FB

FB


Ads

Selasa, 20 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jlilid 061

“Harap Lo-suhu suka memberi penjelasan!”

Milana berkata halus akan tetapi nyaring karena dia merasa tersinggung juga mendengar bahwa perkumpulan ibunya dicela orang lain.

“Terus terang saja pinceng katakan bahwa Siauw-lim-pai telah mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang merendahkan dirinya menjadi kaki tangan Pemerintah Mancu! Dengan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah untuk menindas bangsa sendiri, hal ini sungguh bertentangan dengan kegagahan dan berarti salah menggunakan perkumpulan Thian-liong-pang untuk menjadi penjilat dan pengkhianat.”

Si Lengan Buntung mencelat maju, akan tetapi Milana membentak nyaring.
“Kiang-lopek, mundur dan jangan turun tangan sebelum ada perintah!”

Si Lengan Buntung mendelik kepada para hwesio itu, akan tetapi tanpa membantah ia melangkah mundur, sedangkan para anggauta Thian-liong-pang lainnya sudah marah dan bersiap turun tangan begitu ada perintah.

“Lo-suhu, kata-kata Lo-suhu agaknya terdorong oleh nafsu amarah dan Lo-suhu belum menyelidiki terlebih dahulu sebelum mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang kurang baik terhadap perkumpulan kami. Kami tidak akan mengingkari kenyataan bahwa kami membantu pemerintah dalam menghadapi para pemberontak. Bukankah hal itu berarti bahwa Thian-liong-pang membersihkan kaum pemberontak yang akan mengacaukan keadaan dan yang hanya akan memancing timbulnya perang yang menyengsarakan penghidupan rakyat jelata? Ataukah.... mungkin Siauw-lim-pai bahkan memihak pemberontak yang jelas terdiri dari orang-orang yang mengejar kedudukan, perampok-perampok yang berkedok pejuang?”

Muka para hwesio berubah merah dan pandang mata mereka mengandung kemarahan. Namun suara hwesio tua itu masih halus ketika dia berkata,

“Perjuangan melawan penjajah, dimanapun juga di dunia ini, adalah perjuangan kaum patriot pembela bangsa dan tidak boleh dikotori dengan tuduhan keji memakai dalih apapun juga. Kami tidak bersekutu dengan kaum patriot dan pejuang yang kalian anggap sebagai pemberontak, akan tetapi kamipun tidak sudi untuk menjadi kaki tangan pemerintah mencelakakan bangsa sendiri yang berjuang menurut keyakinan dan kebenaran mereka sendiri. Kami hanya minta kepada Thian-liong-pang, mengingat bahwa Thian-liong-pang adalah parkumpulan orang gagah, untuk mundur dan jangan mambunuhi rakyat dan bangsa sendiri.”

Tentu saja hati Milana manjadi panas mendengar ucapan itu, betapapun juga baik kata-kata itu diatur dan dikeluarkan dengan halus. Dia tidak dapat menyelami kebenaran kata-kata itu, tidak dapat merasakan alasan yang dikemukakan oleh Ceng Sim Hwesio. Bagaimana ia dapat merasakan kebenaran itu kalau dia sama sekali tidak merasa bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah? Dia sendiri adalah cucu Kaisar!

Di dalam pandangannya, bangsa Mancu adalah bangsa yang berhak dan patut memimpin seluruh Tiongkok karena telah menunjukkan kebesaran dan kelebihannya! Mana bisa disamakan atau dibandingkan dengan bangsa pemberontak yang hanya terdiri dari perampok kasar itu? Dia percaya sepenuhnya bahwa pemerintah Kerajaan Ceng-tiauw membawa rakyat kepada kemakmuran dan kemajuan, sedangkan para pemberontak itu hanya akan mencari kesempatan menggendutkan perut sendiri dengan membawa nama rakyat dan perjuangan untuk menghalalkan kejahatan mereka!

“Ceng Sim Hwesio, sebagai wakil Siauw-lim-pai engkau minta kepada Thian-liong-pang untuk mundur dan tidak boleh membantu pemerintah membersihkan para pemberontak, dan sebagai wakil Thian-liong-pang saya menjawab bahwa Siauw-lim-pai tidak boleh mencampuri urusan kami sendiri. Kami menolak permintaannmu itu, dan kami akan tetap melanjutkan tugas kami membersihkan kaum pemberontak, bukan semata-mata untuk membantu pemerintah, melainkan terutama sekali untuk menjauhkan rakyat daripada kekacauan dan peperangan baru yang ditimbulkan oleh kaum pemberontak!”

“Kalau begitu, Thian-liong-pang menentang kepada Siauw-lim-pai!”

Hwesio bermuka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbeh berkata. Sikapnya tidaklah sehalus Ceng Sim Hwesio dan mata di dalam tengkorak itu mengeluarkan sinar berkilat.

“Habis, engkau mau apa?”

Si Lengan Satu sudah membentak lagi, toya di tangan kanannya diputar-putar sehingga terdengar suara angin bersuitan.

“Terserah akan pendapat Siauw-lim-pai terhadap sikap kami, akan tetapi Thian-liong-pang tidak akan tunduk terhadap siapapun juga dalam menentukan sikap akan urusan kami dengan pemerintah!” Milana berkata.

“Omitohud! Sejak dahulu Thian-liong-pang memang ganas dan tinggi hati. Agaknya karena semua tokohnya memiliki ilmu kepandaian tinggi!” kata Ceng Sim Hwesio yang mulai panas hatinya.

“Ilmu kepandaian curian semua!” Kembali hwesio muka tengkorak berkata mengejek.

“Cu-wi Lo-suhu dari Siauw-lim-pai! Bukan kami yang mengundang kalian, melainkan Siauw-lim-pai yang menuntut pertemuan ini. Akan tetapi ternyata Siauw-lim-pai memperlihatkan sikap tidak bersahabat. Karena itu, karena kami yang menyediakan tempat ini, berarti kami menjadi pihak pemilik tempat dan kalian adalah tamu. Sekarang kami persilakan kalian pergi dari sini, pertemuan telah selesai!” Milana berkata marah.

“Omitohud, benar-benar Thian-liong-pang tidak memandang sebelah mata kepada Siauw-lim-pai!” Ceng Sim Hwe-sio berkata. “Setelah kedua belah pihak bertemu, bicara tanpa ada hasilnya, tidak boleh kita menyia-nyiakan kesempatan ini untuk saling menguji sampai dimana ketinggian ilmu kepandaian masing-masing. Biarpun kami hanya bertujuh dan jumlah kalian dua kali lebih banyak, kami tidak akan mundur dan kami tantang Thian-liong-pang mengadakan pertandingan menguji ilmu kepandaian sebagai penutup pertemuan ini!”

“Bagus! Siapa takut kepada tujuh ekor kerbau gundul?” Bok Sam meloncat sambil memutar toyanya.

“Trang-trangg....!”

Bunga api berpijar ketika toya itu bertemu dengan tombak pendek yang berada di tangan seorang hwesio yang menangkis toya itu. Hwesio tua bertubuh tinggi besar itu terhuyung mundur dengan wajah pucat karena merasa betapa dari toya itu keluar tenaga dahsyat yang membuat kedua lengannya tergetar dan kuda-kudanya tergempur!

“Kiang-lopek! Harap mundur dulu! Aku tidak perkenankan tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang gagah perkasa melakukan pengeroyokan! Mereka hanya bertujuh, aku membutuhkan enam orang pembantu saja untuk menghadapi mereka!”






Milana lalu menyebutkan nama enam orang pembantu yang dipilihnya, termasuk Si Lengan Buntung, kemudian bersama enam orang pembantunya ia menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai sambil melintangkan pedang di depan dada dan berkata,

“Ceng Sim Hwesio, apa yang kalian kehendaki sekarang?”

“Omitohud! Kiranya Thian-liong-pang masih menjaga nama baik dan memiliki kegagahan! Kouwnio (Nona) yang perkasa, biarlah pertemuan ini kita akhiri dengan menguji kepandaian masing-masing sehingga akan lengkaplah pelaporan kami kepada Ketua kami.”

“Bagus sekali. Majulah, jumlah kita sekarang sama!” Kemudian dia menoleh kepada para pembantunya, “Kalian ingat baik-baik, pertandingan ini hanya sekedar menguji ilmu. Aku tidak perkenankan kalian turun tangan membunuh. Cukup kalau sudah mengalahkan orang-orang tua yang keras kepala ini!”

“Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sambutlah serangan kami!”

Ceng Sim Hwesio membentak, memberi isyarat kepada rombongannya dan tujuh orang hwesio itu sudah menerjang maju. Yang mempelopori adalah hwesio tua ini. Senjatanya hanya kedua lengan bajunya yang lebar, namun sepasang senjata ini amatlah dahsyatnya, tidak kalah oleh senjata-senjata lain karena begitu kedua tangannya bergerak, ujung lengan baju yang panjang itu merupakan senjata yang menyambar kuat sekali, panjangnya lebih dari satu kaki di depan tangannya.

“Wuuuut.... wuuuutttt!”

Kedua lengan bajunya itu menerjang ke arah Milana. Ketika dara ini dengan gerakan yang gesit sekali mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang kemudian membalik, tahu-tahu dia melihat bahwa pemimpin rombongan, hwesio itu telah dihadapi oleh Bok Sam dengan putaran toyanya sehingga Ceng Sim Hwesio cepat memutar kedua ujung lengan bajunya dan terjadilah pertandingan seru diantara mereka.

Milana tersenyum, maklum bahwa pembantunya yang paling lihai ini tentu saja turun tangan menandingi hwesio yang dianggapnya paling ampuh dan lihai diantara rombongan lawan sehingga nona muda puteri Ketuanya itu tidak akan bekerja terlalu keras!

Terpaksa Milana melayani seorang hwesio lain, yang bertubuh tinggi besar dan yang bersenjata sepasang tombak pendek, yaitu hwesio yang tadi menangkis toya Si Lengan Buntung. Namun lawan ini terlalu lemah baginya dan dalam belasan jurus saja Milana sudah mendesak sepasang tombak pendek itu sehingga lawannya hanya dapat mengelak dan sibuk menangkis dengan sepasang senjatanya seolah-olah di tangan Milana bukan terdapat sepasang pedang melainkan banyak sekali yang membuat hwesio itu kewalahan.

Sementara itu, lima orang hwesio lainnya sudah pula bertanding melawan lima orang pembantu Milana dan terjadilah pertandingan yang seru di tanah kuburan. Melihat bahwa ternyata anggauta Thian-liong-pang yang berada disitu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka, rombongan Pulau Neraka kini menjadi lega hatinya dan menonton pertandingan sambil bersembunyi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali kepada puteri Ketua Thian-liong-pang dan Si Lengan Buntung yang ternyata hebat bukan main.

Pertandingan antara Bok Sam yang buntung lengan kirinya melawan Ceng Sim Hwesio merupakan pertandingan yang paling seru dan seimbang, dibandingkan dengan pertandingan lain diantara kedua rombongan itu. Biarpun lengannya hanya sebuah, namun toya yang diputar di tangan kanan itu benar-benar dahsyat sekali gerakannya sehingga Ceng Sim Hwesio yang amat lihai itupun tidak mampu mendesaknya dengan kedua ujung lengan bajunya, bahkan hwesio tua itu kelihatan terkejut sekali dan bersilat dengan amat hati-hati.

Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai terkenal memiliki ilmu silat yang tinggi, dengan dasar yang kokoh kuat dan boleh dikata diantara semua ilmu silat yang sesungguhnya bersumber satu itu, ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat yang masih dekat dengan sumbernya, masih murni dibandingkan dengan cabang-cabang persilatan lain. Hal ini adalah karena para pengembang ilmu silat Siauw-lim-pai terdiri dari hwesio-hwesio yang berwatak bersih, jujur dan tekun serta setia kepada pelajaran guru-guru mereka.

Berbeda dengan cabang persilatan lain yang mengalami perubahan karena tokoh-tokohnya terdiri dari orang-orang kang-ouw atau petualang yang banyak merantau sehingga di sana sini mereka menemukan cara-cara baru yang mereka masukkan dalam ilmu silat mereka sehingga makin lama, biarpun ilmu mereka banyak yang menjadi aneh dan bermacam-macam coraknya, juga tidak kalah lihainya, namun makin menjauh dari dasar atau sumbernya. Karena inilah, maka ilmu silat Siauw-lim-pai menjadi ilmu silat yang tertua dan yang paling asli, tidak berubah semenjak ratusan tahun yang lalu.

Ceng Sim Hwesio adalah murid kepala dari Ketua Siauw-lim-pai pada waktu itu. Tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Sebetulnya, dibandingkan dengan Bok Sam, baik mengenai kematangan latihan maupun tingkat kepandaian, hwesio ini tidak kalah bahkan lebih unggul dan lebih matang, juga tenaga saktinya tidak kalah kuat.

Akan tetapi, lawannya itu telah memperoleh gemblengan khusus dari Ketua Thian-liong-pang, dan ilmu yang dimilikinya adalah ilmu golongan hitam yang mempunyai banyak gerakan-gerakan mengandung tipu daya yang aneh-aneh dan tidak dikenal oleh seorang pendeta yang mengutamakan kejujuran seperti Ceng Sim Hwesio.

Ketika dengan gerakan yang kuat sepasang lengan baju hwesio itu menyambar ke arah toya yang menyerang, melibat kedua ujung toya itu dengan sepasang lengan bajunya untuk merampas senjata lawan, secara tak terduga dan tiba-tiba, Si Lengan Satu itu melepaskan toyanya dan menggunakan kesempatan selagi lawan tidak bebas karena kedua lengan dipakai untuk berusaha merampas toya, tangan kanan yang mempunyai ilmu dahsyat “telapak tangan golok” itu telah membabat ke arah pundak Ceng Sim Hwesio!

Hwesio tua itu terkejut sekali. Dari sambaran hawa pukulan tangan kanan itu dia dapat menduga bahwa lawannya memiliki pukulan ampuh yang berbahaya sekali. Untuk menangkis, tidak keburu lagi karena kedua tangannya tidak bebas, sepasang ujung lengan bajunya sudah melibat toya, maka jalan satu-satunya baginya hanyalah miringkan tubuh dan menerima hantaman tangan miring itu dengan pangkal bahunya yang berdaging sambil mengerahkan sin-kangnya.

“Desss!”

Hebat bukan main pukulan tangan miring dari Bok Sam ini. Dia telah menerima latihan khusus dari Ketua Thian-liong-pang dan kekuatan tangan tunggalnya itu amat dahsyat. Bukan seperti tangan yang mengandung tenaga sin-kang biasa yang dapat memecahkan batu karang, akan tetapi tangan kanan Bok Sam ini dapat dipergunakan seperti sebatang golok yang tajam, dapat mematahkan senjata lawan dan dapat dipakai membacok putus leher manusia!

Ketika tangan yang dihantamkan miring itu bertemu dengan pangkal lengan Ceng Sim Hwesio yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat sehingga menjadi kebal, tubuh hwe-sio itu tergetar hebat dan biarpun dia tidak terluka karena “bacokan” tangan itu dilawan oleh sin-kangnya, namun dia roboh terpelanting, libatan kedua ujung lengan bajunya pada toya terlepas dan toya itu telah dirampas kembali oleh Bok Sam yang menggunakan toya untuk menodong dada hwesio yang sudah rebah terlentang.

“Pinceng sudah kalah, perlu apa menodong dan mengancam? Kalau mau bunuh, lakukanlah, pinceng tidak takut mati!” kata Ceng Sim Hwesio yang merasa terhina dengan penodongan toya di atas dadanya itu.

Milana yang sudah merobohkan lawannya dan sedang meloncat ke atas sebuah kuburan untuk menyerang hwesio muka tengkorak yang ternyata telah merobohkan dua orang pembantunya berturut-turut cepat berseru,

“Kiang-lopek! Jangan lancang membunuh!”

Bok Sam tentu saja tidak berani melanggar larangan puteri ketuanya. Dia menodong hanya untuk membuktikan keunggulannya saja, maka kini ujung toyanya bergerak cepat menotok jalan darah di pundak Ceng Sim Hwesio, membuat hwesio itu mengeluh dan tak dapat bergerak lagi.

Sementara itu, hwesio muka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbih, ternyata dengan gerakan kebutannya telah berhasil merobohkan pula seorang anggauta Thian-liong-pang yang tadi menerjangnya dengan sebatang pedang, gerakan hwesio ini hebat sekali, dan begitu memandang, tahulah Bok Sam bahwa hwesio kurus itu ternyata jauh lebih lihai daripada Ceng Sim Hwesio!

Hwesio kurus itu telah merobohkan tiga orang temannya dan seorang lagi telah roboh oleh hwesio lain. Kini di pihak Thian-liong-pang hanya tinggal dia, puteri Ketuanya, dan seorang pembantu lagi, yaitu Su Kak Liong yang masih bertanding seru melawan seorang hwesio pendek bersenjata toya. Biarpun dia lihai, Su Kak Liong terdesak juga oleh dua orang pengeroyoknya.

Milana sudah menerjang hwesio kurus yang bersenjata hud-tim dan tasbih, dikeroyok oleh hwesio itu dan seorang hwesio lain yang bersenjata pedang. Karena percaya akan kelihaian Milana, Bok Sam membiarkan Milana menghadapi dua orang pengeroyoknya dan dia sendiri cepat meloncat ke depan membantu Su Kak Liong.

Begitu Si Lengan Buntung ini maju, keadaan berubah sama sekali. Hwesio pendek yang bersenjata toya sama sekali bukan tandingan Si Lengan Buntung, biarpun senjata mereka serupa dan hwesio itu menggunakan kedua tangannya untuk mainkan senjatanya. Dalam belasan jurus saja, hwesio pendek itu tak kuat bertahan iagi, toyanya patah menjadi dua dan dia roboh dengan sambungan lutut terlepas karena hantaman toya lawan. Juga hwesio muda yang bersenjata golok sudah roboh oleh Su Kak Liong, terluka pundaknya.

Bok Sam cepat meloncat dan membantu Milana yang masih dikeroyok dua. Ternyata hwesio kurus bermuka tengkorak itu benar-benar lihai sekali. Permainan kombinasi sepasang senjatanya yang aneh memiliki gerakan-gerakan aneh dan tenaga sin-kang yang terkandung dalam gerakan senjata-senjatanya amat kuat.

Kebutan di tangan kanan itu kadang-kadang lemas dan dipergunakan untuk membelit pedang untuk merampasnya, akan tetapi kadang-kadang dapat menjadi keras dan kaku bulu-bulunya sehingga dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah. Sedangkan tasbihnya menyelingi gerakan kebutan dengan sambaran-sambaran ke arah kepala lawan.

Milana terkejut dan tertarik sekali. Dia sudah mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai maka dia menjadi heran sekali ketika melihat bahwa dasar ilmu silat hwesio kurus ini jauh berbeda dengan Siauw-lim-pai, bahkan mendekati ilmu silat dari barat!

Setelah kini Bok Sam maju membantunya dan menghadapi hwesio yang bersenjata pedang, Milana mendapat kesempatan untuk menghadapi hwesio muka tengkorak itu satu lawan satu dan dengan mengerahkan gin-kangnya yang luar biasa, Milana dapat memancing hwesio itu mengeluarkan semua jurus-jurusnya yang sama sekali bukan ilmu silat Siauw-lim-pai.

Tiba-tiba untuk kesekian kalinya, tasbih menyambar dari udara, mengeluarkan bunyi bersuitan. Tasbih itu telah dilepas oleh tangan kiri hwesio kurus, dan melayang-layang seperti seekor burung menyambar ke arah kepala Milana.

Dara ini tidak menjadi gugup. Tadipun dia pernah diserang seperti itu dan ketika ia mengelak, tasbih itu dapat kembali ke tangan lawan! Kini dia sengaja menggunakan pedangnya menangkis dengan hantaman miring dari samping ke arah tasbih sambil membagi perhatian ke depan karena selagi tasbih itu melayang turun, hud-tim di tangan kanan lawannya juga tidak tinggal diam, bahkan mengirim penyerangan cepat sekali.

“Cringgg!”

Milana terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar dan ternyata bahwa tasbih itu tidak tertolak oleh tangkisannya, melainkan terus melibat pedangnya. Kiranya tasbih itu dilempar dengan gerakan berputar sehingga ketika ditangkis terus melibat! Padahal pada saat itu kebutan di tangan kanan hwesio itu telah meluncur datang, ujung kebutan bergerak cepat sekali seolah-olah berubah menjadi banyak dan mengirim totokan Secara bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh Milana dari pinggang ke atas.

“Wuuuuttt.... singgg!”

Milana menggunakan gin-kangnya, tubuhnya mencelat ke atas, pedang dikelebatkan dengan pengerahan sin-kang sehingga tasbih yang melilit pedangnya itu terlepas menyambar ke depan, menangkis ke arah kebutan.

“Wuuuut!”

Dengan lihainya hwesio kurus itu menggerakkan kebutan menangkap tasbihnya, dan sudah siap untuk menerjang lagi sambil diam-diam memuji ketangkasan dara itu.

“Tahan!”

Tiba-tiba Milana membentak sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
“Siapa engkau? Aku yakin bahwa engkau bukanlah seorang hwesio tokoh Siauw-lim-pai!”

Hwesio itu tersenyum mengejek, kemudian memandang kepada enam orang hwesio yang semua telah roboh terluka. Hwesio berpedang yang tadinya membantu dia mengeroyok Milana, telah roboh pula di tangan Bok Sam yang kini sudah berdiri dengan memegang toya tegak lurus di depannya, siap untuk menerjangnya. Enam orang temannya sudah kalah semua, tinggal dia seorang, sedangkan di pihak Thian-liong-pang masih ada tiga orang termasuk nona muda yang amat lihai dan Si Lengan Buntung yang juga lihai sekali itu.

“Pinceng Mo Kong Hosiang memang bukan seorang tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi pinceng adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai. Pinceng datang dari barat dan mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang telah merendahkan diri menjadi kaki tangan pemerintah penjajah, pinceng dan para sahabat ini....”

“Aihh, kiranya engkau seorang pemberontak dari Tibet, bukan?” Milana memotong, dan hwesio itu kelihatan terkejut.

“Bagaimana Nona dapat menyangka demikian?”

“Aku mengenal gaya bahasamu dan dasar gerak silatmu. Tibet sudah takluk, akan tetapi banyak tokohnya diam-diam masih ingin memberontak. Tentu engkau adalah seorang diantara mereka yang ingin memberontak, maka kini engkau menghasut para Lo-suhu dari Siauw-lim-pai untuk menentang kami. Hemm, Mo Kong Hosiang, karena engkau bukan orang Siauw-lim-pai, maka urusan antara engkau dan kami lain lagi. Engkau seorang pemberontak dan sudah menjadi tugas kami untuk membasmi pemberontak.”

“Ha-ha-ha, perempuan sombong! Kau kira pinceng takut....?”

Baru sampai disini ucapannya, terdengar suara gerengan keras dan Bok Sam telah menerjang maju dengan dahsyat, menggerakkan toyanya menusuk ke arah dada hwesio kurus itu.

Mo Kong Hosiang cepat mengelak sambil menggerakkan hud-tim di tangannya yang menyambar dari samping ke arah lambung Si Lengan Buntung. Serangan berbahaya ini dapat dielakkan oleh Bhok Sam dan segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang itu. Sekali ini, pertandingan terjadi lebih hebat daripada tadi karena kalau tadi masing-masing pihak masih menjaga agar jangan sampai menjatuhkan pukulan maut kepada pihak lawan, kini kedua orang ini bertanding dengan niat membunuh!

Milana sudah mengukur tingkat kepandaian hwesio kurus itu, maka kini ia mengerutkan alis menyaksikan kelancangan Bok Sam yang terlalu berani turun tangan. Dia maklum bahwa pembantu ibunya itu memiliki ilmu yang boleh diandalkan, akan tetapi dia khawatir kalau pembantu ibunya itu bukan tandingan Mo Kong Hosiang yang amat lihai.

Biarpun hatinya tidak senang menyaksikan kelancangan dan kekerasan hati Bok Sam, namun karena dia tahu bahwa Si Buntung ini mendahuluinya bukan hanya karena keras hati akan tetapi juga karena menyayangnya menghadapi lawan tangguh, maka di lubuk hatinya Milana merasa tidak tega dan tidak mau membiarkan Si Lengan Buntung itu menghadapi bahaya maut. Diam-diam ia bersiap sedia untuk menolong apabila pembantu ibunya itu terancam bahaya.

Kiang Bok Sam bukan seorang bodoh. Begitu terjadi saling serang beberapa jurus saja, tahulah dia bahwa lawannya ini benar-benar amat lihai, sama sekali tidak boleh disamakan dengan Ceng Sim Hwesio. Gerakan hud-tim itu membingungkan hatinya karena amat cepat dan aneh, selain itu, juga hud-tim yang kadang-kadang lemas kadang-kadang kaku itu membuat dia sukar sekali menduga gerakan serangan lawan.

Namun, dia tidak menjadi jerih dan toyanya diputar amat cepatnya ketika dia membalas dengan serangan-serangan maut yang tidak kalah hebatnya. Permainan toyanya yang khusus diturunkan oleh Ketua Thian-liong-pang kepadanya memang dahsyat sekali, apalagi di balik toya ini tersembunyi lengan tunggal yang memiliki keampuhan luar biasa.

Toya ini selain merupakan senjata, juga merupakan semacam kedok yang menyembunyikan senjatanya yang paling utama dan ampuh, yaitu tangan kanannya. Lawan biasanya akan memandang rendah apabila dia kehilangan toyanya, dan hal inipun tadi telah mengakibatkan robohnya Ceng Sim Hwesio.

Mo Kong Hosiang maklum bahwa lawan yang berbahaya adalah Si Buntung ini dan nona muda itu, maka dia harus dapat merobohkan seorang diantara mereka baru dia mempunyai harapan untuk keluar dari pertandingan dengan selamat. Maka kini melihat gerakan toya Si Lengan Buntung, dia memandang rendah. Si Buntung ini memang amat cepat dan kuat sin-kangnya, namun masih jauh kalau dibandingkan lawannya dengan nona muda yang cantik itu. Dia harus dapat mengalahkan lawannya dengan cepat.

Tiba-tiba hwesio kurus itu mengeluarkan suara bentakan melengking sehingga terkejutlah lawannya karena bentakan ini mengandung tenaga khi-kang yang menggetarkan jantung. Pada saat itu, hud-tim di tangan Mo Kong Hosiang meluncur ke depan, menjadi lemas dan telah melibat ujung toya yang tadi menusuk ke arah dadanya, sedangkan tasbih di tangan kirinya sudah dilontarkannya ke atas dan kini tasbih itu meluncur turun ke arah kepala lawan selagi lawan masih terkejut dan berusaha membetot toyanya.

“Sinngggg.... tranggg!”

Tasbih itu putus dan runtuh ke atas tanah, kesambar pedang yang dilontarkan oleh Milana. Pedang itupun runtuh ke atas tanah, akan tetapi telah berhasil menyelamatkan Si Lengan Buntung dari ancaman maut!

Pada saat itu Bok Sam melepaskan toyanya dan hal ini dianggap oleh Mo Kong Hosiang sebagai kemenangan. Dia berseru girang walaupun tadi kaget melihat tasbihnya runtuh, dengan gerak kilat tangan kirinya menghantam ke arah lawan. Pukulannya cepat dan keras bukan main sehingga didahului oleh hawa pukulan yang kuat.

Seperti juga Ceng Sim Hwesio, hwesio dari Tibet ini telah salah menduga keadaan lawan. Disangkanya bahwa Si Lengan Buntung itu hanya mengandalkan toyanya, maka begitu toya terlepas dianggapnya Si Lengan Buntung itu menjadi tak berdaya dan lemah. Maka hwesio kurus itu hanya tersenyum mengejek ketika Bok Sam menggerakkan lengan tangannya menangkis dengan tangan terbuka miring.

“Krakkkk....!”

Mo Kong Hosiang berteriak kaget setengah mati ketika pergelangan tangannya terasa nyeri dan tulangnya ternyata patah begitu berternu dengan tangan miring lawan.

“Celaka....!”

Dia cepat meloncat ke belakang, lengan kirinya tergantung lumpuh karena tulangnya patah, namun hud-timnya berhasil merampas toya. Kini dia menggerakkan hud-timnya dan toya itu meluncur seperti anak panah yang besar ke arah Bok Sam!

“Wuuuttt.... wirrrr!”

Tiba-tiba toya yang meluncur itu berhenti dan tertarik ke atas oleh sinar hitam yang meluncur cepat dari tangan Milana. Kiranya dara perkasa ini telah menggunakan sebatang tali sutera, sebuah diantara senjatanya yang amat lihai, dilontarkannya tali itu dan berhasil menangkap toya!

Kini toya itu telah kembali ke tangan pemiliknya yang mengangguk sebagai tanda terima kasih kepada Milana. Lontaran toya tadi benar-benar tidak terduga dan amat cepatnya sehingga kalau tidak ditolong Milana, tentu dia akan celaka, setidaknya terluka.

Sambil menggereng seperti seekor harimau terluka, Bok Sam menerjang maju dan terpaksa dilawan oleh Mo Kong Hosiang yang keadaannya tidak berbeda jauh dengan lawannya. Kalau lawannya itu hanya menggunakan lengan kanan karena lengan kirinya buntung, hwesio Tibet inipun hanya menggunakan lengan kanan karena lengan kirinya lumpuh dan patah tulangnya.

Maklum bahwa selain terluka parah, juga di samping lawannya yang lihai ini masih terdapat puteri Ketua Thian-liong-pang yang lebih lihai lagi, maka Mo Kong Hosiang berlaku nekat, menubruk maju dengan dahsyat, hendak mengadu nyawa dan mengajak lawannya mati bersama!

Akan tetapi Bok Sam tentu saja tidak suka nekat seperti lawannya karena dia sudah berada di pihak lebih kuat. Menghadapi terjangan nekat ini, dia mengayun toyanya menangkis dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

“Desss! Krakkk!”

Hud-tim dan hoya di tangan kedua orang lawan itu patah menjadi dua disusul pekik Mo Kong Ho-siang yang roboh terjengkang karena dadanya terkena pukulan tangan kanan Bok Sam yang amat ampuh. Biarpun dengan sin-kangnya dia masih dapat membuat dadanya kebal, namun getaran hebat membuat jantungnya pecah dan isi dadanya rusak sehingga hwesio Tibet ini tewas seketika!

Milana cepat menyuruh anak buahnya mundur, kemudian dia menghampiri enam orang hwesio Siauw-lim-pai yang sudah bangkit berdiri saling bantu. Ceng Sim Hwesio berdiri dengan muka pucat.

“Ceng Sim Hwesio, engkau tadi telah mendengar sendiri bahwa kami membunuh Mo Kong Hosiang bukan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai karena menurut pengakuannya sendiri, dia bukan seorang anggauta Siauw-lim-pai. Kami membunuhnya sebagai seorang pemberontak. Adapun Cu-wi Lo-suhu, enam orang anggauta Siauw-lim-pai telah kalah dalam ujian kepandaian melawan kami, hal ini kami rasa sudah sewajarnya, apalagi kalau diingat bahwa yang menantang mengadu ilmu adalah pihak Siauw-lim-pai sendiri. Harap saja Lo-suhu tidak akan memutar balikkan kenyataan ini dalam laporan Lo-suhu kepada Ketua Siauw-lim-pai.”

Ceng Sim Hwesio tersenyum pahit lalu menghela napas panjang.
“Biarpun Mo Kong Hosiang bukan anggauta Siauw-lim-pai, namun dia adalah seorang saudara kami, sudah sepatutnya kalau kami membawa pergi jenazahnya. Tentang urusan antara kita, hemmm.... kami sudah kalah, tidak perlu banyak bicara lagi! Selamat tinggal, mudah-mudahan dalam pertemuan mendatang kami akan lebih berhasil.”

Setelah berkata demikian, Ceng Sim Hwesio mengajak anak buahnya pergi sambil menggotong jenazah Mo Kong Hosiang.

Rombongan Pulau Neraka yang bersembunyi sambil menonton, melihat bahwa biarpun pihak Thian-liong-pang memperoleh kemenangan, akan tetapi rombongan itu tidak meninggalkan tempat itu, hanya mengobati empat orang anggauta yang terluka dalam pertandingan tadi. Bahkan mereka bermalam lagi di tempat itu melakukan penjagaan secara bergiliran.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar