FB

FB


Ads

Rabu, 11 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 032

“Bagus, kami akan menanti saja di kota raja, disana masih banyak urusan dan kau harus cepat kembali, banyak tugas menantimu.”

“Baik, Ong-ya....”

Tiba-tiba Ceng Ceng yang bengong terlongong itu terkejut karena mendengar suara berkeresekan di belakangnya. Dia menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian hitam, berjenggot panjang berdiri tepat di belakangnya. Dia hampir berteriak dan membuka mulut.

“Eekkkeeekkk....”

Mulutnya telah dibungkam tangan kiri orang tua dan sebelum dia sempat melawan, pundaknya sudah ditotok dan dia roboh lemas dalam rangkulan orang itu.

“Ssstt, diam.... jangan bergerak.... aku bukan musuh melainkan sahabatmu dan sahabat Puteri Syanti Dewi....”

Setelah berkata demikian dan melihat Ceng Ceng mengangguk, orang itu menotok lagi dan Ceng Ceng terbebas. Dara ini terkejut dan heran. Demikian banyaknya orang pandai disini. Pemuda itu lihai dan orang inipun hebat kepandaiannya! Dia memandang sejenak.

Orang itu mukanya membayangkan kegagahan, matanya sipit seperti orang mengantuk, alisnya tebal kepalanya agak botak dan jenggotnya panjang, usianya tentu sudah ada lima puluh tahun, pakaiannya biasa saja seperti pakaian petani. Melihat orang itu memperhatikan ke depan, diapun lalu memandang lagi. Kini tampak betapa pemuda itu berbisik-bisik di dekat perahu dengan si pembesar tinggi yang ternyata adalah Pangeran Liong Khi Ong, tunangan Syanti Dewi!

Ceng Ceng berdebar-debar. Bingung dia dan diam-diam dia memaki-maki Tek Hoat. Kiranya pemuda itu adalah kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong! Akan tetapi apa artinya ini semua? Kalau dia kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong, mengapa dia bersikap begitu aneh, tidak bersama anggauta rombongan lainnya yang dipimpin oleh pengawal kaisar Tan Siong Khi? Mengapa bertindak secara rahasia? Dan apa pula artinya kata-kata pangeran itu bahwa Syanti Dewi terpaksa harus dikorbankan demi cita-cita? Ceng Ceng menjadi bingung dan tidak bergerak sama sekali, hanya melihat betapa Tek Hoat telah pergi dengan cepat menuju ke kuil kembali, sedangkan perahu mewah itupun bergerak ke tengah sungai.

“Cepat, mari pergi dari sini. Kalau dia kembali dan dapat menyusul kita, celaka. Kita berdua bukanlah lawannya,” bisik laki-laki setengah tua berjenggot panjang itu.

“Hemm, mengapa aku harus menurut kata-katamu? Siapa tahu bahwa kau lebih jahat lagi daripada dia?”

“Nona Lu, percayalah kepadaku. Mungkin kakekmu Lu Kiong belum pernah menyebut namaku, akan tetapi aku mengenal baik Lu-lo-enghiong bekas pengawal kaisar. Aku adalah rekan dari Tan Siong Khi. Aku sudah mendengar bahwa kakekmu gugur, dan aku hampir mengerti semuanya, kecuali beberapa hal.”

“Apakah yang terjadi? Siapakah sebenarnya pemuda bernama Ang Tek Hoat itu?”

“Sstt, marilah kita segera pergi,” kakek itu mendesak.

“Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku.”

“Dia seorang manusia luar biasa, ilmu kepandaiannya sangat tinggi....”

“Aku sudah tahu!”






“Tapi dia adalah pengawal Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang merencanakan pemberontakan. Bahkan pangeran itulah yang mengatur pencegatan rombongan sehingga kakekmu tewas. Pemuda itu tangan kanannya dan Pangeran Liong Khi Ong tadi menyalah gunakan niat baik kaisar yang menjadi kakaknya sendiri. Mereka itu demi cita-cita pemberontakan, tidak segan-segan melakukan kekejian, kalau perlu membunuh Puteri Syanti Dewi dan engkau.”

“Ohhhh....”

“Marilah, nona. Demi keselamatanmu sendiri dan keselamatan Syanti Dewi.”

Dengan hati penuh kengerian Ceng Ceng lalu mengikuti laki-laki itu melarikan diri. Dia percaya penuh karena bukankah dia sudah menyaksikan dan mendengarkan sendiri pertemuan dan percakapan antara Pangeran Liong Khi Ong dan Ang Tek Hoat? Kiranya pemuda itu seorang mata-mata pemberontak! Kiranya malah musuh dari kerajaan kaisar dan kerajaan Bhutan, hendak mencelakakan Syanti Dewi! Bahkan yang merencanakan pencegatan rombongan yang mengakibatkan terbunuhnya kakeknya, adalah para pemberontak itu! Dan dia sudah tertarik hatinya oleh Tek Hoat.

“Ahhhh....!”

“Ada apa, nona Lu?” tanya kakek itu.

“Tidak apa-apa....” jawab Ceng Ceng karena yang terasa nyeri adalah jauh di dalam lubuk hatinya, bukan badannya.

Setengah malam penuh mereka berjalan terus, melalui hutan-hutan dan pegunungan. Dalam perjalanan ini, kakek tadi menceritakan keadaan kerajaan yang diancam pemberontakan, dan memperkenalkan dirinya.

Dia adalah seorang pengawal kaisar pula, di bawah Tan Siong Khi dan bernama Souw Kee It. Dia bertugas untuk menyelidiki secara diam-diam keadaan rombongan itu. Tentu saja dia tidak secepat Pendekar Super Sakti yang juga melawat ke Bhutan dan berhasil menolong Raja Bhutan, akan tetapi sebagai seorang penyelidik yang tahu akan keadaan negara, dia mempunyai pendengaran dan penciuman yang lebih tajam.

Dia mendapatkan rahasia dari pemberontak yang menaruh tangan-tangan kotor ke dalam pencegatan itu, maklum bahwa raja liar Tambolon juga digerakkan oleh tangan kotor dari kota raja sendiri. Dia telah melihat pula sepak terjang Tek Hoat yang hebat, dan maklumlah dia bahwa dia bukan pula lawan pemuda itu. Maka ketika memperoleh kesempatan, dia mengajak lari Ceng Ceng.

Mendengar semua penuturan ini, Ceng Ceng makin terheran-heran dan bingung. Tak disangkanya bahwa pernikahan Syanti Dewi akan membawa akibat sedemikian hebat dan peristiwa itu terlibat dengan pemberontakan yang ruwet.

“Bagaimana dengan enci Syanti Dewi?” tanyanya dengan khawatir.

“Sudah kuselidiki, nona. Kabarnya puteri itu juga tertolong secara ajaib oleh seorang nelayan tua yang tidak dikenal siapa sebenarnya. Cara menolongnya amat ajaib sehingga sukar aku mempercaya cerita mereka itu. Akan tetapi, laki-laki gagah yang menolongnya itu telah pergi bersama sang puteri. Sekarang yang saya ingin ketahui, kemanakah rencana nona dan sang puteri tadinya setelah terpaksa meninggalkan kakek Lu yang gugur?”

“Kakek meninggalkan pesan agar supaya kami pergi ke kota raja, minta perlindungan dan bantuan kepada Puteri Milana....”

Souw Kee It mengangguk-angguk.
“Memang tepat sekali pesan kakekmu. Akan tetapi beliau tidak tahu akan perubahan di kota raja. Kalau engkau dan Puteri Syanti Dewi sudah tiba di kota raja dan berada di tangan Puteri Milana, kiranya tidak ada setanpun yang berani mengganggu. Akan tetapi, justeru perjalanan menuju ke kota raja itulah yang amat sukar dan berbahaya. Kaki tangan mereka sudah disebar dimana-mana untuk menangkap kalian berdua.”

“Ouhhh, habis bagaimana?”

“Harap nona jangan khawatir. Aku juga mempunyai teman-teman, dan nanti akan kita atur bagaimana membawa nona pergi ke timur dengan selamat. Akan tetapi, kurasa tidak tepat kalau sebelum bertemu dengan Puteri Syanti Dewi nona pergi ke kota raja, kalau kita berhasil sampai ke timur, lebih baik kalau nona untuk sementara berlindung di benteng yang dikuasai Jenderal Kao Liang di tapal batas utara ibu kota.”

Hati Ceng Ceng agak lega mendengar bahwa Syanti Dewi juga tidak tewas dan telah tertolong orang pandai, sungguhpun dia bingung memikirkan mengapa begitu banyak orang pandai muncul? Siapakah penolong Syanti Dewi dan kemana perginya kakak angkatnya itu?

Dua hari kemudian, tibalah mereka di sebuah dusun dan disini terdapat pasukan kaisar yang masih setia kepada kaisar. Souw Kee It lalu mendandani Ceng Ceng sebagai seorang pria, lengkap dengan kumis palsu sehingga andaikata Tek Hoat sendiri bertemu dengannya kiranya akan sulitlah untuk mengenalnya, demikian pendapat Ceng Ceng ketika dia memperhatikan wajahnya sendiri di depan cermin. Setelah membawa bekal secukupnya, Souw Kee It bersama Ceng Ceng, lalu menunggang kuda-kuda pilihan, melanjutkan perjalanan mereka ke timur.

**** 032 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar