tua, mata keranjang dan jahat lagi?” Dia teringat akan percakapan antara Tek Hoat dan pangeran tua di perahu.

“Aihh, engkau tidak tahu, nona. Demi keselamatan kerajaan, tentu saja sri baginda akan melakukan apa saja. Taktik pengikatan jodoh antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong mempunyai dua maksud yang amat penting. Pertama, dengan menarik Kerajaan Bhutan menjadi keluarga, tentu saja Bhutan dijadikan sebuah perisai atau benteng pertahanan di barat, juga berarti bertambahnya sebuah negara keluarga yang bersahabat. Kedua, ikatan jodoh itu dimaksudkan untuk membuktikan kesabaran dan kebaikan hati kaisar sehingga biarpun ada desas-desus akan pengkhianatan Pangeran Liong berdua, tetap saja kaisar menganugerahinya dengan sebuah pernikahan dengan Puteri Bhutan yang terkenal cantik jelita.”

“Hemm, sungguh aku tidak mengerti mengapa perasaan perorangan diabaikan sama sekali demi kepentingan kerajaan.”

“Memang tentu mengherankan bagi seorang yang tidak pernah mendekati urusan kerajaan seperti engkau, Nona. Akan tetapi aku yang sudah sejak muda berkecimpung di dekat keluarga kerajaan, seperti juga kakekmu dahulu, tidak merasa heran. Apalagi hanya perasaan, bahkan nyawa perorangan tidaklah begitu berarti lagi dibandingkan dengan kepentingan kerajaan. Dalam urusan pernikahan inipun yang hancur hatinya adalah Pangeran Yung Hwa.”

“Pangeran Yung Hwa? Siapa dia dan mengapa?”






“Dia juga putera dari sri baginda, seorang pangeran muda remaja, baru berusia dua puluh tahun. Sesungguhnya, Pangeran Yung Hwa inilah yang ketika mendengar berita tentang Puteri Syanti Dewi, jatuh cinta dan mohon kepada sri baginda untuk dilamarkan. Akan tetapi, permintaannya ditolak karena Puteri Syanti Dewi hendak dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong.”

“Si tua bangka!” Ceng Ceng mengomel.

“Dan karena itu, Pangeran Yung Hwa lolos dari istana.”

“Lolos?”

“Ya, patah hati dan minggat dari istana. Begitulah orang muda....”

Ceng Ceng terdiam, merasa terharu. Heran juga dia mengapa Pangeran Yung Hwa dapat jatuh cinta kepada seorang gadis yang belum pernah dilihatnya! Jatuh cinta hanya karena mendengar berita tentang kecantikan dan segala kebaikan Puteri Syanti Dewi! Lucu juga, pikirnya.

Perjalanan dilanjutkan dengan cepat karena mereka berkuda. Karena Ceng Ceng menyamar sebagai pria berkumis, maka biarpun Tek Hoat yang kehilangan gadis itu sudah cepat mengerahkan kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong untuk mengejar dan mencari, namun hasilnya sia-sia.

Dan di sepanjang perjalanan itu, biarpun ada banyak mata-mata pemberontak yang melihat mereka, namun tidak ada yang menduga bahwa “pemuda ganteng berkumis” itu adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicari-cari.

Tentu saja Tek Hoat merasa menyesal bukan main, karena dianggapnya gadis itu merupakan orang penting sekali untuk dapat menemukan Syanti Dewi yang hilang dan dia hanya dapat menyumpah-nyumpah.

Pada suatu pagi, Ceng Ceng dan pengawal Souw telah tiba di sebuah dusun di dekat tapal batas utara.

“Kita sudah memasuki wilayah kekuasaan Jenderal Kao,” kata pegawal itu. “Oleh karena itu, boleh dikatakan kita tiba di daerah aman dan kau boleh menanggalkan penyamaranmu.”

Ceng Ceng merasa girang sekali karena dia merasa kurang leluasa dalam penyamarannya itu. Dibuangnya “kumis” yang menarik perhatian para wanita di sepanjang perjalanan itu, dan diubahnya pakaiannya sehingga kini dia berubah menjadi seorang dara remaja yang cantik dan gagah, dengan kepala dilindungi sebuah caping lebar.

“Karena perjalanan ke utara, ke benteng dimana Jenderal Kao Liang berada merupakan perjalanan yang cukup sukar dan melelahkan, melalui daerah tandus, maka sebaiknya kita mengganti kuda di dusun ini.”

“Apakah disini engkau juga mempunyai kawan-kawan, Souw-lopek?”

“Tidak, akan tetapi dusun ini terkenal sebagai tempat pusat perdagangan kuda. Banyak kuda Mongol yang baik dijual di dusun ini, dan kita hanya menukarkan kuda kita yang sudah lelah dengan menambah sedikit uang.”

Benar saja, setelah mereka memasuki dusun itu, di tengah-tengah dusun terdapat sebuah pasar kuda yang amat besar dan luas dan terdapat ratusan ekor kuda diperjual belikan di tempat ini.

“Kau bawa kuda kita ke bagian sana, bagian penjualan, dan aku akan memilih kuda-kuda baru disebelah sini. Kalau aku yang menjual, karena aku laki-laki, harganya akan kurang tinggi.”

“Eh, mengapa begitu, Lopek (paman tua)?” tanya Ceng Ceng terheran.

Souw Kee It tersenyum.
“Karena, biasanya para pencuri kuda adalah kaum pria. Jarang ada wanita, biar wanita kang-ouw sekalipun, mau mencuri kuda.”

“Wah, jadi kalau yang menjual disangka pencuri kuda, kudanya lalu ditawar murah-murahan? Mengapa ada orang yang mau membeli kuda curian?”

“Hemm, kau masih belum tahu akan ketamakan manusia di dunia ini, Nona. Curian atau bukan, asal mendatangkan keuntungan besar, tentu diterima dengan tangan terbuka. Sudahlah, kau yang menjual kesana, berikan kalau ditawar kurang lebih dua ratus tail untuk dua ekor ini, kemudian kau bawa uangnya kesini untuk membeli dua ekor kuda baru. Aku yang memilih, karena kalau tidak pandai memilih, bisa ditipu mentah-mentah oleh para pedagang kuda yang amat licik dan cerdik itu. Kuda sakit dibilang sehat, kuda tua dibilang muda.”

Ceng Ceng mengangguk, lalu menuntun dua ekor kuda itu menuju ke seberang dimana terdapat banyak tengkulak kuda sedang memeriksa kuda yang akan dijual. Begitu Ceg Ceng tiba di tempat itu, beberapa orang pedagang kuda sudah berlari datang menyambutnya.

“Nona, kudamu sudah amat lelah, memang sepatutnya dijual segera!” kata seorang diantara mereka.

“Agaknya sudah melakukan perjalanan yang amat jauh, lihat tapal kakinya menipis dan urat pahanya menggembung!” kata orang kedua.

“Kalau tidak cepat dipelihara baik-baik bisa terkena penyakit,” kata orang ketiga.

Ceng Ceng membiarkan para tengkulak kuda itu ribut-ribut menurunkan nilai dua ekor kudanya. Kalau saja dia belum mendengarkan penjelasan Souw Kee It tentang siasat para pedagang kuda, tentu dia akan marah atau setidaknya akan merasa bimbang dan kecewa. Akan tetapi, sekarang dia hanya tersenyum, lalu berkata dengan lantang,

“Kalian boleh menjelek-jelekkan dua ekor kudaku ini sesuka hati dan seenak perutmu, akan tetapi kalau tidak dua ratus tail, dua ekor kuda ini tidak akan kujual!”

“Ha-ha-ha, pintar sekali!”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan memuji, perlahan saja namun cukup terdengar oleh Ceng Ceng, karena orang yang memuji itu berada dekat di tempat itu. Dia melirik dan melihat dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan, berdiri memandangnya penuh kagum. Kekaguman yang tidak disembunyikan. Terutama sekali pemuda kedua yang agaknya sedikit lebih muda, yang wajahnya berseri gembira.

Melihat Ceng Ceng melirik ke arahnya, pemuda ini lalu menggerakkan kepalanya sedikit sehingga kuncir rambutnya yang tebal itu bergerak melilit lehernya sendiri. Pemuda yang tercekik dan terlilit lehernya oleh rambutnya sendiri, membuat gerakan seperti orang mendelik dan lidahnya terjulur, sambil berkata dengan nada mengejek kepada para pedagang kuda itu.

“Hekkk.... hekkk.... mau mencekik malah tercekik.... mampus, kena batunya sekarang....” katanya lantang,

“Bu-te, jangan kurang ajar....!” Pemuda pertama yang agak lebih tua dan yang sikapnya pendiam menegur dengan suara lirih.

Senang hati Ceng Ceng. Dia tidak menganggap pemuda itu kurang ajar karena dia tahu bahwa pemuda itu mengejek para pedagang kuda. Timbullah rasa persahabatan di dalam hatinya dan dia menoleh kepada mereka, lalu tersenyum kecil, kemudian menghadapi para pedagang kuda.

“Bagaimana, apakah kalian mau membeli kudaku yang kelelahan, buruk, berpenyakitan ini? Dua ekor untuk dua ratus tail, tidak kurang sedikitpun juga!”

Para pedagang itu saling pandang, menggaruk-garuk kepala. Memang perkiraan Souw Kee It tadi sudah tepat. Dua ratus tail untuk dua ekor kuda pilihan itu tidaklah mahal, akan tetapi juga tidak terlalu murah. Memang harga “pasaran”.

Melihat sikap nona muda itu demikian tegas, dan jelas tidak mugkin untuk dikelabui dengan aksi-aksi palsu, mereka tidak banyak bicara lagi lalu menghitung dua ratus tail perak, diserahkan kepada Ceng Ceng yang membungkusnya dengan kain lebar yang sudah disiapkan oleh Kee It sebelumnya. Kemudian dia meninggalkan tempat setelah melirik lagi kepada dua orang pemuda tadi.

“Lee-ko dia hebat sekali! Mari kita berkenalan....”

“Hushh, jangan kurang ajar di tempat umum begini. Kau bisa dimaki orang, Bu-te....”

“Tapi, dia tentu seorang gadis kang-ouw, dan tentu suka berkenalan. Apa sih jahatnya orang berkenalan?”

Dua orang muda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Seperti kita ketahui, kakak beradik ini setelah menyelamatkan rombongan hartawan yang diganggu oleh para tosu Pek-lian-kauw, melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan pada hari itu berhenti di dusun untuk membeli kuda.

Melihat adiknya nekat hendak mengikuti dara cantik jelita yang menjual kuda tadi, terpaksa Kian Lee mendampingi karena dia tidak ingin melihat adiknya membuat ribut di tempat ramai itu. Tiba-tiba Kian Lee memegang tangan adiknya, dengan gerakan mukanya dia menunjuk ke depan.

Kian Bu juga sudah melihat seorang laki-laki kurus yang berada di belakang gadis itu. Jelas tampak oleh keduanya bahwa laki-laki itu tentulah seorang pencopet yang sedang mengincar buntalan uang yang berada di tangan kiri gadis itu.

Tiba-tiba, di tempat yang agak sepi, di tempat perbatasan antara bagian penjualan dan bagian pembelian kuda-kuda di pasar itu, laki-laki kurus tadi bergerak cepat sekali, tangannya meraba buntalan. Tampak pisau berkilau dan agaknya pencopet itu bukan ingin merebut semua buntalan melainkan hendak merobek buntalan dan mengambil uang dari dalamnya.

“Plakk.... krekk....! Aduhhh....!” laki-laki itu memegangi lengannya yang patah tulangnya sedangkan pisaunya terlempar entah kemana.

Kiranya begitu ada gerakan orang, Ceng Ceng sudah menggerakkan tangan kanannya sambil memutar tubuh dan sekali dia menampar, pergelangan tangan orang yang memegang pisau itu menjadi patah tulangnya.

“Ampunkan saya.... anak-anak saya kelaparan....”

Orang itu berkata dengan muka pucat dan tubuh gemetar ketakutan karena kalau sampai semua orang turun tangan, dia akan menjadi mayat di tempat itu.

Ceng Ceng mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke depan orang itu.
“Ambillah dan pergilah!”

Pencopet itu mengambil uang perak dengan tangan kiri, lalu mengangguk dan cepat menyelinap pergi. Melihat ini, Kian Lee dan Kiam Bu terbelalak kagum.

“Wah, kiranya seorang yang lihai!”

Kian Bu hampir bersorak karena baru sekali ini dia melihat seorang dara cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu.

“Dia tentu seorang pendekar wanita dunia kang-ouw seperti yang sering diceritakan oleh Ibu, maka lebih baik kita jangan mengganggunya”, kata Kian Lee yang merasa kagum sekali.

Kian Bu bersungut-sungut kecewa apalagi melihat seorang laki-laki gagah setengah tua yang menghampiri gadis itu, kemudian mereka membeli dua ekor kuda, Kian Bu tidak berani melanjutkan niatnya menghampiri.

“Hemm, aku masih merasa penasaran, Lee-ko. Apa sih salahnya kalau aku hanya ingin berkenalan?”

“Adikku, harus kuakui bahwa engkau tidak bersalah. Aka tetapi, sejak kecil kita hidup di tempat terasing dari pergaulan umum, maka tentu saja kita berdua merasa bebas. Ketahuilah bahwa kehidupan umum di daerah daratan ini tidaklah bebas sama sekali, kehidupan manusia sudah dibelenggu dan diikat oleh segala macam peraturan, diantara peraturan-peraturan itu ialah bahwa menegur seorang wanita yang bukan keluarga dan bukan kenalannya merupakan perbuatan yang kurang ajar!”

“Aneh dan tidak adil! Kalau tidak lebih dulu menegur, mana bisa kenal? Pula apa sih jeleknya kalau hanya menegur untuk berkenalan saja? Nona itu tadipun bercakap-cakap dengan para pembeli kuda, padahal merekapun belum saling mengenal.”

“Itu lain lagi namanya, kan ada keperluannya, jual beli kuda?”

“Wah, serba salah! Peraturan yang licik sekali. Baik buruknya kan tergantung dari niat yang terkandung di dalam perbuatan, bukan si perbuatan itu sendiri. Seorang pria menegur seorang wanita untuk berkenalan, masa tidak boleh? Peraturan macam apa itu?”

“Itu namanya peraturan kesusilaan, Adikku. Dan masih banyak lagi aturan-aturan antara pria dan wanita, apalagi kalau kita tiba di kota raja, sama sekali tidak boleh dilanggarnya.”

“Hemm, daratan begini luas akan tetapi seperti penjara saja!”

“Memang, kita manusia hidup seperti dalam penjara, dikurung dan dibelenggu oleh segala macam peraturan dan hukum. Akan tetapi, semua itu sudah menjadi kebiasaan umum, kalau dilanggarnya, kau akan dianggap liar dan kurang ajar, tidak tahu kesopanan dan lain sebagainya sehingga engkau akan dianggap jahat dan dimusuhi.”

“Konyol!”

Kian Bu makin tidak puas dan makin penasaran. Memang pemuda itu belum mau mengerti akan semua kebiasaan di dunia “sopan” ini. Hidup di Pulau Es tentu saja merasa bebas, tidak terikat oleh peraturan apapun karena mereka hanya hidup bersama ayah dan ibunya, sedangkan pertemuan yang kadang-kala dengan para nelayan yang menjelajah di pulau-pulau agak jauh dari Pulau Es, juga merupakan pertemuan dengan orang-orang sederhana yang hidup wajar dan polos, tidak banyak terikat oleh segala macam peraturan.

Kini, darah mudanya yang menuntut sehingga timbul daya tarik terhadap kaum wanita, menghadapi penghalang yang sangat besar dan dirasakan amat mengganggu kebebasannya. Berbeda dengan Kian Lee yang sungguhpun keadaan hidupnya di Pulas Es tiada bedanya dengan Kian Bu, namun pemuda ini memperhatikan semua yang diceritakan tentang dunia ramai oleh ibunya, bahkan suka membaca-baca kitab tentang sejarah dan kehidupan di dunia ramai. Oleh karena itu biarpun dia baru sekali ini turun ke daratan besar, namun segala peraturan tidaklah terlalu mengejutkan hatinya dan dapat dihadapinya dengan tenang dan sabar.

Demikianlah, Kian Bu hanya dapat memandang saja ketika melihat gadis yang mengagumkan hatinya itu meloncat ke atas kuda bersama kakek itu, lalu keduanya membalapkan kuda keluar dari dusun itu. Hatinya ingin sekali menegur, bertanya dan berkenalan, namun dia memaksa diri diam saja, hanya memandang dan makin tertarik hatinya ketika melihat betapa dara itu mengerling kearah mereka sambil tersenyum manis!

“Siapakah mereka....?” Souw Kee It bertanya setelah mereka keluar dari dusun.

“Hi-hik, pemuda-pemuda yang lucu.” Ceng Ceng lalu menceritakan pertemuannya dengan dua orang muda itu ketika dia menjual kuda.

“Hemm, mereka mencurigakan. Nona, kita harus berhati-hati.”

“Kau sendiri mengatakan bahwa ini daerah aman, Lopek.”

“Benar, memang tadinya kuanggap demikian. Akan tetapi di dalam pasar kuda tadi, aku melihat banyak mata yang memandang kepadaku secara sembunyi. Hal seperti itu sudah terlalu sering kualami sehingga aku dapat merasakannya. Juga, kalau aku tidak salah, aku melihat wajah seorang kakek yang menyelinap diantara banyak orang, padahal kalau aku tidak salah ingat, itu adalah wajah seorang tosu Pek-lian-kauw. Dan kabarnya Pek-lian-kauw juga sudah memasukkan tangan-tangan kotor kedalam usaha pemberontakan ini.”

“Ihhh....!” Ceng Ceng menjadi kaget mendengar ini.

“Keadaan menjadi berbahaya kalau begini, Nona.” Souw Kee It mengerutkan alisnya dan menahan kudanya agar dia dapat menerangkan lebih jelas lagi. “Kalau sampai di dusun itu terdapat orang-orangnya pemberontak tanpa diketahui oleh Jenderal Kao, maka hal itu hanya berarti bahwa kaki tangan pemberontak sudah menyelundup ke utara. Mungkin saja diantara para pembantu Kao-goanswe sendiri ada yang sudah terpengaruh. Dan ini berbahaya bagi pertahanan di utara.”

“Habis, apa yang hendak kau lakukan, Lopek?” Ceng Ceng bertanya, khawatir juga mendengar suara orang tua itu yang amat serius.

Tiba-tiba kakek itu memandang ke depan dan matanya terbelalak, lalu berkata,
“Tenang, tak usah khawatir, akan tetapi siap menghadapi mereka itu. Kurasa mereka bukan orang-orang yang mengandung niat baik....”

Ceng Ceng juga memandang ke depan dan tampaklah olehnya dua orang tosu dan dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua diantara para pembeli kuda tadi telah menghadang di depan. Kuda tunggangan empat orang itu ditambatkan pada pohon tak jauh dari situ dan jelaslah bahwa empat orang ini memang sengaja menanti dan menghadang mereka di tempat ini!

“Lopek, hajar saja mereka!”

Ceng Ceng berteriak dengan gemas dan kedua tangannya sudah meraba sepasang pisau belati yang diselipkan di pinggangnya.

Memang mereka sudah bersiap sedia dan Souw Kee It telah memberikan dua batang pisau itu sebagaimana yang dipilihnya sendiri ketika pengawal itu menawarkan senjata apa yang paling digemarinya.

“Kau hadapi dua orang mata-mata yang menyamar sebagai pedagang kuda itu, dan biarlah aku yang menghadapi dua orang tosu Pek-lian-kauw itu,” bisik Souw Kee It.

Ceng Ceng mengangguk dan dengan tenang keduanya turun dari atas kuda, menambatkan kuda mereka di pohon lalu menghampiri empat orang yang mengawasi gerak-gerik mereka tanpa berkata-kata itu. Biarpun dia merasa amat gemas dan marah, namun Ceng Ceng tidak berani sembrono turun tangan, melainkan membiarkan pengawal itu yang bicara.

“Jiwi-totiang (bapak pendeta berdua) agaknya mempunyai keperluan denganku maka sengaja menanti disini. Ada keperluan apakah?” Souw Kee It bertanya sambil menghadapi kedua orang tosu itu.

Dua orang tosu itu tidak menjawab, melainkan membuat gerakan membuka jubah depan mereka, yang menutupi jubah di dalam dan tampaklah lukisan teratai putih di depan dada mereka. Tentu saja Souw Kee It sudah tahu sebelumnya bahwa dua orang tosu itu adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw, akan tetapi dia berpura-pura kaget dan tidak mengerti.

“Kalau tidak salah, ji-wi adalah tosu dari Pek-lian-kauw. Ada keperluan apakah dengan kami paman dan keponakan?”

“Souw Kee It, tidak perlu kau berpura-pura lagi!” Tiba-tiba seorang diantara mereka, tosu yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata mengejek. “Dan tidak perlu lagi mengaku dia ini keponakanmu. Ketika dia masih menjadi pemuda berkumis, memang kami ragu-ragu. Souw Kee It, dan kau Nona! Hayo katakan dimana adanya Puteri Syanti Dewi!”

Souw Kee It terkejut juga. Demikian hebat gerakan para pemberontak ini sehingga mata-matanya tersebar kemana-mana, bahkan perjalanannya bersama Ceng Ceng, penyamaran dara itupun diketahui belaka oleh tosu-tosu ini. Yang tidak mereka ketahui, seperti yang dia sendiri pun belum mengetahui, adalah dimana adanya Putri Syanti Dewi. Hal ini melegakan hatinya, juga melegakan hati Ceng Ceng, karena berarti bahwa Syanti Dewi belum terjatuh ke tangan kaum pemberontak.

“Pemberontak hina dina!”

Bentak Souw Kee It dan tanpa banyak cakap lagi pengawal ini sudah meloncat ke depan, menerjang sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar terang.

Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu juga sudah mencabut pedang masing-masing dan menangkis sambil membalas dengan serangan dahsyat. Namun, mudah saja serangan mereka ditangkis oleh Souw Kee It dan melihat gerakan-gerakan mereka, hati pengawal kawakan ini menjadi lega karena dia yakin akan dapat mengatasi mereka. Dia mengkhawatirkan Ceng Ceng yang juga sudah membentak nyaring dan sudah menerjang maju disambut oleh dua orang pedagang kuda palsu itu dengan golok mereka.

Terdengar suara nyaring berdencing berkali-kali ketika dua orang pedagang kuda palsu itu sibuk menangkis sinar terang dari sepasang belati di tangan Ceng Ceng yang menyambar-nyambar ganas kearah mereka!

Tersenyumlah Souw Kee It menyaksikan sepak terjang dara dari Bhutan itu. Hebat dan lincah, dan dia maklum bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan Ceng Ceng. Hal ini membuat dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi dua orang tosu dari Pek-lian-kauw.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar