FB

FB


Ads

Jumat, 30 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 104

Beberapa hari kemudian, ketika Milana sedang duduk seorang diri di dalam taman, Keng In datang menghampirinya dan berkata,

“Milana, aku amat berterima kasih kepadamu bahwa beberapa hari yang lalu engkau telah menyelamatkan nyawaku ketika aku pingsan di lautan.”

Milana menoleh, kedua pipinya menjadi merah.
“Tak perlu kau mangejek, Keng In. Engkau pingsan karena kecuranganku dan aku sama sekali bukan menolongmu, hanya menghentikan niatku untuk membunuhmu secara pengecut.”

“Betapapun juga, aku amat berterima kasih kepadamu, Milana. Aku mengerti engkau tentu jemu melihat betapa aku selalu mengharapkan cintamu. Aku terlalu mencinta engkau, Milana dan hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa engkau belum mempunyai pilihan hati. Andaikata engkau telah mencinta seorang pria lain, hemm.... agaknya aku akan tahu diri dan akan mundur.”

Tiba-tiba Milana memandang dengan tajam penuh selidik.
“Benarkah itu, Keng In? Apakah engkau akan membebaskan aku kalau aku telah mencinta seorang pria lain?”

“Hemm.... agaknya begitulah. Aku akan malu sekali kalau mengharapkan cinta kasih seorang wanita yang telah mempunyai pilihan orang lain. Hal itu akan amat rendah dan memalukan bagi seorang pria gagah. Kalau engkau memang telah jatuh cinta kepada orang lain, aku takkan menjadi penasaran lagi dan mengerti mengapa kau tidak dapat membalas cintaku.”

“Kalau begitu, Keng In. Dengarlah baik-baik. Aku memang telah mencinta pria lain maka aku tidak mungkin dapat menerima dan membalas cintamu!”

Kalau saja wajah pemuda itu tidak berwarna pucat selalu, kiranya tentu Milana akan melihat perubahan mukanya. Jantung pemuda itu seperti ditusuk rasanya dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk menekan perasaannya yang tertusuk.

“Hemm.... benarkah itu, Milana? Ataukah hanya untuk alasan kosong belaka? Kalau memang benar kata-katamu, engkau harus dapat menyebutkan nama orang yang kau cinta itu.”

“Orangnya sudah kau kenal, Keng In. Dia adalah Gak Bun Beng....”

“Aaahhh....!”

Seruan sederhana ini bukan karena kaget, melainkan karena kemarahan yang ditahan-tahannya. Dugaannya tidak keliru. Pemuda keparat Gak Bun Beng itu!

“Tapi dia itu anak haram!”

“Wan Keng In! Aku melarangmu menyebutnya dengan penghinaan seperti itu!”

Milana bangkit berdiri, bertolak pinggang dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api! Hal ini tambah meyakinkan hati Keng In bahwa benar-benar dara yang dipujanya ini mencinta Bun Beng!

“Memang kenyataannya begitu! Dia putera mendiang tokoh iblis Kang-thouw-kwi Gak Liat, sebagai hasil perkosaan iblis itu kepada seorang murid Siauw-lim-pai!”

“Perbuatan ayah atau ibu tiada sangkut-pautnya dengan anaknya! Apapun yang menjadi riwayat hidup orang tuanya, aku tidak peduli dan Gak Bun Beng tetap merupakan satu-satunya pria yang paling baik bagiku, yang ku.... cinta! Nah, aku sudah mengaku, engkau harus memegang janjimu, Wan Keng In!”

Keng In menahan kemarahannya yang meluap-luap, timbul dari cemburu dan iri hati. Dia meninggalkan Milana dan gadis ini diam-diam merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa seorang yang sudah rusak akhlaknya seperti pemuda Pulau Neraka ini, sukar diketahui isi hatinya, dan untuk meloloskan diri dari pulau itu seolah-olah tidak ada kemungkinan lagi. Dia hanya mengharapkan pertolongan dari ibunya, atau ayahnya.

Tidak mungkin ayah bundanya, juga Gak Bun Beng akan diam saja. Tentu tiga orang itu akan mencarinya dan setiap hari dia mengharap-harap munculnya seorang diantara mereka, atau kalau mungkin ketiganya karena untuk menghadapi Wan Keng In dan gurunya, kecuali ayahnya, agaknya belum tentu kalau ibunya atau Bun Beng akan dapat menang.

Selain mereka bertiga, diapun mengharapkan pertolongan dari Kaisar yang menjadi kakeknya. Tentu kakeknya itu kalau mendengar bahwa dia diculik orang akan mengerahkan pasukan mencarinya.






Akan tetapi Milana sama sekali tidak tahu bahwa Wan Keng In akan mengambil siasat yang amat keji, yang sama sekali tidak pernah diduganya, yaitu menggunakan racun yang dicampur dalam makanannya.

Tanpa disadarinya, semenjak makan hidangan yang dicampuri racun oleh Keng In, lambat laun Milana menjadi makin pelupa dan akhirnya dia telah kehilangan ingatan sama sekali! Hanya samar-samar saja dia masih ingat akan orang-orang yang paling dekat dengan hatinya, yaitu ayah bundanya, dan terutama Gak Bun Beng!

Setelah melihat hasil dari racun seperti yang diajarkan gurunya sehingga keadaan dara tawanannya itu benar-benar tidak ingat apa-apa lagi, Wan Keng In lalu melanjutkan siasatnya. Malam hari itu dia memasuki kamar pondok Milana, membuka jendela dan sengaja mengeluarkan suara.

“Sstttt.... Milana....!”

Milana yang sudah hampir pulas itu bangun. Biarpun dia lupa ingatan, namun dia tidak kehilangan kepandaiannya dan sedikit suara itu cukup membuat dia terbangun dan siap menghadapi bahaya yang mengancam!

“Siapa....?” tegurnya.

“Aku.... Gak Bun Beng!”

“Gak.... Bun.... Beng....?”

Milana sudah meloncat turun dari pembaringannya dan dengan mata terbelalak dia melihat laki-laki yang sudah berada di dalam kamarnya itu. Seorang pemuda berpakaian sederhana, dengan memakai caping bundar lebar.

Keadaan dalam kamarnya remang-remang sehingga wajah orang itu tidak nampak jelas, akan tetapi andaikata keadaan terang sekalipun, Milana tidak akan mengenal lagi wajah orang yang dicintanya itu. Yang jelas teringat olehnya hanyalah nama Gak Bun Beng! Kini melihat orang yang selama ini dipikirkan dan dirindukannya telah datang, tentu saja dia girang bukan main!

“Milana.... betapa rinduku kepadamu.... aku cinta padamu, Milana. Aku Gak Bun Beng kekasihmu....”

“Koko....!”

Milana berseru lirih dan dalam suaranya ini tercurah seluruh perasaan rindunya. Ketika pemuda itu memeluknya, Milana menekan mukanya di dada yang bidang itu sambil menangis terisak-isak, tangis kegirangan!

Biarpun pada saat itu Milana berada di bawah pengaruh racun perampas ingatan, namun perasaannya masih berkesan bahwa dia berada dalam keadaan mengkhawatirkan dan yang dirindukannya hanyalah ayah bundanya dan Gak Bun Beng, maka begitu pemuda itu muncul, tentu saja dia menjadi terharu, lega, dan girang.

Kegirangan yang meluap ini membuat dia tidak menolak, bahkan menyambut dengan hangat peluk cium pemuda itu untuk melepaskan rindunya yang menyesak dada.

“Milana, kekasihku.... jiwaku sayang....”

Pemuda itu berbisik penuh gairah, mencium dahi, mata, hidung, bibir dengan penuh kemesraan sedangkan dara itu menyambut dengan mata dipejamkan, penuh penyerahan, penuh kebahagiaan.

Akan tetapi ketika pemuda itu memondongnya ke atas pembaringan, ketika dia merasa betapa tangan pemuda itu bergerak melanggar batas kesusilaan, bahkan mulai berusaha menanggalkan pakaiannya, Milana terkejut bukan main, membuka matanya dan meronta sambil berseru,

“Jangan....!”

“Mengapa, Milana? Aku Gak Bun Beng kekasihmu....”

Pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In yang menyamar sebagai Bun Beng, memeluk dan mendesak sambil mencium dengan nafsu berahi yang sudah memuncak ke ubun-ubunnya.

“Jangan....!” Milana kembali menepis tangan yang nakal itu.

“Milana, bukankah kita saling mencinta? Kau akan menjadi isteriku, Sayang....”

“Koko, jangan begini! Biarpun kita saling mencinta, akan tetapi kita belum menikah dan aku bukanlah seorang wanita rendahan yang dengan mudah dan murah dapat menyerahkan diri begini saja!” Suara dara itu terdengar tegas bercampur nada tidak senang dan kecewa.

“Milana....!”

Kini Milana meronta, melepaskan diri dan meloncat turun dari atas pembaringan. Sepasang matanya masih basah oleh air mata kegirangan tadi, akan tetapi alisnya berkerut dan suaranya tegas,

“Gak-koko! Aku menganggap engkau seorang laki-laki yang paling baik di dunia ini, akan tetapi mengapa sekarang engkau hendak melakukan hal yang amat keji?”

“Milana.... aku cinta padamu....”

“Gak-koko, apa yang hendak kau lakukan ini sama sekali bukanlah cinta, melainkan nafsu iblis....! Apakah engkau hendak mengecewakan hatiku dan menodai kasih sayangku?”

Wan Keng In menekan perasaan yang sudah bergelora. Dia telah menggunakan siasat, meracuni gadis ini agar lupa segala, kemudian dia menyamar sebagai Bun Beng. Gadis itu memang tertipu, menganggap dia Gak Bun Beng, akan tetapi tetap saja siasatnya tidak berhasil mendapatkan diri dara itu dengan suka rela. Tadinya, kalau sampai usahanya berhasil dan Milana menyerahkan diri kepada “Gak Bun Beng” yang diwakilinya, maka perlahan-lahan dia akan memunahkan racun yang mempengaruhi diri Milana dan karena sudah terlanjur menyerahkan diri, tentu Milana akan menerima kenyataan bahwa dia telah menjadi milik Wan Keng In!

Siapa mengira, biarpun berada dalam keadaan tidak sadar dan lupa ingatan, ternyata gadis itu masih saja tetap mempertahankan kehormatannya, biarpun terhadap Gak Bun Beng, pemuda yang dicintanya!

“Milana, engkau mengecewakan hatiku!” Dia membentak marah akan tetapi masih ingat untuk memburukkan nama Gak Bun Beng di depan dara itu. “Berbulan-bulan aku menahan rindu dan setelah sekarang kita bertemu, engkau menolak pencurahan kasih sayangku. Hemm, apa kau kira tidak ada wanita lain yang akan suka melayani cintaku?” Setelah berkata demikian, Wan Keng In meninggalkan pondok itu.

“Gak-koko....!”

Milana menjerit dan mengejar, akan tetapi melihat bayangan pemuda itu lenyap dalam gelap, dia lalu kembali ke dalam kamarnya, menjatuhkan diri ke atas pembaringan dan menangis. Milana merasa bingung sekali. Dunia seakan-akan menjadi tempat yang tidak menyenangkan baginya. Dia selalu merasa bingung dan meragu, sekarang ditambah lagi dengan tingkah laki-laki yang paling dicintanya, yang demikian tega hendak merenggut kehormatannya dengan paksa!

Sementara itu Wan Keng In marah bukan main. Semua ini gara-gara Gak Bun Beng, pikirnya. Kebenciannya memuncak setelah dia mendengar sendiri betapa Milana mencinta pemuda yang dianggapnya musuh besar itu. Dia harus mencari Gak Bun Beng, dan membunuhnya! Baru puas rasa hatinya kalau saingan itu lenyap dari permukaan bumi.

Dia lalu memanggil Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka berkepala gundul bermuka merah muda yang menjadi orang kepercayaannya, berpesan kepada pembantu ini agar menjaga Pulau Neraka, melayani kebutuhan gurunya, dan selama dia pergi meninggalkan pulau agar mencampuri hidangan Milana dengan bubukan obat yang telah disiapkannya, hanya sedikit perlu untuk menjaga agar ingatan dara itu tetap kabur dan pelupa! Setelah meninggalkan semua pesan itu, malam itu juga Wan Keng In naik perahu meninggalkan Pulau Neraka.

Beberepa hari kemudian, semenjak Wan Keng In mendarat dan mulai dengan perjalanannya untuk mencari Gak Bun Beng, mulai geger pula dunia kang-ouw dengan munculnya seorang pemuda yang amat kejam dan ganas, yang menyebar maut diantara orang-orang gagah, seorang pemuda yang lihai bukan main, yang memegang pedang Lam-mo-kiam dan yang bernama.... Gak Bun Beng!

Tentu saja pemuda itu adalah Wan Keng In! Karena bencinya kepada Bun Beng yang dianggapnya telah merebut hati kekasihnya, dia sengaja menggunakan nama musuhnya untuk malang-melintang, mendatangi perkumpulan-perkumpulan dari golongan bersih, membunuh tokoh-tokohnya yang berani melawannya.

Sebentar saja nama Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan) dikenal oleh dunia kang-ouw dengan hati gentar, dan nama Gak Bun Beng yang selalu mengaku keturunan atau putera mendiang datuk kaum sesat Gak Liat itu juga dikenal dengan hati benci.

Memang Keng In sengaja memperkenalkan nama Gak Bun Beng sebagai putera Gak Liat. Biarpun Gak Liat sudah meninggal dunia, namun nama Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang diantara para datuk kaum sesat amatlah terkenal, maka tidak ada seorangpun yang meragukan lagi bahwa keturunan datuk itu yang bernama Gak Bun Beng tentulah juga jahat sekali seperti ayahnya!

Betapapun jahat perbuatan Wan Keng In itu, namun hal ini tentu saja tidak disadari oleh pemuda itu sendiri. Dia menganggap bahwa Bun Beng amat jahat, menghancurkan harapannya, merusak cinta kasihnya, menggagalkan hubungannya dengan dara yang dicintanya. Dia menganggap Bun Beng semenjak dahulu menantang dan memusuhinya, dan dia menganggap sudah sepatutnya kalau Bun Beng dihukumnya, diantaranya dengan merusak namanya di dunia kang-ouw!

Dan anggapan Wan Keng In ini bukanlah dibuat-buat. Sudah menjadi kebiasaan kita yang dianggap lajim bahwa kita menilai seorang dari keturunannya, dari masa lalu, dan karena penilaian inilah maka selalu terdapat permusuhan di dunia ini.

Wan Keng In sudah mendengar bahwa Gak Bun Beng adalah seorang anak haram yang lahir dari seorang wanita yang diperkosa oleh Gak Liat Si Datuk kaum sesat. Tentu saja dengan sendirinya dia menganggap rendah Gak Bun Beng, dan dianggapnya seorang yang hina dan sudah sepatutnya kalau jahat!

**** 104 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar