FB

FB


Ads

Jumat, 30 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 103

“Milana, engkau sungguh kejam dan tidak mengenal budi! Kurang baik bagaimanakah aku terhadap dirimu? Engkau bebas disini, bahkan selama tiga bulan ini aku membujuk guruku untuk menurunkan ilmu-ilmu yang tinggi kepadamu. Aku selalu bersabar, mengharapkan engkau akan sadar akan besarnya cintaku, dan membalas perasaanku yang suci murni kepadamu. Akan tetapi ternyata engkau selalu dingin, cintamu tak kunjung datang. Lebih mudah menanti bertitiknya air embun daripada menanti balasan kasihmu. Milana, tidak kasihankah engkau kepadaku?”

Milana yang duduk di atas bangku memandang pemuda tampan yang berlutut di depannya. Dia menghela napas panjang. Harus diakuinya bahwa selama dia berada di Pulau Neraka, Wan Keng In bersikap baik sekali kepadanya, tidak pernah bersikap kasar, tidak pernah menyinggung perasaannya, apalagi memaksanya, bahkan selalu berusaha untuk menyenangkan hatinya.

Taman yang indah ini dibuat oleh pemuda itu untuknya! Sebuah pondok yang mungil dibangun pula oleh anak buah Pulau Neraka atas perintah pemuda itu. Semenjak Milana berada di pulau itu, anak buah Pulau Neraka sibuk terus untuk menyediakan segala kebutuhan makan dan pakaian dara itu seperti yang diperintahkan Wan Keng In. Bahkan gurunya, Cui-beng Koai-ong yang berwatak aneh itu dapat pula dibujuk oleh Keng In sehingga berkenan menurunkan beberapa macam ilmu silat aneh yang lihai kepada Milana.

“Keng In, engkau tahu bahwa cinta tak mungkin dapat dipaksakan. Cinta tidak mungkin dapat dibiasakan atau dipelajari! Karena itu, percuma saja engkau membujukku. Aku tidak menyalahkan kalau engkau cinta kepadaku seperti yang sudah ribuan kali kau katakan kepadaku. Aku malah menaruh iba kepadamu karena cintamu yang hanya sepihak dan sia-sia itu. Keng In, sadarlah engkau. Menurut penuturanmu, diantara engkau dan aku masih ada hubungan keluarga. Ibumu adalah adik angkat ayahku, mengapa kita tidak dapat menjadi saudara misan yang baik?”

“Tidak!” Tiba-tiba Keng In meloncat bangun, alisnya berkerut dan dia menekan kemarahan dan kekecewaannya. “Aku tidak ingin menjadi saudaramu! Aku ingin menjadi suamimu! Perlukah ini kuulangi terus? Pula, ibuku hanya saudara angkat ayahmu, jadi tidak ada hubungan darah sama sekali. Engkau harus menjadi isteriku, Milana. Aku cinta kepadamu, cinta yang akan kubela dengan darah dan nyawaku.”

“Akan tetapi, aku tidak cinta kepadamu, Wan Keng In.”

“Asal engkau suka menjadi isteriku, dengan suka rela tanpa paksaan, engkau akan dapat mencinta kepadaku kelak.”

“Tidak mungkin!”

“Milana, seorang wanita memang tak mungkin jatuh cinta kepada seorang pria betapapun pria itu mengusahakannya, akan tetapi hanya kalau wanita itu sudah mencinta seorang pria lain! Apakah engkau sudah jatuh cinta kepada seorang pria lain?”

Hati Milana meneriakkan nama Gak Bun Beng akan tetapi mulutnya ditutup rapat dan dia tidak menjawab. Rahasia itu tidak perlu diketahui orang lain, apalagi diketahui Wan Keng In yang kadang-kadang amat dibencinya, kadang-kadang dikasihani itu.

“Sudahlah, Keng In. Kalau kau tidak menganggap aku saudara misanmu, sedikitnya kita masih saudara seperguruan. Bukankah aku telah mempelajari beberapa jurus ilmu silat dari gurumu, berarti aku muridnya pula? Aku sudah berjanji kepadamu tidak akan melarikan diri dari pulau ini asal engkau tidak menggangguku. Kalau engkau menggangguku, akupun tidak akan suka tinggal lebih lama lagi disini.”

“Aku sama sekali tidak mengganggumu, Milana. Berlakulah adil. Aku hanya menghendaki engkau membalas cintaku atau sedikitnya, menerima pinanganku menjadi isteriku. Kita akan merayakan pernikahan kita secara besar-besaran! Semua tokoh dunia ilmu silat, baik golongan putih maupun hitam, akan kuundang untuk datang kesini. Kalau engkau menjadi isteriku, Pulau Neraka akan kubangun kembali, akan kutambah anak buahku sampai pulau ini menjadi sebuah kerajaan kecil, aku menjadi rajanya dan engkau menjadi permaisuriku!”

“Pikiran gila! Aku tidak mau!”

“Hemm, apakah engkau ingin aku menggunakan kekerasan memaksamu, Milana?”

Dara itu bangkit berdiri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.
“Menggunakan kekerasan? Aku akan melawan mati-matian!”

“Ha-ha-ha, Milana! Baru mempelajari sedikit ilmu tambahan dari Suhu, engkau berani melawanku? Mari kita coba-coba!”

Milana memang sudah menduga dengan hati penuh khawatir bahwa sewaktu-waktu pemuda yang seperti miring otaknya ini tentu akan mencoba menggunakan kekerasan. Karena dia maklum bahwa dia tidak akan dapat menang menghadapi pemuda itu, apalagi disitu terdapat banyak anak buahnya dan ada pula gurunya yang amat lihai, maka dara ini mempergunakan akal halus, tidak melawan dan sampai tiga bulan lamanya berhasil menghindarkan diri dari gangguan Keng In.

Dia mempelajari ilmu dengan maksud untuk memperdalam kepandaiannya agar dapat menghadapi Keng In sambil menanti kesempatan baik untuk meloloskan diri dari cengkeraman pemuda iblis yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka itu. Kini tiba saatnya Keng In kehabisan kesabarannya dan hendak menggunakan kekerasan. Melihat bahwa akhirnya toh dia harus membela diri dengan melawan mati-matian, kini Milana tidak berlaku sungkan lagi dan segera menerjang Keng In dengan pukulan maut!

“Haiitt! Gerakanmu cepat bukan main, Sayangku, akan tetapi bagiku kurang cepat!”

Keng In mengelak akan tetapi Milana yang sudah siap secara tiba-tiba membalikkan tubuh dan menyusul dengan hantaman ke dua dari samping mengarah lambung pemuda itu.

“Dess!” Tubuh Keng In terguling dan pemuda itu rebah miring.

Bukan main girangnya hati Milana akan hal yang tak diduga-duganya ini. Dia menang hanya dalam dua gebrakan! Cepat dia menubruk untuk mengirim totokan yang melumpuhkan karena betapapun juga dia tidak tega untuk membunuh pemuda yang mencintanya dan yang telah bersikap baik kepadanya itu.

“Heh-heh, pukulanmu keras akan tetapi tidak cukup keras untukku!”

Tiba-tiba kedua lengan Keng In merangkul dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh Milana sudah dipeluknya dan hidung pemuda itu sudah mengambung pipinya! Milana terkejut dan marah sekali, akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, tubuhnya menjadi lemas dan setengah lumpuh oleh totokan Keng In yang lihai itu.

“Nah, berontaklah kalau bisa! Ha-ha, siapa bilang aku tidak akan dapat menguasai dirimu kalau aku mau? Milana, Sayangku, setiap malam aku rindu kepadamu, setiap saat aku membayangkan betapa akan indahnya kalau kita bermain cinta di taman ini, di tempat terbuka....” Kembali Keng In menciumi muka dan bibir dara yang sudah tak dapat mengelak atau melawan itu.






Dengan hati hancur Milana hanya memejamkan matanya. Dia maklum bahwa takkan ada yang mampu mencegah pemuda itu kalau Keng In hendak memperkosanya. Bahaya yang lebih hebat daripada maut berada di ambang pintu dan dia sama sekali tidak berdaya. Dia hanya bersumpah di dalam hatinya bahwa kalau Keng In memperkosanya, dia akan mencari kesempatan membunuh pemuda itu sebelum membunuh diri sendiri. Pada saat terakhir itu terbayanglah wajah Bun Beng dan sedu-sedan naik dari dadanya ke dalam kerongkongannya.

Keng In yang sudah mulai menanggalkan pakaian Milana, tiba-tiba menghentikan tangannya, bahkan menutupkan kembali pakaian yang sudah terbuka. Entah mengapa, mungkin sedu-sedan Milana itu yang membuat dia mengurungkan kehendak hatinya dan ia meninju tanah di samping tubuh Milana.

“Tidak! Aku tidak mau mendapatkan dirimu dengan cara ini! Aku mau engkau menyerah kepadaku dengan suka rela! Aku ingin engkau rebah dalam pelukanku dengan bibir tersenyum dan suka membalas ciumanku. Aku ingin engkau sebagai seorang kekasih yang hangat dan hidup dalam dekapanku, bukan sebagai sesosok mayat yang dingin!”

Setelah berkata demikian, Keng In menangis dan membebaskan totokan pada tubuh Milana sehingga dara itu dapat bergerak lagi. Milana menyembunyikan kengerian hatinya. Baru saja dia lolos dari lubang jarum, lolos dari bahaya yang mengerikan. Namun diam-diam dia mengambil keputusan untuk mendahului menyingkirkan pemuda ini, kalau tidak akan berbahaya sekali. Belum tentu Keng In akan sadar seperti tadi!

“Sekali lagi engkau melakukan hal seperti tadi aku akan membunuh diri!” Milana berkata lirih.

Keng In menunduk,
“Maafkan aku.... tidak kuulangi lagi....”

Milana membalikkan tubuh dengan marah lalu meninggalkan pemuda itu. Dia maklum bahwa biarpun Keng In kelihatan begitu menyesal, begitu merendah, namun sekali dia menimbulkan kemarahan dan kebencian di dalam hati pemuda itu, tentu pemuda itu tidak akan segan-segan untuk melakukan apa saja terhadap dirinya, tidak hanya memperkosa bahkan menyiksanya dengan penghinaan lain lagi kemudian membunuhnya.

Kalau dia teringat akan perbuatan Keng In ketika memperkosa wanita di depan dia dan gurunya, dia mengkirik (meremang bulu tengkuknya) dan merasa takut sekali. Dia tidak takut mati, akan tetapi menghadapi ancaman siksaan yang merupakan penghinaan hebat, benar-benar dia merasa ngeri dan takut.

“Aku harus membunuhnya!”

Demikian dia mengeraskan hatinya. Kalau tidak lekas dibunuh, bagaikan seekor ular berbisa, makin lama makin mengerikan dan berbahaya pemuda gila itu. Soalnya sekarang tinggal siapa yang lebih dulu bergerak dan berhasil! Biarpun Cuibeng Koai-ong jauh lebih lihai dan berbahaya, akan tetapi kakek itu biasanya tidak peduli kepadanya, sedangkan anak buah Pulau Neraka yang lain akan mudah dapat dia kalahkan. Satu-satunya yang paling membahayakan dan mengancam dia adalah Wan Keng In. Karena itu, dia harus dapat menyingkirkan pemuda itu, harus dapat membunuh pemuda itu!

Milana mulai mencari kesempatan. Untuk mencari kelengahan pemuda itu, agaknya tidak mungkin! Biarpun dalam keadaan tidur nyenyak, kesiap-siagaan sudah mendarah daging di tubuh pemuda yang semenjak kecil tinggal di Pulau Neraka yang penuh bahaya itu.

Biarpun sedang tidur pulas, pemuda itu akan mampu mempertahankan diri jika diserang seolah-olah sudah memiliki indra ke enam yang membuat dia dalam tidur sekalipun dapat “mencium” datangnya bahaya! Kalau dia harus menggunakan kekerasan secara berdepan, mana mungkin dia dapat menangkan pemuda yang selain lebih lihai ilmu silatnya, juga amat cerdik itu?

Beberapa hari kemudian, selagi Milana berjalan-jalan di tepi pantai sambil memutar otak, tiba-tiba dia melihat gulungan ombak laut yang seolah-olah membisikkan sesuatu kepadanya. Di laut! Mengapa tidak? Kalau di darat dia bukan lawan pemuda itu, belum tentu dia kalah kalau melawan pemuda itu di laut, di air!

Semenjak kecil dia memang suka renang, bahkan oleh ibunya dia dilatih menahan napas di dalam air. Biarpun dahulu dia tidak melihat kegunaan ilmu ini, sekarang barulah ilmu di air ini menimbulkan harapannya untuk dapat mengalahkan Keng In!

Memang seringkali, dia mengukur dengan pandang matanya apakah sekiranya dia akan dapat meloloskan diri dari Pulau Neraka dengan berenang. Akan tetapi segera dia membuang jauh-jauh pikiran itu. Melarikan diri dengan jalan berenang pergi dari Pulau Neraka sama saja dengan membunuh diri! Tidak saja lautan disekitar pulau itu amat ganas, juga jarak dari pulau ke daratan besar amat jauhnya, belum lagi bahaya mengerikan dari ikan-ikan raksasa yang akan menghadangnya di tengah laut!

Melarikan dengan perahu juga tidak mungkin karena semua perahu dikumpulkan menjadi satu dan selalu dijaga. Akan tetapi, mengalahkan Keng In di air, ini mungkin sekali! Betapapun juga, dia harus melihat dulu sampai dimana kepandaian Wan Keng In bermain di air. Dia tidak boleh gegabah (sembrono) dan dia tidak boleh gagal kali ini!

Dengan adanya rencana menggunakan akal ini mulai hari itu Milana seringkali berjalan-jalan di tepi laut. Beberapa kali Keng In datang menjumpainya disitu, akan tetapi karena kebetulan pantai itu ramai dan disitu terdapat beberapa orang anak buah Pulau Neraka, Milana terpaksa menunda siasatnya.

Pada suatu pagi, ketika Milana sedang duduk termenung seorang diri di tepi pantai, merenung ke arah selatan membayangkan ibunya dan Bun Beng dengan penuh kerinduan, tiba-tiba terdengar suara Keng In di belakangnya,

“Milana, mengapa engkau termenung disini sepagi ini?”

Milana mengerling ke kanan kiri. Tempat itu sunyi sekali. Inilah kesempatan baik untuknya. Sambil mengerling tajam dia berkata, suaranya sengaja dibuat manja,

“Pegilah kau, Keng In. Aku mau mandi.”

Keng In tersenyum nakal.
“Mandilah aku tidak akan mengganggumu.”

“Kau kira aku begitu tidak tahu malu? Hemm, kalau kau berkeras, aku dapat saja mandi tanpa melepas pakaian.”

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Milana sudah lari menyambut air laut yang didorong gelombang ke pantai pasir. Melihat gadis itu berlari sambil mengembangkan kedua lengan, kelihatan begitu gembira, Keng In tertawa senang. Dia membayangkan betapa akan senangnya kalau gadis itu sudah menyerah kepadanya, dan mereka mandi bersama di pinggir laut. Milana tidak berpakaian lengkap seperti sekarang ini. Tentu akan dipondongnya dara itu, dibawa lari menyambut ombak sambil bersendau-gurau.

“Heiiii! Milana! Berhenti disitu saja....!”

Tiba-tiba dia berseru nyaring melihat betapa Milana terus berlari menyambut ombak yang menyerangnya, bahkan kini gadis itu berenang ke tengah dengan gerak renang yang kaku menandakan bahwa gadis itu tidak dapat berenang dengan baik.

“Celaka....!”

Keng In berseru penuh kekhawatiran sambil melompat dan lari ke laut ketika dia melihat betapa ombak menyambar tubuh Milana, dilontarkan ke atas dan dihempaskan kembali ke bawah. Tahu-tahu kini tubuh Milana sudah berada agak jauh ke tengah, gadis itu kelihatan ketakutan, tangannya menggapai-gapai dan terdengar jeritannya lemah,

“Tolooonggg!”

Tanpa berpikir panjang lagi karena khawatir melihat kekasihnya terancam bahaya maut ditelan ombak atau ikan raksasa, Keng In cepat berenang sekuatnya melawan ombak. Dia sama sekali tidak tahu betapa Milana diam-diam memperhatikan gerakannya ketika dia berenang untuk menolong kekasihnya itu dan tidak tahu betapa gadis itu bersinar-sinar pandang matanya, merasa girang melihat bahwa kepandaiannya berenang biasa saja!

Memang Keng In bukanlah seorang ahli renang yang pandai. Dia dapat berenang sekedarnya, dan bukan seorang ahli biarpun sejak kecil dia tinggal di Pulau Neraka. Hal ini karena ibunya selalu melarangnya kalau melihat puteranya yang dimanjakan itu bermain-main di laut, khawatir kalau puteranya dihanyutkan ombak atau diserang ikan besar.

Tentu saja kalau hanya untuk berenang menolong Milana, Keng In merasa dapat melakukannya. Dia sama sekali tidak menaruh kecurigaan melihat gadis itu dipermainkan ombak dan berteriak-teriak minta tolong. Kecemasan yang hebat akan kehilangan wanita yang dicintanya itu membuat pemuda yang biasanya cerdik ini menjadi lengah dan sama sekali tidak menduga akan adanya siasat yang dilakukan oleh dara yang masih belum mau menyerah kepadanya itu.

“Milana....! Dimana engkau....?”

Keng In berteriak dengan hati penuh kecemasan. Dia sudah tiba di bagian gadis itu tadi dipermainkan ombak dan sekarang dara itu tiba-tiba lenyap, seolah-olah tenggelam!

“Milana....!” Keng In memandang ke kanan dan ke kiri dengan mata liar penuh kekhawatiran.

“Haiii!”

Dia berteriak akan tetapi teriakannya segera lenyap ketika tubuhnya diseret ke bawah. Keng In gelagapan dan cepat menutup mulut menahan napas sambil berusaha untuk menggerakkan kaki kanannya yang telah ditangkap orang dari bawah!

Milana yang tadi menyelam dan kini sudah menangkap sebelah kaki Keng In, mempertahankan. Untuk menyerang lawan ini dengan pukulan, masih terlalu berbahaya karena dia tahu bahwa pemuda itu memiliki sin-kang yang amat kuat, maka dia mempergunakan akal, menangkap kaki lawan dan menyeretnya ke bawah agar pemuda itu tak dapat bernapas dan mati lemas!

Terjadilah pergulatan di dalam air laut. Milana berusaha mempertahankan kaki itu dan menarik ke bawah sedangkan Keng In meronta-ronta dan menarik kakinya sekuat tenaga agar dapat terlepas. Dia masih belum dapat menduga bahwa Milana yang menangkap kakinya. Dia mengira bahwa kakinya dililit oleh ikan gurita atau ular laut, atau digigit ikan yang besar.

Akan tetapi Milana salah duga kalau dia mengira akan dapat membuat Keng In kehabisan napas dengan cara menariknya ke bawah. Pemuda ini biarpun tidak pernah mempelajari ilmu di dalam air, namun sin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga dia amat kuat menahan napasnya di dalam air, mungkin tidak kalah kuat dibandingkan dengan Milana sendiri!

Karena itulah, usaha Milana untuk membuat pemuda itu lemas kehabisan tenaga tidak berhasil, bahkan tarikan-tarikan kaki Keng In yang amat kuat itu menghabiskan tenaga Milana yang menahannya sehingga akhirnya dia sendiri terbawa timbul ke permukaan air!

Hanya bedanya kalau Milana masih dapat menguasai diri dan sadar sepenuhnya, sebaliknya Keng In menderita kegelisahan luar biasa, membuat pemuda itu gelagapan ketika berhasil timbul di permukaan air dan dia tidak melihat betapa sebuah kepala lain, kepala Milana, juga tersembul di belakangnya.

“Dessss!”

Milana tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia sadar dan dalam keadaan segar. Melihat Keng In masih megap-megap dan gelagapan menyedot hawa sebanyaknya, dia sudah mengirim pukulan ke punggung pemuda itu.

“Aduhhhh....!”

Keng In berteriak, akan tetapi tiba-tiba rambutnya dijambak (dicengkeram) tangan yang halus dan kepalanya ditekan ke bawah permukaan air lagi!

Bagaikan orang sekarat, tangan Keng In meraih-raih dan memukul-mukul. Terpaksa Milana melepaskan cengkeramannya dan menyelam ke bawah, menyambar kaki Keng In dan menyeretnya ke bawah lagi. Sesampainya di dasar laut yang belum begitu dalam, paling dalam empat meter itu, dia melepaskan kaki Keng In sambil mengikuti tubuh lawan yang meluncur ke atas itu.

“Plak-plak! Desss!”

Dua kali tamparan mengenai kepala Keng In dan hantaman ke dua dengan tepat sekali mengenai leher pemuda itu.

“Augghhh....!”

Kepala Keng In menjadi pening dan tubuhnya mulai menjadi lemas. Dia masih belum tahu apa yang menyerangnya. Selagi dia gelagapan, kembali diseret ke bawah tanpa dapat dia lawan, karena kakinya telah dipegang dari bawah bukan hanya satu melainkan keduanya, sekali ini tanpa dicegahnya lagi, Keng In terpaksa banyak menelan air laut, dan kepalanya makin pening, pandang matanya berkunang dan napasnya hampir putus, perutnya makin penuh air.

Milana masih memegangi kaki kiri Keng In. Terpaksa dia melepaskan kaki kanan pemuda itu karena dalam kepanikannya Keng In menendangkan kaki kanan. Ketika terasa oleh Milana betapa kaki kiri itu berkelojotan, semua kebencian dan kemarahannya lenyap tertutup oleh rasa jijik, ngeri dan juga kasihan!

Sungguh jauh bedanya dengan merobohkan lawan dalam pertandingan. Sekali tangan bergerak memukul, atau pedang menembus dada lawan, beres. Akan tetapi sekarang, memegang kaki seorang lawan yang berada dalam keadaan sekarat, berkelojotan, benar-benar terasa sekali betapa dia akan menjadi seorang pembunuh yang amat kejam!

Dalam keadaan seperti itu, terbayanglah dia akan kebaikan Keng In, betapa manis dan ramah sikapnya, betapa besar kasih sayang pemuda itu kepadanya, sungguhpun dia tidak dapat membalasnya.

Teringat pula dia betapa ibunya adalah seorang puteri Kaisar yang amat terkenal, yang tentu tidak sudi melakukan pembunuhan secara pengecut seperti yang sekarang dilakukannya itu. Apa pula ayahnya! Ayahnya adalah Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia! Tidak mungkin ayah kandungnya itu akan sudi melakukan pembunuhan securang yang dilakukannya ini. Kiranya ayah dan ibunya akan lebih suka berkorban nyawa daripada melakukan perbuatan serendah itu!

Teringat akan semua ini, Milana menggigil seluruh tubuhnya. Dilepaskannya kaki yang mulai lemah gerakan sekaratnya itu sehingga tubuh Keng In meluncur ke atas! Dia juga menggerakkan kaki menyusul ke atas.

Dia memang harus membebaskan diri dari kekuasaan Keng In, akan tetapi tidak begini caranya! Untuk menyelamatkan diri melakukan pembunuhan keji dan curang seperti ini, betapa rendahnya itu! Selama hidupnya dia tentu akan tersiksa oleh bayangan Keng In yang dibunuhnya secara pengecut dan curang. Tidak! Dia tidak boleh melakukan kecurangan yang rendah dan hina itu!

Ketika kepalanya tersembul ke permukaan air dan menyedot napas dalam-dalam, Milana melihat tubuh Keng In hampir tenggelam lagi. Pemuda itu telah pingsan! Cepat dia menyambar rambut pemuda itu yang riap-riapan karena gelungnya terlepas, kemudian melawan ombak menyeret tubuh Keng In berenang ke darat.

Sejam kemudian, setelah Milana mengeluarkan air dari dalam perut Keng In dengan jalan menindih perut pemuda yang ditelungkupkannya itu sehingga air keluar dari mulutnya, Keng In siuman kembali.

Dia membuka matanya dan sebagai seorang ahli silat tinggi, biarpun kepalanya masih agak pening, sekali bergerak dia telah meloncat bangun dan siap menghadapi lawan! Melihat Milana duduk di atas rumput dengan pakaian masih basah kuyup, dia terheran dan teringatlah dia akan semua yang dialaminya.

“Ahhh, kau.... kau selamat, Milana?” tanyanya.

Milana tersenyum mengejek untuk menyembunyikan rasa malunya. Dia hampir membunuh pemuda ini dan pertama kali yang keluar dari mulut pemuda itu setelah siuman dari pingsannya adalah menanyakan keselamatannya!

Betapa besar cinta pemuda itu kepadanya dan betapa besar bencinya kepada pemuda itu. Dan dalam hal perasaan ini, lepas daripada jahat tidaknya kelakuan pemuda itu, dia harus merasa malu! Bukankah cinta merupakan perasaan yang semurni-murninya, sedangkan benci merupakan perasaan yang sekotor-kotornya?

“Tentu saja aku selamat, Keng In. Bermain dalam air merupakan permainanku sejak kecil!”

“Ehhhh? Dan engkau tadi hampir saja tenggelam ditelan ombak!”

“Hanya dugaanmu saja, memang aku sengaja memancing engkau agar mengira demikian.”

“Tapi.... tapi.... apakah kau tidak diserang gurita, atau ular, atau ikan besar seperti yang kualami? Aku.... aku sampai pingsan dan.... entah bagaimana aku dapat selamat sampai disini. Apakah Suhu yang menolongku?”

Milana menggeleng kepala.
“Tidak ada ikan menyerangmu. Yang ada hanya aku. Bukan ikan yang menyerangmu, melainkan aku.”

“Heehhh....?” Keng in terbelalak kaget. “Engkau yang menarik kakiku, dan engkau memukulku?”

Milana mengangguk.
“Dan betapa mudahnya kalau aku mau, betapa mudahnya membunuhmu.”

“Kenapa tidak? Kenapa aku tidak mati? Kenapa kau tidak membunuhku dan.... siapakah yang menolongku?”

“Aku yang menyeretmu kembali ke darat selagi engkau pingsan.”

“Mengapa, Milana? Bukankah amat mudah kalau hendak membunuhku yang sudah pingsan? Kenapa kau malah menolongku?”

“Aku bukan seorang pembunuh berdarah dingin yang kejam seperti engkau, Keng In. Melihat engkau tidak berdaya, aku malah tidak tega membunuhmu dan menyeretmu kesini.”

“Milana....!” Keng In hendak memeluk dara itu, akan tetapi Milana mengelak. “Itu berarti bahwa engkaupun cinta kepadaku, Milana! Ha-ha-ha, rela aku mati tiga kali rasanya kalau ditebus dengan cintamu kepadaku.”

“Hemmm, jangan mengira bahwa tidak tega membunuh berarti jatuh cinta. Tidak Keng In. Aku tidak membunuhmu karena aku merasa terlalu rendah dan hina kalau membunuh seorang lawan yang tidak berdaya. Andaikata aku memiliki kepandaian lebih tinggi darimu, sudah lama engkau tewas olehku dalam sebuah pertandingan. Aku bukan keturunan pengecut!”

Setelah berkata demikian, dara ini cepat lari kembali ke pondoknya untuk menukar pakaiannya yang basah kuyup dan ketat menempel di tubuhnya itu.

Keng In terkulai penuh kekecewaan. Harapannya akan cinta kasih Milana yang tadi membubung setinggi gunung kini pecah berantakan dan terhempas rata seperti air tumpah. Dengan perasaan tertekan kekecewaan dan kedukaan, pemuda ini pergi menemui Cui-beng Koai-ong, gurunya yang bersamadhi di dalam sebuah gua di pantai Pulau Neraka, kemudian menangisi gurunya sambil minta bantuan gurunya agar kerinduan hatinya terobati dan keinginannya memperoleh Milana dengan penyerahan bulat itu terpenuhi.

Kakek yang seperti mayat itu tidak bergerak, juga tidak membuka matanya. Bahkan bibirnya tidak bergerak, namun ada suara terdengar keluar dari dalam perutnya!

“Goblok engkau untuk jatuh cinta kepada seorang wanita! Betapa mungkin memaksakan cinta dalam hati wanita yang selalu mudah berubah seperti angin, sebentar bertiup ke timur sebentar ke barat? Mengikatkan diri dengan wanita berarti membuka pintu neraka yang akan menyiksamu!”

“Biarlah, Suhu. Apapun akibatnya akan teecu hadapi asal teecu bisa mendapatkan diri Milana, dapat menerima penyerahan dirinya secara suka rela. Tee-cu tidak dapat melakukan paksaan karena teecu cinta kepadanya, teecu ingin dia menyerah bulat-bulat tanpa paksaan.”

“Hemm, hanya ada satu jalan. Tanpa siasat tak mungkin niatmu terlaksana. Gadis puteri Pendekar Siluman itu memiliki kekerasan di balik kelembutannya, kekerasan melebihi baja yang takkan dapat ditundukkan. Kau cari kumpulan racun di dalam peti simpananku. Pergunakan bubuk racun merah dua bagian dicampur dengan sari racun lima warna, campurkan dalam makanan dan berikan kepadanya.”

“Aihh....! Racun-racun itu adalah pembunuh-pembunuh yang tidak ada obatnya, Suhu!”

“Memang demikian. Akan tetapi kalau sudah dicampur dengan takaran itu, akan saling memunahkan dan berubah menjadi racun perampas ingatan. Gadismu itu akan lupa segala kalau kau beri racun campuran itu.”

“Akan tetapi, apa gunanya kalau dia hilang ingatan, Suhu?”

“Tolol! Kalau dia lupa lagi siapa engkau, lupa siapa yang dibenci dan dicinta, apa sukarnya?”

“Tapi.... tapi....”

“Sudah! Pergilah, dan jangan ganggu aku!”

Keng In tidak berani membantah lagi. Sampai dua hari lamanya dia termenung memikirkan jalan terbaik. Dia ingin Milana menyerahkan diri dengan suka rela kepadanya, bukan membuat dara itu seperti boneka tanpa ingatan!

Tiba-tiba dia teringat ketika dahulu bersama Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan pasukan pengawal menawan Milana. Kemudian muncul Gak Bun Beng, pemuda yang sejak kecil selalu menghadapinya sebagai musuh! Dan pemuda itu telah menyerahkan Hok-mo-kiam kepada Milana, menolong gadis itu membebaskan diri dan rela mengorbankan diri menjadi tawanan. Bahkan dia telah memukul Bun Beng dengan pukulan Toat-beng-tok-ci, akan tetapi Bun Beng yang sudah tak berdaya itu di tengah jalan dapat lolos berkat pertolongan orang sakti yang dia sangka tentulah paman gurunya sendiri, Bu-tek Siauw-jin.

Ah, ada hubungan apakah antara Bun Beng dan Milana? Mudah saja diduga bahwa Bun Beng tentu mencinta Milana, kalau tidak, tak mungkin pemuda itu selain menyerahkan Hok-mo-kiam, juga membiarkan dara itu lolos dengan rela mengorbankan dirinya sendiri! Akan tetapi bagaimana dengan Milana? Cintakah Milana kepada pemuda itu? Dia harus mengetahui lebih dulu akan hal ini sebelum dia menggunakan siasat seperti yang dikatakan gurunya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar