FB

FB


Ads

Sabtu, 07 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 014

Sementara itu, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meringkuk di dalam kamar tahanan di Pulau Neraka. Mereka diperlakukan dengan baik, akan tetapi dijaga ketat dan kaki tangan mereka selalu terbelenggu dengan rantai baja yang kokoh kuat. Mereka dapat berjalan, dan dapat makan sendiri, akan tetapi tentu saja tidak mungkin untuk melarikan diri dari pulau itu dengan kaki tangan menyeret rantai panjang itu.

Satu bulan sudah mereka ditahan. Pada suatu hari, selagi mereka menjemur diri di luar kamar tahanan, Kian Lee menyikut adiknya.

“Lihat itu....!”

Mereka mendongak dan melihat tiga titik hitam yang berada di angkasa, makin lama makin besar dan setelah dapat tampak, ternyata dua titik putih dari satu titik hitam itu adalah dua ekor burung putih dan seekor burung hitam yang besar sekali.

“Ihh, burung apa itu begitu besar, Lee-ko?”

“Entahlah. Agaknya burung garuda seperti yang dulu pernah dimiliki ayah menurut cerita ayah.”

Melihat kakak beradik ini berbisik-bisik dan menunjuk ke atas, penjaga yang melihatnya tertawa.
“Kalian mau tahu? Itulah seekor Hek-tiauw (Rajawali Hitam) tunggangan to-cu kami, dan yang dua ekor adalah Pek-tiauw yang masih muda dan menjadi peliharaannya. Mereka datang membawa daging manusia untuk kami, he-he!”

Sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring, tiga ekor rajawali itu turun ke dalam kebun di luar rumah-rumah di pulau itu dan kedua orang kakak beradik itu melihat betapa rajawali hitam yang amat besar itu mencengkeram punggung baju seorang laki-laki muda gemuk yang menggigil ketakutan.

Laki-laki itu dilepas dan jatuh bergulingan di atas tanah, lalu berlutut dan minta-minta ampun. Akan tetapi dua orang anggauta Pulau Neraka telah melompat maju, menangkap dan membelenggunya, menyeretnya ke dalam untuk dihadapkan kepada Hek-tiauw Lo-mo.

Kian Lee dan Kian Bu mendengar suara ketawa kakek raksasa ketua Pulau Neraka itu, kemudian melihat lagi tawanan itu diseret keluar. Dengan mata terbelalak penuh kengerian, kedua orang pemuda remaja itu melihat tawanan itu ditelanjangi, digantung kedua tangannya dan dibelek perutnya dengan golok tajam dan dikeluarkan isi perutnya!

Hampir mereka tak dapat bertahan menyaksikan kekejaman dan mendengar suara teriakan tawanan itu. Kemudian mereka berdua hampir muntah melihat mayat orang itu dipotong-potong, kemudian dimasak dan dipanggang!

“Lee-ko.... aku.... aku takut....” Suma Kian Bu berbisik, berdiri menggigil dan mukanya pucat sekali.

Suma Kian Lee juga berdebar ngeri, dan dia maklum bahwa kalau adiknya yang tak pernah mengenal takut itu kini menyatakan takut, maka keadaannya sudah gawat sekali.

“Bu-te.... kita harus dapat meloloskan diri.... sekarang juga....” bisiknya sambil merangkul adiknya.

Mereka berdua maklum bahwa nasib mereka juga besar kemungkinan akan sama dengan tawanan yang gemuk itu! Kedua orang pemuda remaja itu menanti kesempatan baik dan ketika ketua Pulau Neraka sedang berpesta pora menikmati daging manusia sambil minum arak, kemudian sisanya dibagi-bagikan kepada para anak buahnya, mereka berdua menyelinap ke dalam kebun. Di situ mereka melihat tiga ekor burung rajawali sedang makan isi perut manusia! Dua ekor burung yang putih bulunya dan masih muda, memperebutkan usus yang panjang, saling tarik dan saling betot sambil mengeluarkan bunyi cecowetan.

“Bu-te, sekarang....!” bisik Suma Kian Lee dan keduanya lalu menghampiri dua ekor burung itu.

Dengan gerakan yang amat gesit, keduanya mengerahkan gin-kang mereka dan meloncat ke atas punggung burung yang tinggi. Dua ekor burung rajawali putih itu terkejut, meronta karena mengira bahwa mereka diserang dan ditubruk musuh. Mereka berusaha untuk melemparkan orang yang berada di punggung mereka dan dalam kemarahan mereka, usus yang diperebutkan tadi sudah dilupakan lagi. Namun, kedua orang muda itu tetap mendekam di atas punggung mereka sambil merangkul leher burung dengan ketatnya.

“Rajawali, terbanglah!” Suma Kian Bu membentak. “Kalau tidak, kucabuti semua bulu lehermu!”

Berkata demikian, pemuda bengal ini mencabuti beberapa helai bulu dari leher burung yang ditungganginya. Burung itu menjerit kesakitan, mengembangkan sayapnya lalu terbang ke atas. Burung yang ditunggangi Suma Kian Lee yang juga kebingungan dan ketakutan, segera mencontoh perbuatan temannya dan terbang pula!

“Yahuuuuu....!” Suma Kian Bu bersorak kegirangan. “Lee-ko! Kita terbang seperti dewa....!”

Teriaknya pula sambil menoleh ke arah rajawali kedua yang ditunggangi kakaknya.
“Hati-hati, Bu-te, lihat kita dikejar....!”

Kian Bu menoleh ke bawah dan benar saja. Dia melihat rajawali hitam sudah terbang pula ke atas dan di punggung burung besar itu duduk.... Hek-tiauw Lo-mo! Kakek itu kelihatan marah sekali, menggerak-gerakkan kedua tangannya menyuruh dua orang muda itu kembali. Rajawali hitam yang ditungganginya juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti mengundang kedua orang temannya, dan dua ekor rajawali putih itu bimbang dan tiba-tiba membalik dan terbang menghampiri rajawali hitam!

“Heiii, dua bocah yang bosan hidup! Kalian berani mencoba melarikan diri? Awas kau, sekali ini aku tidak akan mengampuni kalian lagi. Kalian akan kupanggang hidup-hidup!”

Rajawali hitam itu sudah dekat sekali dan tiba-tiba rajawali putih yang ditunggangi Suma Kian Bu mengeluarkan pekik nyaring dan.... menerjang rajawali hitam dengan ganasnya!

“Eh-eh, heiiitttt.... kurang ajar!”

Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah melihat rajawali putih itu mengabruk rajawali hitam yang ditungganginya. Akan tetapi dari belakangnya, rajawali putih kedua yang ditunggangi Kian Lee juga datang menyerbu dengan ganas! Apakah yang terjadi? Mengapa kedua rajawali putih itu menyerang temannya sendiri?






Kiranya Suma Kian Bu yang bengal itu menjadi khawatir sekali menyaksikan kedatangan rajawali hitam yang ditunggangi ketua Pulau Neraka yang menyeramkan itu. Dalam kegelisahannya, timbul akalnya dan dia lalu mencabuti bulu di leher, bahkan mencengkeram leher rajawali yang ditungganginya.

Rajawali itu kesakitan dan marah-marah, sedemikian marahnya sehingga dia mengamuk membabi buta, karena tidak dapat membalas orang yang mendekam di punggungnya, dia lalu menumpahkan kemarahannya kepada rajawali hitam! Adapun Kian Lee yang mendekam di punggung rajawali putih kedua membisikan kata-kata halus kepada rajawali itu, minta kepada binatang itu agar menolongnya,

“Rajawali yang baik, kau tolonglah kami berdua....”

Tentu saja rajawali yang ditungganginya itu tidak mengerti arti kata-kata Kian Lee, akan tetapi melihat temannya menerjang rajawali hitam, diapun membantu dan menyerangnya dari belakang. Segera terjadi pertandingan yang seru dan mengerikan hati kakak beradik itu antara tiga ekor burung rajawali itu! Siapa tidak akan merasa ngeri kalau burung yang ditunggangi masing-masing itu menukik, menerjang, membalik dan membuat gerakan-gerakan yang luar biasa dan sekali saja mereka terjatuh, tentu mereka akan terbanting dari tempat yang luar biasa tingginya itu dan tubuh mereka akan remuk!

Hek-tiauw Lo-mo marah bukan main. Dia memaki-maki, tangannya ikut membantu rajawalinya memukul ke arah kedua ekor rajawali putih, akan tetapi karena gerakan rajawali yang ditungganginya membuat diapun harus berpegang kuat-kuat, maka gerakannya tidak leluasa dan pukulannya meleset selalu.

“Bedebah! Keparat! Kalian berani melawan? Kusembelih kalian!” bentaknya berkali-kali akan tetapi akhirnya dia terpaksa harus menangkis karena keroyokan dua ekor rajawali putih yang masih muda dan kuat itu membuat rajawalinya sendiri kewalahan dan beberapa patukan dan cakaran kesasar menyerang dirinya!

Dia merasa menyesal mengapa tadi tergesa-gesa tidak membawa senjatanya. Tadinya dia sedang makan minum dan terkejut mendengar pekik rajawalinya, maka dia lari keluar tanpa membawa senjatanya ketika anak buahnya berteriak melapor bahwa dua orang pemuda tawanan itu lari. Pula, dia memandang rendah mereka, sama sekali tidak mengira bahwa dua ekor burung rajawali itu akan membalik dan melawannya!

Setelah terkena patukan beberapa kali dan kepalanya terluka berdarah, rajawali hitam menjadi panik dan jerih, dan akhirnya sambil berteriak panjang dia membalik dan pergi. Betapapun Hek-tiauw Lo-mo membentak dan membujuknya, rajawali hitam itu tidak mau melanjutkan pengejarannya dan dua ekor rajawali putih sudah terbang lagi dengan kecepatan yang membuat kedua orang muda itu berpegang semakin erat.

Akan tetapi makin lama, mereka menjadi terbiasa dan tidak terlalu ngeri lagi, bahkan Suma Kian Bu sudah pula mulai bergembira dan bersorak-sorak.

“Aduhh.... indahnya pemandangan di bawah. Lihat, Lee-ko, tuh di sana, pulau itu, aduh indahnya! Berwarna-warna, biru hijau kuning.... dan pepohonan itu demikian kecil!”

Jarak antara kedua ekor rajawali itu memang tidak jauh dan sepasang rajawali itu memang amat akrab, maka mereka dapat saling bercakap-cakap, biarpun mereka harus berteriak agar dapat terdengar.

“Bu-te, kita harus kembali ke Pulau Es!” Kian Lee berteriak.

“Benar, Lee-ko, mari kita cari. Tentu akan lebih mudah mencari dari atas.”

Rajawali yang ditunggangi Kian Bu agaknya memang lebih nakal daripada yang ditunggangi Kian Lee. Rajawali itu menukik ke bawah, kemudian terbang berputaran dengan kecepatan yang luar biasa. Kian Bu yang banyak akalnya mulai mempelajari cara menunggang burung raksasa ini. Dia mencoba dengan menarik bulu leher kanan.

Kalau merasa leher kanannya sakit, terpaksa burung itu menggerakkan kepala ke kanan, ekornya mengimbanginya dan otomatis terbangnya membelok ke kanan. Demikian pula kalau Kian Bu menarik bulu di leher kiri. Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Kian Bu dan mulailah dia “menyetir” burungnya mencari Pulau Es. Burung yang ditunggangi Kian Lee selalu mengikuti ke mana terbangnya kawannya sehingga bagi Kian Lee tidak sukar lagi menentukan arah.

“Ah, di sana itu, Bu-te...!”

Tiba-tiba Kian Lee berteriak ketika melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan berkilauan. Tentu saja belum pernah dia melihat Pulau Es dari angkasa, akan tetapi biasanya kalau dia sedang bermain di puncak bukit kecil di tengah pulau, dia melihat permukaan pulau yang rendah juga berwarna putih dan berkilau seperti itu.

“Benar, mari kita pulang, Lee-ko!”

Kian Bu juga sudah melihat pulau itu dan dia memutar burungnya menuju ke sana. Tak lama kemudian, kedua ekor burung rajawali itu terbang berputaran di atas pulau dan kedua orang anak itu berteriak-teriak kegirangan ketika mengenalnya. Memang benar pulau itu adalah tempat tinggal mereka, Pulau Es!

“Ayaaaaaaahhhhh....! Ibuuuuu....!” Suma Kian Bu berteriak-teriak dari atas.

Tak lama kemudian tampaklah Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya keluar dari dalam Istana Pulau Es dan ketiga orang itu memandang ke atas dengan penuh keheranan melihat sepasang rajawali itu berputaran di atas pulau.

“Kian Lee! Kian Bu!” Terdengar suara Pendekar Super Sakti melengking nyaring. “Lekas kalian turun....!”

Dua ekor burung itu tetap terbang berputaran dan betapapun kedua orang muda itu berusaha, tetap saja sepasang rajawali itu tidak mau turun. Tentu saja mereka tidak mau turun di pulau yang asing karena mereka merasa takut.

“Ayah! Kami tidak dapat menyuruh mereka turun....!” Kian Lee berseru keras ke bawah.

“Kalian totok pangkal leher mereka di antara kedua sayap, dan tekan kepala mereka ke bawah!”

Terdengar lagi Pendekar Super Sakti berseru. Dua orang pemuda remaja itu mentaati perintah ayah mereka dan benar saja, setelah mereka menotok dan menekan kepala tunggangan masing-masing, dua ekor rajawali itu mengeluarkan lengking nyaring dan gerakan mereka menjadi lemah.

Pada saat itu Pendekar Super Sakti mengeluarkan suara melengking seperti suara burung-burung itu, akan tetapi lebih nyaring lagi sampai suara lengkingnya bergema di semua penjuru. Mendengar suara ini, sepasang rajawali itu kelihatan terkejut, kemudian menukik ke bawah dan terbang menghampiri Pendekar Super Sakti, hinggap di atas tanah depan pendekar itu dan kelihatan bingung dan takut-takut. Kian Lee dan Kian Bu cepat meloncat dari atas punggung sepasang rajawali.

“Kian Lee....!”

“Kian Bu....!”

Dan dua orang ibu itu lari menghampiri dan memeluk putera masing-masing dengan hati lega. Selama ini kedua orang ibu itu dicekam kegelisahan hebat karena putera mereka pergi sampai lama tanpa ada beritanya.

“Hemm, kalian pergi tanpa pamit sampai berbulan. Apa artinya perbuatan kalian itu?”

Suara Pendekar Super Sakti terdengar penuh wibawa dan menyembunyikan kemarahan. Hal ini terasa sekali oleh kakak beradik itu, maka keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka dan hampir berbareng kedua orang anak itu berkata,

“Aku telah bersalah, ayah.”

“Hayo ceritakan semuanya, ke mana kalian pergi dan dengan maksud apa,” kata pula Pendekar Super Sakti dengan marah dan kedua orang isterinya hanya memandang dengan hati khawatir.

Merekapun tahu kalau suami mereka marah dan memang sudah sepantasnya karena kedua orang anak itu pergi tanpa pamit dan telah membuat hati orang tua mereka bingung dan gelisah.
Biarpun kalau berada di luar Kian Bu jauh lebih bengal daripada kakaknya, namun menghadapi ayah mereka, Kian Bu paling takut, maka dia hanya menoleh kepada kakaknya, seolah-olah hendak menyerahkan semua jawaban kepada kakaknya.

Kian Lee seperti biasanya selalu bersikap tenang, juga kini di depan ayah mereka yang dia tahu sedang marah, dia bersikap tenang sungguhpun jantungnya dicekam rasa jerih. Suaranya tenang dan jelas ketika dia mulai menceritakan “petualangan” kakak beradik itu, betapa mereka berdua tadinya berniat mencari kakak mereka Milana yang berada di kota raja, akan tetapi betapa mereka tersesat jalan sampai tiba di Pulau Neraka.

Mendengar disebutnya Pulau Neraka, tiga orang suami isteri itu terkejut, terutama sekali Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka.

“Kalian ke Pulau Neraka?” serunya dengan alis berkerut. “Apa yang terjadi di sana?”

“Kami berdua tidak sengaja mendarat di Pulau Neraka.” Kian Lee melanjutkan, “dan di sana, kami dijadikan tawanan oleh ketuanya.”

“Hemmm, siapa ketua Pulau Neraka?” Suma Han bertanya.

Kian Lee lalu menceritakan tentang Hek-tiauw Lo-mo yang suka makan daging manusia dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

“Ah, agaknya pulau itu kini dikuasai oleh seorang biadab!” Nirahai berseru heran.

Mendengar suara ibunya, Kian Bu berani membuka mulut.
“Wah, dia mengerikan sekali, Ibu! Untung Lee-ko dan aku dapat melarikan diri dibantu oleh sepasang rajawali putih itu. Kami dikejar oleh ketua Pulau Neraka yang menunggang rajawali hitam, untung saja sepasang rajawali ini membela kami dan menerbangkan kami sampai ke sini!”

Dia lalu menceritakan pengalamannya ketika dikejar Hek-tiauw Lo-mo, ceritanya asyik sekali disertai gerakan kaki tangan sehingga Nirahai dan Lulu mendengarkan dengan tertarik.

“Biarlah kubebaskan dulu engkau dari belenggu itu!”

Nirahai menghampiri Kian Bu sedangkan Lulu menghampiri Kian Lee dengan niat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan mereka dengan rantai besi panjang itu.

“Jangan buka belenggu itu!”

Tiba-tiba Suma Han berkata. Kedua orang isterinya terkejut dan menengok, memandang suami mereka.

Dengan suara tenang namun penuh kepastian Suma Han berkata lagi,
“Mereka adalah dua orang anak yang telah membikin bingung dan gelisah hati orang tua, juga telah mendatangkan kekacauan di Pulau Neraka tanpa sebab. Mereka harus dihukum dan sepantasnyalah belenggu-belenggu itu untuk mereka. Hayo kalian naik ke puncak dan bersamadhi di sana selama dua hari dua malam. Pergi!”

Suma Han mendekati ke dua orang puteranya dan tangan kirinya menampar dua kali, mengenai punggung mereka.

“Bukk! Bukk!”

Kedua orang anak itu tersungkur, kemudian bangkit berdiri memandang ayah mereka dengan mata terbelalak, menggigit bibir, menahan nyeri, kemudian mereka saling pandang dan melangkah lebar menuju bagian yang paling tinggi di pulau itu, yang mereka sebut puncak.

Lulu dan Nirahai saling pandang dengan alis berkerut. Ketika kedua anak itu sudah tak tampak lagi, barulah Nirahai berkata, nadanya memprotes,

“Mengapa mereka....?”

“Harus dihukum, biar mereka tahu dan kelak mereka akan memperhitungkan setiap tindakan mereka, tidak sembrono dan asal berani saja,” kata Pendekar Super Sakti dengan suara tegas sehingga kedua orang isterinya tidak berani membantah.

Mereka hanya memandang dengan hati terharu melihat dua ekor rajawali itu mengeluarkan suara seperti orang menangis ketika mereka memandang ke arah perginya dua orang muda itu. Kemudian, sepasang rajawali itu terbang ke atas dan berputaran di atas Pulau Es.

Pada malam kedua diam-diam Lulu menyelinap ke puncak dan membawakan makanan dan minuman untuk mereka berdua. Ketika tiba di puncak, Lulu melihat bahwa sepasang rajawali ini seolah-olah sedang menjaga Kian Lee dan Kian Bu yang duduk bersila seperti patung, muka dan tubuh mereka penuh salju putih sehingga mereka seperti sudah berubah menjadi manusia salju.

Lulu harus mengurut dan mengguncang sampai lama dan barulah Kian Lee sadar dari samadhinya. Melihat ibunya, dia hanya menggelengkan kepalanya dan hendak memejamkan matanya kembali.

“Lee-ji, bangunlah dulu. Kau harus makan dan minum dulu, baru boleh bersamadhi lagi. Ingat, tubuhmu takkan kuat bertahan dan kau bisa terancam sakit. Juga adikmu Kian Bu.”

Karena dibujuk terus, akhirnya Kian Lee menurut, membangunkan adiknya dan kedua orang muda ini lalu makan dan minum sekadarnya untuk mengisi perut yang kosong dan menghangatkan tubuh. Setelah makan minum, mereka melanjutkan samadhi dan terpaksa Lulu meninggalkan mereka.

Pada keesokan harinya, dua hari dua malam telah lewat dan pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya telah berada di puncak.

“Bangunlah kalian, masa hukuman telah habis!”

Suma Han berseru dan suaranya yang disertai khi-kang kuat itu seolah-olah menembus keadaan dua orang muda yang sedang samadhi itu sehingga mereka terbangun dan cepat bangkit. Keduanya terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka.

Suma Han memandang kedua puteranya itu, lalu berkata dengan wajah berseri,
“Sekarang, kerahkan hawa panas yang berputaran di tian-tan (pusar) kalian, dorong ke arah pergelangan tangan dan coba renggutkan belenggu itu agar patah.”

Dua orang muda itu menurut. Memang selama mereka bersamadhi, mereka terlindung oleh hawa panas yang berputaran di seluruh tubuh mereka, seperti keadaan mereka kalau berlatih sin-kang di waktu hujan salju di Pulau Es. Kini mereka mengerahkan tenaga panas itu ke arah kedua lengan, mengerahkan sin-kang dan merenggut.

“Krekk! Krekk!”

Patahlah belenggu di kedua tangan mereka! Lulu dan Nirahai girang sekali menyaksikan kemajuan putera-putera mereka, akan tetapi Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata lantang,

“Haiii....! Apakah selama dua hari dua malam ini kalian pernah berhenti makan dan minum?”

Kakak beradik itu saling pandang, lalu menunduk. Berat rasa hati Kian Lee kalau harus mengaku bahwa ibunya telah membujuknya, dan untuk membohong dan mengatakan tidakpun dia tidak berani.

“Semalam aku datang dan menyuruh mereka makan dan minum,” tiba-tiba Lulu berkata. “Hati siapa yang akan tega menyaksikan anak-anaknya disiksa?”

Suma Han menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengepal-ngepal tangannya sendiri.
“Aihhh.... kelemahan hati wanita memang seringkali menimbulkan kegemparan dan juga kegagalan.”

Lulu memandang suaminya dan wajahnya berubah.
“Eh...., apa.... maksudmu....?”

“Sebelum mengirim mereka ke puncak, aku telah membuka saluran hawa di tubuh mereka. Aku melihat bahwa mereka sedang dalam keadaan baik sekali, berhati besar dan baru mengalami ketegangan hebat. Pula, saatnya amat cocok untuk mereka melatih dan menerima kekuatan Inti Salju. Kalau tidak terganggu, kiranya saat ini mereka sudah dapat mengumpulkan sin-kang sepuluh kali lebih kuat daripada sekarang!”

“Ohhhh....!” Lulu memegangi dahinya dengan penuh penyesalan. “Mengapa kau tidak bilang lebih dulu sebelumnya?”

“Tak baik kalau diberi tahu lebih dulu, akan menimbulkan ketegangan dan harapan sehingga dapat menggagalkan latihan. Akan tetapi sudahlah, memang sudah demikian kenyataannya. Yang jelas sekarang mereka harus berlatih dengan giat sekali. Kian Lee, Kian Bu, kalian tahu betapa ilmu kepandaian kalian masih jauh daripada mencukupi sehingga sekali merantau meninggalkan pulau, kalian menjadi tawanan orang dan hampir saja celaka. Mulai hari ini, kalian harus rajin berlatih dan sebelum sempurna ilmu kepandaian kalian, kalian tidak boleh meninggalkan pulau tanpa pamit. Tidak perlu memikirkan kakak kalian. Milana dalam keadaan selamat di kota raja dan kelak kalau ilmu kepandaian kalian sudah mencukupi, tentu kalian boleh mengunjunginya.”

Dua orang pemuda remaja itu mengangguk-angguk dan untuk menyatakan penyesalan mereka, mulai hari itu mereka seperti berlumba dalam kegiatan berlatih ilmu sehingga memperoleh kemajuan yang pesat.

Adapun sepasang rajawali putih dari Pulau Neraka itu menjadi kian jinak dan menjadi kesayangan mereka. Seringkali kedua orang pemuda itu, juga ayah dan para ibu mereka, menunggangi rajawali sekadar untuk terbang di udara, di atas Pulau Es.

Beberapa bulan kemudian, barulah kedua orang pemuda itu maklum betapa mereka telah membikin repot ayah mereka ketika mereka pergi tanpa pamit. Baru mereka tahu akan hal ini ketika malam hari itu, setelah mereka semua makan malam, Pendekar Super Sakti menceritakan kepada putera-puteranya betapa dia mencari mereka sampai ke daratan besar, bahkan sampai ke Negara Bhutan, jauh di barat!

“Mengapa ayah menyusul sejauh itu ke Bhutan?” tanya Kian Bu dengan heran.

“Sebetulnya aku hanya menduga saja kalian ikut rombongan utusan dalam petualangan kalian, akan tetapi kalau tidak ada terjadi suatu hal, akupun tidak akan menyusul sejauh itu.”

Pendekar itu lalu menceritakan betapa ketika dia mengunjungi puterinya, Milana, dari Han Wi Kong suami Milana, dia mendengar bahwa kaisar membutuhkan orang pandai untuk menyelidiki keadaan di barat, sekalian mengawal rombongan utusan yang kelak akan memboyong puteri. Hal ini karena ada kekhawatiran di istana bahwa kini di barat mulai timbul pemberontakan-pemberontakan dari suku-suku bangsa dan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah mulai memperlihatkan permusuhan.

Mendengar ini, Suma Han lalu menghadap kaisar yang masih terhitung mertuanya sendiri itu dan dia menyanggupi untuk menjadi penyelidik. Karena itulah maka Pendekar Super Sakti ini bahkan mendahului rombongan utusan menuju ke Bhutan dan ketika mendahului rombongan itu, dia tahu bahwa kedua puteranya tidak ikut dalam rombongan. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Pendekar Super Sakti berhasil menyelamatkan Raja Bhutan dan ancaman bahaya kepungan para musuhnya.

Seperti biasa kalau mendengarkan cerita-cerita ayahnya, kini mendengarkan pengalaman ayah mereka di Bhutan, kedua orang pemuda itu tertarik sekali dan hati mereka ingin sekali memperoleh kesempatan merantau ke daratan besar yang menurut cerita ayahnya merupakan tempat yang amat luar biasa, penuh ketegangan dan penuh keanehan itu. Keinginan ini mendorong semangat mereka untuk berlatih ilmu silat lebih giat lagi.

**** 014 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar