FB

FB


Ads

Selasa, 03 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 003

Kita tinggalkan dulu Kian Lee dan Kian Bu yang tertawan di Pulau Neraka dan dijadikan umpan oleh Hek-tiauw Lo-mo untuk memancing datang Pendekar Super Sakti, dan marilah kita menengok peristiwa lain yang terjadi pada waktu itu, terjadi jauh di sebelah barat daratan besar.

Negara Bhutan berada jauh di selatan Tiongkok, merupakan sebuah kerajaan kecil namun yang rakyatnya memiliki kebudayaan tinggi, menjadi perpaduan dan perantara antara Negara India dan Tiongkok. Karena dihimpit oleh dua buah negara besar yang memiliki kebudayaan tinggi itu, Nepal atau Bhutan mencangkok kebudayaan keduanya dan karenanya disitu terdapat banyak orang-orang pandai dari kedua negara itu.

Daerah Pegunungan Himalaya terkenal sebagai pegunungan yang paling tinggi di seluruh dunia, paling tinggi dan paling luas. Selain amat luas, juga pegunungan ini amat terkenal sebagai tempat yang suci, bahkan bagi yang percaya terdapat keyakinan bahwa para dewa yang tersebut dalam dongeng-dongeng bertempat tinggal di pegunungan inilah!

Karena kepercayaan ini agaknya, dan terutama sekali karena keindahan alamnya dan kesunyiannya, maka Pegunungan Himalaya menjadi tempat pelarian para pendeta, pertapa dan manusia-manusia yang ingin mengasingkan diri dari dunia ramai.

Di sebuah dusun tak jauh dari kota raja, di kaki Pegunungan Himalaya, pada suatu pagi yang sejuk, tampaklah belasan orang pria yang bertubuh tegap dan kuat sedang berlatih ilmu silat. Tubuh mereka, dari yang besar sampai yang kecil kurus, kelihatan kuat dan berisi tenaga besar ketika mereka bergerak secara berbareng dengan tubuh atas telanjang, hanya memakai celana panjang dan sepatu, rambut mereka dikuncir semua, mengikuti petunjuk dan aba-aba yang keluar dari mulut seorang kakek berwajah tampan gagah yang bertopi bulu. Kakek ini usianya sudah tua sekali, tentu kurang lebih ada delapan puluh tahun, namun sikapnya masih gagah sungguhpun gerak-geriknya halus dan wajahnya tampan terpelihara.

Suaranya masih lantang ketika dia mengeluarkan aba-aba agar gerakan mereka yang sedang berlatih itu dapat seirama, sedang kaki tangannya masih tangkas ketika dia memberi contoh gerakan.

“Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan! Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan!”

Demikian aba-abanya, makin cepat pula gerakan mereka yang sedang berlatih, terdengar angin bersiut dan buku-buku lengan kaki berkerotokan ketika mereka bergerak memukul dan menendang.

“Hemm, mengapa pula engkau, Ceng Ceng?”

Kakek itu menghentikan hitungannya, membiarkan para murid itu bergerak dengan irama mereka sendiri, sedangkan dia melangkah ke arah kanan sebelah kiri rombongan pemuda yang sedang latihan itu kemudian berhadapan dengan seorang dara remaja yang tadinya ikut pula berlatih.

Dara remaja itu tentu belum ada lima belas tahun usianya, wajahnya cantik manis, bentuk tubuhnya kecil ramping namun juga padat berisi, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang panjang dan gemuk itu dibagi menjadi dua kucir yang besar dan panjang, bergantungan di depan dadanya.

Kedua kakinya masih memasang kuda-kuda seperti mereka yang sedang berlatih, akan tetapi kedua lengannya tidak melakukan gerakan memukul-mukul lagi, mulutnya yang kecil mungil itu cemberut dan matanya yang lebar seperti sepasang bintang itu membayangkan kekesalan hati.

Dara itu tidak menjawab teguran kakeknya melainkan mengurut-urut bahu dan lengannya, kepalanya menunduk dan kedua kakinya diluruskannya kembali.

Kakek itu menghela napas panjang.
“Hahhhh.... kau.... terlalu, Ceng Ceng! Selalu tidak mentaati perintahku. Mula-mula kau akhir-akhir ini tidak mau berlatih dekat para suhengmu....”

“Kong-kong (kakek), bagaimana aku tahan berlatih dekat mereka. Keringat mereka memercik ke sana-sini!” Dara itu membentak.

Kakek itu menahan geli hatinya. Gadis yang menjadi cucunya ini selalu ada saja bahan untuk menyangkal dan membantah, dan selalu menyatakan sesuatu dengan jujur sehingga kadang-kadang lucu. Memang tak dapat dibantah bahwa tubuh-tubuh sehat tanpa baju itu di waktu berlatih mengeluarkan banyak keringat dan gerakan cepat itu membuat keringat mereka memercik kesana-sini!

“Sekarang, latihan yang amat penting ini kau abaikan juga.”

“Habis, kaki tanganku sudah pegal dan kaku semua, kong-kong! Masa untuk satu jurus saja harus diulang sampai limaratus kali!”

“Hemm, kau tidak tahu keganasan jurus istimewa ini. Jurus Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga) ini merupakan satu diantara jurus-jurus pilihan dari ilmu silat kita. Diulang sampai limaratus kalipun kalau belum sempurna harus diulang terus!”

“Apa gerakanku belum sempurna?”

“Engkau sudah menguasai gerakan ilmu silat kita, akan tetapi para abangmu itu. Mereka harus diberi semangat, dan dengan melihat gerakanmu, mereka tentu akan lebih tekun. Lihat, betapa besar semangat mereka melatih jurus ini.”






Dara yang bernama Ceng Ceng itu menengok dan mulutnya yang tadi merengut kini tersenyum mengejek, cuping hidungnya agak bergerak.

“Semangat apa? Mereka semua menoleh kesini!”

Kakek itu cepat menengok dan benar saja. Mereka itu masih bergerak, akan tetapi mata mereka semua mengerling ke arah dara itu sehingga kelihatannya lucu.

“Ihh, engkau yang menjadi gara-gara!”

Kakek itu memaki lirih, kemudian menghampiri lagi ke depan para muridnya dan kembali terdengar hitungannya yang menambah semangat. Kini para murid itu tidak berani lagi mengerling ke arah sumoi mereka.

Terpaksa pula Ceng Ceng juga bergerak lagi, akan tetapi biarpun gerakannya lemas dan baik, dia tidak menggunakan tenaga sehingga kalau para suhengnya itu ngotot dengan pengerahan tenaga, dia kelihatan lebih mirip dengan orang menari!

Kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dia dahulu bekerja sebagai seorang pengawal kaisar di Tiongkok, memiliki ilmu kepandaian tinggi dalam ilmu silat dan ilmu sastera. Namun nasib malang menimpa diri kakek ini ketika dia sudah mengundurkan diri sebagai pengawal dengan adanya peristiwa yang menimpa keluarganya sehingga akhirnya dia mengasingkan diri di dusun terpencil di kaki Pegunungan Himalaya ini.

Ketika masih berada di Tiongkok, kakek ini sudah kehilangan putera tunggalnya dan mantunya, dan hanya hidup berdua dengan seorang cucunya, cucu wanita yang bernama Lu Kim Bwee. Kurang lebih limabelas tahun yang lalu, peristiwa hebat menimpa diri Lu Kim Bwee ini. Cucunya yang juga telah digemblengnya dengan ilmu silat itu, pada suatu malam telah dibuat tidak berdaya oleh seorang muda dan diperkosa! Akibatnya, Lu Kim Bwee mengandung! Semua peristiwa itu diceritakan dengan jelas dalam cerita Sepasang Pedang Iblis.

Melihat penderitaan cucunya itu, Lu Kiong lalu mengajak Lu Kim Bwee untuk pergi meninggalkan Tiongkok dan akhirnya mereka tinggal di dusun kecil di kaki Pegunungan Himalaya itu. Di tempat terpencil dan sunyi ini, Lu Kim Bwee melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi malang sekali, ibu muda itu meninggal dunia ketika melahirkan karena memang dia selalu berduka dan batinnya terhimpit oleh peristiwa yang memalukan dirinya itu. Anak yang terlahir selamat itu diberi nama Lu Ceng dan sesungguhnya anak ini adalah cucu buyut dari kakek Lu Kiong, akan tetapi diaku sebagai cucunya.

Biarpun kini penghidupannya di dalam dusun itu bersama cucu buyutnya dapat dikatakan tenteram dan penuh damai, namun kakek yang tua ini masih selalu gelisah kalau mengingat akan masa depan cucu buyutnya itu. Pernah dia ditekan dan merasa terdesak oleh pertanyaan Ceng Ceng yang berwatak periang, cerdik dan jenaka itu, yaitu pertanyaan mengenai ayah dara itu. Dia tadinya hanya memberi tahu kepada Ceng Ceng bahwa nama ibunya adalah Lu Kim Bwee. Dara yang cerdik itu cepat membantah.

“Tidak mungkin itu, kong-kong!”

“Apanya yang tidak mungkin?”

“Kalau ibu she Lu, mengapa aku juga she Lu?”

“Ahh.... kau sebetulnya.... ah, engkau memang she Lu, cucuku.”

“Hemm, kong-kong menyembunyikan sesuatu dariku! Siapakah ayahku? Dan dimana ayah? Apakah dia sudah meninggal? Mengapa pula aku tidak diberi she (nama keturunan) ayahku?”

Dihujani pertanyaan ini, kakek Lu Kiong menjadi sibuk sekali dan akhirnya dia mengaku juga.
“Ayahmu bernama.... Gak Bun Beng.”

“Gak Bun Beng....” Dara itu membisikkan nama itu seolah-olah hendak menanamkan nama itu di dalam hatinya. “Kalau begitu, namaku adalah Gak Ceng, bukan Lu Ceng!”

“Tidak, Ceng Ceng!”

Kakek itu membentak dan terkejutlah dara itu karena selamanya belum pernah dia mendengar suara kakeknya mengandung kemarahan seperti itu.

“Mengapa, kong-kong?”

“Namamu tetap Lu Ceng!”

“Tapi ayahku....”

“Tidak! Kau tidak perlu memakai nama keturunan orang itu!”

“Mengapa....?” Wajah Ceng Ceng menjadi berubah agak pucat.

“Dia.... dia.... telah meninggalkan ibumu, membuat ibumu hidup sengsara sehingga meninggal dunia ketika melahirkan kau.”

“Ouhhh....”

Ceng Ceng kecewa bukan main mendengar ini. Akan tetapi pikirannya yang cerdik itu menduga-duga. Tidak mungkin agaknya ayahnya meninggalkan ibunya begitu saja tanpa sebab.

“Mengapa ayah meninggalkan ibu?” desaknya lagi.

“Entahlah. Dia bukan orang baik, karena itu kau harus memakai nama keturunan kita, nama keturunan Lu.”

“Aku akan mencari ayah, biar kutanya sendiri mengapa dia sampai hati meninggalkan ibu!”

“Jangan....! Takkan ada gunanya, dia.... dia sudah mati....”

“Ouhhh....”

Dan kini dara itu terisak menangis. Lu Kiong menarik napas panjang. Hatinya terasa perih mengenangkan semua peristiwa yang menimpa diri cucunya, Lu Kim Bwee, belasan tahun yang lalu. Tentu saja dia tidak mau membuka rahasia itu, tidak sampai hati dia menceritakan cucu buyutnya ini bahwa ibunya diperkosa orang, bahwa dia adalah seorang anak haram!

Dia tidak ingin melihat dara ini menjadi menyesal dan berduka, merasa rendah dan membenci ayahnya sendiri. Biarlah riwayat yang mendatangkan aib itu dikubur bersama meninggalnya Lu Kim Bwee dan Gak Bun Beng. Tentu saja diapun tidak mau menceritakan bahwa Gak Bun Beng, ayah dara ini, tewas di tangan ibunya sendiri, yaitu ketika Lu Kim Bwee mengeroyok Gak Bun Beng dengan wanita-wanita yang lain yang juga menjadi korban keganasan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) itu!

Tentu saja kakek ini, juga cucunya, Lu Kim Bwee yang telah meninggal dunia ketika melahirkan Ceng Ceng, sama sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng, yang mereka sangka telah tewas itu, sebetulnya sama sekali belum tewas (baca cerita Sepasang Pedang Iblis).

Untuk mengisi kekosongan hidupnya di dusun yang terpencil di kaki Pegunungan Himalaya itu, kakek Lu Kiong menerima murid-murid untuk dilatih ilmu silat. Tentu saja dia memilih dalam penerimaan murid ini, dan setelah dia kumpulkan, hanya ada lima belas orang pemuda di sekitar daerah itu yang diterimanya menjadi murid-muridnya.

Tentu saja karena Ceng Ceng telah digemblengnya sejak kecil sedangkan penerimaan murid dilakukan setelah Ceng Ceng berusia dua belas tahun, maka biarpun Ceng Ceng disebut sumoi (adik perempuan seperguruan) namun dalam hal ilmu silat dara ini jauh lebih pandai daripada semua suhengnya.

Kekesalan hati Ceng Ceng di pagi hari itu bukan hanya karena dia jemu berlatih silat. Sama sekali tidak. Sesungguhnya dia amat gemar berlatih ilmu silat dan bakatnya amat baik. Akan tetapi pagi itu lain lagi. Ada berita menggemparkan bahwa rombongan utusan kaisar Tiongkok akan lewat di dusun itu dalam perjalanan mereka menuju ke kota raja, untuk memboyong puteri Raja Bhutan ke Tiongkok karena puteri itu telah dijodohkan dengan seorang pangeran Mancu yang menguasai Tiongkok di waktu itu.

Rombongan utusan kaisar Mancu ini kabarnya membawa pula peralatan dan hadiah-hadiah istimewa sehingga semua penduduk di daerah yang akan dilalui rombongan telah bersiap-siap untuk menonton!

Tentu saja Ceng Ceng, seorang dara remaja yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan dan haus akan segala yang menarik hati, ingin sekali menonton maka latihan-latihan keras yang diadakan kakeknya pada saat seperti itu membuat hatinya mendongkol.

Betapapun juga, Ceng Ceng tidak mau membantah lagi kepada kong-kongnya, apalagi di depan lima belas orang suhengnya. Dan dia sudah ikut pula berlatih, biarpun hanya dengan setengah hati. Latihan berjalan tertib kembali dan yang terdengar hanya bentakan-bentakan mereka yang mengikuti pukulan-pukulan tertentu, suara pernapasan dan suara kakek yang menghitung dengan irama yang khas.

Suara tambur yang terdengar tiba-tiba, datang dari jauh dan makin lama makin mendekat, kini terdengar keras diselingi sorak-sorai suara anak-anak, membuat Ceng Ceng hampir menangis. Suara tambur itu seolah-olah mengejeknya, seolah-olah mengiringi gerakannya berlatih.

Ketika ia melirik ke arah kong-kongnya dan para suhengnya, mereka itu masih tenggelam kedalam semangat yang tetap menggelora. Hampir Ceng Ceng terisak-isak dan lari dari tempat itu, akan tetapi ia merasa malu kepada para suhengnya, dan takut kepada kong-kongnya. Betapa besar keinginan hatinya untuk pergi menonton rombongan utusan itu! Utusan raja dari Tiongkok!

Banyak sudah dia mendengar tentang kehebatan kota raja disana, akan tetapi hanya mendengar dari cerita kakeknya, kota raja di Tiongkok seratus kali lebih besar dan lebih megah dibandingkan dengan kota raja dengan istananya dan rumah-rumah besar di Bhutan yang sudah pernah dilihatnya. Dan sekarang, selagi kesempatan tiba dengan datangnya rombongan utusan kaisar, dia tidak bisa menonton, bahkan harus terus berlatih silat! Siapa tidak akan mendongkol hatinya?

Pada saat itu seorang pelayan memasuki kebun tempat berlatih itu, menghadap kakek Lu Kiong dan memberitahukan bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak bertemu dengan kakek Lu Kiong. Kakek itu lalu menggapai muridnya yang pertama.

“Kau lanjutkan, wakili aku memimpin latihan ini baik-baik. Aku akan menemui tamu.”

“Baik, suhu!”

Kakek itu pergi setelah menoleh ke arah cucunya, kemudian menghela napas dan pergi bersama pelayan itu memasuki rumahnya. Begitu kakek itu lenyap di balik pintu, Ceng Ceng serta merta menghentikan latihannya dan berlari meninggalkan tempat latihan menuju ke pintu samping kebun itu.

“Haiii.... sumoi....! Kau tidak boleh pergi!” kata murid pertama yang mewakili gurunya.

Akan tetapi Ceng Ceng telah tiba di pintu kebun samping, dan mendengar seruan twa-suhengnya (kakak seperguruan pertama), dia membalikkan tubuh dengan gaya mengejek, membusungkan dada, membuka bibir dari kanan kiri dengan kedua telunjuknya dan menjulurkan lidahnya untuk mengejek suhengnya itu, kemudian tertawa terkekeh dan lari dari tempat itu.

Twa-suhengnya hanya menarik napas panjang saja karena apa dayanya terhadap sumoinya yang manja dan bengal itu? Kalau dia berkeras melarang, salah-salah dia bisa dilawan oleh sumoinya, dan tentu saja dia tidak menghendaki hal ini.

Dia dan para saudara seperguruannya terlampau sayang kepada sumoi yang cantik jelita, bengal akan tetapi selalu mendatangkan kegembiraan karena wataknya yang periang dan jenaka itu. Dan dia tahu pula betapa besar keinginan hati sumoinya untuk menonton rombongan utusan kaisar.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar