FB

FB


Ads

Rabu, 11 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 034

“Bangun....! Gak-siok-siok.... bangunlah....!” Gak Bun Beng membuka matanya. “Paman, lihat, ada pasukan tentara datang.!”

Gak Bun Beng mengeluh dan merasa kasihan sekali kepada dara itu. Baru saja mereka beristirahat di dalam rumah kosong yang rusak itu. Setelah membuat api unggun dan menyelimuti tubuh Syanti Dewi yang tidur diatas rumput kering, dia sendiri lalu duduk bersandar dinding rusak di dekat pintu, menjaga sambil beristirahat, dan diapun tertidur saking lelahnya. Baru saja tidur, belum ada sejam karena diapun belum pulas benar, sudah ada orang yang mengganggu.

Dia bangkit dan berdiri, menggosok-gosok kedua matanya dan memandang keluar.
“Heiii....! Yang berada di dalam rumah kosong! Hayo kalian semua keluar!” terdengar teriakan seorang diantara para perajurit yang memegang obor.

Obor itu besar sekali dan amat terang dan di atas sebuah tandu pikulan duduklah seorang panglima yang berpakaian lengkap dan gagah, pakaian perang, sikapnya gagah sekali mengingatkan Gak Bun Beng akan tokoh Kwan Kong di dalam cerita Sam Kok, seorang panglima perang yang jarang bertemu tanding saking gagah perkasanya.

“Tenanglah, Dewi, mari ikut aku keluar,” kata Gak Bun Beng dan dia menggandeng tangan dara itu, diajaknya keluar menghadap panglima itu.

“Suruh pergi mereka semua! Kalau mereka tidak menyembunyikan pemberontak, sudahlah, jangan ganggu penduduk di sekitar sini! Akan tetapi cari di rumah-rumah kosong, di guha-guha dan basmi semua pelarian pemberontak, barulah daerah ini akan aman. Kalian jangan terlalu malas, bekerja kepalang tanggung. Satu kali mengeluarkan tenaga hasilnya harus dapat dirasakan selama satu tahun! Tidak setiap hari mengalami gangguan terus!”

Beberapa orang panglima dan perwira yang mendengar perintah ini membungkuk-bungkuk dan kelihatannya mereka takut sekali kepada panglima gagah perkasa ini. Tiba-tiba panglima gagah perkasa ini memandang ke arah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi. Gak Bun Beng terkejut. Pandang mata itu menunjukkan bahwa jelas pembesar militer ini benar-benar bukan orang sembarangan, akan tetapi dia balas memandang dengan sikap tenang.

Pembesar itu memberi isyarat dengan tangan dan seorang perajurit menggapai kepada mereka sambil berkata,

“Heii, kalian berdua majulah menghadap tai-goanswe!”

Gak Bun Beng menarik tangan Syanti Dewi menghadap pembesar itu dan menjura dengan dalam-dalam, akan tetapi tidak berlutut karena dia ingin menguji watak pembesar ini.

“Hei, berlutut kalian!” bentak seorang perajurit.

“Biarkan mereka!”

Jenderal besar (tai-goanswe) itu berkata, melambaikan tangan kepada Gak Bun Beng memberi isyarat agar mereka berdua maju. Sekali lagi pandang mata Jenderal itu memandang tajam penuh selidik, kemudian bertanya kepada Syanti Dewi dengan suara membentak dan tiba-tiba,

“Kau, wanita muda katakan, siapa namanya laki-laki ini?”

Tentu saja Syanti Dewi terkejut bukan main karena biasanya, dalam setiap urusan selalu Gak Bun Beng yang maju ke depan dan Gak Bun Beng yang melayani semua tanya jawab. Sekali ini, secara tiba-tiba jenderal yang kelihatan galak seperti seekor singa itu menanya kepadanya. Saking kagetnya, dia menjawab tanpa dapat dipikir lebih dulu secara otomatis,

“Namanya adalah Gak Bun Beng!”

Jenderal ini mengerutkan alisnya yang tebal, mengingat-ingat, kemudian dia meloncat turun menghadapi Gak Bun Beng. Tepat dugaan pendekar sakti ini, cara jenderal itu meloncat menunjukkan pula kemahiran ilmu silat tinggi, biarpun tubuhnya tegap tinggi besar namun gerakannya ringan sekali dan ketika kedua kakinya menginjak tanah, tidak mengeluarkan bunyi apa-apa seperti kaki kucing meloncat saja.

“Kau Si Jari Maut?” tiba-tiba jenderal itu membentak.

Gak Bun Beng melepaskan tangan Syanti Dewi dan menyuruh dara itu minggir. Syanti Dewi juga kaget sekali, apalagi mendengar nama Si Jari Maut. Mengapa pula penolongnya itu disangka Si Jari Maut? Bukankah Si Jari Maut adalah tukang perahu itu?

Gak Bun Beng juga merasa heran dan dia menggeleng kepala.
“Bukan, tai-goanswe. Saya tidak punya nama lain kecuali yang dikatakan tadi.”

“Siapa dia?” Jenderal itu menuding ke arah Syanti Dewi.

“Dia anak saya.”

“Hemm, wajahnya bukan wajah wanita Han. Jangan membohong kau!”

“Memang anak saya ini berdarah campuran, tai-goanswe. Ibunya adalah seorang Tibet.”

Jenderal ini meraba jenggotnya.
“Hem.... kau dari mana hendak kemana?”

“Saya dari Tibet dimana selama belasan tahun saya merantau dan menikah disana, sekarang hendak pergi ke Se-cuan.”

“Kau bukan si Jari Maut?”

“Bukan, tai-goanswe.”

“Tapi kau tentu bisa ilmu silat, bukan?”

Sukarlah bagi Gak Bun Beng untuk mendusta terhadap jenderal yang bermata tajam ini. Tentu saja bagi seorang ahli, dapat melihat bahwa dia seorang yang “berisi”, maka dia bersenyum dan menjawab,

“Sedikit-sedikit saya pernah mempelajari.”






“Nah, coba kau hadapi seranganku ini, ingin aku melihat sampai dimana kepandaianmu!”

Tiba-tiba saja jenderal itu menerjang maju, gerakannya cepat bukan main, sama sekali tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar tegap itu, apalagi dengan memakai pakaian perang yang cukup berat. Selain cepat, juga pukulan kepalan tangannya didahului angin yang menyambar dahsyat, hawa yang mengandung rasa panas ke arah dada Gak Bun Beng.

Pendekar sakti ini maklum bahwa sang jenderal sudah dapat melihat bahwa dia memiliki kepandaian dan agaknya dia hendak menguji karena curiga, maka diapun tidak mau berpura-pura lagi karena toh akan sia-sia saja dan akan ketahuan oleh jenderal yang cerdik itu, maka diapun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya sebagian saja cukup untuk menandingi tenaga sin-kang penyerangnya.

“Dukkk!”

Jenderah itu berseru kaget ketika pukulannya tertangkis dan lengannya terpental. Dia dapat memukul lagi dan tahulah Gak Bun Beng bahwa pukulannya tadi ternyata hanya menggunakan tenaga setengahnya karena jenderal itu belum tahu sampai dimana kekuatannya. Kini jenderal itu menghantam dengan tenaga penuh, tenaga yang melebihi kekuatan seekor kerbau jantan mengamuk!

“Dess....!” Kembali pukulan tertangkis dan jenderal itu terhuyung ke belakang.

“Coba pergunakan jari mautmu!”

Bentak sang Jenderal dan kini dia menerjang lagi, kaki tangannya bergerak dan sekaligus Gak Bun Beng menghadapi penyerangan pukulan, tamparan, totokan dan tendangan sebanyak delapan kali berturut-turut.

Maklumlah dia bahwa jenderal ini benar-benar pandai, dan agaknya sang jenderal sengaja mendesaknya dengan jurus luar biasa itu untuk memancing dia agar dia kalau memang mempunyai, mengeluarkan llmunya yang paling hebat, yang diharapkan akan membuka rahasia Jari Maut.

Tentu saja kalau Gak Bun Beng menghendaki, dengan apa saja, dia sekali turun tangan akan mampu membunuh lawannya ini. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau, bahkan dia menangkis dan sengaja memperlambat gerakannya sehingga dua kali pukulan mengenai bahu dan dadanya.

“Bukk! Dess....!” Gak Bun Beng terhuyung ke belakang sambil becseru, “Maaf, tai-goanswe, saya tidak kuat bertahan!”

“Ha-ha-ha-ha!” Jenderal itu tertawa bergelak, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang dan perutnya sampai bergoyang-goyang ketika dia tertawa sambil mendongak ke angkasa. “Ha-ha-ha, engkau terang bukanlah Si Jari Maut, sungguhpun engkau pandai sekali merendah. Sobat, aku Kao Liang kagum sekali kepadamu!”

Terkejutlah hati Gak Bun Beng mendengar nama ini. Kiranya inilah jenderal yang ditakuti oleh para pelarian tadi. Pantas saja! Memang seorang jenderal yang hebat! Untung jenderal ini agaknya tidak pernah atau jarang sekali muncul di kota raja sehingga tidak mengenalnya, pula, andaikata pernah, tentu sudah sejak mendengar namanya tadi pembesar itu lain sikapnya.

“Ah, kiranya Kao-taigoanswe....! Saya pernah mendengar nama besar tai-goanawe dari para pemberontak yang lari terbirit-birit ke barat.”

“Ha-ha-ha, dan aku tadinya mencurigaimu sebagai anggauta pemberontak. Tidak mungkin. Apalagi dengan anakmu ini. Nah, kalian berdua hendak ke Se-cuan? Silahkan, kalau di jalan bertemu kesukaran, katakan bahwa engkau adalah sahabat Kao Liang, tentu akan dapat menolong!”

Gak Bun Beng menjura, menghaturkan terima kasih lalu mengajak Syanti Dewi pergi dari situ cepat-cepat, biarpun malam itu cukup gelap karena bintang di langit terhalang sedikit awan.

Gak Bun Beng mengajak Syanti Dewi berhenti di bawah sebatang pohon besar di dekat padang rumput. Tidak mungkin melanjutkan perjalanan melintasi padang rumput yang demikian rimbun, takut kalau-kalau ada ularnya atau binatang lain.

Melihat lampu-lampu di sebelah kiri, mereka lalu bangkit lagi dan menuju ke tempat itu. Kiranya itu adalah sebuah dusun yang lumayan besarnya. Akan tetapi karena dusun itu baru saja mengalami pemeriksaan dan pembersihan, semua penduduk masih merasa takut dan pintu rumah ditutup rapat-rapat.

Beberapa kali Gak Bun Beng mengetuk pintu, dan mendengar suara bisik-bisik di dalam, namun tidak pernah ada yang menjawabnya. Bahkan ketika mereka melihat sebuah rumah penginapan dan mengetuk pintunya, tidak ada pelayan yang membukainya. Barulah setelah Syanti Dewi yang bersuara minta dibukakan pintu, daun pintu terbuka oleh seorang pelayan yang memandang mereka penuh curiga.

“Kenapa kalian ini malam-malam menggedor-gedor pintu rumah ocang?”

Tanyanya dengan hati lega akan tetapi juga jengkel ketika melihat bahwa yang datang hanyalah seorang laki-laki setengah tua dan seorang dara remaja yang keduanya berpakaian seperti orang dusun.

“Hemm, bukankah ini rumah penginapan untuk umum?” Gak Bun Beng bertanya sabar.

“Benar, akan tetapi apakah kau tidak bisa mengerti akan keadaan? Dunia sedang kiamat begini mencari kamar waktu tengah malam! Untung aku berani membuka pintu, kalau tidak siapa lagi yang berani dan kalian takkan bisa mendapatkan tempat di rumah manapun juga.”

“Maaf kalau kami mengganggu dan mengagetkan, biarlah besok sebagai penambah uang sewa kamar kami beri juga uang kaget,” kata pula Gak Bun Beng.

Mendengar bahwa dia akan menerima uang kaget sebagai hadiah pelayan itu menjadi lebih ramah.

“Baru siang tadi dusun kami digerebek dan diperiksa, diawut-awut, banyak yang ditangkap dituduh teman pemberontak. Tentu saja sedusun ini masih dalam suasana panik dan takut.”

Gak Bun Beng mengangguk-angguk dan akhirnya mereka memperoleh sebuah kamar dengan dua buah tempat tidur. Tadinya Gak Bun Beng hendak menyewa dua kamar, akan tetapi di depan pelayan itu Syanti Dewi berkata,

“Ayah, mengapa harus dua kamar? Satu saja cukuplah asal ada dua tempat tidur. Apalagi, aku takut tidur sendiri dalam kamar!”

Malam itu keduanya dapat tidur nyenyak setelah bercakap-cakap sebentar tentang Jenderal Kao Liang.

“Seorang jantan sejati,” kata Gak Bun Beng kagum. “Negara memang membutuhkan orang-orang seperti dia itulah! Aku berani bertaruh apa saja bahwa orang seperti dia tentu setia kepada negara, tidak mabok kedudukan, tidak sudi menjilat dan tidak suka pula menekan bawahan. Ilmu kepandaiannya boleh juga.”

“Aku juga sudah khawatir, paman. Dia kelihatannya begitu kuat dan lihai. Akan tetapi ternyata kau tidak apa-apa! Dia memang mengerikan, seperti seekor singa!”

“Jarang kini terdapat orang seperti dia,” kata pula Gak Bun Beng. “Orang pemberani macam dia tentu tidak berhati kejam. Hanya orang penakutlah yang berhati kejam karena kekejaman lahir dari rasa takut. Dan dia tidak pula penjilat, karena hanya orang yang suka menindas bawahannya sajalah yang suka menjilat atasannya. Dia memang jantan sejati dan aku benar-benar kagum!”

Sementara itu, di perkemahannya, Jenderal Kao Liang juga berkata kepada seorang perwira kepercayaannya.

“Orang bernama Gak Bun Beng tadi memang hebat! Aku percaya bahwa dia tentulah seorang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan yang memakai nama Gak Bun Beng Si Jari Maut tentulah seorang penjahat yang sengaja hendak merusak namanya.”

Memang tepatlah kata-kata Jenderal Kao Liang ini. Yang merusak dan menggunakan nama Gak Bun Beng Si Jari Maut bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Jenderal ini sudah mendengar akan sepak terjang Si Jari Maut, akan tetapi dia mendengar bahwa penjahat kejam itu adalah seorang pemuda, maka dia tadi percaya bahwa Gak Bun Beng yang ditemuinya itu bukanlah Si Jari Maut.

Tentu saja dia tidak tahu bahwa ketika menangkis serangannya tadi, Gak Bun Beng hanya mempergunakan sedikit bagian saja dari tenaganya, dan sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa Gak Bun Beng adalah seorang pendekar sakti murid dari Pendekar Super Sakti, Bu-tek Siauw-jin, dan memiliki ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi yang amat hebat!

Pada keesokan harinya, setelah mandi pagi, Gak Bun Beng berkata kepada Syanti Dewi,
“Dewi, kita harus menyamar dalam perjalanan selanjutnya. Aku sudah kapok kalau sampai terjadi seperti malam tadi. Pula, menurut pelayan, di sebelah sananya padang rumput itu terdapat perkemahan pasukan. Ingin sekali aku melakukan penyelidikan, dan mengetahui apakah gerangan yang terjadi sehingga seorang jenderal yang berpangkat tinggi itu sampai datang ke tempat ini dan melakukan perondaan sendiri, memimpin pasukan sendiri melakukan pembersihan.”

“Paman, bukankah Jenderal Kao telah menjamin....”

“Ah, aku tidak mau berkedok nama jenderal, Dewi. Kita melakukan perjalanan sendiri menggunakan akal sendiri untuk menyelamatkan diri. Bagaimana kalau kita menyamar sebagai ayah dan anak penjual silat?”

“Tapi ilmu silatku masih rendah, paman.”

“Habis apa kiranya yang menjadi keahlianmu?”

“Aku agak pandai menari.”

“Nah, itu dia! Kita menyamar sebagai penjual obat dan engkau menari, aku yang mengiringi dengan meniup suling.”

Syanti Dewi tertawa dan cahaya matahari menjadi cerah bagi Gak Bun Beng. Tawa gadis yang halus itu benar-benar mendatangkan kesegaran dalam perasaannya. Bertahun-tahun dia hidup membeku, dan baru sekarang dia merasakan kehangatan perikemanusiaan.

“Menari hanya diiringi dengan suling saja? Dan lagunya? Apakah kau mengenal lagu Bhutan, paman?”

“Tentu saja tidak. Akan tetapi asal melagukan cukup? Apalagi kita adalah penjual obat, bukan ahli tari sungguhpun aku yakin bahwa engkau tentu merupakan seorang ahli tari yang luar biasa. Nah, sekarang kita harus berbelanja ke dusun ini menyiapkan segala keperluan penyamaran kita. Untukku sebatang suling dan sebuah caping lebar, dan untukmu, apa kebutuhanmu dalam penyamaranmu, Dewi?”

“Sebagai penari keliling, cukup dengan sehelai selendang panjang saja, selendang sutera berwarna merah.”

Setelah menemukan dan membeli kebutuhan mereka itu, Gak Bun Beng lalu mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan meninggalkan dusun itu dan melintasi padang rumput. Di sepanjang perjalanan Syanti Dewi menyanyikan beberapa lagu Tibet yang dikenalnya dan dengan penuh kagum dan keharuan karena dara itu ternyata amat pandai bernyanyi dan mempunyai suara yang amat merdu dan halus. Gak Bun Beng mempelajari lagu-lagu itu dengan sulingnya.

Ketika mereka sudah melewati padang rumput Gak Bun Beng berhenti dan meminta kepada Syanti Dewi agar supaya menari.

“Kita harus berlatih dulu agar cocok antara suling dan gerakan tarianmu,” katanya.

Dia duduk di bawah pohon dan mulai meniup sulingnya, menirukan lagu yang dinyanyikan dara itu, dan Syanti Dewi mulai menari, menggerakkan tubuhnya seperti seekor kupu-kupu beterbangan di atas kelompok bunga, dan ketika selendangnya yang merah itu digerak-gecakkan, selendang itu membentuk lengkung-lengkuk merah yang amat indah dan berubah-ubah. Kadang-kadang seperti seekor naga merah terbang, kadang-kadang seperti seekor kupu-kupu, lalu seperti huruf-huruf yang hanya tampak sekilas pandang saja karena sudah berubah lagi bentuknya.

Bukan main! Gak Bun Beng terpesona dan lupa diri, seolah-olah dia sedang berada di kahyangan menyaksikan tarian seorang bidadari. Di dalam setiap gerakan tubuh dara itu, dari ujung jari tangan sampai ke anak rambut yang terjurai di depan dahi, semua begitu hidup, mengandung warna tertentu dan merupakan nyanyian tertentu, indah penuh rahasia seperti sajak-sajak keramat, meriah dan riang gembira seperti sinar matahari pagi di musim semi!

Setelah Syanti Dewi menghentikan tariannya sambil tertawa, Gak Bun Beng baru sadar. Dia menurunkan sulingnya pula, masih terlongong dan termenung, seolah-olah orang baru terbangun dari suatu mimpi yang amat indah.

“Paman Gak!”

Syanti Dewi memanggil ketika melihat pendekar itu duduk termenung, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya.

“Heh....? Ehhh....!” Gak Bun Beng menyeka peluh yang tanpa diketahuinya telah memenuhi dahi dan lehernya, kemudian dia memandang Syanti Dewi dengan sinar mata lembut dan penuh kasih sayang. “Dewi, bukan main kau....! Bukan main....!” Dan tak dapat ditahan lagi, dia mengatupkan bibir dan dua titik air mata menetes ke atas pipinya.

Syanti Dewi menubruknya.
“Paman, ada apakah? Paman.... paman menangis?”

Ucapan ini dikeluarkan penuh ketidak percayaan. Rasanya mustahil bagi Syanti Dewi melihat seorang pria yang demikian gagah perkasa, jantan, keras bagaikan baja, lembut dan budiman seperti kapas, yang dihormati, kagumi, dan sayang dapat meruntuhkan air mata walaupun hanya dua butir!

Gak Bun Beng tak mampu menjawab dan memejamkan mata ketika merasa betapa Syanti Dewi menyeka dua butir air mata itu dengan ujung selendangnya. Terbayanglah wajah Milana, teringatlah dia akan semua kenikmatan dan kebahagiaan berkasih sayang dengan wanita itu.

Kehadiran Syanti Dewi dalam hidupnya membuat luka di dalam hatinya merekah kembali dan dia menjadi amat rindu kepada Milana, amat rindu pada belaian kasih sayang wanita. Padahal selama ini, dia telah berhasil menundukkan semua itu, telah membuat hatinya mengeras seperti baja. Namun segala keindahan yang dilihatnya dalam diri Syanti Dewi, segala kelembutannya, mendobrak seluruh pertahanannya dan menjadi jebol!

“Paman kau kenapakah? Mengapa paman berduka?” Kemudian Syanti Dewi bertanya dengan suara penuh kedukaan dan kecemasan.

Gak Bun Beng membuka matanya, lalu memaksa diri tersenyum dan membuka capingnya, mengipasi muka dan lehernya dengan caping, bukan untuk mengusir hawa panas, melainkan dengan harapan angin dari kipasan caping itu akan mengusir keharuan yang mencekik lehernya. Sukar dia mengeluarkan suara dan hanya menggeleng kepala sambil tersenyum.

“Paman, kau tadi kelihatan demikian berduka, sampai menangis! Padahal tadinya tidak apa-apa. Setelah aku menari, paman berduka dan terharu. Tentu ada sebabnya, paman. Demikian tegakah paman membiarkan aku dipermainkan kesangsian? Tidak sudikah paman mempercayaiku dan menceritakan apa yang mendukakan hatimu?”

Gak Bun Beng menggerakkan tangan dan mengelus rambut kepala gadis itu. Gerakan ini meruntuhkan hati Syanti Dewi dan otomatis dia lalu menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada pendekar itu. Dia merasa begitu aman, begitu tenteram dan begitu bahagia, seolah-olah dada yang bidang itu melindunginya dari segala malapetaka yang akan mengancamnya, melindunginya dari segala kedukaan dan mendatangkan kebahagiaan yang dia tidak mengerti.

Gak Bun Beng pun menerima perbuatan gadis ini dengan perasaan wajar, seolah-olah sudah semestinya demikian, dan untuk beberapa saat dia tetap mengelus rambut kepala yang panjang, hitam dan halus itu. Kemudian dia teringat betapa janggalnya keadaan mereka, maka perlahan dia mendorong kepala gadis itu dari atas dadanya. Mereka duduk berhadapan dan berkatalah Gak Bun Beng,

“Syanti Dewi, kaulah satu-satunya manusia yang berhak mengetahui segala mengenai diriku.”

“Terima kasih, paman. Aku yakin bahwa memang engkau akan menceritakan kepadaku, karena kiranya tidak ada lagi manusia yang demikian mulia seperti engkau, paman.”

Gak Bun Beng memegang tangan dara itu, akan tetapi ketika dia merasa ada getaran kemesraan yang luar biasa keluar dari tangan dara itu, dia cepat melepaskannya kembali dan menghela napas, membuang pandang matanya ke tanah, menunduk.

“Dewi, engkau terlalu tinggi memandang diriku. Aku hanyalah seorang tua yang bodoh, yang canggung dan lemah.”

“Bukan aku yang memandang terlalu tinggi, melainkan engkau yang selalu merendahkan diri, dan itulah satu diantara sifat-sifat paman yang kukagumi. Sekarang ceritakan, paman, mengapa paman tadi menangis ketika melihat aku menari?”

“Syanti Dewi, karena kau mengingatkan aku akan seorang lain....”

“Seorang wanita?”

Gak Bun Beng mengangguk.
“Wanita yang paman cinta?”

Kembali Gak Bun Beng mengangguk.
“Dan diapun mencinta paman?”

Untuk ketiga kalinya Gak Bun Beng mengangguk.

Syanti Dewi menunduk, kelihatan berduka sekali. Sampai lama keduanya diam saja, kemudian terdengar dara itu bertanya, suaranya gemetar menahan isak,

“Paman Gak, sudah lamakah dia meninggal?”

Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, lalu mengerti bahwa dara ini menyangka kekasihnya itu sudah meninggal.

“Sampai sekarang dia masih hidup, Dewi.”

Muka dara itu menjadi pucat sekali, kemudian merah dan dia meloncat bangkit berdiri dan suaranya nyaring penuh rasa penasaran dan kemarahan,

“Kalau begitu dia telah meninggalkan paman, sungguh kejam sekali!”

Gak Bun Beng cepat menggeleng kepalanya.
“Bukan! Bukan dia, melainkan akulah yang meninggalkan dia....”

Wajah yang tadinya merah menyala itu menjadi pucat, kedua tangannya yang dikepal terbuka dan tubuh yang menegang itu menjadi lemas.

“Ouhhh....!” Syanti Dewi mengeluh dan duduk kembali di depan pendekar itu.

Syanti Dewi melihat Gak Bun Beng pendekar pujaannya itu duduk termenung, wajahnya pucat sekali, alisnya yang tebal berkerut dan di permukaan wajah itu terbayang kenyerian yang sukar dilukiskan.

Melihat wajah pendekar itu seperti ini, Syanti Dewi tidak dapat menahan tangisnya. Dia terisak dan memegang kedua tangan pendekar itu, mengguncang-guncangnya sambil bertanya diantara isaknya.

“Akan tetapi.... mengapa, paman? Mengapa....? Mengapa....?” Suaranya bercampur isak dan dia membiarkan air matanya berderai menuruni pipinya.

Melihat keadaan dara ini, Gak Bun Beng merenggutkan kedua tangannya. Dia takut kepada dirinya sendiri karena seluruh tubuhnya, seluruh hati dan perasaannya, seakan-akan mendorongnya untuk memeluk dan mendekap dara itu penuh cinta kasih. Dia melawan hasrat ini dan karenanya dia merenggutkan ketua tangan dari pegangan dara itu, lalu menutupkan kedua tangannya ke mukanya sambil menahan air matanya dengan jari-jari tangannya. Sampai lama mereka tidak berkata-kata, yang terdengar hanya suara isak Syanti Dewi dan tarikan napas panjang Gak Bun Beng.

Setelah Syanti Dewi agak mereda dan berhasil menekan perasaan harunya dan ibanya, dia mengangkat muka yang basah dan merah, memandang punggung kedua tangan yang menutupi muka pendekar itu, bertanya,

“Paman, saya yakin pasti ada sebab-sebab yang memaksa paman meninggalkannya. Pasti ada, dan maukah paman menceritakan kepadaku?”

Mendengar suara gadis itu telah tenang kembali biarpun masih gemetar, Gak Bun Beng yang juga telah berhasil meredakan gelora hatinya, menurunkan kedua tangannya dan tampaklah wajahnya yang pucat dan muram.

“Syanti Dewi, sudah kukatakan bahwa aku akan menceritakannya kepadamu. Memang ada sebabnya, dan sebab itu adalah karena aku bodoh dan serba canggung! Begitu banyak aku melihat perkawinan gagal, cinta kasih berantakan setelah terjadi perkawinan, kemesraan lenyap terganti cemburu, kekecewaan dan kemarahan yang berakhir dengan kebencian dan dendam, sehingga aku menjadi muak dan ngeri. Aku menjadi takut kalau-kalau diapun akan menderita apabila kasih diantara kita yang murni itu akan menjadi palsu dan kotor setelah kita menikah. Aku tidak tega membiarkan dia kelak menderita, karena itu, aku mundur.... tidak tahu bahwa aku membawa pergi racun yang menggerogoti dan merusak hidupku hari demi hari. Dengan kekuatan batin aku bisa menundukkan semua itu, membuat hatiku keras dan melupakan segala.”

Dia menarik napas panjang dan menengadah, memandang ke langit seolah-olah hendak mengadukan nasibnya kepada Thian.

“Jadi.... itukah sebabnya, paman, seorang pendekar besar mengasingkan dan menyembunyikan diri diantara orang-orang biasa, menjauhkan diri dari segala urusan dan kesenangan duniawi?”

Gak Bun Beng mengangguk.

“Dan selama itu paman tidak lagi tertarik kepada wanita yang manapun?”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar