FB

FB


Ads

Selasa, 27 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 097

“Gerriiittt....!”

Pintu kamar tahanan terbuka dari luar, bayangan seorang laki-laki agak bongkok memasuki kamar, membalik dan menutupkan kembali daun pintu.

Dengan gerakan otomatis Kwi Hong meloncat dari keadaan berbaring. Dia lupa diri maka loncatan itu membuat tubuhnya terbanting lagi ke atas pembaringan. Dia menahan keluhan dan terpaksa bangkit duduk di atas pembaringan dengan mata terbelalak memandang laki-laki itu yang kini sudah membalikkan tubuh lagi menghadapinya sambil menyeringai.

Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar akan tetapi agak bongkok dan kurus, mukanya penuh brewok yang sudah bercampur uban, usianya tentu kurang lebih enam puluh tahun, pakaiannya tidak karuan dan sepasang matanya bergerak liar, mulutnya menyeringai aneh, Si Gila!

Kwi Hong pernah melihat seorang diantara pengurus kuda yang keadaannya menyedihkan ini dan oleh teman-teman pelayan lain dia disebut Si Gila. Aihh, benar-benar Bhong Ji Kun ingin merendahkannya sampai yang paling hina sehingga untuk malam pertama itu dia diserahkan kepada pelayan paling mengerikan dan menjijikkan!

“Heh-heh-heh, ini namanya hukum karma....!”

Si Gila itu melangkah perlahan-lahan menghampiri Kwi Hong, tangan kirinya memegang sebatang tabung bambu. Ketika bicara, air ludahnya muncrat-muncrat.

Saking jijiknya, Kwi Hong segera turun tangan. Dia turun dari pembaringan, dan menahan napas mengumpulkan semua tenaga yang ada, kemudian melakukan serangan dengan jari-jari tangan kiri menusuk ke arah mata Si Gila itu, disusul gerakan kaki kanannya menendang ke bawah pusar.

Biarpun serangannya itu tidak mengandung tenaga sin-kang, dan tidak lebih hanya mengandung tenaga seorang wanita yang hampir kelaparan, namun kalau mengenai sasaran, mata dan anggauta kelamin, agaknya cukup membuat Si Gila itu terjungkal!

“Ehhh....?”

Si Gila berseru dan tubuhnya bergerak cepat di luar dugaan Kwi Hong. Tusukan mata dapat dielakkan, tendangan dapat ditangkis dan tubuh Kwi Hong didorong kembali jatuh ke atas pembaringan dalam keadaan telentang! Celaka, pikirnya. Kiranya Si Gila ini bukanlah orang yang lemah. Bahkan gerakan-gerakannya tadi jelas membayangkan gerakan silat yang cukup baik! Habislah harapan Kwi Hong dan dia mulai ketakutan ketika Si Gila mencelat dan duduk di pinggir pembaringan sambil terkekeh-kekeh.

“Hukum karma atau bukan.... heh-heh.... aku tidak rela engkau dipermainkan orang. Lebih baik kau mati daripada diperkosa mereka secara bergilir.” Si Gila itu lalu membuka tutup tabung bambu. “Bocah bodoh, kenapa engkau tidak membunuh diri saja....? Apa.... apa engkau memang suka untuk diperkosa secara bergilir oleh mereka?”

Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak. Orang ini bicaranya tidak karuan, jelas bahwa otaknya miring, akan tetapi isi kata-katanya benar-benar membuat dia berdebar.

“Apa.... apa maksudmu....?”

“Biarpun ibumu diperkosa, akan tetapi pemerkosanya bertanggung jawab dan memang mencinta ibumu. Sedangkan mereka yang hendak memperkosamu secara bergiliran hanya ingin mempermainkanmu, ingin memakaimu seperti orang memakai pakaian yang kalau sudah butut dan rusak dicampakkan begitu saja dan tidak ditoleh lagi!”

“Apa.... apa maksudmu dengan Ibu....?”

“Heh-heh! Ibumu masih perawan tulen ketika diperkosa, seperti engkau.... heh-heh, akan tetapi pemerkosanya bertanggung jawab, ibumu dijadikan isterinya.... dan engkau terlahir. Biarpun ibumu diperkosa, aku tidak rela melihat engkau diperkosa orang! Heh-heh, biarpun aku memperkosa ibumu, aku cinta padanya.... dan aku yang membunuhnya.... heh-heh, akan tetapi.... aku tidak rela melihat engkau diperkosa orang! Lebih baik kau mati!”

Si Gila itu menggerakkan tabung bambu dan keluarlah seekor ular merah. Karena disentakkan keluar, ular itu tiba di leher Kwi Hong, akan tetapi begitu dia menyentuh leher Kwi Hong, dipandang oleh Si Gila yang terkekeh-kekeh, tiba-tiba ular itu menyambar membalik dan menggigit lengan Si Gila.

“Auggghhh....!”

Si Gila memekik dan roboh di atas lantai.
“Kwi Hong.... lebih baik kau mati daripada diperkosa.... ahh....”

Si Gila itu masih sempat berkata kemudian tubuhnya berkelojotan dan ular merah ikut bergerak-gerak di lengannya. Kwi Hong bangkit berdiri, terbelalak dengan muka pucat memandang wajah Si Gila yang berkelojotan itu. Kini teringatlah dia.

“Ayaaahhhh....!”

Ia menubruk. Tentu saja! Tentu saja orang ini ayahnya! Dan tentu ayahnya ini pula yang dahulu memperingatkannya tentang arak beracun di taman yang disuguhkan Pangeran Yauw. Ayahnya telah menjadi gila, atau berpura-pura gila? Bagaimana mungkin dia mengenal ayahnya, yang ditinggal pergi bersama pamannya ketika dia masih kecil? Apalagi ayahnya yang dahulunya seorang perwira tinggi itu kini telah menjadi tukang kuda yang gila dan pakaiannya tidak karuan.

Bagaimana dia dapat mengenalnya? Betapapun juga, sampai saat terakhir ayahnya dengan cara gilanya masih berusaha menyelamatkannya dari perkosaan dan penghinaan, yaitu dengan cara membunuhnya. Tentu ayahnya tidak tahu bahwa di dalam tubuhnya telah mengalir obat penolak ular merah sehingga begitu mencium kulit lehernya, ular itu menjadi takut dan membalik menggigit Si Gila sendiri! Entah bagaimana ayahnya dapat menangkap ular dalam tabung itu.

“Ayah....!”

Akan tetapi Kwi Hong maklum bahwa ayahnya telah mati. Racun gigitan ular merah memang amat hebat. Bagi yang lemah berakibat kematian, bagi yang kuat sekalipun akan mendatangkan pengaruh mujijat, ada yang menjadi terangsang nafsu berahinya, ada pula yang menjadi gila!






Melihat ayahnya, biarpun gila dan menjijikkan akan tetapi tetap ayah kandungnya, menggeletak tak bernyawa lagi dan kini wajahnya yang tadi diselubungi kegilaan tampak tenang dan makin jelas persamaannya dengan wajah ayahnya dahulu, Kwi Hong menjadi marah. Dipegangnya ular itu, ditariknya terlepas dari lengan ayahnya, dan akan dibantingnya. Akan tetapi dia teringat dan tiba-tiba wajahnya berseri biarpun air matanya bercucuran ketika dia memandang ayahnya.

“Ayah, beristirahatlah dengan tenang, Ayah. Usaha pertolongan Ayah tidak sia-sia, anak berterima kasih, Ayah.”

Dia lalu menggerakkan sisa tenaganya, menggurat-guratkan tubuh ular pada batu dinding yang agak kasar sehingga kulit itu pecah terluka dan berdarah. Ular itu sama sekali tidak berani melawan, dan setelah dilepaskan di atas lantai dekat mayat Giam Cu, bekas perwira ayah Kwi Hong yang telah menjadi gila itu, ular berkelojotan dan darah mengucur dari luka-lukanya. Kwi Hong maklum bahwa darah ular merah yang keluar dari seekor ular merah yang masih hidup mempunyai bau yang mengandung daya mengundang ular-ular merah lain.

Telah dituturkan di bagian depan cerita ini betapa Giam Cu, panglima tinggi besar brewok yang diwaktu bala tentara Mancu menyerbu ke selatan telah memperkosa Sie Leng, gadis enci (kakak perempuan) Pendekar Super Sakti, akan tetapi lalu menculik gadis itu dan menjadikannya sebagai isterinya (baca cerita Pendekar Super Sakti).

Dalam pernikahan ini Sie Leng mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Giam Kwi Hong. Ketika Pendekar Super Sakti dituduh melarikan Puteri Nirahai, dalam kekhawatirannya tersangkut karena isterinya adalah enci Suma Han, Giam Cu lalu membunuh isterinya sendiri.

Perbuatannya ini membuat dia menyesal bukan main karena dia memang mencinta isterinya maka setelah Kwi Hong dilarikan Suma Han, perwira tinggi ini menjadi gila! Tentu saja dia tidak dapat menduduki pangkatnya lagi, dan akhirnya orang tidak tahu kemana dia pergi. Kiranya, setelah gila dan terlantar, tidak ada orang yang mengenalnya lagi, diam-diam bekas perwira yang gila ini bekerja sebagai tukang kuda di istana Koksu!

Melihat mayat ayahnya, Kwi Hong merasa terharu. Dia mengangkat mayat itu ke atas pembaringan, pekerjaan yang amat sukar bagi tenaganya yang masih lemas itu, kemudian dia duduk bersila, mengumpulkan hawa Swat-im Sin-kang yang dilatihnya sejak kecil, perlahan-lahan dia berusaha memulihkan tenaganya dan membuyarkan pengaruh totokan sambil menanti hasil usahanya memanggil ular-ular dengan darah ular merah tadi.

Betapa girangnya ketika hidungnya mencium bau wangi-wangi yang aneh namun tidak asing baginya, dan benar saja, tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan tampaklah ular-ular merah merayap-rayap datang dari segala penjuru, memasuki kamar tahanan itu!

Kegirangan Kwi Hong bukan hanya karena ular-ular itu dapat melindunginya sehingga orang-orang yang hendak mengganggunya tidak berani mendekat, akan tetapi juga hawa beracun dari ular-ular merah itu mempunyai daya yang mujijat. Hal ini adalah penemuan pamannya dan dia pernah disuruh berlatih sin-kang diantara ular-ular merah ini dan hawa yang bagi orang lain mengandung racun berbahaya itu, baginya adalah memperlancar latihannya.

Karena itu, kini dengan bantuan hawa beracun, dia makin tekun melancarkan jalan darahnya dan menghimpun tenaga sin-kang untuk memulihkan tenaganya. Dia tetap duduk bersila di lantai, membiarkan pembaringannya ditempati mayat ayahnya.

Kalau dia teringat masa lalu, dia terbayang di depan matanya betapa ibu kandungnya dibunuh ayahnya ini, ditusuk dadanya sampai tembus dengan pedang, maka ingatan itu membuat dia tidak dapat berduka oleh kematian ayahnya. Namun, melihat betapa setelah tersiksa dan hidup seperti orang gila, namun pada saat-saat terakhir masih berusaha melindungi anaknya, hatinya merasa terharu juga.

“Ular....! Ular....!”

Jeritan-jeritan itu terdengar dari mulut para penjaga ketika mereka melihat ular-ular merah, apalagi ketika mereka mengejar ular-ular itu ke kamar tahanan, melihat gadis tawanan itu duduk bersila diatas lantai tengah kamar, dikelilingi ular merah ratusan banyaknya, dan tubuh Si Gila yang menjadi mayat menggeletak di atas pembaringan. Tak lama kemudian Koksu dan teman-temannya datang. Mereka berada diluar kamar memandang dengan mata terbelalak.

“Mundur semua! Ular-ular itu beracun!” bekas Koksu Bhong Ji Kun berteriak dan semua orang cepat mundur karena bau harum bercampur amis itupun membuat mereka muak dan tidak tahan.

Tentu saja kecewa sekali hati Kwi Hong. Tenaganya belum pulih, dan dia sudah ketahuan. Kalau Bhong Ji Kun turun tangan, tentu dia tidak mampu membela diri. Akan tetapi dia tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan tersenyum dan menggertak,

“Siapa berani mendekati aku, tentu akan mampus! Bhong Ji Kun, aku ingin sekali melihat apakah engkau berani memasuki kamar tahanan ini!”

Bhong Ji Kun menggigit giginya.
“Perempuan siluman! Lekas kau enyahkan semua ular itu, kalau tidak, kamar ini akan kubakar sampai engkau dan ular-ularmu mati hangus!”

Tentu saja ancaman membunuhnya dengan cara apapun juga tidak mendatangkan rasa takut di hati Kwi Hong. Dia memang sudah berada di ambang maut, peduli apa dengan segala gertakan? Akan tetapi dia tidak ingin melihat ular-ular itu ikut pula mati terbakar, dan pula, selama masih ada kesempatan, dia harus mempergunakannya untuk menyelamatkan diri. Kalau sudah tidak ada jalan lain, dalam menghadapi penghinaan, kini dia menemukan cara yang paling tepat, seperti yang dikatakan oleh ayah kandungnya tadi, yaitu membunuh diri! Takut apa lagi? Ia tersenyum.

“Bhong Ji Kun, engkau menyuruh aku mengusir ular-ular ini, kalau mereka sudah pergi, engkau akan senang melihat aku diganggu orang-orangmu, bukan? Benar-benar engkau seorang yang amat baik hati. Baiklah, aku akan mengusir ular-ularku. Buka pintu kamar ini agar lebih cepat mereka pergi.”

Bhong Ji Kun sendiri melangkah maju membukakan pintu, sedangkan para pembantunya berdiri di belakangnya dengan muka membayangkan kengerian. Mereka sungguh merasa heran mengapa gadis tawanan itu dapat mengumpulkan ular beracun sekian banyaknya dan sama sekali tidak terganggu! Benar-benar seorang gadis yang amat lihai dan tak boleh dipandang rendah.

Kwi Hong mengeluarkan bunyi dengan lidahnya untuk membangkitkan perhatian ular-ular itu, mengambil ular yang terluka dan masih berkelojotan, kemudian tiba-tiba dia melempar ular terluka itu ke arah Bhong Ji Kun sambil membentak,

“Makanlah ini!”

Bhong Ji Kun cepat mengelak, lalu meloncat jauh ke pinggir. Di belakangnya terdengar orang berseru kaget dan ular yang terluka itu ternyata mengenai dada-nya, dan.... semua ular merah yang berada di dalam kamar itu menyerbu keluar dan langsung menyerang Panglima Mancu yang terkena ular terluka tadi, tubuhnya penuh dengan ular merah yang langsung menggigit. Panglima itu memekik nyaring mengerikan dan roboh berkelojotan terus tewas seketika!

Bhong Ji Kun sudah meloncat ke dalam kamar tahanan yang sudah tidak ada ularnya. Kwi Hong meloncat bangun, namun tubuhnya masih belum pulih, masih lemah maka dalam beberapa gebrakan saja dia telah roboh oleh Bhong Ji Kun yang lihai.

“Gunakan api, usir ular-ular itu!”

Bhong Ji Kun berteriak marah. Para pembantunya segera menggunakan api dan benar saja, ular-ular itu segera melarikan diri keluar dari tempat itu. Seperti binatang-binatang apa saja di dunia ini, ular-ular itupun takut sekali akan api yang amat panas itu.

“Bhong-koksu, bunuh saja gadis itu!”

Thian Tok Lama berkata dan ucapan ini dibenarkan semua pembantu Bhong Ji Kun. Setelah menyaksikan betapa dalam keadaan lemah saja gadis itu telah berhasil mengakibatkan kematian seorang bujang dan seorang panglima, mereka menjadi gentar dan akan selalu cemas sebelum gadis yang berbahaya itu dibunuh.

“Dia sudah kutotok dan takkan dapat bergerak selama semalam suntuk. Memang mudah membunuhnya. Akan tetapi kalau dipikir lagi, apa gunanya membunuhnya? Kurasa, kalau dia hidup dia lebih berguna daripada kalau dia mati. Siapa tahu gunanya kelak. Biarlah besok kita rundingkan lagi, pendeknya dia harus selalu dijaga ketat agar tidak mendapat kesempatan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan lagi.”

Keputusan Bhong Ji Kun ini membuat Kwi Hong hampir kehilangan akal dan kehabisan harapan karena selain tertotok, diapun dibelenggu kaki tangannya, dilempar ke atas pembaringan dalam kamar tahanan itu, pintunya dipalang dari luar dan diluar pintu selalu ada dua orang pembantu Bhong Ji Kun yang berdiri menjaga dengan bergilir!

Andaikata dia dapat membebaskan totokan, dia harus membebaskan belenggu, dan masih harus berhadapan dengan dua orang penjaga yang berilmu tinggi dan yang tentu akan memanggil datangnya Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang lain!

Akan tetapi, kenyataan bahwa dia belum dibunuh oleh Bhong Ji Kun menimbulkan harapan baru. Hal itu hanya berarti bahwa bekas Koksu itu masih ingin melihat dia hidup, dan selama masih ada harapan untuk hidup, dia tidak akan putus asa dan tidak akan membunuh diri seperti yang dianjurkan ayah kandungnya.

Memang amat mudah membunuh diri, tidak memerlukan tenaga dan biarpun dia dibelenggu seperti itu, masih amat mudah membunuh diri. Bagi seorang yang terlatih seperti dia, menahan napas dan dengan paksa menghentikannya sudah cukup untuk membuat nyawanya melayang, atau lebih sederhana lagi, menggigit lidahnya sendiri sampai putus!

Gadis yang keras hati dan tahan uji ini sama sekali tidak tahu bahwa pada keesokan harinya terjadi perubahan yang amat besar, terjadi peristiwa hebat sekali di Pulau Es. Peristiwa itu dimulai dengan munculnya Majikan Pulau Es sendiri, Suma Han Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang datang berperahu bersama dua orang wanita sakti, Nirahai dan Lulu, atau kedua orang isterinya yang bersama dia akan memulai hidup baru di pulau itu!

Ketika pagi hari itu Suma Han tiba di Pulau Es dan melihat sebuah perahu besar telah berlabuh di pantai, pendekar ini mengerutkan alisnya dan berkata kepada dua orang isterinya.

“Agaknya kita telah didahului tamu-tamu tidak diundang. Jarang ada orang luar berani mendatangi Pulau Es. Nirahai dan Lulu, kita sudah saling berjanji tidak akan mencari urusan diluar, karena aku tahu bahwa kalian masih mempunyai kekerasan hati, maka apapun yang terjadi nanti, kuharap kalian tinggal diam dan menonton saja. Biarlah aku sendiri yang akan menanggulanginya.”

Nirahai dan Lulu saling pandang, tersenyum dan keduanya mengangguk. Telah terjadi perubahan besar atas diri pria ini, pria berkaki buntung yang mereka cinta dan junjung tinggi. Kalau dahulu Suma Han merupakan seorang pendekar sakti yang berhati lemah, kini mulai tampak kejantanannya, dan pertama-tama kejantanannya itu diperlihatkan dengan menguasai kedua orang isterinya!

Setelah menarik perahu kecil mereka di pantai yang dangkal, ketiganya melompat turun ke darat dan berdiri tegak dengan sikap tenang, memandang Bhong Ji Kun yang sudah diberi kabar oleh anak buahnya dan kini berlarian datang menyambut bersama seluruh pembantunya, dengan senjata siap di tangan masing-masing.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan berdebar penuh kegelisahan hati Bhong Ji Kun ketika melihat bahwa yang datang bukan hanya Pendekar Super Sakti seorang, melainkan ditemani oleh Puteri Nirahai bekas Ketua Thian-liong-pang dan Lulu bekas Majikan Pulau Neraka! Baru Pendekar Super Sakti seorang saja sudah merupakan seorang lawan yang amat menakutkan dan amat berat dilawan, apalagi masih ada dua orang wanita sakti itu!

Dengan sikap tenang Suma Han, Nirahai, dan Lulu berdiri di pantai. Hanya mata mereka yang bergerak, melirik ke arah Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang datang dari kanan kiri. Diam-diam Suma Han merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa yang boleh dicatat sebagai lawan tangguh hanyalah Bhong Ji Kun sendiri, Thian Tok Lama, dan agaknya orang yang memegang tombak gagang panjang itu.

Dia merasa sanggup untuk mengatasi mereka. Akan tetapi dia merasa curiga melihat sikap Bhong Ji Kun yang kelihatannya sama sekali tidak takut kepadanya, padahal dia datang bersama Nirahai dan Lulu, sendiri saja sudah cukup untuk menandingi Bhong Ji Kun! Akan tetapi kakek itu begitu berani menyambutnya dengan sikap seolah-olah keadaannya lebih kuat. Tentu ada apa-apanya ini!
“Aha, Pendekar Super Sakti, engkau baru datang? Sudah lama kami mengharapkan kedatanganmu!” kata Bhong Ji Kun sambil menekan debar jantungnya.

“Hemm, mengunjungi tempat orang tanpa ijin, dan selagi tempat itu ditinggalkan penghuninya. Hanya orang seperti engkaulah yang tidak malu melakukan kedua hal itu, Im-kan Seng-jin,” kata Suma Han dengan suara halus namun nadanya cukup membuat para pembantu Bhong Ji Kun merasa serem.

Diantara mereka semua, hanya Ciat Leng Souw seorang yang belum pernah bertemu dengan Suma Han, hanya mendengar nama julukannya saja. Kini, melihat bahwa orang yang disohorkan sebagai dewa atau siluman itu, ternyata hanyalah seorang yang wajahnya masih muda dan tampan, rambutnya putih semua, dan sebuah kakinya buntung, senjatanya hanya sebatang tongkat butut. Apanya sih yang perlu ditakuti?

Berubah wajah Bhong Ji Kun mendengar ucapan itu.
“Harap To-cu (Majikan Pulau) tidak salah paham, karena sesungguhnya kedatangan kami kesini bukan sebagai tamu tidak diundang.”

“Tidak sebagai tamu, melainkan sebagai pelarian-pelarian perang yang sudah hancur kekuatannya!”

Nirahai tak dapat menahan hatinya dan berkata nyaring, akan tetapi tidak melanjutkan karena Lulu menyentuh tangannya, membuat dia teringat akan larangan suaminya!

Bhong Ji Kun menjura ke arah Nirahai dan Lulu.
“Pelarian sementara! Karena itulah, maka kami bergembira sekali kini berhadapan dengan Pendekar Super Sakti dan dengan Ji-wi Lihiap (Kedua Wanita Pendekar) yang berilmu tinggi, karena kami yakin bahwa dengan kerja sama antara kami dengan Sam-wi (Anda Bertiga), kekalahan kami akan tertebus dan akhirnya perjuangan kami akan berhasil.”

“Apa? Mengajak kami bekerja sama.?” Nirahai kembali berseru saking herannya.

“Aihh, dia sudah gila!” Lulu juga tidak dapat menahan untuk berseru heran.

Siapa orangnya tidak akan heran. Dia dan Nirahailah yang memimpin pasukan pemerintah menghancurkan pemberontak ini, dan sekarang bekas Koksu pemberontak itu mengajak mereka untuk bekerja sama memberontak. Hanya orang gila saja yang mengajukan usul demikian.

Akan tetapi Suma Han berpikir lain. Sejak tadi dia sudah curiga menyaksikan sikap Koksu Bhong Ji Kun yang memberontak itu sama sekali tidak gentar bahkan kelihatan terlalu berani. Sekarang dengan pertanyaannya itu, yaitu mengusulkan kerja sama, bahkan bukan mengusulkan, karena kata-katanya itu seperti menentukan, makin jelas bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat bekas Koksu ini yakin akan kemenangannya!

“Im-kan Seng-jin, apa yang membuat engkau begitu yakin bahwa kami akan suka bekerja sama denganmu? Tidak perlu bersikap rahasia, katakanlah saja!” Suma Han berkata sambil memandang tajam.

Akan tetapi, teringat akan nasihat mendiang Maharya agar berhati-hati menghadapi Pendekar Siluman ini, terutama jangan sekali-kali menentang pandang matanya, sejak tadi Bhong Ji Kun tidak pernah berani bertemu pandang dengan pendekar itu.

Bhong Ji Kun bertepuk tangan, isarat yang memang sudah diatur sebelumnya dan muncullah seorang Mongol raksasa mengempit tubuh Kwi Hong yang kaki tangannya terbelenggu wajahnya pucat dan pakaiannya compang-camping.

Bukan main kagetnya Suma Han melihat ini, akan tetapi selain raksasa Mongol itu siap untuk memukul kepala Kwi Hong dengan tangannya yang besar dan kuat, juga Thai-lek-gu yang gendut telah meloncat ke dekat Gozan dan menodongkan goloknya kepada gadis tawanannya itu! Tidak ada gunanya menggunakan kekerasan untuk mencoba menolong keponakannya, pikir Suma Han. Dia tentu kalah cepat dan andaikata dia dapat membunuh semua orang itu, tentu Kwi Hong akan terbunuh lebih dulu.

“Ahh, Si Jahanam menawan Kwi Hong....!” Lulu berteriak.

Nirahai juga terkejut ketika mendengar bahwa murid atau keponakan suaminya telah menjadi tawanan. Mengertilah dia kini mengapa bekas Koksu itu bersikap seberani itu. Kiranya sama sekali bukan gila, melainkan licin dan curang sekali!

Melihat betapa Suma Han menggerakkan jari tangan ke arah mereka, maklumlah kedua orang wanita itu bahwa mereka dilarang untuk turun tangan. Dan memang merekapun sudah cukup cerdik untuk tidak sembarangan turun tangan, karena hal ini berarti kematian bagi Kwi Hong.

“Kwi Hong! Bagaimana engkau bisa tertawan?” Suma Han menegur muridnya.

Air mata bercucuran dari kedua mata Kwi Hong dan suaranya berduka sekali ketika dia menjawab,

“Harap Paman tidak mendengarkan permintaan iblis-iblis ini. Biarkan aku mati, Paman, memang sudah patut kalau aku harus mati. Aku telah ditipunya, aku telah bersekutu dengan pemberontak-pemberontak laknat ini, karena menyangka bahwa pemerintah adalah musuh Paman. Setelah pemberontakan gagal, aku malah mengajak mereka menyembunyikan diri ke pulau ini. Akan tetapi, ternyata mereka adalah iblis-iblis yang jahat. Aku telah salah, dan aku rela mati. Harap Paman tidak mengorbankan apa-apa untukku!”

“Wah, dia benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa!” Bhong Ji Kun memuji. “Akan tetapi kami masih sangsi apakah Pendekar Super Sakti yang terkenal itu memiliki cukup kegagahan seperti muridnya untuk berkorban demi muridnya. Terserah pilihanmu, To-cu!”

“Jahanam busuk!” Nirahai membentak.

“Keparat hina!” Lulu juga memaki.

Akan tetapi Suma Han mengangkat kedua tangannya menyuruh kedua orang wanita itu bersabar dan tidak turun tangan. Kemudian dia menghadapi Bhong Ji Kun dan berkata,

“Bhong Ji Kun, engkau tentu mengerti dengan baik bahwa sampai mati sekalipun kami bertiga tidak mau melibatkan diri dalam pemberontakan yang kau pimpin itu. Permintaanmu sebagai pengganti kebebasan keponakanku sungguh tidak masuk akal. Pikirlah baik-baik sebelum terpaksa kami membasmi kalian sebagai penukar nyawa murid dan keponakanku.”

Diam-diam Bhong Ji Kun mempertimbangkan. Tidak dapat diragukan lagi, kalau Pendekar Super Sakti mengamuk dibantu dua orang wanita sakti yang entah bagaimana kini menjadi baik dengan Pendekar Super Sakti, tentu dia dan semua pembantunya ditukar hanya dengan nyawa gadis itu!

“Tentang kerja sama biarlah kita bicarakan kemudian,” kata Bhong Ji Kun yang cerdik itu. “Sekarang kuganti penukarannya. Pertama kami mau membebaskan muridmu asal engkau dan dua orang wanita itu tidak mengganggu kami.”

“Sudah tentu! Kalau engkau suka membebaskan Kwi Hong, kamipun tidak akan mengganggumu dan kalian boleh pergi dengan aman,” jawab Suma Han, jawaban yang membuat alis kedua orang wanita sakti itu berkerut.

Mereka sama sekali tidak setuju kalau orang-orang macam Bhong Ji Kun dan teman-temannya itu dibiarkan pergi begitu saja! Akan tetapi keduanya tidak berani membantah! Agaknya merekapun sudah menarik pelajaran dari pengalaman mereka setelah mereka menderita batin karena asmara gagal selama belasan tahun.

“Dan ke dua, engkau harus menyerahkan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu yang tentu tadinya berada di Pulau Es kepada kami.”

“Kitab-kitab pusaka Pulau Es tidak berada padaku. Ketika pasukan yang kau pimpin menyerbu kesini, pusaka-pusaka itu telah dibawa oleh pembantuku.”

“Hemm, jangan kau main-main dengan nyawa muridmu, To-cu dan amat memalukan kalau seorang pendekar dengan kedudukan seperti engkau mengeluarkan kata-kata membohong.”

Sepasang mata Suma Han mengeluarkan cahaya menyambar seperti kilat, membuat Bhong Ji Kun terkejut dan cepat menundukkan muka.

“Bhong Ji Kun, untuk kata-katamu itu saja, dalam lain keadaan sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk menghancurkan mulutmu!”

Nada dalam suara Pendekar Super Sakti itu membuat wajah bekas Koksu itu menjadi pucat karena dia merasa betul betapa penuh wibawa dan bukan ancaman kosong saja kata-kata itu.

“Siapa yang bisa percaya bahwa seorang To-cu tidak menyimpan sendiri pusaka istananya?” Dia membela diri.

“Pusaka ada disini.!”

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan bayangannya berkelebat datang. Kiranya orang ini adalah Phoa Ciok Lin yang datang membawa sebuah peti kayu cendana yang berukir indah. Melihat peti ini, Kwi Hong dengan suara tangisnya berkata,

“Bibi.... jangan.... jangan berikan kepada mereka....! Lebih baik aku mati daripada mengorbankan pusaka-pusaka itu....!”

Phoa Ciok Lin, wakil dalam Pulau Es, pembantu Suma Han yang usianya sebaya dengan kedua isteri pendekar itu, mengerling kepada Suma Han dan dua orang isterinya, tersenyum penuh syukur akan tetapi pandang matanya sayu penuh derita batin, kemudian cepat menghampiri bekas Koksu dan berkata,

“Im-kan Seng-jin, engkau membutuhkan pusaka Pulau Es? Inilah pusaka-pusaka itu, boleh kuserahkan kepadamu asal engkau membebaskan Kwi Hong lebih dulu!”

Mata Bhong Ji Kun dan kawan-kawannya terbelalak penuh gairah memandang ke arah peti berwarna coklat itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun yang sudah biasa melakukan segala macam tipu muslihat, tentu saja menjadi seorang yang tidak mudah percaya dan selalu berprasangka buruk. Memang demikianlah, watak seseorang yang dibentuk oleh kebiasaan dan pengalamannya sendiri. Seorang pembohong akan selalu tidak percaya kepada kata-kata orang lain, seorang penipu akan selalu curiga terhadap semua orang.

“Suma To-cu, benarkah ini peti berisi pusaka Istana Pulau Es?” tanyanya sambil menoleh ke arah Suma Han.

Pendekar ini mengangguk dan suaranya dingin sekali ketika menjawab,
“Dia adalah wakilku dan kepercayaanku yang membawa pusaka Istana Pulau Es.”

Makin berseri wajah Bhong Ji Kun.
“Suma-tocu, aku mau menukar muridmu dengan pusaka-pusaka itu, akan tetapi berjanjilah bahwa engkau tidak akan menghalangi dan merampas kembali kalau peti berisi pusaka telah diserahkan kepadaku.”

“Aku berjanji!”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar