FB

FB


Ads

Selasa, 03 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 008

“Kalau engkau tidak mau mengambil aku sebagai murid, mengapa kau tadi menolongku? Biarlah aku dibunuh oleh kakek Bu-tong-pai, apa sangkut-pautnya denganmu?”

Kakek itu tercengang, akan tetapi tetap tertawa.
“Melihat anak kecil dipukul tokoh-tokoh Bu-tong-pai, bagaimana aku dapat mendiamkannya saja. Hei, anak baik, mengapa engkau dipukuli mereka? Apakah engkau mencuri sesuatu?”

“Sudahlah, kalau engkau tidak mau mengambil murid kepadaku, mengapa masih banyak cakap lagi? Aku hanya mempunyai sebuah permintaan lagi, kalau kau tidak mau memenuhinya, benar-benar aku tidak mengerti mengapa kau begini usil mencampuri urusan orang lain! Permintaanku adalah agar kau suka menunjukkan kepadaku tempat tinggal seorang yang kucari-cari. Engkau tentu seorang kang-ouw yang sakti, maka kalau kau mengatakan tidak tahu, berarti kau bohong.”

“Kau anak luar biasa. Katakan, siapa yang kau cari itu?”

“Aku mencari Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tahukah engkau di mana dia berada dan bagaimana aku dapat bertemu dengannya? Heii.... engkau kenapa?”

Tek Hoat berseru melihat kakek lumpuh itu memandangnya dengan mata terbelalak seolah-olah dia telah berubah menjadi setan yang menakutkan!

Tentu saja kakek itu terkejut bukan main mendengar anak ini mencari Pendekar Siluman! Kakek ini berjuluk Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Singa), namanya sendiri yang telah dilupakan orang dan hampir dilupakan sendiri olehnya adalah Bhok Toan Kok dan dia dahulu pernah menjadi pembantu utama dari Puteri Nirahai ketika puteri ini menjadi ketua Thian-liong-pang (baca cerita Sepasang Pedang Iblis).

Seperti telah diceritakan dalam Sepasang Pedang Iblis, Sai-cu Lo-mo meninggalkan Pulau Es yang pertama kali dikunjunginya itu bersama dengan Milana yang oleh ayahnya disuruh ikut kakeknya, kaisar di kota raja. Kakek lumpuh namun lihai ini seolah-olah menjadi wakil Puteri Nirahai untuk menemani puterinya di kota raja dan sebelum pergi meninggalkan Pulau Es, kakek lumpuh ini oleh bekas ketuanya, Nirahai, telah dibekali beberapa buah kitab pusaka ilmu silat yang hebat untuk menambah kepandaiannya setelah kedua kakinya lumpuh.

Selama dua tahun Sai-cu Lo-mo tinggal di kota raja, seperti seorang pensiunan di istana karena Milana menghendaki demikian dan tentu kaisar memenuhi permintaan cucunya ini. Akan tetapi melihat betapa Milana seperti terpaksa menikah dengan seorang suami yang memenuhi syarat sayembara, yaitu seorang panglima muda berdarah bangsawan bernama Han Wi Kong, hati kakek ini merasa perih sekali.

Dia maklum betapa dara yang disayangnya itu menikah dengan terpaksa, menikah dengan orang yang tidak dicintanya. Dia tahu betapa hati dara itu masih melekat kepada Gak Bun Beng! Dia tidak tahu di mana adanya Gak Bun Ben, cucu keponakannya itu dan melihat betapa ikatan cinta kasih antara Gak Bun Beng dan Milana terputus, melihat betapa Milana kini terpaksa menyerahkan diri menjadi isteri orang lain, hatinya merasa sengsara sekali.

Karena inilah, setelah Milana menikah kakek lumpuh ini meninggalkan istana, meninggalkan kota raja dan merantau ke mana-mana untuk mencari cucu keponakannya, Gak Bun Beng! Dalam perantauannya ini dia bertemu dengan Ang Tek Hoat dan dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar betapa bocah yang bandel ini hendak mencari Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!

“Eh, anak yang luar biasa anehnya! Engkau benar-benar hendak mencari Pendekar Siluman?”

Tek Hoat memandang kakek itu dengan penuh minat. Jangan-jangan kakek ini sendiri yang berjuluk Pendekar Siluman! Memang pantas. Mukanya seperti singa, menakutkan, kedua kakinya lumpuh akan tetapi dapat berlari begitu cepat, seolah-olah tanpa kaki dapat berlari secepat terbang. Ini mirip siluman!

“Apakah engkau Pendekar Siluman?”

“Ha-ha-ha-ha!”

Sai-cu Lo-mo tertawa sampai matanya mengeluarkan air mata. Dia disangka Suma Han Si Pendekar Super Sakti! Biarpun dia telah melatih isi kitab pelajaran ilmu silat tinggi yang dia terima dari bekas ketuanya yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti, biarpun kini kepandaiannya sudah meningkat jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sebelum kakinya lumpuh, namun kalau dibandingkan dengan kepandaian Pendekar Siluman, benar-benar menggelikan!

“Ha-ha-ha, kau belum tahu siapa itu Pendekar Siluman, akan tetapi kau sudah hendak mencarinya. Mau apakah kau mencari Pendekar Siluman”

“Aku mau menantangnya!”

“Heiiii....? Kau....? Menantangnya...?” Sekarang kakek ini terbelalak karena jawaban anak ini benar-benar mengejutkan. “Mengapa?”

“Aku hendak membuktikan kata-kata ibu. Kalau benar dia merupakan pendekar yang terpandai di kolong langit, aku akan berguru kepadanya.”

“Bocah lancang! Kau kira begitu mudah menantang dia atau berguru kepadanya? Mencarinya lebih sukar daripada mencari naga di langit. Eh, kau siapakah dan mengapa kau tadi dipukul orang Bu-tong-pai?”

“Aku datang ke Bu-tong-pai hendak berguru, memperdalam ilmu silatku karena ibuku adalah murid Bu-tong-pai dan kakekku bahkan pernah menjadi ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi orang-orang Bu-tong-pai tidak baik, malah memukulku.”

Kakek itu memandang tajam.
“Siapa kakekmu?”

“Kakekku sudah meninggal dunia, dahulu dia menjadi ketua Bu-tong-pai, namanya Ang Lojin.”

“Ang Lojin....?”

Tentu saja Sai-cu Lo-mo mengenal ketua Bu-tong-pai itu, mengenalnya dengan baik karena ketua Bu-tong-pai itu dahulu pernah ditawan secara halus oleh Thian-liong-pang ketika ketuanya, Nirahai, ingin melihat dasar kepandaian semua tokoh persilatan (baca ceritera Sepasang Pedang Iblis).

“Ya. Dan ibuku bernama Ang Siok Bi, sedangkan namaku Ang Tek Hoat.”






Mata yang biasanya kelihatan seperti orang mengantuk dari kakek lumpuh itu kini terbelalak. Tentu saja dia tahu siapa Ang Siok Bi! Gadis muda berpakaian kuning, puteri ketua Bu-tong-pai, yang bersama-sama Milana dan Lu Kim Bwee telah mengeroyok Gak Bun Beng cucu keponakannya karena dituduh telah memperkosanya!

“Ibumu yang suka memakai pakaian kuning itu....?”

Tanyanya di luar kesadarannya karena hatinya yang bicara, menduga-duga setelah dia membayangkan peristiwa belasan tahun yang lalu itu.

Tek Hoat tercengang.
“Kau sudah mengenal ibuku?”

Sai-cu Lo-mo tidak menjawab, hanya mengelus jenggotnya dan termenung. Dia mengenangkan semua peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa cucu keponakannya, Gak Bun Beng, dikeroyok oleh gadis-gadis yang membencinya. Milana, Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee yang menganggap Gak Bun Beng sebagai seorang penjahat besar, seorang pemerkosa yang keji. Karena dia sendiri percaya akan cerita Milana, maka melihat cucu keponakannya dikeroyok dan hendak dibunuh, dia tidak berdaya sampai akhirnya Gak Bun Beng terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam.

Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng tidak tewas dan dia bertemu lagi dengan cucu keponakannya itu di Pulau Es dan di tempat inilah dia mendapat kenyataan hebat, tentang terbukanya semua rahasia yang selama ini mengganggu hatinya. Dia mendapat kenyataan bahwa Gak Bun Beng sama sekali tidak berdosa! Gak Bun Beng hanya dipergunakan namanya oleh orang lain yang melakukan semua perkosaan itu!

Bukan Gak Bun Beng cucu keponakannya yang telah memperkosa Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee atau siapapun juga, melainkan orang sengaja hendak merusak nama cucu keponakannya itu. Dan orang itu bukan lain adalah Wan Keng In yang kini telah tewas. Wan Keng In putera Lulu, anak tiri Pendekar Super Sakti (baca cerita Sepasang Pedang Iblis).

Sai-cu Lo-mo memandang Tek Hoat dengan penuh selidik. Kasihan, pikirnya. Jadi anak ini adalah anak Ang Siok Bi, gadis yang telah diperkosa orang yang bernama Gak Bun Beng?

“Anak baik, siapakah nama ayahmu?”

Tiba-tiba dia bertanya, di dalam hatinya merasa bersyukur juga bahwa gadis yang telah terhina itu akhirnya dapat juga memperoleh jodoh dan bahkan dari perjodohan itu agaknya telah memperoleh anak yang dia lihat amat berbakat, berani, dan cerdik ini.

“Ayahku bernama Ang Thian Pa, sekarang telah meninggal dunia.”

Sai-cu Lo-mo tercengang. Ang Thian Pa? Bukankah Ang Thian Pa nama asli dari Ang Lojin sendiri?

“Siapa bilang bahwa nama ayahmu Ang Thian Pa?”

“Kakek aneh, siapa lagi kalau bukan ibu yang bilang? Saya tidak pernah melihat wajah ayah. Kata ibu, ayah telah meninggal dunia ketika aku berada di dalam kandungan ibu.”

Kembali kakek itu mengelus jenggotnya. Sungguh tidak disangkanya sama sekali! Sungguh kasihan wanita yang bernama Ang Siok Bi itu. Kini dia tidak ragu-ragu lagi. Anak ini tentu anak yang terlahir akibat perbuatan Wan Keng In yang memperkosa gadis itu! Timbul rasa iba besar di dalam hatinya terhadap anak ini.

“Ang Tek Hoat, aku mau menerima kau sebagai muridku, akan tetapi syaratnya engkau harus berani hidup sengsara dan kekurangan, ikut aku merantau dan hanya akan kulatih ilmu silat selama dua tahun, dan kelak kau sama sekali tidak boleh menyebut namaku sebagai gurumu. Bagaimana, maukah kau menerima syarat itu?”

Tek Hoat adalah seorang anak yang cerdik sekali. Dengan girang dia lalu berlutut di depan kakek lumpuh itu, mengubah sikapnya menjadi penuh hormat dan berkata,

“Suhu, teecu menerima semua syarat itu, dan mohon Suhu sudi memberitahukan nama Suhu.”

“Ha-ha-ha, namaku sendiri aku sudah lupa, akan tetapi orang menyebutku Sai-cu Lo-mo, nama julukan yang dilebih-lebihkan karena singa ini sudah lumpuh!”

Mulai saat itu, Tek Hoat menjadi murid Sai-cu Lo-mo dan ke manapun juga kakek itu pergi, dia mengikutinya, melayani gurunya dengan penuh kebaktian sehingga kakek ini menjadi girang sekali lalu mengajarkan ilmu silat yang tinggi kepada Tek Hoat. Dia mengajarkan ilmu silat gabungan dari Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) yang sudah diperbaikinya setelah kakek ini mempelajari kitab-kitab pusaka pemberian Nirahai, juga dia mengajarkan sin-kang yang mengandung hawa panas, juga ilmu ini adalah hasil daripada pemberian Nirahai setelah dia menjadi lumpuh kedua kakinya.

Makin girang hatinya melihat ketekunan dan kecerdasan Tek Hoat berlatih dengan ilmu-ilmu ini. Mereka melakukan perantauan ke mana-mana akan tetapi selalu kakek itu menghindarkan diri dari persoalan dengan orang lain, bahkan selalu menyembunyikan diri karena memang dia sudah mual dengan persoalan di dunia, apalagi dengan permusuhan-permusuhan di antara manusia.

Patut disayangkan, dan amat tidak baik bagi Tek Hoat, kakek itu sama sekali tidak mengacuhkan tentang pendidikan. Dia hanya membawa muridnya merantau dan mengajar silat kepadanya, dan tentang pendidikan batin, dia sama sekali tidak mempedulikan. Padahal ketika itu Tek Hoat merupakan seorang remaja, seorang anak laki-laki yang sedang berangkat menuju kedewasaannya. Usia remaja menjelang dewasa ini merupakan usia yang paling gawat karena jiwa petualang yang ada dalam diri anak itu sedang menonjol mencari penyaluran dan pemuasan dari keinginan tahunya akan segala macam hal.

Demikianlah, selama dua tahun itu Tek Hoat berangkat dewasa tanpa bimbingan sama sekali, tumbuh dengan liar. Dia telah berusia enam belas tahun, memiliki kepandaian yang hebat dan wataknya aneh, sukar dijenguk isi hatinya karena pada wajahnya yang tampan itu selalu terbayang senyum dan pandang matanya yang tajam tidak membayangkan perasaan hatinya.

Setelah sekali lagi dia harus berjanji kepada Sai-cu Lo-mo bahwa dia kelak tidak akan menyebut-nyebut nama kakek ini sebagai gurunya, mereka saling berpisah. Tek Hoat melanjutkan perjalanan seorang diri dan pemuda ini merasa lega hatinya. Selama dekat dengan gurunya, dia tidak merasa bebas karena biarpun gurunya tidak mempedulikannya, dia mengerti bahwa gurunya tentu akan turun tangan apabila dia melakukan sesuatu yang tidak disukai gurunya.

Kini dia bebas, seperti seekor burung terbang di angkasa. Dia tidak mau pulang dulu kepada ibunya, karena apa artinya pulang kalau dia tidak membawa hasil apa-apa? Dia memang sudah memperoleh hasil, yaitu ilmu yang tinggi dari Sai-cu Lo-mo, akan tetapi pemuda ini belum merasa puas. Bekal uang yang dibawanya ketika mulai meninggalkan tempat tinggalnya, hampir habis dan pakaiannya yang baik hanya tinggal dua stel lagi. Dia akan terlantar kalau tidak lekas mendapatkan uang dan pakaian. Padahal dia masih belum menemukan apa yang dicarinya ketika dia meninggalkan rumah ibunya, yaitu Pendekar Siluman! Dan dia harus datang lagi ke Bu-tong-pai. Dia akan mencoba kepandaiannya lagi melawan kakek Bu-tong-pai yang dulu pernah menghajarnya. Sebelum dapat membalas kepada kakek itu, dia akan selalu merasa penasaran.

Demikianlah, pada pagi hari Tek Hoat tiba di kota Shen-yang, tak jauh dari kota raja, lalu dia memasuki sebuah rumah makan yang baru buka dan masih kosong belum ada tamu lainnya. Hari masih terlalu pagi untuk makan, akan tetapi Tek Hoat yang melakukan perjalanan jauh yang melelahkan, bahkan semalam suntuk dia tidak berhenti berjalan, merasa lapar sekali. Sudah dua hari dua malam dia berpisah dari gurunya, berpisah di hutan yang berada tidak jauh dari kota raja, hanya memakan waktu perjalanan tiga hari.

Maka dia ingin sekali mengunjungi kota raja, karena selama dia bersama gurunya, kakek itu tidak pernah mau memasuki kota besar, apa lagi kota raja. Dari tempat dia duduk, Tek Hoat dapat melihat kesibukan orang berlalu lalang di luar rumah makan, dan kalau dia menengok ke dalam, dia dapat mendengar pula kesibukan di sebelah belakang ruangan itu, agaknya di dapur, di sana orang mempersiapkan hidangan yang dipesan tamu.

Terdengar suara ayam dipotong, suara orang menuangkan air, mencacah daging dan sebagainya di sebelah dalam itu. Rumah makan ini cukup besar, perabotnya masih baru dan agaknya termasuk rumah makan terkenal di Kota Sen-yang. Bahkan Tek Hoat dapat melihat bayangan wanita di samping mendengar suara mereka yang merdu.

Pemuda itu makan dengan lahapnya. Masakan rumah makan itu memang terkenal enak dan perutnya lapar sekali, maka dia makan dengan penuh semangat sehingga dia tidak perduli akan masuknya serombongan tamu yang disambut dengan penuh hormat oleh dua orang pelayan.

Mereka ini terdiri dari tujuh orang, rata-rata bertubuh tinggi besar dan tegap, berpakaian sebagai jagoan silat berikut lagak-lagak mereka, lagak jagoan. Dengan hiruk-pikuk mereka menaruh golok dan pedang di atas meja, bicara dengan suara keras, tertawa-tawa, tidak memperdulikan keadaan sekelilingnya. Pendeknya, lagak jagoan-jagoan.

Ketika seorang di antara mereka mendengus dan membuang ludah dengan suara menjijikkan, barulah Tek Hoat mengangkat muka memandang. Baru dia tahu bahwa di sebelah dalam, tak jauh dari pintu tembusan ruangan itu ke dalam, telah duduk tujuh orang laki-laki kasar itu mengelilingi meja besar sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap dengan sikap dan lagak jumawa. Akan tetapi dia tidak mau perduli lagi kepada mereka dan melanjutkan makan minum.

Tujuh orang itu adalah jagoan-jagoan kota Shen-bun yang letaknya hanya tiga puluh mil dari Shen-yang dan nama mereka amat terkenal di daerah itu sampai ke kota raja. Mereka bukanlah penjahat-penjahat atau perampok, sebaliknya malah. Mereka adalah gerombolan orang yang tidak bekerja tetapi menjadi kaya karena kejagoan mereka, mendapat “sumbangan” dari para hartawan yang membutuhkan “perlindungan” mereka.

Nama Jit-hui-houw (Tujuh Harimau Terbang) sudah merupakan momok bagi mereka yang kaya dan demi keamanan mereka dan harta mereka, para hartawan ini dengan rela menyerahkan sejumlah sumbangan kepada mereka setiap bulan dan hal ini memang amat menguntungkan mereka karena tidak ada penjahat berani mengganggu hartawan yang “dilindungi” oleh Jit-hui-houw!

Akan tetapi, nama besar dan pengaruh mereka yang menakutkan itu mendatangkan kesombongan dalam hati mereka, dan biarpun mereka tidak melakukan perampokan atau kejahatan lain secara terang-terangan, namun sering juga mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang mengandalkan kepandaian dan nama besar mereka.

Para pelayan rumah makan tentu saja sudah mengenal mereka biarpun baru beberapa kali Jit-hui-houw makan di tempat ini. Kalau agak siang sedikit saja, tentu mereka akan bersarapan di rumah makan lain yang lebih besar. Dengan suara ribut mereka memesan arak dan bakpauw karena bakpauw buatan rumah makan ini memang terkenal enak. Kemudian mereka menyerang bakpauw, minum arak tanpa takaran lagi sehingga sebentar saja suara ketawa mereka makin lantang, sendau-gurau mereka makin kotor.

Ketika mereka melihat berkelebatnya pakaian seorang wanita di bagian belakang rumah makan, mereka lalu berbisik-bisik, kemudian dua orang di antara mereka yang agaknya menjadi pimpinan mereka, berdiri agak terhuyung karena setengah mabok, menghampiri meja di mana duduk majikan rumah makan itu dan berkata,

“Perut kami mulas. Kami hendak ikut ke kamar kecil di belakang.”

Pemilik rumah makan itu berubah air mukanya. Kakek yang usianya sudah lima puluh tahun lebih itu pucat dan mendapat firasat tidak enak, maka dia hanya mengangguk-angguk karena tidak berani melarang, akan tetapi sambil meneriaki seorang pelayan agar menyuruh nyonya dan nona menyingkir.

Akan tetapi, kedua orang itu sambil tertawa-tawa sudah melangkah masuk mendahului pelayan, semua pelayan yang berada di luar tidak berani masuk, muka mereka pucat sedangkan lima orang jagoan yang masih duduk di luar tertawa bergelak. Ketika kakek pemilik rumah makan, yang melihat gelagat tidak baik, bangkit dan hendak mengejar ke dalam, tiba-tiba tangannya disambar oleh seorang jagoan dan ditariknya ke meja mereka.

“Lopek yang baik, engkau sebagai tuan rumah marilah temani kami minum arak. Bukankah kita adalah sahabat-sahabat baik? Ha-ha-ha!”

“Maaf.... saya.... saya....”

“Ahhh, apakah Lopek tidak menghargai ajakan kami? Jangan khawatir, yang lopek makan dan minum menjadi tanggung jawab kami untuk membayarnya. Ha-ha-ha!”

Tangan yang menggenggam pergelangan kakek itu mencengkeram dan si kakek pemilik rumah makan meringis kesakitan dan tidak berani banyak membantah lagi. Dia duduk akan tetapi mukanya yang pucat selalu menoleh ke dalam.

Tek Hoat sudah merasa curiga sekali sejak perhatiannya tertarik kepada tujuh orang itu. Apalagi ketika dua orang di antara mereka memasuki ruangan dalam dan melihat pula pemilik rumah makan dipaksa duduk menemani lima orang yang lain, dia mengerutkan alisnya, menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu. Karena Tek Hoat sudah mencurahkan perhatiannya, mengerahkan ketajaman tenaganya, maka dia dapat menangkap suara lirih yang keluar dari ruangan dalam di sebelah belakang rumah makan itu, suara lirih yang tidak akan dapat tertangkap oleh pendengaran telinga biasa, suara wanita!

“Ampun.... ah, jangan....!” Dan terdengar isak tertahan karena takut.

Cepat sekali tubuh Tek Hoat meloncat dari atas bangkunya dan tubuhnya sudah berkelebat masuk ke ruangan belakang.

“Haiii....!”

Lima orang jagoan itu berteriak heran dan mereka sudah bangkit semua. Akan tetapi Tek Hoat tidak mempedulikan mereka, terus menerobos masuk. Para pelayan yang berada di belakang berkelompok, berdiri ketakutan.

“Di mana mereka?” Tek Hoat bertanya singkat.

Para pelayan itu menggerakkan muka, menunjuk dengan dagu ke arah sebuah kamar yang tertutup daun pintunya.

“Brakkkk....!”

Daun pintu itu pecah diterjang Tek Hoat. Ketika dia masuk pemuda ini terbelalak penuh keheranan, akan tetapi juga kemarahan melihat betapa seorang gadis muda yang cantik sedang bergulat mempertahankan kehormatannya dari perkosaan seorang di antara jagoan tadi. Bajunya sudah terobek lebar sehingga tampak baju dalamnya yang sudah terkoyak pula. Dan hal yang sama terjadi pula di sudut kamar, di atas lantai di mana seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih, akan tetapi cantik sekali, lebih cantik dari gadis itu, dengan tubuh yang padat menggairahkan sedang bergulat dengan jagoan ke dua.

Agaknya, terlambat sedikit saja kedatangan Tek Hoat, kedua orang wanita itu, yang di atas pembaringan dan yang di atas lantai, tentu takkan dapat bertahan menghadapi tenaga kasar dua orang jagoan itu.

“Keparat!”

Tek Hoat meloncat ke depan. Dua kali tangannya menyambar ke arah muka jagoan yang menengok kaget itu.

“Prak! Prak!”

Dan dua orang jagoan itu terpelanting, tubuh mereka terkulai tak mampu bergerak lagi. Gadis yang ternyata sekarang kelihatan sudah terobek seluruh pakaiannya bagian depan, yang tadi tidak nampak karena tertindih oleh jagoan yang menyerangnya, menjerit dan berusaha menutupi tubuhnya, akan tetapi tak dapat dicegah lagi, tubuhnya yang telanjang bulat di bagian depan itu sudah terlihat oleh Tek Hoat. Pemuda ini menjadi merah mukanya, membuang muka dan menjambak rambut kedua orang jagoan, menyeretnya ke pintu kamar.

“Haiii.... siapa dia? Hayo seret ke luar!”

Lima orang jagoan sudah berlari memasuki ruangan dalam, akan tetapi tiba-tiba ada dua sosok tubuh melayang dari dalam dan menerjang mereka.

“Awas....!”

Mereka cepat menyambut terjangan dua sosok bayangan itu dengan pukulan-pukulan tangan mereka sehingga terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan mereka mengenai dua orang kawan itu.

“Celaka!” teriak mereka ketika melihat bahwa dua sosok tubuh yang kini menggeletak di depan kaki mereka itu adalah dua orang kawan mereka yang tadi mengganggu wanita di dalam, kini menggeletak dengan pakaian yang masih awut-awutan dan dengan kepala pecah.

Yang mereka pukuli tadi adalah tubuh dua orang ini yang dilempar orang dari dalam dan keadaan mereka telah tidak bernyawa lagi! Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan lima orang ini melihat dua orang saudara mereka telah tewas. Terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya dan tampak sinar berkilauan ketika dua orang mencabut golok dan tiga orang yang lain mencabut pedang.

“Kalian juga sudah bosan hidup?”

Ucapan yang keluar dari mulut pemuda tanggung itu terdengar lucu, sama sekali tidak menakutkan, sama sekali tidak menyeramkan, akan tetapi amatlah mengherankan dan hampir lima orang itu tidak dapat percaya akan pandangan matanya sendiri. Benarkah dua orang suheng mereka itu tewas oleh bocah ini?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar