FB

FB


Ads

Selasa, 27 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 098

“Paman, jangan! Lebih baik aku mati!”

“Diam kau!” Suma Han membentak dan Kwi Hong hanya terisak menangis.

“Im-kan Seng-jin, bebaskan Kwi Hong, baru akan kuserahkan kepadamu peti berisi pusaka ini!” kembali Phoa Ciok Lin mendesak, wajahnya yang cantik itu agak pucat.

Bhong Ji Kun tersenyum lega. Setelah mendapatkan janji Suma Han, siapa lagi yang dia takuti? Dia lalu memberi isyarat dengan anggukan kepala kepada Gozan dan Thai-lek-gu. Dua orang ini lalu melepaskan belenggu kaki tangan Kwi Hong, lalu mendorong tubuh dara yang sudah lemas dan lemah itu ke arah Pendekar Super Sakti.

Kwi Hong jatuh berlutut di depan kaki pamannya, menangis terisak-isak dan tidak berani mengangkat muka. Suma Han sama sekali tidak mempedulikan dia, hanya memandang ke arah Phoa Ciok lin dengan alis berkerut dan hati menekan kegelisahan.

“Tawanan telah kubebaskan, berikan peti itu!”

Bhong Ji Kun berkata sambil mengulur tangan hendak mengambil peti dari tangan Phoa Ciok Lin. Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara ketawa aneh, petinya terlempar ke belakang, ke arah Suma Han, sedangkan dia sendiri seperti gila telah menubruk bekas Koksu itu dengan pukulan kedua tangannya, pukulan maut yang amat berbahaya.

“Ciok Lin, jangan....!” Suma Han berseru mencegah pembantunya.

Namun terlambat. Serangan Phoa Ciok Lin yang hebat itu membuat Bhong Ji Kun terkejut bukan main. Untuk mengelak sudah tiada kesempatan lagi, maka dia hanya dapat menangkis pukulan kearah pusarnya yang amat berbahaya dan terpaksa menerima tamparan pada dadanya.

“Desss....!”

Phoa Ciok Lin adalah murid nenek yang terkenal sebagai datuk kaum sesat, Toat-beng Ciu-sian-li, maka tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi. Apalagi setelah dia menjadi pembantu Pendekar Super Sakti dan memperdalam ilmunya selama bertahun-tahun di Pulau Es. Biarpun tentu saja dia masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan bekas Koksu yang sakti itu, namun pukulannya itupun bukanlah pukulan ringan sehingga tubuh Koksu yang sakti itu sampai roboh terjengkang.

Akan tetapi dia sendiripun terhuyung ke kiri karena daya tolak tenaga sin-kang bekas Koksu yang lihai itu. Dan tampak sinar putih berkelebat disusul keluhan Phoa Ciok Lin yang roboh terguling, dadanya terluka oleh tombak di tangan Sin-jio Ciat Leng Souw yang menyerangnya dengan kecepatan kilat sehingga Suma Han sendiri sampai tercengang dan tidak mampu mencegahnya.

“Bibi....!”

Kwi Hong menjerit dan meloncat menubruk Phoa Ciok Lin, mengangkat tubuhnya dan membawanya ke pinggir.

Terdengar suara melengking tinggi nyaring dan tahu-tahu tubuh Suma Han telah berada di depan Bhong Ji Kun yang sudah bangkit kembali. Setelah menyerahkan peti pusaka dalam perlindungan Lulu dan Nirahai, Suma Han dengan marah kini menghadapi bekas Koksu dan para pembantunya.

“Bhong Ji Kun!”

Suaranya terdengar tegas dan penuh wibawa sehingga bekas Koksu itu dan para pembantunya memandang dengan hati gentar, akan tetapi juga dengan kesiap-siagaan para jagoan yang tahu bahwa mereka menghadapi seorang lawan tangguh.

“Sebagai penghuni Pulau Es menghadapi orang-orang yang mengotorkan pulau, aku menantang kalian untuk mengadu ilmu!”

Bhong Ji Kun tentu saja menjadi penasaran dan marah sekali, juga kecewa. Ia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek.

“Ha-ha-ha, Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es yang terkenal itu ternyata hanyalah seorang yang suka bermain curang! Hendak menarik kembali janjinya, melanggar janji seperti seorang yang rendah. Hendak kemana kau taruh mukamu nanti?”

“Bhong Ji Kun, mulutmu lancang sekali! Kuhancurkan nanti!” Nirahai berteriak marah mendengar suaminya tercinta dimaki orang.

Namun Suma Han bersikap tenang, biarpun pandang matanya tajam menusuk.
“Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, siapakah yang curang? Aku tadi berjanji tidak menghalangi apabila pembantuku menyerahkan peti. Akan tetapi dia tidak menyerahkan peti kepadamu, hal itu adalah urusan antara kamu dan dia! Dia menipumu dan engkau telah membebaskan Kwi Hong dan mengeroyok pembantuku sampai terluka hebat. Perbuatanmu sungguh tidak patut. Antara kita tidak ada perjanjian apa-apa lagi.”

“Ha-ha-ha! Bukankah kau berjanji bahwa kalau kami membebaskan muridmu, engkau akan membiarkan kami pergi tanpa mengganggu?”

“Benar! Akan tetapi ingat, engkau membebaskan Kwi Hong bukan karena perjanjian antara kita, melainkan karena perjanjianmu dengan Phoa Ciok Lin. Sekarang aku menantang kalian mengadu ilmu, dan kalau kalian tidak berani, aku baru mau melepaskan kalian kalau kalian mau berlutut dan minta ampun kepada kedua orang isteriku!”

Bhong Ji Kun membelalakkan matanya. Kiranya pendekar ini telah akur kembali dengan Puteri Nirahai! Dan Ketua Pulau Neraka itupun telah menjadi isterinya! Bukan main! Akan tetapi dia tidak berani menyatakan sesuatu akan pengakuan pendekar itu, apalagi mengejek, karena kalau hal itu dia lakukan, tentu dia akan celaka di bawah tangan suami isteri, tiga orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu!

Kalau harus berlutut minta ampun, benar-benar hal ini amat berat. Dia adalah bekas Koksu, bahkan seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw. Demikian pun para pembantunya adalah orang-orang gagah yang lebih menghargai nama dan kehormatan daripada nyawa.

“Pendekar Siluman!” teriaknya dengan muka merah. “Menyuruh kami berlutut minta ampun sama dengan menyuruh matahari timbul dari barat!”

“Bagus, kalau begitu majulah, dan juga para pembantumu, terutama yang memegang tombak cagak gagang panjang itu!”

Suma Han melirik ke arah Ciat Leng Souw karena hatinya masih panas mengingat betapa pembantunya, Phoa Ciok Lin roboh oleh tombak orang ini.

“Wuuuuttt.... syettt!”

Sin-jio Ciat Leng Souw dengan gerakan tangkas sudah meloncat dan berdiri tegak di depan Suma Han, tombaknya yang panjang itu dipalangkan di depan dada, sikapnya gagah sekali dan matanya menentang lawan sambil memperhatikan keadaan pendekar yang amat terkenal itu, kemudian berkata,






“Pendekar Siluman! Orang lain mungkin takut mendengar namamu, tetapi, aku Sin-jio Ciat Leng Souw sama sekali tidak gentar untuk menghadapimu!”

Suma Han memandang orang tinggi besar itu. Sekelebatan saja matanya yang tajam dapat menaksir keadaan calon lawan ini. Tentu memiliki tenaga yang amat kuat dan ilmu tombak yang sakti. Sayang bahwa orang gagah ini sampai dapat terbujuk menjadi kaki tangan Bhong Ji Kun. Kalau dia menghendaki, dengan kekuatan sihir, tentu Suma Han akan dapat menundukkan calon lawan ini dengan mudah.

Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini. Dia telah menunjukkan kegagahannya kepada dua orang isterinya, telah menunjukkan kejantanan dengan memaksa mereka mengikutinya ke Pulau Es. Sekarangpun dia harus memperlihatkan, tidak hanya kepada kedua isterinya tercinta, akan tetapi juga kepada Bhong Ji Kun dan semua pembantunya bahwa nama Pendekar Super Sakti sebagai Majikan Pulau Es bukanlah nama kosong belaka, dan bahwa dia, tanpa bantuan siapapun, akan dapat mempertahankan pulaunya.

“Bagus! Engkau seorang pemberani dan gagah, Ciat Leng Souw, dan tentu ilmu tombakmu lihai sekali. Cobalah robohkan aku seperti engkau merobohkan pembantuku secara membokong tadi!”

Mendengar tantangan yang mengandung teguran dan ejekan ini merahlah muka Ciat Leng Souw. Dia adalah seorang tokoh yang terkenal di selatan dan belum pernah tombaknya menemui tandingan. Kalau tadi dia turun tangan melukai Phoa Ciok Lin adalah karena melihat wanita itu menggunakan kecurangan dan mengancam keselamatan Bhong Ji Kun.

Melihat betapa Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan para orang gagah yang membantu bekas Koksu itu kelihatan gentar menghadapi Suma Han, dia sudah merasa penasaran sekali. Dia sudah banyak mendengar nama Pendekar Super Sakti, akan tetapi melihat betapa pendekar yang disohorkan orang itu hanya seorang yang sederhana dan berkaki buntung, dia makin penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya. Kini kesempatan itu tiba. Mendengar ucapan Suma Han, Ciat Leng Souw mengeluarkan suara menggereng dan tombak panjangnya sudah bergerak meluncur dan menyambar ke arah dada Suma Han dengan tusukan kilat.

“Trakk!”

Tombak itu tertangkis oleh tongkat di tangan kiri Suma Han. Benar saja dugaan pendekar buntung itu, tenaga jago dari selatan ini memang kuat sekali. Betapapun juga, kalau Suma Han menghendaki, dengan pengerahan sin-kangnya yang mujijat, dia akan dapat mengalahkan lawan dalam pertemuan tenaga pertama kali itu.

Akan tetapi dia tidak mau mengalahkan lawan dengan menggunakan sin-kangnya yang jarang ada tandingannya, juga tidak mau menggunakan kekuatan pandang matanya yang dapat melumpuhkan pikiran orang.

Melihat betapa lawannya sudah cepat sekali menarik kembali tombaknya yang tertangkis lalu menggerakkan tombak dengan lihai sehingga tampak sinar panjang menyambar-nyambar, Suma Han cepat menghindar dan selanjutnya dia mempergunakan ilmunya yang amat dahsyat, yaitu Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun. Ilmu silat yang mujijat ini merupakan gerakan-gerakan berdasarkan gin-kang yang hanya dapat dilakukan oleh orang berkaki buntung!

Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung terbang dan betapapun Ciat Leng Souw mainkan tombaknya dengan hebat, tetap saja gerakan tombaknya tidak dapat mengikuti berkelebatnya bayangan lawan yang makin lama makin cepat seperti kilat menyambar-nyambar dan sebentar saja kepalanya menjadi pusing dan pandang matanya berkunang karena bayangan lawannya menjadi bertambah banyak! Hal ini bukan terjadi karena ilmu sihir, melainkan saking cepatnya Suma Han bergerak.

“Siluman....!” Ciat Leng Souw berseru dan dia mulai merasa gentar.

“Krekkk! Plak! Plak!”

Tubuh yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang, wajahnya pucat dan dari mulutnya mengalir darah segar, tombaknya patah-patah dan akhirnya dia roboh terguling dan mengeluh. Suma Han telah berdiri dengan tegak, tongkat di tangan dan dia tidak mempedulikan lagi Ciat Leng Souw yang dirobohkannya.

Pendekar ini dengan sikap tenang menanti majunya jago lain di fihak musuh. Dia telah berhasil mengalahkan Ciat Leng Souw tanpa membunuhnya, hanya mematahkan tombaknya dan dua kali menampar pundak lawan, membuat tulang kedua pundak Ciat Leng Souw patah!

Melihat ini, Gozan, jagoan Mongol yang seperti raksasa, Liong Khek, Si Muka Pucat yang bersenjatakan pancing, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut yang bertangan panjang dengan sepasang golok jagal babinya, dan tiga orang panglima kaki tangan Bhong Ji Kun sudah bergerak maju mengurung Suma Han.

“Tak tahu malu!” Lulu membentak.

“Betapa gagahnya, main keroyokan!” Nirahai juga mengejek.

“Biarkan saja tikus-tikus ini, kalian jaga saja peti itu!”

Suma Han menoleh kepada dua orang isterinya sambil tersenyum. Padahal tanpa dia beritahupun Nirahai dan Lulu tidak akan bergerak membantu suami mereka karena mereka maklum bahwa menghadapi pengeroyokan itu, suami mereka tidak perlu dibantu, apalagi mereka bertugas menjaga peti pusaka Istana Pulau Es.

Gozan sebagai seorang jagoan Mongol yang juga memandang rendah Suma Han, apalagi dia mengandalkan ilmu gulatnya dan tenaganya, sudah tidak sabar lagi dan sambil memekik dia lari menerjang dan hendak menangkap pendekar kaki buntung itu dengan kedua lengannya yang berotot kuat. Menghadapi serangan ini, Suma Han hanya berdiri tenang saja, bahkan ia tidak mengelak sama sekali ketika kedua tangan lawan ini mencengkeram pundak dan pinggangnya.

Akan tetapi, betapa terkejut hati Gozan ketika dia merasa seolah-olah jari-jari tangannya mencengkeram baja yang dingin dan keras! Dia mengerahkan tenaga, hendak mengangkat tubuh itu dan membantingnya namun betapapun dia mengerahkan seluruh tenaganya, tubuh yang hanya berdiri dengan satu kaki itu sama sekali tidak bergoyang.

“Pergilah!” Suma Han membentak sambil menggoyangkan tubuh dengan gerakan berputar.

“Krekk! Krekk!”

Gozan terpelanting roboh dan mengaduh-aduh, kedua lengannya tergantung lumpuh karena sambungan siku dan pergelangan kedua tangannya telah terlepas, terbawa oleh gerakan memutar tubuh Pendekar Super Sakti tadi.

Liong Khek dan teman-temannya sudah menerjang maju, menggunakan senjata mereka. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh Suma Han. Pendekar ini tenang-tenang saja memegang tongkatnya, kemudian secara tiba-tiba tongkatnya diputar, dan terdengarlah suara nyaring disusul runtuhnya senjata para pengeroyok yang patah-patah dan terpental kesana-sini, kemudian tampak bayangan Suma Han berkelebat diantara mereka.

Para pengeroyok mengeluh panjang pendek dan seorang demi seorang terlempar kekanan kiri tanpa dapat melawan lagi karena sambaran tongkat Suma Han yang terarah dan dengan tenaga terbatas para pengeroyok itu menderita patah tulang, tertotok lumpuh, atau terluka dalam!

Belasan orang itu roboh hanya dalam waktu belasan jurus saja! Tadinya memang hanya enam orang yang maju, akan tetapi begitu Gozan roboh, semua kaki tangan bekas Koksu itu maju mengeroyok. Kini hanya tinggal Bhong Ji Kun dan Thian Tok La-ma berdua saja masih berdiri dengan muka agak pucat, namun sikap mereka ditenang-tenangkan ketika Suma Han menghadapi mereka.

“Bhong Ji Kun, sekarang aku ingin merasai kelihaianmu. Dan Thian Tok La-ma, kita adalah lawan-lawan lama yang sudah puluhan tahun tak pernah saling mengukur kepandaian. Agaknya engkau telah memperoleh kemajuan hebat, hanya sayangnya, semenjak dahulu kedudukanmu tidak mengalami kemajuan dan selalu menjadi kaki tangan pemberontak!”

Wajah Thian Tok Lama menjadi merah mendengar ejekan ini, karena memang dia dan sutenya yang sudah tewas, Thai Li Lama, dahulu pernah terlibat pula dalam pemberontakan (baca cerita Pendekar Super Sakti).

Thian Tok Lama sudah pernah mengalami bertanding melawan Pendekar Super Sakti dan dia merasa gentar karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah jauh oleh Majikan Istana Pulau Es itu, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk mengaku kalah, apalagi disitu ada Bhong Ji Kun yang dia andalkan.

Bekas Koksu ini biasanya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri, namun biar dia belum pernah bentrok dan mengadu ilmu melawan Pendekar Super Sakti, nama pendekar ini membuat dia merasa gentar, apalagi setelah menyaksikan betapa dengan mudah saja pendekar itu tadi merobohkan semua anak buahnya nyalinya menjadi kecil. Dia memang cerdik dan dengan suara dibuat-buat agar tidak kentara perasaan jerihnya, dia bertanya,

“Suma-tocu, apakah engkau menantang kami maju berdua? Benarkah engkau berani menghadapi kami berdua tanpa bantuan orang lain?”

Berkata demikian bekas Koksu itu sengaja melirik ke arah Nirahai dan Lulu. Kalau seorang saja diantara kedua orang wanita sakti itu maju, tentu dia dan Thian Tok Lama takkan mampu menandinginya. Akan tetapi kalau pendekar kaki buntung sebelah ini dia keroyok bersama Thian Tok Lama dia masih tidak percaya kalau mereka berdua tidak akan mampu keluar sebagai pemenang!

“Bhong Ji Kun manusia pengecut!” Nirahai membentak marah. “Beraninya hanya main keroyok. Hayo kau lawan aku kalau memang ada kepandaian!”

“Akupun siap menghadapimu satu lawan satu!” Lulu juga menantang.

Bhong Ji Kun tersenyum.
“Bukan kami yang menantang, melainkan Suma-tocu. Kalau dia tidak berani, kamipun tidak akan memaksa.”

“Im-kan Seng-jin tak perlu banyak cakap lagi. Majulah bersama Thian Tok Lama, aku sudah siap menghadapi kalian berdua.”

Terdengar Suma Han berkata, suaranya tenang karena dia tidak dapat dipanaskan hatinya oleh sikap dan ucapan Bhong Ji Kun yang cerdik.

“Tar-tar-tar....!”

Pecut merah di tangan bekas Koksu itu meledak-ledak di udara. Kini dia bersikap sungguh-sungguh dan telah melangkah maju dengan senjata istimewa itu di tangan. Juga Thian Tok Lama sudah siap, lengan kanannya di gerakkan berputaran perlahan dan tangan itu berubah menjadi biru, sedangkan tangan kirinya memegang golok, diacungkan di atas kepala. Dengan langkah-langkah lambat kedua orang itu menghampiri Suma Han sambil mengatur posisi yang baik, pandang mata mereka tidak pernah berkedip ditujukan kepada Pendekar Super Sakti.

Suma Han berdiri dengan sikap tenang sekali, tidak bergerak seperti sebuah arca, tongkat di tangan kiri masih membantu berdirinya kaki tunggal itu, tubuh tegak akan tetapi mukanya menunduk, hanya pandang matanya yang bergerak perlahan mengikuti gerak-gerik kedua orang lawannya.

“Hyaaaattt....! Tar-tar-tar-tar....!”

“Haiiittt....! Sing-sing-sing-wuuutttt!”

Serangan yang datang mengikuti pekik yang keluar dari mulut Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama hampir berbareng itu datang bagaikan hujan kearah tubuh Suma Han. Pecut merah berubah menjadi sinar merah yang menyambar-nyambar dan meledak-ledak seperti halilintar, bertubi-tubi menyambar kearah kepala dan dada Pendekar Super Sakti.

Golok di tangan kiri Thian Tok Lama merupakan sinar putih yang bergulung-gulung membabat kearah kaki tunggal lawan, sedangkan tangan kanannya digerakkan dengan dorongan dahsyat ke arah pusar Suma Han, mengeluarkan uap hitam karena pukulan itu adalah pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang (Pukulan Sakti Api Angin dan Uap Hitam), dari perut pendeta Lama ini keluar suara kok-kok seperti ayam betina habis bertelur!

Suma Han maklum betapa lihainya kedua orang yang mengeroyoknya itu. Dia sudah mengenal kelihaian Thian Tok La-ma dan sudah dapat mengukur sampai dimana tingkat ilmu kepandaian kakek pendeta dari Tibet ini, akan tetapi dia belum hafal benar akan sifat dan tingkat ilmu silat Bhong Ji Kun, karena itulah maka dia berlaku hati-hati dan tadi hanya bersikap menanti dan berjaga-jaga.

Setelah melihat kedua orang lawannya secara tiba-tiba dan serentak menerjangnya secara dahsyat, Suma Han segera mengerahkan tenaga dan mempergunakan ilmunya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun. Tubuhnya melesat kesana-sini, cepatnya melebihi sinar senjata lawan, bagaikan kilat menyambar untuk menghindarkan diri dari serbuan kedua orang lawannya.

Ketika tubuhnya dapat lolos dari kurungan serangan kedua orang dan melesat ke udara, tampak sinar merah pecut berkelebat menyambar dari bawah mengejar bayangan Suma Han. Pendekar Super Sakti diam-diam merasa terkejut dan kagum akan kecepatan gerak senjata lawan, namun tidak menjadi gugup, kaki tunggalnya digerakkan dan tubuhnya membalik, tongkatnya menangkis sinar cambuk merah.

“Tarrr....!”

Tampak asap mengepul dari pertemuan dahsyat antara tongkat dan cambuk itu, dan Suma Han sudah melayang turun lagi. Diam-diam dia kagum juga akan kelihaian lawan karena dalam pertemuan tenaga tadi tahulah dia bahwa tenaga sakti bekas Koksu ini lebih kuat daripada Thian Tok Lama!

Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membanding lebih lama lagi karena cambuk merah itu sudah meledak-ledak mencari sasaran, sedangkan golok di tangan Thian Tok Lama juga sudah menerjangnya secara bertubi-tubi.

Suma Han menggerakkan tongkatnya, menangkis semua serangan kedua orang pengeroyoknya. Sampai tiga puluh jurus lebih pendekar ini hanya menjaga diri, mengelak dan menangkis untuk menguji lawan.

Melihat sikap suami mereka itu, Lulu dan Nirahai hampir kehilangan kesabaran mereka. Kalau saja mereka menurutkan watak mereka yang dahulu, tentu mereka sudah tadi-tadi turun tangan membunuh bekas Koksu dan pendeta Tibet itu. Akan tetapi mereka merasa takut kepada suami mereka, takut kalau suami mereka marah!

Apalagi karena mereka yakin bahwa suami mereka tidak akan kalah, maka kedua orang wanita perkasa itu hanya menonton. Peti pusaka Istana Pulau Es terletak di depan kaki mereka. Adapun semua anak buah Bhong Ji Kun biarpun tidak ada yang tewas dan hanya terluka ketika mereka dirobohkan Suma Han, tidak ada yang berani maju lagi membantu Bhong Ji Kun. Mereka hanya menonton dan tentu saja mengharapkan agar dua orang kakek itu dapat mengalahkan Pendekar Super Sakti.

Ternyata harapan mereka itu kosong belaka karena kini Pendekar Super Sakti mulai membuat gerakan balasan dengan tongkatnya. Begitu tongkat di tangan kirinya itu menambah gerakan menangkis dengan serangan dahsyat, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama terdesak hebat dan terpaksa banyak mundur karena betapapun mereka memutar senjata, beberapa kali ujung tongkat itu tahu-tahu telah menyelonong depan hidung mereka dan mengancam bagian tubuh yang lemah.

Ini memang siasat Suma Han yang dalam segala hal, juga dalam pertandingan, bersikap tenang dan penuh perhitungan. Kalau saja dia tadi tidak bersikap mengalah dan mempertahankan diri, kiranya tidak mudah baginya untuk mendesak kedua orang lawannya yang juga memiliki kepandaian sangat tinggi, terutama sekali mendesak Bhong Ji Kun.

Akan tetapi, ketika dia hanya mempertahankan diri selama tiga puluh jurus lebih tadi, diam-diam dia mempelajari dasar gerak kedua orang lawannya, terutama sekali gerakan cambuk Bhong Ji Kun, karena dia sudah tahu akan kepandaian Thian Tok Lama. Tiga puluh jurus cukuplah bagi Pendekar Super Sakti ini, dan setelah mengenal dasar gerakan lawan, barulah kini dia mengeluarkan kepandaiannya untuk menyerang lawan.

Thian Tok Lama merasa cemas karena hal ini memang sudah dikhawatirkannya. Adapun Bhong Ji Kun yang tadinya sudah merasa girang dan memandang rendah lawan ketika dia dan temannya seolah-olah sudah mendesak Suma Han, kini merasa terkejut bukan main. Tongkat pendekar kaki buntung itu gerakannya aneh sekali, sama anehnya dengan gerakan tubuh pendekar itu yang dapat mencelat kesana-sini secara luar biasa, dan dari tongkat itu menyambar keluar hawa pukulan yang membuat bekas Koksu ini makin bingung.

Tongkat itu kadang-kadang kaku melebihi baja, kadang-kadang lemas seperti batang pohon cemara, akan tetapi yang lebih hebat lagi, kadang-kadang mengandung hawa serangan panas dan ada kalanya amat dingin!

Mendadak terdengar suara melengking tinggi yang keluar dari dalam dada Pendekar Super Sakti. Tongkatnya bergerak menyambut golok dan cambuk lawan dan.... tiga buah senjata melekat menjadi satu. Betapapun Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama berusaha menarik kembali senjata mereka, sia-sia saja seolah-olah cambuk dan golok sudah menjadi satu dengan tongkat!

“Haiiittt!” Bhong Ji Kun menggunakan tangan kiri memukul dengan telapak tangan didorongkan ke depan.

“Hyaaattt!”

Thian Tok Lama sudah menggunakan pula tangan kanannya, melakukan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam. Suma Han maklum akan bahaya maut ini. Pukulan tangan kosong Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tidak kalah ampuhnya dbandingkan dengan Hek-in-hwi-hong-ciang dari pendeta Lama itu.

Cepat dia melepaskan tongkatnya selagi kedua lawannya mencurahkan perhatian pada pukulan mereka, kemudian dengan tubuh tegak pendekar kaki tunggal ini sudah mendorongkan pula kedua tangannya ke depan menyambut pukulan kedua lawannya.

“Desss! Desss!”

Tubuh Bhong Ji Kun menggigil dan terhuyung ke belakang. Dia telah terkena hantaman Inti Es yang selain menolak pukulannya sendiri juga dengan kekuatan dahsyat masih mendorongnya. Sedangkan Thian Tok Lama terlempar ke belakang dan terbanting roboh dengan muka merah seperti dibakar. Dia tadi dilawan dengan pukulan panas Inti Api yang luar biasa dahsyat dan kuatnya.

Dengan kemarahan meluap-luap, Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah meloncat bangun lagi tanpa mempedulikan darah yang menetes keluar dari ujung bibir mereka. Bhong Ji Kun menerjang dengan cambuknya yang tadi sudah terlepas dari tongkat Suma Han.

Akan tetapi karena benturan tenaga sakti tadi telah mendatangkan luka di dalam dadanya, gerakannya tidak sedahsyat tadi dan menghadapi serangan ini, Suma Han yang telah memegang tongkatnya lagi bersikap tenang sekali.

“Tar-tarrr....!”

Cambuk merah itu menyambar ke arah kepala, ujungnya seperti patuk burung garuda mematuk kearah ubun-ubun kepala Suma Han. Dengan sikap tenang Suma Han menggerakkan tongkatnya menangkis, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar kilat berkeredepan menusuk ke arah dada pendekar itu. Suma Han mengeluarkan seruan kaget, maklum bahwa lawannya menggunakan senjata yang luar biasa ampuhnya, maka sambil menggerakkan tubuh mencelat ke kanan, tongkatnya bergerak menangkis senjata yang berkeredepan itu.

“Cringgg! Trakkk!” Tongkat di tangan Pendekar Super Sakti itu patah menjadi dua bertemu dengan pedang itu.

“Li-mo-kiam....!”

Suma Han berteriak kaget dan cepat dia mendorongkan kedua tangannya, yang kiri memukul ke arah pergelangan tangan kiri lawan yang memegang Pedang Iblis itu, sedangkan yang kanan mendorong ke arah dada Bhong Ji Kun.

“Desss! Augghhh....!”

Pedang Iblis Betina terlepas dari pegangannya dan cepat disambar oleh Suma Han, sedangkan tubuh bekas Koksu itu terjengkang seperti dihantam palu godam raksasa yang amat kuat. Mulutnya muntahkan darah segar. Dia terkena pukulan yang mengandung tenaga sakti Inti Api, yang sama sekali tidak diduganya karena dia mengira bahwa lawannya akan menggunakan Im-kang seperti tadi. Apalagi dia telah mempergunakan Li-mo-kiam yang dirampasnya dari Kwi Hong dan melihat pendekar itu terkejut dan tongkatnya patah, hatinya sudah girang sekali, membuat kewaspadaannya berkurang.

“Singggg.... trakkkk! Desss!”

Golok di tangan Thian Tok Lama patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam, tangan kanan Thian Tok Lama yang melancarkan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang bertemu dengan tangan kiri Suma Han yang menyambutnya dengan Im-kang sehingga pendeta Lama dari Tibet ini terpental sampai beberapa meter jauhnya dan roboh pingsan dengan muka pucat kebiruan!

Suma Han memandang Li-mo-kiam di tangannya, mengebutkan bajunya dan menghampiri Bhong Ji Kun yang sudah merangkak bangun sambil meringis. Suma Han memandang bekas Koksu itu dan berkata dengan suara dingin penuh wibawa,

“Bhong Ji Kun, bawa semua kaki tanganmu ke perahumu dan lekas tinggalkan tempat ini!”

Sambil meringis Bhong Ji Kun bangkit berdiri, mukanya pucat dan mulutnya masih berlepotan darahnya sendiri. Dia memandang ke sekelilingnya. Thian Tok Lama masih pingsan dan anak buahnya tidak seorangpun tewas, akan tetapi semua menderita luka yang membuat mereka tidak berdaya. Dia mengangguk, menarik napas panjang dan berkata,

“Engkau hebat. Pendekar Super Sakti. Sekali ini aku mengaku kalah, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku menebus kekalahan ini.”

Sambil terhuyung-huyung, bekas Koksu ini mengambil cambuk merahnya, lalu menyuruh anak buahnya membawa teman yang lukanya agak berat, menggotong Thian Tok Lama, kemudian tanpa berkata apa-apa kepada Suma Han dia bersama anak buahnya naik perahu yang segera dilayarkan meninggalkan Pulau Es, menuju ke selatan.

“Anjing-anjing macam itu mengapa tidak dibunuh saja?” Baru sekarang Nirahai membuka mulut mencela suaminya.

“Memang sepantasnya mereka dibunuh, kalau tidak kelak hanya akan menimbulkan kekacauan saja.”

Lulu juga berkata tak puas, dan memandang bekas kakak angkat yang kini menjadi suaminya yang tercinta itu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar