FB

FB


Ads

Selasa, 27 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 099

Suma Han menarik napas panjang.
“Aku kasihan kepada orang-orang sesat seperti itu. Mudah-mudahan kekalahan mereka ini menjadi pelajaran dan membuat mereka bertobat. Pula, aku tidak menghendaki pembunuhan di pulau ini, apalagi aku tidak ingin memulai hidup baru kita dengan pembunuhan.”

“Akan tetapi mereka telah membunuh pembantumu!” kata Nirahai.

Suma Han terkejut dan menengok, seolah-olah baru teringat kepada pembantunya yang setia itu. Dengan cepat dia menghampiri, diikuti oleh Nirahai dan Lulu. Mereka bertiga berlutut dekat Phoa Ciok Lin yang masih rebah diatas tanah dipeluki oleh Kwi Hong yang masih menangis terisak-isak.

Melihat keadaan Phoa Ciok Lin yang dadanya ditembus tombak, Suma Han maklum bahwa nyawa pembantunya itu tak mungkin ditolong lagi. Melihat muridnya atau keponakannya, alisnya berkerut. Dara inilah yang menjadi gara-gara, pikirnya penuh kekecewaan dan penyesalan.

“Perlu apa engkau menangis lagi? Menangis setelah terlambat tiada gunanya! Mengapa sebelumnya engkau tidak berpikir panjang dan percaya kepada orang-orang seperti mereka?”

Tangis Kwi Hong semakin meledak ketika dia mendengar suara yang bernada penuh teguran dari pamannya itu. Dia merebahkan tubuh Phoa Ciok Lin perlahan-lahan diatas tanah, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Han sambil menangis dan berkata,

“Harap Paman bunuh saja aku yang berdosa ini!”

Suma Han memandang tajam, kerut di alisnya makin mendalam.
“Hemm, pernahkah aku mengajarmu bersikap seperti pengecut ini? Setiap orang membuat kesalahan, dan sikap terbaik adalah menyadari kesalahan itu, bukan dengan penyesalan yang menimbulkan keinginan untuk bunuh diri! Sekarang aku mempunyai tugas untukmu, kalau engkau melaksanakan tugas ini dengan baik berarti engkau mempunyai keinginan untuk menebus kesalahanmu. Sanggupkah engkau?”

“Biar harus mengorbankan nyawa, akan saya laksanakan tugas itu, harap Paman lekas beritahukan kepada saya.”

“Kau pergilah meninggalkan pulau ini, carilah Milana sampai dapat, bawa dia ke pulau ini menyusul kami. Juga kau selidiki dimana adanya Gak Bun Beng yang sudah kusuruh mencari Milana. Mereka telah kami tunangkan dan keduanya harus menyusul kami disini untuk dilaksanakan pernikahannya. Juga kau harus mencari Wan Keng In, selain minta dia menyerahkan Lam-mo-kiam juga katakan kepadanya bahwa ibunya telah berada di Pulau Es, menjadi isteriku. Nah, berangkatlah!”

Wajah Kwi Hong seketika pucat ketika dia mendengar perintah ini. Biarpun amat sukar menundukkan Wan Keng In, apalagi memaksanya menyerahkan Lam-mo-kiam dan mengajaknya ke Pulau Es, namun hal itu masih tidak membuat dia terkejut. Yang membuat wajahnya pucat adalah ketika dia mendengar akan pertunangan antara Gak Bun Beng dan Milana! Jantungnya seperti ditusuk rasanya dan cepat menundukkan mukanya untuk menyembunyikan kepucatan wajahnya dan dua titik air mata yang sudah bergantung di bulu matanya.

Dia mengangguk, kemudian menerima pedang Li-mo-kiam yang disodorkan pamannya. Tanpa menjawab, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dia sudah berlari-lari ke pantai, meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang tadi dipergunakan oleh Phoa Ciok Lin, dan meluncurkan perahu dengan cepatnya menuju ke utara, melalui celah-celah pegunungan es yang terapung di lautan.

Suma Han berdiri tegak memandang bayangan keponakannya itu dengan alis berkerut. Pendekar Super Sakti ini diam-diam merasa kasihan dan terharu. Dia memang sengaja tadi memberitahukan tentang pertunangan antara Bun Beng dan Milana, karena dia tahu bahwa keponakannya itu menaruh hati cinta kepada Bun Beng. Dia ingin agar keponakannya yang mudah dibujuk orang jahat itu belajar melihat kenyataan hidup dan menghadapinya dengan penuh keberanian!

Hal ini akan menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri, membuatnya waspada dan tidak lengah. Mengingat betapa dia telah menggembleng dara itu, dan bahwa Bu-tek Siauw-jin juga sudah menurunkan ilmu kepada keponakannya itu, dia tidak khawatir lagi akan keselamatan Kwi Hong yang tentu sudah cukup kuat untuk menjaga diri, apalagi dengan Li-mo-kiam di tangannya.






“Taihiap engkau sungguh kejam.!”

Mendengar suara Phoa Ciok Lin, Suma Han cepat menengok lalu berlutut di dekat kedua isterinya. Kiranya pembantunya itu telah siuman dari pingsannya dan kini memandang kepadanya dengan muka pucat sekali dan mata sayu. Dengan terharu dia memegang tangan wanita yang sedang sekarat itu tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.

“Taihiap, apakah engkau tidak tahu.... bahwa Kwi Hong mencinta Bun Beng seperti.... seperti.... aku mencintamu? Aku bukan seorang muda, aku dapat melihat bahwa cintaku sia-sia, bahwa aku bertepuk sebelah tangan.... dan demi cintaku.... aku bahagia menyaksikan engkau telah dapat berkumpul dengan kedua orang wanita yang kau cinta. Aku.... aku.... demi cintaku kepadamu, aku dengan senang hati suka berkorban, aku akan mati dengan hati tenteram.... akan tetapi Kwi Hong masih muda sekali! Dapatkah dia bersikap seperti aku? Taihiap.... kasihan dia.... entah apa yang akan terjadi dengan dia.... tapi.... aku percaya kepadamu Taihiap, selamat tinggal....!”

Phoa Ciok Lin menghembuskan napas terakhir, dan agaknya kekhawatiran di dalam hatinya mengenai nasib Kwi Hong tidak dapat mengusir kebahagiaan hatinya menyaksikan orang yang amat dikasihinya itu akhirnya dapat berkumpul dengan Lulu dan Nirahai, sehingga tepat seperti yang diucapkannya tadi, dia menghembuskan napas terakhir dengan senyum di bibirnya!

Suma Han menarik napas panjang, berbisik,
“Ciok Lin, akupun cinta padamu, akan tetapi bukan cinta seperti yang kau maksudkan itu.”

Kemudian, dibantu oleh Lulu dan Nirahai yang tidak berkata sesuatu, Suma Han menguburkan jenazah Phoa Ciok Lin di bagian yang paling tinggi di pulau itu agar kuburannya tidak selalu tertimbun oleh salju.

Ketika mereka bertiga berdiri di depan kuburan itu dan kebetulan mereka menghadap ke selatan, mereka melihat udara di selatan amat gelap dan tampak kilat menyambar-nyambar dan awan hitam bergumpal-gumpal amat menakutkan. Nirahai yang belum pernah menyaksikan penglihatan seperti itu, menjadi ngeri dan memegang tangan suaminya.

“Ihhh! Apakah disana itu?”

Lulu yang menjawabnya, karena Lulu sudah bertahun-tahun tinggal di Pulau Es ini,
“Badai. Di selatan ada badai mengamuk, Suci. Dan anjing-anjing tadi yang disini mendapat pengampunan, ternyata tidak diampuni oleh Tuhan. Mereka tentu tewas semua ditelan badai!”

“Untung bahwa Kwi Hong tadi mengambil jalan ke utara.”

Suma Han berkata. Dia menggandeng tangan kedua orang wanita itu dan dengan penuh kasih sayang mereka bertiga berjalan bergandengan menuju ke istana Pulau Es, menuju ke hidup baru setelah belasan tahun ketiga orang sakti ini merana oleh cinta yang putus diantara mereka.

Mereka tidak memikirkan apa-apa lagi. Mereka hendak melepaskan rindu selama belasan tahun itu, melepaskan dahaga dengan menghirup madu cinta kasih diantara mereka sekenyang dan sepuas mungkin!

**** 099 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar