FB

FB


Ads

Jumat, 30 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 107

Seperti telah disaksikan oleh Suma Han dan kedua orang isterinya, di sebelah selatan Pulau Es terjadi badai yang hebat. Ketika itu, perahu besar yang ditumpangi oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan teman-temannya sedang berlayar ke selatan. Bekas Koksu ini dan teman-temannya telah menderita kekalahan total dan kegagalan yang bertubi-tubi sehingga pelayaran itu dilakukan dengan wajah murung dan hati kesal.

Usaha pemberontakan mereka dengan mengangkat Pangeran Yauw Ki Ong gagal sama sekali, dan pangeran itu ternyata mempunyai hati khianat sehingga terpaksa dibunuh oleh Bhong Ji Kun. Setelah tidak ada lagi pangeran itu, tentu saja mereka tidak mempunyai pegangan untuk memberontak.

Bahkan di Pulau Es mereka mengalami pukulan hebat lagi, semua dikalahkan mutlak oleh Pendekar Super Sakti sehingga mereka mendapatkan pengampunan dan diusir dari pulau sebagai orang-orang yang kalah. Seperti anjing setelah mengalami gebukan-gebukan! Bagi orang-orang yang terkenal di dunia persilatan seperti mereka itu, tidak ada yang lebih memalukan dan merendahkan daripada diampuni lawan setelah mereka kalah!

Memang mereka sedang sial. Usaha pemberontakan gagal sama sekali, disusul dengan kekalahan pribadi menghadapi Majikan Pulau Es. Kini, selagi mereka bingung kemana harus pergi dengan perahu mereka karena untuk mendarat amatlah berbahaya setelah mereka kini menjadi orang-orang pelarian, tiba-tiba saja badai datang mengamuk dan menyerang perahu mereka!

Perahu itu sebetulnya sudah merupakan sebuah perahu besar menurut ukuran perahu umumnya. Namun, setelah badai mengamuk menimbulkan gelombang-gelombang setinggi anak bukit, perahu itu tidak lebih seperti sebuah mangkuk kecil di tengah telaga. Dan tenaga orang-orang yang biasanya dianggap orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertenaga besar, kini tiada bedanya seperti tenaga semut-semut saja menghadapi tenaga air laut yang digerakkan badai. Perahu dilempar ke sana-sini, dilontarkan ke atas dan diseret kembali ke bawah, diputar-putar dan akhirnya perahu itu pecah berkeping-keping!

Bhong Ji Kun dan anak buahnya tentu saja dalam keadaan seperti itu hanya dapat berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Mereka tidak dapat saling melihat ketika perahu itu pecah berantakan dan mereka terlempar ke lautan yang sedang marah itu.

Barulah mereka saling dapat melihat ketika badai telah lewat ke timur dan lautan di bagian itu agak tenang dan ternyata bahwa yang berhasil mencengkeram sebagian tubuh perahu yang pecah, yang hanya merupakan beberapa potong papan besar bersambung-sambung, hanya ada lima orang saja.

Dalam keadaan setengah pingsan, lima orang ini naik ke atas papan-papan bersambung itu, terengah-engah. Mereka ini adalah Gozan, orang Mongol yang bertubuh tinggi besar itu, Liong Khek, Si Muka Pucat bertubuh kurus yang bersenjata pancing. Thai-lek-gu, Si Pendek Gendut bekas jagal babi yang bersenjata sepasang golok, dan dua orang Mongol yang tadinya adalah juru-juru mudi perahu itu.

Berkat pengalaman dan keprigelan dua orang bekas juru mudi inilah, maka pecahan perahu yang kini ditumpangi mereka berlima itu akhirnya dapat keluar dari daerah badai, kemudian dengan susah payah mereka mendayung mempergunakan papan yang berapung, untuk menggerakkan perahu istimewa ini ke darat. Dan mereka berhasil setelah melalui perjuangan mati hidup selama beberapa hari. Mereka berhasil mendarat di tempat sunyi, di pantai Lautan Po-hai dalam keadaan tenaga habis dan hampir mati kelaparan!

Kini mereka sudah hampir dua pekan berada di guha-guha pantai Lautan Po-hai. Tenaga mereka sudah pulih dan pada siang hari itu tiga orang bekas pembantu Koksu bercakap-cakap di depan guha sedangkan dua orang bekas juru mudi kini bertugas sebagai pelayan, memanggang ikan yang mereka tangkap di tepi laut.

“Sudah lama kita menanti disini, dan Im-kan Seng-jin belum juga muncul,”

Kata Liong Khek yang sebagai orang terlihai diantara mereka berlima tentu saja otomatis menjadi pemimpin mereka.

“Dalam badai seperti itu, biarpun memiliki kepandaian selihai dia, kiranya takkan banyak berdaya,”

Thai-lek-gu berkata menggeleng-gelengkan kepala, masih ngeri kalau mengenangkan peristiwa itu. Dia tidak dapat berenang sama sekali, maka dapat dibayangkan betapa takutnya ketika itu, hanya untung oleh ombak dia dilemparkan dekat pecahan perahu sehingga dapat menyelamatkan diri.

“Agaknya dia dan yang lain-lain sudah mati ditelan ikan,” kata Gozan. “Lebih baik kita tinggalkan saja dia. Tempat inipun masih berbahaya. Kalau sampai ada nelayan yang melihat kita dan melaporkan, kita akan celaka. Aku sudah khawatir sekali ketika beberapa hari yang lalu ada perahu kecil meluncur cepat di lautan itu.”

“Tak usah khawatir,” Liong Khek berkata, “Perahu kecil itu hanya ditumpangi seorang, dan dia agaknya tidak memperhatikan kesini. Pula, dia sudah pergi beberapa hari yang lalu, kalau memang dia melaporkan, kiranya pada hari itu juga sudah ada pasukan yang datang hendak menangkap kita. Akan tetapi, andaikata demikian, kita takut apa kalau hanya menghadapi pasukan-pasukan biasa?”

“Sekarang lebih baik kita lanjutkan rencana kita,” kata pula Gozan. “Kita dapat pergi ke Mongol melalui dua jalan. Pertama melalui jalan barat, melintasi Propinsi Liao-ning dan melalui Pegunungan Tai-hang-san sebelah utara. Akan tetapi jalan ini berbahaya karena tentu kita akan bertemu dengan para penjaga yang menjaga di Tembok Besar. Jalan ke dua adalah melalui sepanjang Sungai Yalu dan kemudian terus ke barat melalui Mancu.”

“Melalui Mancu? Gila, bukankah disana pusatnya bangsa yang menjajah sekarang?”

“Justeru karena itulah maka kita takkan diperhatikan, karena tidak akan ada yang mengira bahwa kita berani lewat disana. Disana banyak terdapat orang Mongol, maka bagiku aman, juga banyak terdapat orang Han. Dengan menyamar, kita mudah saja melalui Mancu, kemudian ke barat dan menyelinap ke Mongol.”

Gozan yang sudah hafal akan seluk-beluk daerahnya itu menggambarkan keadaan dengan coretan-coretan di atas tanah depan kakinya.

“Kalau begitu, besok pagi-pagi kita berangkat pergi!” kata Liong Khek sambil menarik napas panjang.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu,
“Tidak usah besok, sekarang pun kalian akan pergi ke neraka!”

Tampak dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu disitu telah berdiri Kwi Hong dan Keng In! Pemuda itu tersenyum-senyum saja dan berdiri di pinggiran dengan kedua tangan bersedekap (terlipat di dada).

Mendengar ucapan Kwi Hong dan ketika mereka mengenal dara ini, tiga orang itu sudah meloncat berdiri.

“Nona, apa kehendakmu dan apa artinya kata-katamu itu?” Liong Khek bertanya, dan mukanya berubah pucat.

“Aku datang untuk membunuh kalian! Mana Si Keparat Bhong Ji Kun, suruh dia keluar!”

“Dia.... mungkin sudah mati. Perahu kami pecah oleh badai dan yang dapat menyelamatkan diri hanya kami berlima. Nona, kami telah dilepaskan pergi oleh paman Nona. Kami telah dimaafkan....”






“Mungkin Paman memaafkan, akan tetapi aku tidak! Penghinaan dan tipuan yang kalian lakukan kepadaku hanya dapat ditebus dengan darah!” Sambil berkata demikian Kwi Hong sudah mencabut pedangnya.

“Singgg....!” Kilat berkelebat ketika pedang Li-mo-kiam dihunus.

Tiga orang itu menjadi kaget sekali. Liong Khek menoleh dan menghadapi Keng In yang masih berdiri tenang dan tersenyum-senyum.

“Wan-taihiap engkau adalah bekas sekutu kami. Harap kau suka membantu kami dan menyuruh nona ini agar tidak memaksa kami bertanding.”

Wan Keng In tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, kalian ini orang-orang yang tak dapat dipercaya dan berwatak pengecut, maka kalian memang sudah sepatutnya dibunuh. Akan tetapi karena kalian berhutang kepada Enci Kwi Hong, biarlah dia yang akan menagihnya. Aku hanya akan melenyapkan dua orang tiada guna itu!”

Tiba-tiba tangannya bergerak, tampak sinar berkelebat ketika pedang Lam-mo-kiam dicabut dan tubuhnya hanya berkelebat sebentar lalu dia sudah berdiri lagi di tempat tadi, pedangnya sudah disarungkan kembali, akan tetapi dua orang pelayan bekas juru mudi yang tadinya berjongkok dekat perapian karena terganggu pekerjaan mereka memanggang ikan itu telah roboh dengan kepala terpisah dari tubuh, lehernya putus disambar sinar pedang Lam-mo-kiam!

Tiga orang itu kaget bukan main dan tahulah mereka bahwa jalan satu-satunya bagi mereka hanyalah melawan! Melihat sikap pemuda Pulau Neraka yang mereka tahu lihai luar biasa itu, mereka hanya mengharapkan pemuda itu benar-benar memegang kata-katanya dan tidak akan ikut campur, membiarkan dara itu seorang diri saja melawan mereka. Kalau begini halnya, mereka masih ada harapan.

Biarpun mereka juga maklum bahwa murid dan keponakan Pendekar Super Sakti ini lihai sekali, namun mereka bertiga masa kalah melawan seorang gadis muda? Apalagi mereka itu telah siap dengan senjata mereka.

Gozan yang tak pernah bersenjata itu mengandalkan kedua tangan dan kakinya dan ilmu gulat disamping ilmu silatnya. Thai-lek-gu (Kerbau Bertenaga Besar) pun ketika berhasil menyelamatkan diri, sepasang golok penyembelih babinya masih tergantung di punggung. Adapun Liong Khek sendiri yang kehilangan senjatanya, telah mencuri sebuah pancing dari nelayan di Pantai Po-hai dan sudah membuat senjata pancing baru. Biarpun tidak sekuat buatannya sendiri dahulu, namun cukup untuk dipergunakan karena memang keistimewaannya adalah mempermainkan senjata aneh ini.

Melihat betapa dua orang itu sudah mengeluarkan senjata masing-masing, dan Gozan sudah berdiri memasang kuda-kuda dengan kedua lengan dikembangkan seperti seorang yang kerinduan siap memeluk kekasihnya, Kwi Hong menggerakkan pedangnya dan membentak,

“Bersiaplah untuk mampus!”

Akan tetapi Liong Khek dan Thai-lek-gu sudah mendahului menggerakkan senjata mereka. Sepasang golok Si Gendut Pendek itu menyambar dahsyat dari kanan kiri, dan terdengar suara bersiut nyaring ketika tali pancing itu melecut udara dan mata kailnya membalik, menyambar tengkuk Kwi Hong dari belakang.

Kwi Hong maklum akan kelihaian para lawannya, makin dia cepat memutar pedang menangkis sepasang golok sambil merendahkan tubuh dan menyelinap ke kiri untuk menghindarkan sambaran mata kail. Si Gendut Pendek itu mengenal Li-mo-kiam, cepat menarik kedua goloknya dan memutar golok itu untuk melanjutkan serangannya, yang kiri menusuk dada, yang kanan menyerampang kaki. Juga Liong Khek sudah menggerakkan tali pancingnya.

Kwi Hong tadi meloncat ke kiri untuk menjauhi Gozan. Biarpun orang Mongol itu bertangan kosong, namun dia maklum akan kelihaian orang ini dengan kedua tangannya. Sekali kena dipegang orang itu, sukarlah untuk dapat lolos lagi. Karena itu dia selalu bergerak menjauhinya agar jangan sampai Gozan mendapat kesempatan menyergapnya dari belakang.

Wan Keng In hanya berdiri tersenyum. Melihat wajah pemuda ini, sukar untuk mengetahui apa yang tersembunyi di balik dada dan di balik dahi itu. Akan tetapi yang sudah jelas, matanya bergerak mengikuti gerak-gerik Kwi Hong, penuh kagum, dan kadang-kadang mata itu dengan liarnya melayang ke arah dada, pinggang, kaki dan wajah yang cantik dari gadis itu.

Pertandingan itu berjalan seru dan biarpun dikeroyok tiga, Kwi Hong tetap saja dapat mendesak. Hal ini bukan hanya karena tingkat ilmunya memang jauh lebih tinggi, akan tetapi terutama sekali karena tiga orang itu jerih menghadapi keampuhan Li-mo-kiam yang dahsyat dan mengandung hawa mujijat itu. Betapapun juga, tidaklah terlampau mudah bagi Kwi Hong untuk merobohkan mereka, karena tiga orang itu bertanding untuk mempertahankan nyawa mereka!

Lima puluh jurus telah lewat dan masih belum ada diantara mereka yang terluka, kecuali golok kiri Thai-lek-gu patah ujungnya terbabat Li-mo-kiam. Karena maklum bahwa kalau mereka hanya mempertahankan diri saja, lambat laun tentu mereka akan menjadi korban Li-mo-kiam, maka tiga orang itupun berusaha untuk membalas dan merobohkan gadis yang perkasa itu. Pendeknya, pertandingan itu bagi mereka hanya berarti membunuh atau dibunuh!

Pada saat untuk kesekian kalinya sepasang golok Thai-lek-gu menyambar, Kwi Hong berusaha menangkis dan mematahkan golok dan Si Gendut itu memang hanya mengacau untuk memberi kesempatan kepada teman-temannya. Melihat dara itu menggerakkan pedang menghalau golok-golok yang mengancamnya, Liong Khek menggerakkan pancingnya yang kini diulur panjang untuk melibat pinggang dan leher dara itu!

Kwi Hong memang sudah menanti hal ini terjadi karena dia merasa penasaran dan kehilangan sabar setelah sekian lamanya belum juga dapat merobohkan mereka. Begitu tali pancing melecut udara dan menyambar, Kwi Hong menggerakkan tangan kirinya menangkap tali pancing! Liong Khek berseru girang, dan seruan ini merupakan aba-aba bagi kedua orang temannya. Sepasang golok itu menyerang dari kanan kiri, sedangkan Gozan menubruk dari belakang!

Kwi Hong mengerahkan sin-kang, menarik tali pancing dengan tangan kiri, ketika sepasang golok menyambar, kembali dia memutar pedangnya dan melepas tali pancing dengan tiba-tiba sehingga mata kail itu meluncur ke arah pemiliknya!

Tentu saja Liong Khek dapat menyelamatkan diri dan pada saat pedang Kwi Hong berhenti bergerak karena dua batang golok itu ditarik kembali pada saat yang sama, mata kail itu sudah menyambar kearah mukanya dan sepasang golok sudah menjepit pedang, sedangkan Gozan menubruk dari belakang, tahu-tahu kedua tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang!

Kwi Hong tidak menjadi gugup. Dia merendahkan tubuh dan dimiringkan, akan tetapi dia tidak mengira bahwa gerakan Gozan memang cepat sekali dan tahu-tahu elakan itu masih belum cukup untuk menghindarkan kedua tangan Gozan dan kini tangan kanan raksasa Mongol itu sudah meraih pinggang Kwi Hong dan lengannya merangkul ketat!

Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Pedang yang terjepit sepasang golok itu dia betot sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi. Terdengar suara “krakkk!” ketika sepasang golok itu patah-patah dan pedangnya terus membabat ke belakang.

“Crokkkk! Aughhh....!”

Tubuh Gozan terguling, lengan kanannya putus sebatas pundak akan tetapi lengan yang besar itu masih melingkari pinggang dan jari-jari tangannya masih mencengkeram baju gadis itu!

“Ihhhh!” Kwi Hong bergidik dan merenggut lengan itu dengan tangan kirinya, membuangnya ke samping.

“Brettt!”

Baju di bagian perutnya terobek oleh jari-jari tangan itu. Untung pakaian dalam hanya ikut terobek sedikit sehingga hanya sedikit bagian kulit perutnya yang putih bersih itu tampak!

Sambil menutupi bagian robek dengan tangan kiri, Kwi Hong membalikkan tubuh dan pedangnya berkelebat merupakan gulungan sinar pedang yang seperti kilat menyambar di waktu hujan. Tampak darah muncrat dan terdengar pekik-pekik mengerikan ketika tubuh Gozan dan tubuh Thai-lek-gu hampir berbareng roboh dengan pinggang hampir terpotong!

Liong Khek menjadi pucat. Maklum bahwa dia tidak dapat melarikan diri, dia menjadi nekat. Mata kailnya menyambar dengan gerakan berputaran, mata kail meluncur turun menyerang ke arah mata Kwi Hong! Dan pada saat berikutnya, dia sendiri telah menubruk dan mengirim pukulan dengan pengerahan sin-kang ke arah dada dara itu.

“Heiiittt.... blessss! Aduhhh....!”

Kwi Hong telah merubah kedudukannya, setengah berjongkok dengan kecepatan mengagumkan sehingga mata kail itu tidak mengenai sasaran, kemudian dari bawah pedangnya meluncur dan amblas memasuki perut Liong Khek sampai menembus punggung dan secepat kilat tubuh dara itu sudah meloncat ke belakang sambil menarik kembali pedangnya sehingga darah yang muncrat itu tidak sampai mengenai pakaiannya. Liong Khek terhuyung lalu roboh menelungkup tanpa bersambat lagi.

Terdengar orang bertepuk tangan.
“Bagus sekali! Kau sungguh hebat Enci Hong!”

Mulutnya memuji akan tetapi matanya mengincar ke arah sebagian perut yang tidak tertutup tadi! Kwi Hong segera menutupi perutnya, mengeluarkan selembar saputangan sutera dan menggunakan saputangan itu untuk diikat dan menutupi bagian yang robek.

Kwi Hong menyarungkan pedangnya, memandang tiga buah mayat musuhnya dan dia berlutut, menutupi mukanya, terisak sedikit lalu membuka pula kedua tangan yang menutupi muka dan.... tertawa!

“Kau hebat, Enci Hong. Tentu kau sudah puas sekarang?”

“Masih belum! Mereka ini hanya kaki tangannya, yang menjadi musuh besar utama adalah Bhong Ji Kun!”

“Akan tetapi agaknya kau kalah dulu oleh badai. Menurut penuturan mereka tadi, perahu mereka pecah oleh badai dan hanya mereka yang selamat.”

Kwi Hong bangkit berdiri, menarik napas panjang.
“Sayang sekali kalau begitu.”

“Aku tahu bahwa kau mendendam sakit hati hebat, karena itu tadipun aku tidak mau turun tangan membantumu. Tentu saja aku yakin kau akan menang. Kalau aku membantumu tentu kau akan kecewa.”

Kwi Hong tersenyum kepadanya.
“Terima kasih, Keng In. Engkau baik sekali. Dan melihat engkau begitu baik, benar-benar menimbulkan rasa kasihan di hatiku.”

“Eh, kasihan kepadaku, Enci Hong?” Keng In benar-benar merasa heran. “Mengapa engkau merasa kasihan kepadaku?”

Mereka bicara sambil berjalan pergi meninggalkan mayat-mayat itu. Agaknya mereka berjalan asal menjauhi mayat-mayat itu saja, tanpa tujuan tertentu, berjalan sepanjang pantai laut. Tiba-tiba Kwi Hong menoleh kepada pemuda itu.

“Keng In, bukankah engkau mencinta Milana?”

Keng In terkejut, mengira bahwa Kwi Hong tahu bahwa dia menculik Milana, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya.

“Dugaanmu benar, Enci Hong. Aku mencinta Milana, akan tetapi keadaannya menjadi rusak dan kacau sekarang ini. Milana adalah puteri ayah tiriku, bagaimana mungkin....?”

“Bukan itu saja.”

Kwi Hong menghela napas. Gadis itu merasa hidup sebatang kara, setelah dia menganggap bahwa pamannya membencinya, semua orang membencinya, dan tadinya harapannya tertumpah kepada Bu-tek Siuw-jin. Kini, sebelum bertemu dengan gurunya itu dia bertemu dengan Keng In yang bersikap baik, maka dia tidak ingat apa-apa lagi dan mendapatkan seorang yang dapat dia ceritakan segalanya untuk menumpahkan semua kedukaan dan kekecewaannya.

“Bukan itu saja, akan tetapi kini Milana lenyap, kabarnya diculik orang....”

“Ehhh....?”

Keng In terkejut, benar-benar terkejut bukan pura-pura. Hanya kalau Kwi Hong mengira dia terkejut mendengar dara yang dicintanya hilang, adalah sebenarnya Keng In sendiri terkejut bukan karena itu, melainkan karena mengira bahwa Kwi Hong benar-benar telah tahu bahwa dia penculiknya!

“Diculik.... siapa....”

“Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Tadinya kusangka engkau, akan tetapi melihat perubahan pada dirimu, tentu bukan kau yang melakukan perbuatan keji itu. Akan tetapi, juga bukan karena Milana diculik orang itu yang membuat aku kasihan kepadamu, Keng In.”
Dapat dibayangkan betapa lega hati Keng In.
“Eh, ada apakah lagi yang lebih hebat dari berita hilangnya Milana itu?”

“Ada yang lebih hebat, dan lebih menyedihkan untukmu, juga untukku...., bahwa Milana telah ditunangkan dengan Gak Bun Beng.”

Berita ini benar-benar merupakan pukulan hebat bagi Keng In! Di dalam hatinya seolah-olah ada api membakar dan kalau tadinya dia hanya cemburu karena Milana mencinta Bun Beng, kini cemburu itu makin berkobar karena dara yang dicintanya itu ternyata telah dijodohkan dengan pemuda yang makin dibencinya itu.

Akan tetapi dia memang hebat. Semuda itu dia telah pandai menguasai dirinya sendiri sehingga dia hanya menunduk saja, tidak tampak marahnya hanya kelihatan seperti orang yang berduka. Sampai lama mereka tidak berkata-kata, hanya melangkah terus perlahan-lahan di sepanjang pantai yang dijilati lidah-lidah ombak yang membuih.

“Enci Hong.... kau tadi bilang bahwa hal itu juga menyedihkan hatimu. Mengapa?”

“Tidak mengertikah engkau? Seperti juga engkau, aku mencinta orang yang bukan dijodohkan denganku....”

Keng In menoleh dan menatap tajam wajah yang menunduk itu.
“Kau.... kau juga mencinta Bun Beng?”

Kwi Hong mengangguk tanpa menoleh sehingga dia tidak melihat betapa sinar kemarahan membuat wajah tampan itu menjadi menakutkan. Akan tetapi hanya sebentar, karena segera terdengar kata-kata Keng In, halus dan seperti suara orang yang benar-benar berniat jujur dan baik.

“Betapapun juga, Enci Hong. Engkau adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti, aku adalah anak tirinya. Kiranya sudah menjadi tugas kewajiban kita untuk mencari siapa penculik Milana dan kemana dia dibawa pergi.”

Kini Kwi Hong menoleh dengan pandang mata terheran-heran.
“Kau....? Hendak mencari dan menolong Milana? Ahhh, betapa baik hatimu. Sungguh tak kusangka! Kau membikin aku merasa malu, Keng In. Aku sendiri tadinya sudah tidak peduli karena kedukaan dan kekecewaanku. Kau benar, kita harus mencari dia, harus mencari Bun Beng. Biarpun hati kita dihancurkan, dipatahkan, namun kita harus menemukan mereka dan menyuruh mereka kembali ke Pulau Es.”

“Kalau begitu marilah kita mencari mereka, Enci. Hong! Lihat, Sepasang Pedang Iblis berada di tangan kita! Ha-ha-ha, Siang-mo-kiam telah menggegerkan dunia. Sekali inipun akan menggegerkan dunia, akan tetapi dengan cara lain! Kita akan bekerja sama, bahu-membahu menumpas musuh-musuh kita!”

Tentu saja Kwi Hong terbawa oleh kegembiraan Keng In yang mencabut Lam-mo-kiam dan mengangkatnya tinggi-tinggi itu. Dia tidak mengartikan lain dengan sebutan “musuh-musuh kita” maka diapun mencabut Li-mo-kiam, mengangkatnya di atas kepala dan dengan wajah berseri berseru,

“Siang-mo-kiam akan menggegerkan dunia dan musuh-musuh kita akan tertumpas habis!”

Siang hari itu mereka berhenti di dalam sebuah hutan. Keng In menurunkan bangkai kijang yang tadi diburu dan dibunuhnya. Kwi Hong sudah mempersiapkan bumbu-bumbu yang tadi mereka beli di dusun terakhir diluar hutan. Keng In memilih daging-daging yang lunak dan memberikannya kepada Kwi Hong yang melumurinya dengan bumbu yang sudah diaduk dengan air, kemudian daging-daging itu mulai mereka bakar di atas api unggun.

“Sayang tidak ada nasi,” kata Kwi Hong.

“Makan daging saja asal cukup banyak juga kenyang. Dan aku masih mempunyai simpanan arak,” kata Keng In.

Maka makanlah keduanya. Kwi Hong makan dengan lahap karena hatinya senang. Dia merasa mendapatkan teman seperjalanan yang menyenangkan dalam diri Keng In. Dia merasa seolah-olah Keng In memang sejak dahulu adiknya sendiri! Dan ajakan Keng In untuk mencari Milana dan Bun Beng menimbulkan semangat kembali, tidak seperti sebelum ini, acuh tak acuh. Dunia masih lebar dan bukan hanya Bun Beng seorang laki-laki di dunia ini, sungguhpun sukarlah menemukan keduanya!

Setelah perutnya penuh dengan daging bakar yang harum dan gurih, dan kepalanya agak ringan oleh arak Keng In yang benar-benar keras, harum dan tua itu, Kwi Hong duduk menyandarkan punggungnya di bawah pohon besar.

Tempat itu teduh sekali, melindunginya dari panas matahari. Angin bertiup dan Kwi Hong yang kelelahan dan kekenyangan itu seperti dikipasi, tanpa disadarinya lagi dia telah tertidur sambil menyandar batang pohon! Malam hampir tiba ketika Kwi Hong mengeluh dan membuka matanya.

“Auggghh.... kepalaku pening....”

Keng In segera mendekati dan berlutut di depan Kwi Hong. Dara itu membuka matanya, memandang heran.

“Dimana aku....? Kau.... kau....?”

“Enci Hong, kau kenapakah? Aku Keng In. Kau kenapa....?”

“Ahhh, Keng In.... hampir aku lupa kepadamu.... entah, kepalaku pening.... aku bingung....”

“Tenanglah, Enci Hong dan jangan khawatir, aku membawa obat untukmu. Rebahlah dan minum obat ini....”

Keng In mengeluarkan sebotol obat cair yang berbau harum, memberi gadis itu minum obat ini. Kwi Hong yang berada dalam keadaan setengah ingat itu tidak membantah, dengan penuh kepercayaan dia minum obat itu, kemudian karena kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, dia tidur lagi dan tak lama kemudian dia menjadi pulas.

Melihat dara itu sudah tidur nyenyak, Keng In tersenyum lebar dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh, kemudian dia menyimpan sisa obat yang masih banyak, membesarkan api unggun dan rebah di atas rumput untuk mengaso.

Sukar baginya untuk bisa tidur pulas karena pikirannya penuh oleh pengalaman hari itu. Yang selalu terbayang olehnya adalah wajah Bun Beng, dibayangkannya dengan kemarahan dan kebencian besar. Milana mencinta Bun Beng, dan Kwi Hong juga mencinta Bun Beng! Semua orang mencinta Bun Beng dan membencinya!

Biarlah dia akan menjadi Gak Bun Beng. Dia akan makan dan menikmati kembangnya, biarlah Bun Beng yang terkena durinya! Dia melirik ke arah Kwi Hong. Obat yang diberikannya tadi akan memperkuat obat yang terdahulu, yang berada di dalam araknya, dan obat itu membutuhkan waktu beberapa lama untuk bekerja dengan baik. Masih banyak waktu untuk bersenang-senang, pikirnya dan sambil tersenyum karena hatinya lega, tidurlah Keng In.

Pada keesokan harinya, menjelang pagi, Kwi Hong terbangun. Dia mengejap-ejapkan kedua matanya, lalu menggosok-gosok matanya, mengerutkan alisnya. Dimana dia dan mengapa dia berada di hutan? Cuaca remang-remang dan keadaan sekelilingnya hanya diterangi oleh sinar api unggun. Dia bangkit duduk dan tiba-tiba terdengar suara orang memanggil,

“Kwi Hong....!”

Kwi Hong menoleh ke kanan dan otomatis tubuhnya bersiap siaga. Biarpun dia tidak ingat apa-apa lagi namun ilmu silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya itu menggerakkan tubuh tanpa membutuhkan ingatan lagi! Melihat munculnya seorang laki-laki muda yang memakai sebuah caping (topi) bundar, dia membentak sambil meloncat berdiri,

“Siapa kau?”

Pemuda bercaping bundar itu terbelalak heran.
“Kwi Hong, lupakah engkau kepadaku, kepada laki-laki yang kau cinta dan yang mencintamu? Lihatlah wajahku, lihatlah capingku, apakah kau tidak ingat kepadaku lagi?”

Kwi Hong tercengang keheranan, mengerahkan ingatannya untuk mengenal siapa pemuda ini, akan tetapi percuma saja. Ada bayangan di balik otaknya bahwa dia memang mengenal pemuda ini dan merasa suka kepada wajah yang tampan itu, akan tetapi tidak ingat lagi.

“Aku tidak tahu.... aku tidak ingat.... siapakah engkau....?”

“Kwi Hong, dewiku tersayang. Aku adalah Gak Bun Beng, kekasihmu!”

Mendengar nama Gak Bun Beng ini, Kwi Hong menjadi lemas.
“Bun.... Bun Beng! Ahhh, Bun Beng....!” Dan dia menangis sambil jatuh terduduk.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar