FB

FB


Ads

Selasa, 27 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 100

Pemuda itu berjalan cepat sekali. Wajahnya berseri dan mulutnya sering kali tersenyum menandakan keriangan hatinya. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan. Betapa hatinya tidak akan merasa bangga, bahagia dan riang setelah kini secara resmi dia diterima oleh Pendekar Super Sakti dan isterinya sebagai calon mantu! Dia malah diberi tugas oleh suami isteri itu untuk mencari Milana! Kekasih hatinya! Calon isterinya!

Tersenyum dia membayangkan betapa dara itu akan menjadi merah mukanya, menjadi malu-malu kalau dia nanti menceritakan tentang pertunangan mereka! Dan yang lebih daripada segala yang menyenangkan hatinya adalah kalau dia mengingat akan pertemuannya dengan Milana yang terakhir kalinya, dimana dara itu dengan jelas membayangkan bahwa Milanapun membalas cinta kasihnya!

Tadinya, kebahagiaannya karena dara itu membalas cintanya masih diliputi awan keraguan kalau-kalau ayah bunda dara itu tidak menyetujui. Akan tetapi sekarang setelah kedua orang tua itu menyatakan setuju, biarpun belum disahkan, dunia seolah-olah berubah bagi pandang mata Bun Beng! Sinar matahari menjadi lebih cemerlang. Tumbuh-tumbuhan menjadi lebih segar. Segala yang dipandangnya, yang didengarnya, menjadi lebih indah menyenangkan.

Bun Beng mempercepat gerakan lari kakinya. Kota raja tidak jauh lagi. Setelah keluar dari hutan besar yang terakhir di sebelah utara kota raja ini, dinding yang mengelilingi kota raja sudah akan tampak.

Heran sekali dia, mengapa sebelum ini dia tidak melihat keindahan hutan besar ini? Daun-daun kering yang memenuhi tempat itu, yang terinjak oleh kaki-nya terasa lunak, biasanya tampak buruk, sekarang menimbulkan perasaan senang melihatnya, begitu rapi bertumpuk di atas tanah, seperti diatur saja. Dan seolah-olah sengaja disebar untuk menjadi permadani yang lunak halus bagi kedua kakinya. Dan baunya!

Daun-daun yang sudah membusuk, menjadi sampah, bukankah biasanya mendatangkan bau tidak enak? Sekarang kalau dia mencium, terciumlah bau daun-daun busuk itu, akan tetapi sama sekali tidak busuk baunya, bahkan ada kesedapan yang khas! Jelaslah kini olehnya bahwa segala yang disebut indah atau buruk, enak atau tidak, semua tergantung dari keadaan hati seseorang!

Pendapat seperti yang dialami Bun Beng itu menjadi pendapat umum. Akan tetapi selama orang memandang atau mendengar sesuatu dengan penilaian akan baik buruknya yang dipandang atau didengar itu, maka seluruhnya tergantung dari keadaan pikiran dan hati. Karena itu, kita selalu diombang-ambingkan antara suka dan duka, puas dan kecewa dan kalau dihitung dan dijumlah, jauh lebih banyak dukanya daripada sukanya, lebih banyak kecewanya daripada puasnya.

Kalau saja kita dapat melepaskan diri dari pengaruh pikiran! Kalau saja kita dapat terbebas dari keinginan, dari pengejaran akan sesuatu yang tidak ada pada kita! Kalau kita terbebas dari rasa khawatir akan kehilangan yang kita senangi dan terbebas dari rasa takut akan sesuatu yang belum terjadi! Kalau demikian halnya, agaknya hidup ini tidaklah seperti yang kita alami sekarang ini dimana terdapat penuh pertentangan, penuh persoalan benar atau salah, penuh dengki dan iri hati, penuh benci, dan penuh dengan apa yang kita sebut kesengsaraan lahir maupun batin!

Gak Bun Beng yang sekarang telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian luar biasa berkat gemblengan terakhir yang dilakukan bersama oleh Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin, berlari seperti terbang cepatnya dan sebentar saja dia telah keluar dari dalam hutan lebat itu.

Sejenak dia berhenti untuk memandang tembok yang megah, yang mengelilingi kota raja sehingga dari jauh kelihatan seperti sebuah benteng yang kokoh kuat. Tiba-tiba pandang matanya tertarik akan sesuatu yang bergerak tak jauh di sebelah depan, di lereng pegunungan sebelah bawah. Seorang manusia! Dan jalannya tidak wajar karena seperti terhuyung-huyung. Bun Beng segera meloncat ke depan dan berlari cepat menuju ke arah orang yang terhuyung-huyung itu.

Orang itu roboh terguling dan mengeluh ketika Bun Beng tiba di sebelah belakangnya. Bun Beng cepat berlutut dan mengangkat tubuh bagian atas laki-laki setegah tua itu. Beberapa buah luka yang cukup hebat memenuhi tubuhnya, pakaiannya robek-robek dan berlepotan darah. Keadaan laki-laki itu payah sekali, napasnya empas-empis.

“Kau kenapa, Paman? Siapa yang menyiksamu seperti ini?”

Bun Beng bertanya. Orang itu membuka matanya, akan tetapi pandang matanya seperti orang lamur, manik matanya tidak bercahaya lagi, seperti api yang hampir padam. Mulutnya bergerak,

“Semua tewas.... aughhh.... mereka dari Pulau Neraka.... celaka sekali.... cucu Sri Baginda mereka bawa....”

“Apa? Milana? Paman, jawablah! Apakah Milana yang mereka bawa?”

“Cucu Sri Baginda.... puteri Panglima Nirahai.... diculik pemuda Pulau Neraka dan....” Kepala itu terkulai.

“Kemana, Paman? Dibawa kemana?”

Bun Beng bertanya mengguncang-guncang tubuh yang sudah lemas itu. Namun tiada jawaban. Bagaimana mayat dapat menjawab? Bun Beng menghela napas panjang, pandang matanya yang tadinya penuh kebahagiaan kini berubah sama sekali. Penuh kekhawatiran dan kemarahan! Dia tidak mengenal orang ini, betapapun juga, orang ini sudah berjasa kepadanya, menceritakan sesuatu tentang Milana, sungguhpun ceritanya amat tidak menyenangkan. Maka dia segera menggali lubang dan mengubur jenazah orang tak dikenal itu.

Semua ini dilakukannya dengan cepat dan segera dia berlari sekencangnya memasuki kota raja untuk mencari berita. Berita itu mudah didengarnya. Semua orang tahu belaka bahwa cucu Kaisar, puteri Panglima Wanita Nirahai yang amat terkenal, telah diculik dan dilarikan orang. Menurut beritanya itu, penculiknya adalah seorang pemuda tampan bersama seorang kakek yang seperti mayat.

“Hemmm, siapa lagi kalau bukan Wan Keng In?”

Pikir Bun Beng dengan hati panas dan kemarahan berkobar seperti api membuat mukanya kemerahan dan pandang matanya ganas. Setelah merasa yakin bahwa yang menculik kekasihnya adalah pemuda Pulau Neraka itu, Bun Beng segera meninggalkan kota raja.

Menurut kabar, Kaisar sendiri mengerahkan para pengawal yang berilmu untuk mencari cucunya, bahkan ada berita bahwa Kaisar mengundang Pendekar Super Sakti untuk mengembalikan dara yang diculik orang itu, dengan janji pengampunan bagi pendekar yang tadinya dianggap seorang pemberontak dan buruan itu! Akan tetapi, Bun Beng maklum bahwa tak mungkin dia bisa mendapatkan keterangan di kota raja kemana larinya Wan Keng In yang menculik kekasihnya.

Setelah memutar otak, akhirnya Bun Beng menduga bahwa kemungkinan besar pemuda Pulau Neraka itu membawa kekasihnya ke Pulau Neraka! Atau setidaknya tentu pemuda iblis itu berkeliaran di utara, di sepanjang pantai. Hatinya menjadi sakit sekali, penuh kecemasan akan keselamatan kekasihnya. Ia khawatir kalau-kalau dia terlambat menolong kekasihnya.






“Aihhh! Mengapa aku begini lemah?” Dia mencela diri sendiri. “Terlambat atau tidak, bagaimana nanti keadaannya sajalah. Yang terpenting, aku harus mencarinya sampai dapat!”

Pikiran ini agak meredakan gelombang kecemasan yang melanda hatinya dan mulailah dia melakukan perjalanan ke utara kembali, tidak berani melakukan cepat karena dia harus melakukan penyelidikan, bertanya-tanya di sepanjang jalan. Karena dia menganggap bahwa orang yang terluka dan tewas ketika bertemu dengannya itu merupakan jejak terakhir dari Milana, dia lalu mengambil jalan yang ditempuh orang itu, dari tempat dia bertemu orang itu lalu terus ke utara.

Di sepanjang perjalanan Bun Beng bertanya-tanya dan untuk mencegah timbulnya kecurigaan, maka dia bersikap bersahaja. Pakaiannya memang selalu sederhana, dan kini dia selalu memakai sebuah caping bundar yang pinggirannya lebar, sedangkan pedang Hok-mo-kiam tidak pernah tampak dari luar karena dia sembunyikan di balik jubahnya.

Dalam penyelidikannya, secara sambil lalu dia bertanya tentang seorang nona muda yang cantik dengan gelung tinggi ke atas kepala, seorang pemuda tampan yang mukanya pucat dan pakaiannya mewah, dan seorang kakek yang kurus seperti mayat. Dia tidak mau menyebut nama-nama.

Biarpun agak sulit baginya untuk memperoleh keterangan yang jelas, kecuali beberapa orang yang menuturkan kepadanya pernah melihat tiga orang itu, ada pula yang melihat serombongan orang-orang gagah naik kuda menuju ke utara, bagi Bun Beng sudah cukup untuk mengikuti jejak para penculik yang membawa pergi kekasihnya. Tepat seperti dugaannya, Milana dibawa ke utara!

Akhirnya pada suatu pagi, dia tiba di tempat bekas pertempuran dan melihat banyak mayat manusia berserakan dan sebagian sudah menjadi kerangka. Hatinya penuh dengan bermacam perasaan. Ada rasa girang karena dia kini yakin bahwa di sinilah terjadinya perang dan disini pula agaknya orang yang bercerita tentang Milana itu terluka. Tentu dia seorang diantara pengawal utusan Kaisar yang mengejar para penculik!

Ada rasa ngeri menyaksikan betapa di tempat ini telah terjadi penyembelihan manusia yang agaknya dilakukan oleh Wan Keng In dan kakek seperti mayat! Atau mungkin juga ada anak buah Pulau Neraka, karena melihat luka-luka yang diderita oleh orang yang dijumpainya itu, hanyalah luka-luka akibat senjata tajam, sedangkan kalau Wan Keng In sendiri yang turun tangan, apalagi menggunakan Lam-mo-kiam yang dirampas pemuda Pulau Neraka itu, tentu tidak memungkinkan orang itu hidup lebih lama lagi. Ada pula rasa yang makin menghebat, yaitu rasa khawatir. Setelah yakin bahwa Wan Keng In yang menculik Milana, dia merasa khawatir sekali.

Kalau penculiknya orang lain, agaknya Milana akan mampu menjaga diri karena dia tahu bahwa kekasihnya itu adalah seorang dara yang memiliki kepandaian tinggi dan sukar ditandingi orang. Akan tetapi terhadap Wan Keng In, agaknya kekasihnya itu takkan berdaya mempertahankan keselamatannya!

Dengan hati tidak karuan, Bun Beng cepat melanjutkan perjalanannya ke utara. Setelah matahari condong ke barat, tibalah dia di kaki gunung dan dari tempat dia turun sudah tampak sebuah telaga kecil yang airnya jernih kebiruan. Timbul keinginannya untuk menyegarkan tubuhnya yang lelah, mandi di telaga itu. Maka ke sanalah dia menuju.

Ketika tiba dekat telaga mendadak dia berhenti. Di tepi telaga itu terdapat serombongan orang terdiri dari dua belas orang dan di antaranya ada yang membawa bendera, berhadapan dengan seorang laki-laki muda dan agaknya mereka itu sedang bercekcok. Bun Beng merasa tertarik hatinya, akan tetapi karena dia tidak tahu urusannya dan tidak mau dianggap lancang mencampuri urusan orang lain, dia menyelinap dekat dan diam-diam dia menonton sambil mendengarkan percekcokan mereka.

Tanpa sengaja dia mendekati tumpukan batu gunung yang menyembunyikan sebagian air telaga dan mendengar suara air. Ketika dia menoleh, Bun Beng terbelalak dan seketika mukanya menjadi merah sekali. Betapa jantungnya tidak akan berdebar tegang dan mukanya tidak akan menjadi merah sekali kalau dia melihat seorang wanita muda dan cantik sedang merendam tubuh yang mulus dan polos di dalam air telaga? Cepat dia membuang muka dan agak menjauhi tempat itu, bersembunyi di belakang batu gunung dekat telaga, lalu mengintai ke arah laki-laki muda berpakaian sederhana yang berhadapan dengan para piauwsu (pengawal barang) itu.

“Cuwi-piauwsu (para pengawal sekalian) hendaknya jangan mempersalahkan aku saja!” Terdengar laki-laki muda itu membantah dengan suara keras. “Aku bukanlah seorang tukang pukul yang sembarangan memukul orang. Kalau sampai kongcu (tuan muda) tadi kupukuli, tentu ada sebab tertentu yang memaksa aku.”

“Hemm, kalau memang ada sebabnya, mengapa engkau tidak menceritakan kepada kami? Apakah sebabnya?” tanya kepala piauwsu, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tegap dan bersikap angker.

“Sebabnya tak dapat kuceritakan kepada orang lain!” jawab orang muda itu.

Kakek yang memimpin pengawal angkutan itu memandang tajam dan suaranya terdengar tegas,
“Orang muda, jangan kau main-main dengan kami! Chi-kongcu adalah putera Tihu dari Kang-ciu dan kami yang mengawalnya bersama barang-barangnya adalah para pengurus Eng-jiauw-piauwkiok (Ekspedisi Cakar Garuda), anak murid Bu-tong-pai. Lebih baik kau berterus terang agar kami mempertimbangkan.”

Wajah orang muda itu kelihatan bimbang. Kemudian dengan suara terpaksa dia berkata,
“Baiklah, biar Cu-wi mengetahui betapa kotor perbuatan kongcu yang Cu-wi kawal itu. Isteriku sedang mandi di telaga seorang diri, kemudian datang kongcu itu menggodanya. Melihat ini, tentu saja aku tidak dapat membiarkannya saja dan memberi hajaran. Nah, bukankah hal itu sudah pantas kulakukan?”

Para piauwsu itu mengerutkan alis. Mereka adalah orang-orang gagah yang tentu saja merasa tidak senang mendengar perbuatan kongcu itu, sungguhpun di dalam hati, semua pria itu tidak merasa heran akan perbuatan itu.

“Sampai sejauh manakah perbuatannya maka engkau memukulinya sehingga mukanya bengkak-bengkak dan berdarah?”

Tanya piauwsu tertua yang tentu saja merasa bertanggung-jawab akan keselamatan putera bangsawan yang dikawalnya. Rombongan mereka tadi berhenti dan mengaso tak jauh dari telaga. Chi-kongcu seorang diri berjalan-jalan ke telaga dan tak lama kemudian kongcu itu datang berlari-lari dengan muka bengkak-bengkak berdarah, mengatakan bahwa dia dipukuli seorang laki-laki dekat telaga.

“Ehh! Apakah Cu-wi (Anda sekalian) tidak menyalahkan perbuatan kongcu keparat yang kurang ajar itu?” Laki-laki muda itu balas bertanya dengan muka merah.

“Memang kurang sopan. Akan tetapi apakah yang dilakukannya terhadap isterimu?”

“Kalau dia sudah melakukan sesuatu, tentu sudah kubunuh dia! Isteriku, mandi seorang diri, dia datang menghampiri dan menggoda dengan kata-kata tidak sopan.”

“Orang muda, engkau agaknya terlalu mengandalkan kekuatanmu sendiri sehingga bersikap galak! Semua perkara harus diperiksa lebih dahulu dengan jelas, jangan sembarangan main hakim sendiri mengandalkan kekuatanmu. Kami akui bahwa perbuatan Chi-kongcu tidak patut, sungguhpun kami masih meragukan mengapa dia sampai berani menggoda seorang wanita yang sedang mandi seorang diri. Entah apa yang telah diucapkannya yang membuat engkau marah dan memukulnya. Apakah yang dikatakannya orang muda?”

“Aku tidak mendengarnya sendiri, hanya kulihat dari jauh dia berkata-kata dan tertawa-tawa kepada isteriku yang sedang mandi, dan isteriku marah-marah kepadanya.”

“Jadi masih belum jelas lagi apa yang diucapkannya. Hemm, biarlah hal yang sudah terjadi tak perlu diributkan lagi. Chi-kongcu telah bersalah mengajak seorang wanita yang mandi bercakap-cakap, akan tetapi engkaupun terlalu ringan tangan. Kami tidak akan memperpanjang urusan ini kalau engkau suka minta maaf kepadanya.”

“Tidak sudi! Kalau disuruh menambah pemukulan kepadanya aku mau!” Orang muda yang berdarah panas itu membantah.

Ketua piauwsu itu mengerutkan alisnya.
“Orang muda, kami sudah mengambil jalan tengah dan banyak mengalah kepadamu, akan tetapi engkau masih berkeras kepala. Kami terpaksa mencampuri urusan ini karena kewajiban kami untuk mengawal Chi-kongcu! Apakah engkau tidak memandang muka kami dan hendak menentang kami?”

“Terserah! Aku tidak takut kepada siapapun untuk menjaga dan melindungi kehormatan isteriku!”

Pemuda itu bertolak pinggang dan bersiap untuk menghadapi lawan, sikapnya gagah sekali karena dia merasa gagah telah dapat mempertahankan kehormatan isterinya.

“Hemm, engkau terlalu memandang rendah murid Bu-tong-pai!” Kakek itu berkata dan sudah mengepal tinju.

Dari tempat sembunyinya, Bun Beng dapat melihat jelas dari sikap pemuda itu bahwa dia tidak pandai ilmu silat, sedangkan para piauwsu itu sebagai murid Bu-tong-pai, apalagi kakek itu, tentu saja mempunyai kepandaian tinggi. Maka sebelum terjadi perkelahian yang tentu akan mencelakakan orang muda itu, Bun Beng melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berdiri tegak di depan kakek pemimpin para piauwsu sambil berkata halus,

“Tahan dulu!”

Para piauwsu memandang kepada Bun Beng penuh kecurigaan, juga orang muda itu menoleh dan memandang heran kepada pemuda tampan yang menyembunyikan sebagian mukanya di balik caping bundar yang lebar itu.

“Harap Cuwi-piauwsu suka menghabiskan perkara ini, karena mendengar penuturan saudara ini, yang bersalah adalah kongcu itu. Kurasa tidak biasanya para tokoh Bu-tong-pai bertindak sewenang-wenang!”

Mendengar ucapan itu, pimpinan piauwsu memandang tajam dan melangkah maju, membungkuk dan bertanya,

“Siapakah Siauw-sicu (Tuan muda yang gagah) yang mengenal Bu-tong-pai dan ada hubungan apa Sicu dengan saudara ini?”

“Namaku Gak Bun Beng dan aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Twako (Kakak) ini. Aku hanya tidak ingin melihat nama besar Bu-tong-pai direndahkan oleh para anak muridnya kalau Cu-wi hendak menggunakan kekerasan terhadap Twako yang tidak bersalah ini.”

Ucapan Bun Beng ini membuat para piauwsu menjadi serba salah. Mau marah, terang bahwa pemuda bercaping bundar ini mengangkat tinggi nama Bu-tong-pai, kalau mengalah mereka merasa penasaran sekali karena pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini sama sekali tidak mempunyai nama besar sehingga tidak sepatutnya kalau mereka mengalah dan menyudahi urusan dengan orang muda itu hanya melihat muka seorang pemuda asing yang sama sekali tidak mereka kenal.

“Orang muda she Gak, permintaanmu sungguh berat sebelah. Engkau membujuk kami untuk mengalah, sebaliknya engkau membiarkan orang muda itu yang telah memukuli orang kawalan kami tanpa perhitungan apa-apa. Mengapa engkau sebagai seorang penengah yang bijaksana, tidak minta dia untuk mengalah dan minta maaf kepada yang dia pukuli sehingga urusan menjadi selesai dengan damai?”

Bun Beng mengerutkan alisnya dan berkata,
“Sepanjang pendengaranku tadi, jelas sudah bahwa yang bersalah adalah kongcu itu dan sudah sepatutnya dia mendapatkan hajaran. Sepantasnya Cu-wi sebagai pengawalnya yang lebih mengerti tentang peraturan mintakan maaf untuknya kepada sahabat ini, bagaimana mungkin Saudara ini yang telah mengalami penghinaan malah disuruh minta maaf?”

Pemimpin piauwsu itu kelihatan makin tidak senang.
“Gak-sicu, agaknya engkau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri sehingga secara lancang mencampuri urusan orang dan sama sekali tidak memandang muka kami sebagai piauwsu yang bertanggung jawab terhadap kawalannya dan sebagai anak murid Bu-tong-pai yang siap memaafkan kesalahan orang asalkan orang itu suka mengaku salah dan minta maaf. Kami yakin Sicu mengerti akan hal ini dan melepas tangan terhadap urusan kecil ini.”

Bun Beng menggeleng kepalanya.
“Cu-wi sekalian pikirlah baik-baik. Bukan aku yang mengandalkan kepandaian atau sahabat ini yang bersalah, sebaliknya Cu-wi yang hendak mengukuhi kebaikan sendiri. Seharusnya Cu-wi malah berpandangan bijaksana, menyuruh kongcu kurang ajar itu mohon maaf kepada sahabat ini atas kekurang ajarannya terhadap isteri sahabat ini. Dengan demikian baru tepatlah tindakan Cu-wi sebagai murid-murid Bu-tong-pai yang gagah perkasa.”

“Manusia sombong, engkau benar-benar besar kepala, tidak menghormati kami. Baiklah, kita putuskan urusan ini dengan kepandaian!”

“Oho! Cu-wi menantang malah? Silahkan! Sahabat, mundurlah, engkau bukan tandingan orang-orang gagah ini, biar aku mewakilimu!”

“Bocah sombong, sambutlah ini!”

Seorang diantara para piauwsu, yang bertubuh tinggi kurus, sudah menerjang maju dan menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah dada Bun Beng. Melihat gerakan orang itu, Bun Beng maklum bahwa orang kasar itu lebih memiliki tenaga kasar daripada ilmu silat yang tinggi, maka diapun tidak mau menangkis atau mengelak, bersikap seperti tidak tahu bahwa dia sedang dipukul.

“Bukkkk!”

“Aduuhhh....!”

Orang tinggi kurus itu memekik kesakitan dan memegangi tangan kanannya yang membengkak seolah-olah yang dipukulnya tadi adalah benda dari baja yang amat keras. Bun Beng hanya tersenyum saja, sama sekali tidak mempedulikan orang yang telah memukulnya tadi melainkan memandang kepada pemimpin rombongan, kakek yang bersikap penuh wibawa itu.

“Hemmm, kiranya engkau memiliki kepandaian juga, orang muda. Pantas engkau bersikap sombong!” Kakek itu melangkah maju. “Biarlah aku memberanikan diri berkenalan dengan tubuhmu yang kebal.”

“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua), biarkan siauwte (adik) menghadapinya, tidak perlu Twa-suheng sendiri yang maju!”

Ucapan ini keluar dari mulut seorang diantara mereka yang usianya hampir lima puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti orang menderita penyakit, kepalanya kecil dan wajahnya pucat. Melihat adik seperguruannya ini, kakek itu mengangguk, dan berkata,

“Boleh engkau mencobanya, Sute. Akan tetapi hati-hatilah orang muda she Gak ini agaknya lihai sehingga dia berani bersikap keras kepala dan sombong.”

“Cu-wi yang keterlaluan, bukan aku yang keras kepala, melainkan Cu-wi sendiri yang enggan mengalah biarpuh fihak Cu-wi bersalah.”

Bun Beng membantah dan memandang Si Kurus Muka Pucat itu. Dia maklum bahwa orang yang seperti berpenyakitan itu sama sekali tidak boleh disamakan dengan orang kasar tadi, maka dia tidak berani memandang rendah dan bersikap hati-hati.

“Orang muda, sambutlah seranganku ini!”

Orang kurus itu berseru nyaring dan tubuhnya sudah mencelat ke depan. Tepat seperti yang diduga oleh Bun Beng, gerakan orang itu cepat bukan main, membuktikan bahwa dia memiliki gin-kang yang sudah tinggi tingkatnya, dan dia menyerang Bun Beng bukan mengandalkan tenaga kasar seperti penyerang pertama tadi, melainkan dengan totokan jari tangan ke arah jalan darah di dada kanan dan di pundak kiri Bun Beng, dua totokan sekaligus secara berbareng!

Namun, dari sambaran angin serangan ini, Bun Beng juga sudah dapat mengukur tenaga lawan, maka dia tidak khawatir akan totokan-totokan itu, menutup jalan darahnya di pundak, kemudian dengan tenang sekali dia menyambut tangan yang menotok dadanya dengan totokan jari telunjuk tangan kirinya sedangkan totokan ke arah pundaknya dia terima begitu saja tanpa dielakkan. Jari telunjuknya tepat sekali menotok telapak tangan kanan lawan pada saat pundaknya juga terkena totokan tangan kiri Si Kurus Pucat itu.

“Cusss! Desss!”

“Aihhh!”

Si Muka Pucat itu berseru kaget, cepat melompat ke belakang, akan tetapi dia terhuyung dan lengan kanannya menjadi lumpuh sedangkan jari tangan kirinya yang menotok pundak tadipun merasa nyeri bukan main. Dia meringis dan menggunakan tangan kirinya mengurut-urut lengan kanan yang lumpuh ketika telapak tangannya, pada jalan darah yang berpusat diantara ibu jari dan telunjuknya, tertotok oleh telunjuk tangan kiri Bun Beng.

“Minggir semua!”

Pemimpin para piauwsu membentak ketika melihat teman-temannya maju, agaknya hendak mengeroyok Bun Beng. Dia terkejut bukan main melihat betapa pemuda yang bertopi bundar lebar itu dalam segebrakan saja telah dapat mengalahkan sutenya yang dia tahu bukanlah seorang yang lemah. Mengertilah dia bahwa pemuda itu ternyata merupakan seorang yang berilmu tinggi.

“Orang muda, engkau ternyata lihai bukan main. Biarlah sekarang aku sendiri mewakili Bu-tong-pai untuk mencoba kelihaianmu!”

Kakek itu menggerakkan tangan kanannya dan terdengar suara “singgg!” ketika sebatang pedang telah dicabutnya. Pedang itu tergetar di tangan kanannya, mengeluarkan cahaya berkilauan.

“Lo-enghiong (Orang Tua Gagah), aku tidak mau menghadapimu kalau engkau mempergunakan nama Bu-tong-pai. Perselisihan paham diantara kita ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Bu-tong-pai, melainkan sebagai orang-orang saling bertemu di jalan dan bentrok karena mempertahankan kebenaran masing-masing.”

“Terserah kepadamu, akan tetapi keluarkanlah senjatamu. Aku ingin menyaksikan sampai dimana kelihaianmu!”

Kakek itu melintangkan pedangnya di depan dada dan sikapnya amat menantang. Agaknya kakek itu sudah marah sekali melihat kedua orang adik seperguruannya telah dikalahkan sedemikian mudahnya oleh pemuda yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw itu.

Bun Beng tersenyum dan masih bersikap tenang.
“Lo-enghiong, bentrokan diantara kita hanyalah kesalah pahaman belaka yang timbul karena Cu-wi (Anda Sekalian) merasa terlalu besar untuk mengalah, sama sekali bukan berarti bahwa diantara kita terdapat permusuhan besar. Kita sudah mengambil keputusan untuk mempertahankan pendirian dan kebenaran masing-masing dengan kepalan, mengapa sekarang Lo-enghiong mengeluarkan senjata? Senjata tidak bermata, apakah Lo-enghiong berniat untuk membunuh aku hanya karena perselisihan kecil ini?”

“Orang muda, engkau memiliki ilmu silat yang lihai, apakah engkau berpura-pura tidak tahu bahwa dalam sebuah pibu (pertandingan mengadu ilmu silat), luka-luka atau kematian merupakan hal yang wajar? Sudahlah, tidak perlu kita berkepanjangan dan bicara yang tiada gunanya. Keluarkan senjatamu dan hadapi pedangku. Kalau aku kalah, baik terluka atau tewas dalam tanganmu, berarti pihakku bersalah dalam urusan ini dan kami takkan banyak cakap lagi.”

Bun Beng menarik napas panjang. Memang bentrokan ini tak dapat dihindarkan pikirnya. Kakek pemimpin para piauwsu ini memiliki keangkuhan tinggi. Dia merasa serba salah. Kalau dia teringat akan Ang-lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa, ketua Bu-tong-pai, sungguh tidak enak kalau dia harus bentrok dengan anak muridnya. Apalagi kalau dia teringat akan Ang Siok Bi, dara jelita puteri ketua itu, yang pernah hendak dijodohkan dengan dia!

Betapapun juga, tidak mungkin dia membiarkan saja para piauwsu ini menekan kepada orang muda yang isterinya telah dihina itu. Akan tetapi, tak mungkin pula dia sampai harus mengeluarkan Hok-mo-kiam seperti menghadapi seorang musuh besar saja.

“Lo-enghiong, engkau yang menghendaki menggunakan senjata, bukan aku. Karena itu, kalau engkau berkeras hendak menggunakan pedang, silahkan. Aku sendiri hanya akan mengandalkan kaki dan tangan.”

Ucapan yang terus terang ini diterima salah oleh kakek itu. Dia sudah mengeluarkan pedang, dan pemuda itu tetap hendak menghadapinya dengan tangan kosong saja, berarti pemuda ini terlalu memandang rendah kepadanya. Kemarahannya meluap dan dia membentak,

“Pemuda sombong! Kalau begitu, rasakanlah kelihaian Bu-tong-kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai)!”

“Singgg.... wirrr.... siuuuttt!”

Sinar pedang berkelebatan, tiga kali kakek itu menyerang, dua kali menusuk dan satu kali membabat. Ketika Bun Beng cepat-cepat menggerakkan tubuhnya, gerakan yang sedikit saja namun sudah dapat menghindarkan tubuhnya dari ketiga serangan itu, kakek murid Bu-tong-pai menjadi terkejut dan penasaran. Pedangnya diputar cepat sekali sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi gulungan sinar putih dan hanya kadang-kadang saja tampak bentuk pedang menjadi banyak.

Gulungan sinar ini menyambar-nyambar dan mengurung tubuh Bun Beng, namun pemuda itu yang tentu saja dapat melihat dengan jelas gerakan pedang ini, dengan tepat dapat mengelak ke kiri, kadang-kadang menggunakan tangannya menepuk dan menyampok lengan lawan sehingga gerakan pedang itu menyeleweng. Dengan cara mengelak dan menangkis ini, Bun Beng membiarkan lawannya melakukan penyerangan sampai dua puluh jurus!

“Belum cukupkah, Lo-enghiong?”

Bun Beng bertanya. Dia sengaja mengalah dan kalau secara ini kakek itu belum mengerti bahwa kepandaiannya masih jauh kalah oleh pemuda yang diserangnya, benar-benar kakek itu keterlaluan sekali. Demikian pikir Bun Beng.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar