FB

FB


Ads

Jumat, 30 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 101

Jago tua Bu-tong-pai itu sama sekali bukan orang bodoh atau nekat. Tentu saja dia sudah tahu. Dia kaget bukan main ketika mendapat kenyataan betapa pemuda itu yang berani menghadapinya dengan tangan kosong, membuat semua serangan pedangnya tidak ada artinya dan dengan mudah sekali menghindarkan semua serangan selama dua puluh jurus tanpa membalas sedikitpun juga, padahal dia melihat sendiri betapa kesempatan untuk itu banyak terdapat. Dia tahu pula bahwa agaknya akan sukar baginya untuk dapat menangkan pemuda itu.

Namun bagaimana mungkin dia mundur? Sekali ini, dia bertanding bukan hanya karena urusan pribadi! Karena dia sudah terlanjur mengaku sebagai murid Bu-tong-pai, maka gerakan pedangnya yang mainkan Ilmu Pedang Bu-tong-pai itu membuat dia seolah-olah bertanding demi nama dan kehormatan Bu-tong-pai! Inilah sebabnya mengapa dengan nekat terus menyerang tanpa memperdulikan peringatan Bun Beng.

“Cukup! Berhentilah!”

Bun Beng membentak nyaring, tubuhnya berkelebat ke kiri kemudian sebelum kakek itu sempat membalik, dia sudah mendahuluinya dengan sambaran tangan kanannya, dengan terbuka dan miring dipukulkan ke arah pedang dari samping.

“Trakkk!”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati kakek Bu-tong-pai itu ketika tiba-tiba tangannya tergetar, gagang pedang yang dipegangnya hampir terlepas dan pedang itu sendiri telah patah menjadi dua potong! Mematahkan pedangnya dengan sabetan tangan kosong! Dia terbelalak, akhirnya matanya yang tadi memandang pedang buntung di tangannya, dialihkan memandang kepada Bun Beng.

Dia menghela napas panjang. Tahulah dia bahwa biarpun andaikata dia mengeroyok pemuda itu dengan semua saudaranya, mereka tidak akan dapat menangkan pemuda yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah ini.

“Sudahlah. Aku menerima kalah dan tidak berhak bicara lagi!”

Dia menjura, kemudian melempar pedang buntungnya dan pergi dari situ, memberi isyarat kepada semua saudaranya yang juga tidak berani membantah. Rombongan piauwsu itu melanjutkan perjalanan dengan wajah murung, apalagi kongcu bangsawan yang kena dihajar oleh suami wanita cantik tadi dan para pengawalnya tidak mampu menebus penghinaan dan malu yang dideritanya!

“Terima kasih, Taihiap. Saya akan menjemput isteri saya untuk bersama-sama menghaturkan terima kasih atas pertolongan Taihiap!”

Orang muda itu cepat lari ke tepi telaga untuk menjemput isterinya yang tadi masih bersembunyi tidak berani naik karena suaminya berkelahi dengan kongcu yang menggodanya. Bun Beng mengerutkan alisnya. Dia tidak membutuhkan terima kasih, maka menggunakan kesempatan selagi orang itu pergi menjemput isterinya, diapun menggerakkan kakinya meninggalkan tempat itu.

Pekik melengking yang didengarnya datang dari telaga itu menahan gerak kaki Bun Beng. Dia membalikkan tubuh dan dengan beberapa loncatan jauh telah tiba di pinggir telaga, meloncat turun dan memandang dengan mata terbuka lebar kepada suami yang menangisi isterinya itu. Wanita muda cantik yang tadi dilihatnya merendam tubuhnya ke dalam air telaga, kini telah menggeletak tanpa nyawa dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar tanda mati tercekik.

Suami itu menoleh dan dengan suara terisak berkata,
“Dia.... dia diperkosa.... dan dibunuh....!”

Bun Beng sudah meloncat lagi ke atas dan berlari cepat sekali melakukan pengejaran. Siapa lagi yang melakukan perbuatan terkutuk itu kalau bukan seorang diantara rombongan piauwsu tadi! Bahkan mungkin sekali kongcu yang melampiaskan dendamnya dengan memperkosa dan membunuh Si Isteri selagi suami wanita itu ribut bertengkar dengan para piauwsu. Jahanam, harus kudapatkan pembunuh biadab itu, pikirnya.

Karena Bun Beng mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja dia sudah berhasil menyusul rombongan itu.

“Berhenti....!” serunya dengan suara nyaring.

Kakek pemimpin rombongan dan saudara-saudaranya terkejut sekali ketika tiba-tiba pemuda bercaping bundar yang lihai itu telah berada di depan mereka tanpa mereka ketahui lewatnya! Kakek itu segera mengangkat tangan menyuruh rombongannya berhenti, di dalam hatinya penuh dugaan mengapa pemuda itu mengejar mereka.

Menduga bahwa pemuda itu berniat buruk, mungkin seorang perampok tunggal yang hendak merampok barang kawalan dalam kereta, dia sudah meloncat ke depan, menghadapi pemuda itu dengan pandang mata tajam.

“Gak-sicu mengejar kami ada kehendak apakah?”

Bun Beng yang masih marah sekali itu tidak menjawab, hanya matanya bergerak memandang ke sekelilingnya, meneliti para piauwsu seorang demi seorang. Dia tahu bahwa para piauwsu itu tidak ada yang berkesempatan melakukan pembunuhan, karena dia melihat mereka itu semua bersiap-siap ketika terjadi perselisihan.

Akan tetapi ketika melihat seorang pemuda berpakaian mewah menjenguk keluar dari dalam kereta yang dikawal, pemuda yang pipi kanannya masih bengkak, dia segera menggenjot tubuhnya, meloncat ke dekat kereta, dan sekali menggerakkan tangannya, dia telah menangkap leher baju pemuda berpakaian mewah itu dan menariknya turun dari kereta!

“Ouhh.... ehhh.... ada apa ini....? Para piauwsu, tolong....!” Pemuda bangsawan itu ketakutan dan berteriak-teriak.

“Gak-sicu, harap lepaskan dia. Apa artinya perbuatanmu ini?”

“Semua mundur! Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian para piauwsu, akan tetapi aku ingin bertanya kepada kongcu ini!”

Bentak Bun Beng dengan suara nyaring karena marah. Menyaksikan sikap Bun Beng, para piauwsu menghentikan gerakan kaki mereka yang tadinya hendak mengeroyok untuk menolong kongcu putera bangsawan yang mereka kawal. Kini mereka memandang kepada Bun Beng dengan penuh keheranan. Ada urusan apalagi dengan kongcu itu? Bun Beng menggunakan kekuatan tangannya mengguncang tubuh kongcu itu, kemudian mencengkeram pundaknya dan membentak,

“Hayo engkau mengaku, apa yang telah kau lakukan di tepi telaga tadi ketika terjadi pertandingan!”

“Aku.... aku.... tidak melakukan apa-apa.”

“Jangan bohong engkau! Kuhancurkan kepalamu kalau kau membohong!” Bun Beng membentak, makin marah. “Engkau berada dimana ketika terjadi pertandingan!”






“Aku.... aku berada di dalam kereta.... augghh, lepaskan aku....!”

“Gak Bun Beng! Engkau sungguh keterlaluan!”

Tiba-tiba kakek pemimpin para piauwsu membentak dan melompat dekat, tangannya sudah memegang sebatang pedang yang dipinjamnya dari seorang sutenya.

“Kalau engkau tidak segera melepaskan Chi-kongcu, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!”

Bun Beng melepaskan pundak Chi-kongcu, sadar bahwa dia terburu nafsu karena betapapun mencurigakan keadaan kongcu itu, tanpa bukti tak mungkin dia dapat menyalahkannya begitu saja.

“Aku menuduh dia ini memperkosa dan membunuh isteri saudara muda yang diganggunya tadi.”

“Apa....?” Kakek murid Bu-tong-pai itu bertanya dengan kaget sekali.

“Untuk membikin terang perkara penasaran ini, kuharap Cu-wi piauwsu dan Chi-kongcu ini suka kembali ke telaga agar kita bersama melakukan penyelidikan dan yang bersalah harus dihukum!”

Bun Beng mengerling kepada Chi-kongcu. Akan tetapi kongcu itu kini mengangkat dada dan berkata penasaran,

“Aku sudah lancang menggoda wanita dengan kata-kata memuji kecantikannya dan untuk itu aku sudah dipukul oleh suaminya. Sekarang, aku tidak tahu-menahu tentang perkosaan dan pembunuhan. Hayo kita kesana dan menyelidiki, aku tidak takut karena aku tidak berdosa!”

Sikap dan kata-kata Chi-kongcu ini membuat Bun Beng makin bingung dan meragu. Akan tetapi dia lega melihat rombongan itu tidak membantah dan suka memenuhi pemintaannya. Beramai-ramai mereka kembali ke tepi telaga.

“Heiiii!”

“Ihhhh!”

Seruan-seruan kaget ini terdengar dari mulut para piauwsu, sedangkan Bun Beng sendiri berdiri memandang dengan mata terbuka lebar. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati pemuda ini melihat dua tubuh yang menggeletak tanpa nyawa di tepi telaga itu. Tubuh wanita muda yang masih telanjang bulat, dan tubuh suaminya yang juga sudah menjadi mayat tanpa luka!

“Gak-sicu, apa maksudmu membawa kami kesini? Apakah engkau juga hendak mengatakan bahwa orang muda ini dibunuh oleh Chi-kongcu atau oleh kami?” Pemimpin piauwsu itu bertanya dengan suara lantang dan bernada tajam.

Bun Beng menggeleng kepala, matanya masih memandang mayat orang muda itu.
“Aku tidak mengerti.... tadi dia masih hidup menangisi isterinya....”

“Apakah engkau masih menuduh Chi-kongcu membunuh wanita itu?”

Kembali Bun Beng menggeleng kepalanya.
“Agaknya bukan dia.... sungguh aneh sekali....”

“Sama sekali tidak aneh!”

Suara kakek murid Bu-tong-pai itu membuat Bun Beng menoleh dan memandang penuh pertanyaan.

“Apa maksudmu, Lo-enghiong?”

“Menurut dugaanku, pembunuh suami isteri ini tentu hanya satu orang, dan agaknya seorang yang lihai sekali tangannya, dapat membunuh tanpa menggunakan senjata! Lihat, wanita itu dicekik, dan laki-laki itu tidak terluka, akan tetapi di pelipis kirinya terdapat tanda tapak jari tangan! Jadi, tidak mungkin dilakukan oleh Chi-kongcu yang jelas kalah oleh laki-laki muda ini. Lebih tepat kalau mereka ini dibunuh oleh seorang yang ahli dengan ilmu silat tangan kosong!”

Kalimat terakhir ini diucapkan oleh kakek itu dengan nada yang jelas, apalagi ketika semua piauwsu itu memandang kepada Bun Beng dengan mata penuh tuduhan!

“Apa? Kalian.... kalian gila kalau menuduh aku!”

Chi-kongcu yang berjalan mendekat segera berkata,
“Ada saatnya menuduh dan ada saatnya dituduh! Kalau kita berdua sama-sama menjadi tertuduh, agaknya keadaanmu lebih berat, Gak-sicu!”

Bun Beng mengerutkan alisnya.
“Hemm, kalau aku membunuh mereka, apa gunanya aku mengejar dan menyusul kalian dan kuajak kesini?”

“Gak-sicu, kami tidak seperti engkau yang suka menuduh orang secara sembarangan saja. Akan tetapi andaikata engkau dituduh, perbuatanmu menyusul dan mengajak kami kesini pun tidak aneh. Mungkin sekali seorang pembunuh akan mempergunakan akal ini untuk menarik kami sebagai saksi akan kebersihannya!”

“Apa? Dan kalian tentu bersedia menjadi saksi bahwa aku bukanlah pembunuh dua orang ini!”

Kakek itu menggeleng kepala.
“Tak mungkin kami menjadi saksi yang sembrono seperti itu, Sicu. Engkau seorang pemuda yang amat aneh, mencampuri urusan kami, memiliki ilmu silat tangan kosong yang mentakjubkan akan tetapi tidak terkenal di dunia kang-ouw. Bagaimana kami berani menanggung bahwa bukan engkau pembunuhnya? Sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa kami menuduhmu, untuk itupun masih belum ada bukti dan saksinya.”

Bukan main marahnya Bun Beng. Dia menolong suami isteri itu, dan tadinya berusaha mencari sampai dapat pembunuh wanita muda itu. Siapa kira, sekarang keadaan membuat dia malah menjadi tertuduh, bukan hanya sebagai pembunuh wanita muda itu, juga pembunuh suaminya!

“Pergi! Pergi kalian!”

Bentaknya marah karena dia khawatir kalau-kalau kemarahannya membuat dia kehilangan kesabaran dan menghajar rombongan piauwsu itu. Para piauwsu segera meninggalkan tempat itu dan Bun Beng lalu menggali lubang, mengubur suami isteri yang tidak pernah dikenalnya itu sambil berpikir-pikir siapa gerangan pembunuh suami isteri ini? Mengapa membunuh mereka secara demikian penuh rahasia, dan seolah-olah ada hubungannya dengan dia? Siapakah pembunuh itu, dan apakah Si Pembunuh melakukan hal itu dengan sengaja untuk merusak namanya agar dia disangka seorang pemerkosa dan pembunuh?

Dengan hati penuh penasaran Bun Beng tidak segera meninggalkan telaga itu setelah selesai mengubur jenazah suami isteri yang bernasib malang itu. Dia melakukan penyelidikan, tidak hanya disekitar tempat pembunuhan, bahkan dia lalu melakukan penyelidikan di sekeliling telaga itu.

Akan tetapi, para penghuni dusun-dusun disekitar telaga itu adalah petani-petani sederhana. Ketika dia mencari keterangan dari mereka, terdapat jawaban bahwa suami isteri yang ditanyakan oleh Bun Beng itu bukanlah penduduk dusun itu.

“Disini sering kedatangan pelancong-pelancong dan agaknya orang-orang yang kongcu tanyakan itu adalah suami isteri pelancong pula.” Demikian jawaban yang ia dapatkan.

Menjelang malam, perhatian Bun Beng tertarik akan sebuah pondok terpencil yang berada di sebelah timur telaga itu. Pondok ini bukan seperti rumah penduduk dusun yang sederhana, melainkan lebih pantas rumah pondok seorang bangsawan atau hartawan yang sengaja membangun pondok di tempat itu untuk tempat peristirahatan, terbuat dari kayu dan atapnya dari genteng dicat cukup indah.

Pondok terpencil itu sunyi, bahkan kelihatannya kosong. Bun Beng mengambil keputusan untuk menyelidiki pondok itu dan kalau memang kosong, akan melewatkan malam itu di dalam pondok.

Akan tetapi ketika dia mendekat, dia melihat penerangan api menyorot keluar dari dalam pondok. Bukan pondok kosong, pikirnya dengan hati tegang. Keadaan pondok ini amat mencurigakan dan siapa tahu pembunuh yang dicarinya berada di dalam pondok ini.

Setelah malam tiba, dengan gerakan ringan sekali Bun Beng menyelinap dibawah bayangan pohon-pohon, mendekati pondok, kemudian setelah mendengarkan dengan penuh perhatian dan tidak melihat atau mendengar sesuatu, Bun Beng meloncat ke atas genteng pondok itu, cepat dan ringan seperti seekor burung. Tanpa mengeluarkan suara dia melangkah diatas genteng, kemudian menemukan sebuah lubang diantara genteng dan mengintai ke bawah.

Apa yang dilihatnya di dalam pondok itu membuat dia kecewa dan terheran. Hanya seorang kakek berpakaian seperti sastrawan, dan seorang dara cantik berpakaian mewah, dan indah seperti kebiasaan dara-dara bangsawan atau dara hartawan di kota besar! Keduanya merupakan orang-orang yang sukar dituduh melakukan perkosaan dan pembunuhan!

Akan tetapi, siapa tahu? Di dalam dunia kaum sesat, bukan hanya laki-laki muda yang menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau pemerkosa), bahkan banyak pula kakek-kakek yang suka memperkosa wanita muda! Maka dia segera mendekam di atas genteng dan mengintai sambil mendengarkan. Siapa tahu kakek itu seorang penjahat besar yang berpakaian sastrawan. Buktinya berada di dalam pondok bersama seorang dara cantik, berdua saja!

“Kim Bwee, kenapa kau sering kali menyusul aku kesini? Bukankah kau lebih senang di kota raja! Tempat ini sepi sekali dan aku tidak mempunyai apa-apa disini.”

“Mengapa Kong-kong meninggalkan kami dan tinggal ditempat sepi ini? Sejak kecil Kong-kong mendidikku dengan ilmu silat dan ilmu sastera, setelah Kong-kong (Kakek) pergi, tidak ada lagi yang mengajarku. Maka aku minta ijin Ayah dan Ibu untuk tinggal bersama Kakek disini selama satu bulan.”

Kakek itu mengelus jenggotnya yang putih dan panjang. Dia berusia enam puluh lebih, berwajah terang dan ramah, gerak-geriknya halus.

“Aneh sekali kau, Kim Bwee. Semua gadis seperti engkau tentu lebih suka tinggal di kota. Pula, semua sudah kuajarkan kepadamu, apalagi yang dapat kuajarkan sekarang?”

“Sajak-sajak itu, Kong-kong! Sajak buatan Kong-kong membuat aku rindu kepadamu. Aku ingin selama sebulan ini Kong-kong membuatkan sajak-sajak untukku!”

“Hemm, engkau sendiri pandai membuat sajak yang jauh lebih indah daripada buatanku. Engkau tentu tahu bahwa sajak dibuat orang menurut getaran perasaan masing-masing, tentu saja untuk menuangkan perasaan itu ke dalam huruf-huruf harus ada kepandaian menguasai seni mengatur kata-kata itu, barulah akan tercipta sajak yang indah. Perasaanmu sebagai wanita jauh lebih halus daripada aku, karenanya engkau lebih pandai membuat sajak yang menyentuh rasa.”

“Ahh, Kong-kong terlalu memuji! Aku senang sekali membaca sajak-sajak Kong-kong yang selalu mengandung kekuatan yang dahsyat dalam menuangkan sesuatu, seolah-olah gerakan pedang tajam yang mengupas segala sesuatu sehingga tidak hanya tampak kulitnya saja melainkan tampak isinya yang paling dalam!”

“Itu adalah hasil dari pandangan seseorang akan sesuatu yang dilihatnya....”

“Pandangan Kong-kong itulah yang hebat, seolah-olah Kong-kong dapat melihat sampai tembus segala sesuatu. Bagaimanakah caranya agar dapat memiliki pandangan seperti itu, Kong-kong?”

“Hanya dengan membebaskan pandangan itu sendiri, cucuku yang baik. Biasanya, kita memandang sesuatu, baik itu benda mati maupun hidup, binatang maupun manusia, dengan pandangan yang tidak bebas sama sekali. Kita memandang sesuatu biasanya melalui tabir yang berupa prasangka, penilaian, kesimpulan sehingga pandangan kita menjadi suram, bahkan menjadi palsu karena yang kita pandang bukanlah apa yang ada melainkan tafsiran-tafsiran dari apa yang ada itu. Pandangan kita menjadi dangkal, jangankan menangkap isinya, bahkan menangkap kulitnya sajapun masih belum lengkap.”

Dengan gerakan lucu dara itu membelalakkan matanya dan berkata manja,
“Aihhh! Aku menjadi bingung, Kong-kong! Coba jelaskan lagi, aku tadi tidak mengerti apa yang Kong-kong maksudkan. Apakah cara memandang sajapun ada ilmunya?”

Kakek itu tertawa.
“Bukan ilmu, katakanlah seni! Seni memandang memang ada, dan juga seni mendengar. Hidup kita ini seluruhnya dipengaruhi oleh keduanya itu, maka sudah sepatutnya kalau kita mengenal akan seni memandang dan seni mendengar ini, yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.”

“Wah, terdengarnya aneh dan lucu, Kong-kong. Masa untuk memandang dan mendengar saja harus ada seninya? Setiap orang bisa memandang atau mendengar, asalkan dia tidak buta dan tidak tuli.”

“Ha-ha-ha, benarkah demikian? Kurasa tidak begitu, cucuku. Di dunia itu lebih banyak orang buta dan tuli, sungguhpun mata dan telinganya tidak rusak. Bahkan sesungguhnya, sudah tidak ada lagi yang disebut memandang atau mendengar sesuatu seperti apa adanya. Yang kita pandang dan dengar adalah bayangan pikiran kita, dan bayangan pikiran kita itu tentu saja sama sekali bukan hal yang sesungguhnya, bukan apa adanya.”

“Aku masih bingung, Kong-kong. Coba beri contoh.”

“Biasanya kita mendengarkan dengan pikiran penuh berisi tanggapan, prasangka, penilaian dan kesimpulan. Kalau engkau membaca sesuatu atau mendengarkan aku sekarang ini dengan pikiran penuh tafsiran, prasangka, penilaian atau kesimpulan akan benar tidaknya, baik buruknya, maka engkau tidak dapat mendengarkan dengan sesungguhnya dan akan kehilangan inti-sarinya. Yang menjadi bagianmu hanyalah pertentangan antara tanggapan-tanggapanmu, penilaian dan prasangkamu sendiri.

Demikian pula kalau engkau memandang sesuatu. Kalau engkau memandang seseorang dengan pikiran berisi kenangan akan orang itu dimasa lalu, maka pandanganmu akan terisi penuh dengan prasangka, penilaian dan lain-lain itu sehingga bukan orang itu yang kau pandang, melainkan bayangan melalui kenanganmu! Dengan demikian, timbullah rasa suka, rasa benci, rasa khawatir dan lain-lain! Karena itu kita harus tahu akan seni memandang dan mendengar ini.”

“Akan tetapi, Kong-kong. Bagaimana mungkin mendengar sesuatu tanpa memikirkannya, tanpa menilai dan menarik kesimpulan akan baik buruknya, merdu tidaknya apa yang kita dengar itu?”

“Nah, itulah salahnya dengan pendengaran kita! Kita menginginkan sesuatu dari apa yang baik ingin kita dengar, yang baik ingin kita dengar terus, yang buruk ingin kita jauhi, maka terjadilah pertentangan dan persoalan! Kita mendengar suara orang bicara ribut-ribut, merasa bising dan pening. Mengapa? Karena kita tidak mau mendengarnya, tidak suka mendengarnya, menganggap mengganggu dan sebagainya. Coba kita mendengarkan tanpa penilaian, mendengar tanpa aku yang mendengar, mendengar apa adanya, takkan timbul gangguan.

Demikian pula dengan seni memandang. Kita memandang penuh perhatian, namun tanpa tanggapan, tanpa keinginan, dengan pikiran bebas dan kosong dari kenangan, maka tidak akan ada istilah pandangan menyenangkan atau tidak, dan pandangan kita akan dapat melihat dengan jelas akan sesuatu seperti apa adanya! Mengertikah engkau?”

Dengan gerakan lucu, gadis itu menggaruk-garuk kepalanya di belakang telinga kanan.
“Dikatakan mengerti, rasanya begitu sukar diterima. Dibilang tidak mengerti, aku dapat merasakan kebenarannya, Kong-kong. Dan.... heiii!”

Gadis itu terkejut dan terbelalak karena tiba-tiba kakek itu melontarkan pit (pena bulu) yang tadi dipegangnya itu ke atas. Benda yang biasanya dipergunakan sebagai alat tulis itu melesat ke atas, kini berubah menjadi senjata rahasia yang amat hebat, menembus atap dan menyambar ke arah dada Bun Beng!

Pemuda ini tadi mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia tertarik sekali sehingga lupa keadaan dan lupa diri, lupa bahwa dia mengintai dan mendengarkan percakapan orang lain! Maka begitu dia diserang sambaran pit yang cepat, dia terkejut bukan main, tangannya menyambar cepat dan pit dapat ditangkapnya!

Terkejut juga dia merasakan betapa benda itu menggetar di tangannya, tanda bahwa pelemparnya memiliki sin-kang yang kuat sehingga pit yang sudah menembus atap itu masih mengandung tenaga yang kuat!

“Locianpwe (Orang Tua Gagah) yang berada di bawah harap sudi memaafkan saya atas kelancangan saya....”

Bun Beng cepat berkata nyaring karena tidak ingin diserang lagi. Dia sudah merasa bersalah dan kini dia tidak meragukan lagi akan kebersihan kakek itu. Orang yang bicara seperti itu tak mungkin menjadi seorang penjahat keji! Maka tanpa ragu-ragu dia minta maaf.

“Sahabat yang berada di atas harap turun untuk memberi penjelasan!”

Suara kakek itu masih bernada halus akan tetapi terdengar penuh wibawa. Mendengar ini, Bun Beng merasa tidak enak untuk pergi begitu saja. Dia sudah merasa bersalah, maka tanpa menjawab dia lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan hati-hati.

Kakek itu dan cucunya memandang dengan kagum karena gerakan Bun Beng ketika meloncat turun itu sudah membuktikan bahwa kepandaian pemuda bercaping lebar itu amat tinggi. Bun Beng cepat membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada kakek itu, kemudian kepada gadis cantik yang memandangnya dengan sepasang mata indah terbuka lebar.

“Saya Gak Bun Beng mengaku salah, harap Locianpwe sudi memaafkan saya,” kata Bun Beng sambil memberi hormat.

Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya.
“Menyadari akan kesalahan sendiri berarti menghapus kesalahan itu. Aku Lu Kiong bukanlah orang yang tak dapat menghabiskan urusan kecil seperti ini. Akan tetapi kulihat engkau bukan penjahat, maka aku merasa penasaran sebelum mendengar penjelasanmu mengapa engkau yang muda dan sopan ini sampai mengintai di atas pondokku.”

Maka dengan singkat berceritalah Bun Beng tentang seorang pemerkosa dan pembunuh yang berkeliaran di daerah telaga itu, betapa pembunuh itu telah melakukan pembunuhan kepada suami isteri pelancong dan bahwa dia berusaha mencari jejak pembunuh itu.

“Saya sudah mencari ke sekeliling telaga, akan tetapi tidak ada apa-apa di dalam dusun-dusun disekitar sini. Ketika melihat pondok terpencil ini yang keadaannya berbeda dengan rumah-rumah penduduk, timbul kecurigaan saya dan melakukan penyelidikan, harap Locianpwe suka memberi maaf.”

“Aaahh, kalau begitu persoalannya, tidak perlu minta maaf, Gak-sicu! Hilangkan kecurigaanmu terhadap kami. Aku bernama Lu Kiong, seorang pensiunan pengawal Kaisar yang mengundurkan diri dan ini adalah Lu Kim Bwee, cucuku.”

Wajah Bun Beng menjadi merah sekali dan ia kembali menjura dengan hormat.
“Maaf telah berlaku kurang ajar....”

“Tak perlu banyak sungkan, Sicu. Tindakanmu benar dan Si Laknat itu harus ditangkap! Kurasa dia tidak akan pergi jauh dari daerah ini. Marilah aku membantumu mencarinya. Kim Bwee, kau menunggu disini dan berjagalah karena ada penjahat berkeliaran.”

Gadis itu mengangguk dan kakek itu kembali memandang kepada Bun Beng.
“Mari kubantu mencari. Sebaiknya kita berpencar, engkau ke kiri dan aku ke kanan mengelilingi telaga dan kembali bertemu di pondokku ini.”

“Baik, dan terima kasih atas bantuan Locianpwe. Harap Locianpwe suka menerima kembali ini....” Bun Beng menyerahkan pit yang tadi menyambarnya.

Kakek Lu Kiong menerimanya sambil tersenyum.
“Mudah-mudahan saja penjahat itu tidak akan selihai engkau, Sicu, dan pitku akan merobohkannya.”

Keduanya lalu keluar dari pondok. Mereka berpencar dan melakukan penyelidikan mengelilingi telaga. Akan tetapi malam itu sunyi dan tidak terjadi sesuatu di sekeliling telaga itu. Biarpun telaga itu tidak sangat luas, akan tetapi melakukan penyelidikan pada malam hari dengan mengelilinginya, membutuhkan waktu tidak kurang dari dua jam barulah Bun Beng tiba kembali di depan pondok kakek Lu tanpa hasil.

“Jahanam keparat....!”

Bun Beng kaget bukan main ketika mendengar bentakan nyaring dan halus ini, apalagi ketika ada sinar pedang menyambar. Ketika dia cepat mengelak dan melirik, kiranya gadis cucu kakek Lu itulah yang menyerangnya dari kiri, menusukkan pedang ke arah dadanya, dan lebih kaget lagi dia ketika dari kanan menyambar angin pukulan dahsyat pula dibarengi bentakan suara kakek Lu.

“Manusia iblis!”

Hanya dengan kecepatan gerakannya yang luar biasa saja Bun Beng dapat menghindarkan diri dari sambaran sepasang pit yang menotok jalan darahnya secara bertubi dari samping kanannya.

“Eh.... eh.... tahan dulu! Apakah artinya ini, Lu Locianpwe?”

Bun Beng berseru kaget dan heran, dan mulai curiga lagi. Jangan-jangan kakek dan cucunya ini yang menjadi pembunuh! Siapa tahu, kakek itu seorang tokoh kaum sesat yang lihai, dan gadis yang dikatakan “cucunya” itu adalah pembantunya!

“Mau bicara apa lagi? Keparat!”

Gadis itu kembali menyerang dan kini dia mainkan pedang, membacok bertubi-tubi sambil terisak menangis!

“Nona.... eh, tahan dulu....! Setidaknya.... aku minta penjelasan lebih dulu....!”

“Penjelasan apa lagi? Manusia biadab....!”

Pedang itu kembali menusuk dengan cepat sekali, namun untuk kesekian kalinya, dengan mudah Bun Beng mengelak sambil melompat jauh ke belakang menghadapi Kakek Lu sambil berkata dengan suara penuh penasaran,

“Locianpwe, apa artinya ini? Harap jelaskan, kalau memang aku bersalah aku tidak akan lari dari hukuman!”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar