FB

FB


Ads

Selasa, 27 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 096

Andaikata tidak ada Kwi Hong yang menjadi petunjuk jalan, biarpun Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama dan beberapa orang panglima pembantunya pernah melawat ke Pulau Es, namun agaknya perahu mereka itu takkan pernah dapat sampai ke Pulau Es.

Berkat petunjuk Kwi Hong, biarpun makan waktu sampai dua pekan, akhirnya sampai juga perahu besar itu dan mendarat di Pulau Es. Kwi Hong melompat ke darat lebih dahulu. Hatinya terharu sekali menyaksikan pulau dimana dia tinggal sejak kecil yang kini keadaannya sudah banyak rusak, istana pulau yang dari jauh sudah kelihatan runtuh bekas terbakar.

Teringat ia akan pemuda Thung Ki Lok yang mencintanya dan yang tewas oleh pengkhianat Kwee Sui, teringat akan para paman pembantu Pendekar Super Sakti yang tewas dalam pertempuran ketika pasukan pemerintah menyerbu. Hatinya menjadi terharu sekali, akan tetapi tidak ada setitikpun air mata tumpah. Hati dara ini telah mengeras karena gemblengan-gemblengan pengalamannya.

Para tokoh yang membantu Bhong Ji Kun mengikuti bekas Koksu itu meloncat turun pula. Mereka itu adalah Thian Tok Lama yang mengiringkan Pangeran Yauw Ki Ong yang digandeng oleh dua orang selirnya, yaitu bekas-bekas pelayan yang masih bisa melarikan diri bersamanya, disusul oleh Liong Khek, tokoh kurus muka pucat yang tidak ketinggalan membawa senjatanya yang istimewa yaitu sebatang gagang pancing lengkap dengan tali dan mata kailnya, Gozan jagoan Mongol yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut bertangan panjang yang bersenjata sepasang golok, dan seorang yang tinggi besar bersenjata tombak panjang. Orang ini sikapnya keren, gerak-geriknya gesit dan dihormat oleh pembantu lainnya. Dia adalah seorang ahli tombak dari selatan, berjuluk Sin-jio (Tombak Sakti) bernama Ciat Leng Souw. Memang ilmu tombaknya hebat bukan main, juga tenaga sin-kangnya amat kuat sehingga di dalam rombongan itu, kiranya hanya Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama saja yang akan mampu menandingi tombaknya yang lihai! Pantas kalau dia dihormat oleh para pembantu bekas Koksu itu.

Selain para jagoan ini, juga ada beberapa orang panglima yang berkepandaian tinggi, dan beberapa orang pelayan biasa, tukang kuda yang bertugas sebagai tukang perahu dalam pelayaran itu. Mereka berbondong turun dan kasihan sekali para pelayan yang tidak memiliki kepandaian tinggi karena begitu mendarat di Pulau Es, mereka sudah menderita kedinginan!

Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong yang dikawal Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun ini bersama Kwi Hong jumlahnya masih ada dua puluh orang. Segera atas perintah Bhong Ji Kun, mereka mulai membetulkan bekas istana Pulau Es yang telah terbakar itu. Karena istana itu memang besar dan jumlah mereka tidak begitu banyak, maka tempat itu cukup untuk melindungi mereka dari hawa dingin. Sebuah api unggun yang besar terpaksa harus dinyalakan terus di dalam istana itu melawan hawa dingin.

Ketika Kwi Hong yang telah rindu kepada pulau ini mengadakan peninjauan seorang diri, kesempatan ini dipergunakan oleh Bhong Ji Kun untuk mengajak Pangeran Yauw dan para kaki tangannya untuk berunding. Mereka tadinya membujuk Kwi Hong selain untuk menarik Pendekar Super Sakti di fihak mereka, juga untuk memanfaatkan tenaga gadis itu.

Sekarang, setelah Kwi Hong berhasil mengantar mereka ke Pulau Es, mereka harus cepat mengambil keputusan menundukkan gadis itu sebelum gadis berwatak keras dan aneh sukar ditundukkan itu berubah pikiran dan memberontak.

Akan tetapi diam-diam Bhong Ji Kun dan dibantu oleh Thian Tok Lama dan Sin-jio Ciat Leng Souw, melakukan penyelidikan di sekitar pulau sambil mencari-cari pusaka-pusaka Pulau Es itu. Namun usaha mereka tidak ada hasilnya maka pada keesokan harinya, Bhong Ji Kun mengundang Kwi Hong untuk mengadakan perundingan. Mereka semua berkumpul di dalam ruangan istana, tentu saja para pelayan dan dua orang selir Pangeran Yauw yang tidak ikut.

Kwi Hong masih belum menyadari keadaannya sehingga dia tidak curiga ketika dipersilakan duduk, diantara Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun, sedangkan Ciat Leng Souw duduk di sebelah belakangnya, berhadapan dengan para panglima dan Pangeran Yauw.

“Giam-lihiap, kami berterima kasih sekali bahwa lihiap telah suka membawa kami untuk berlindung di pulau ini. Terpaksa kita semua harus tinggal untuk sementara disini selama kekuatan pasukan kita belum tersusun. Kita harus mengadakan hubungan dengan saudara-saudara di Mongol, Tibet, dan Nepal, juga mengadakan perhubungan baru dengan kaum orang gagah di pedalaman yang mendendam sakit hati kepada Kaisar. Karena itu, sambil menanti keadaan dan untuk menghilangkan rasa kesepian di pulau yang dingin ini kami harap saja Lihiap suka memperlihatkan setia kawan dan suka mengeluarkan kitab-kitab pusaka Pulau Es agar kita bersama dapat mempelajarinya untuk menambah pengetahuan.”

Ucapan Bhong Ji Kun ini terdengar seperti guntur di siang hari oleh Kwi Hong. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa bekas Koksu ini akan mengeluarkan pernyataan seperti itu, karena soal pusaka Pulau Es tadinya tidak pernah disinggung dalam persekutuan dan kerja sama mereka.

“Apa yang kau maksudkan, Bhong-Kok-su?”

Biarpun sekarang bukan Koksu lagi, namun Kwi Hong dan beberapa orang lain masih menyebut Koksu, hal ini adalah karena memang dia dicalonkan sebagai Koksu juga kalau Pangeran Yauw Ki Ong berhasil dengan pemberontakan itu dan merebut tahta kerajaan.

“Maksudku sudah jelas, Nona.” Suara Bhong Ji Kun terdengar halus namun dingin dan penuh ejekan. “Ketika kami bertugas menyerbu pulau ini, kami tidak dapat menemukan pusaka-pusaka yang tersimpan di Istana Pulau Es. Padahal Istana Pulau Es dahulu adalah tempat tinggal Manusia Dewa Bu Kek Siansu yang terkenal. Maka kami merasa yakin bahwa pusaka-pusaka itu tentulah disimpan dan disembunyikan, dan Nona sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, tentu dapat mengetahui tempat penyimpanannya.”

Bukan main marahnya hati Kwi Hong. Mukanya menjadi merah sekali dan suaranya lantang ketika dia menjawab,

“Aku tidak mengerti mengapa engkau membawa-bawa urusan pusaka ke dalam kerja sama kita ini, Bhong-koksu. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu akan pusaka yang disimpan. Semua pusaka dan benda berharga Pulau Es telah dibagi-bagikan oleh paman kepada para anggauta sebelum dibubarkan, dan kalau kau maksudkan kitab-kitab, semua itu hanya paman yang mengetahui dan menyimpannya.”

“Mustahil Giam-lihiap sebagai muridnya tidak tahu dimana disembunyikannya kitab-kitab itu? Pinceng (Saya) rasa lebih baik Lihiap memperlihatkan kepada Bhong-koksu sehingga terbuktilah bahwa Lihiap memang benar-benar ingin bekerja sama dengan kami,” kata Thian Tok Lama mendesak.

“Aku tidak tahu! Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Kalau tidak percaya, habis kalian mau apa?” Kwi Hong sudah marah sekali dan kedua tangannya yang berada diatas meja dikepal keras.

“Hemm, Lihiap masih bersikap keras kepada kami. Padahal Lihiap adalah pembantu kami dan sebagai pembantu harus taat kepada pimpinan. Perlukah kami harus mengambil jalan kekerasan?”

“Brakkk!”

Kwi Hong bangkit berdiri dan menggunakan tangannya menggebrak meja. Alisnya diangkat ketika matanya dilebarkan, memandang dengan sinar berapi kepada Bhong Ji Kun.

“Boleh saja! Siapa takut akan jalan kekerasanmu?”






Pangeran Yauw segera bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangannya ke atas.
“Aih-aih...., apa perlunya semua ini? Giam-lihiap, harap suka duduk kembali dan harap suka bersabar. Bhong-koksu, tidak semestinya mendesak Lihiap. Kalau Lihiap bilang tidak tahu tentu benar-benar tidak tahu. Giam-lihiap adalah sahabat kita, bahkan aku telah menganggapnya sebagai pengawal yang paling kupercaya. Diantara orang sendiri tidak semestinya terjadi keributan hanya karena soal kecil saja.”

Bhong-koksu tersenyum lebar dan cepat dia berdiri dan menjura ke arah Kwi Hong sambil berkata,

“Ahh, kami telah terburu nafsu dan harap maafkan kami, Lihiap. Agaknya kekalahan yang kami derita, kemudian keadaan yang penuh kesukaran disini membuat kami lupa diri. Akan tetapi, hendaknya Lihiap juga tidak selalu memperlihatkan sikap keras. Sikap Lihiap tentu saja menimbulkan keraguan kami dan hanya ada satu jalan kiranya yang akan membuat keraguan kami lenyap sama sekali dan mendatangkan keyakinan di hati kami akan kesetia kawanan Lihiap terhadap persekutuan kami.”

Kwi Hong mengira bahwa tentu Koksu itu tetap akan minta pusaka Pulau Es, dan kini dengan jalan halus dan bujukan, maka dengan kemarahan ditahan dia bertanya,

“Satu jalan apakah yang kau maksudkan?”

Koksu melirik ke arah Pangeran Yauw Ki Ong yang tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian berkata,

“Pangeran telah membuka rahasia hatinya kepadaku. Semenjak beliau bertemu dengan Lihiap, beliau telah tertarik dan jatuh cinta kepada Lihiap. Maka, Pangeran berkenan mengambil Lihiap sebagai selir, dan tentu saja kelak kalau perjuangan kita berhasil, Lihiap akan diperisteri secara resmi dan besar kemungkinan Lihiap kelak akan menjadi permaisuri.”

Wajah Kwi Hong menjadi pucat seketika, kemudian berubah merah. Maklumlah dia bahwa orang-orang yang disangkanya sahabat ini ternyata adalah orang-orang yang mempunyai niat jahat terhadap dirinya, dan dia selama ini dikelilingi oleh musuh!

Teringatlah dia akan arak suguhan Pangeran Yauw dan tentang surat peringatan yang dikirim secara aneh penuh rahasia oleh orang tak dikenal. Bukan main rasa menyesalnya. Dia telah membantu orang-orang jahat ini! Bahkan dia telah membawa mereka ke Pulau Es! Apakah yang telah dia lakukan? Akan tetapi dia masih menahan sabar dan bangkit berdiri sambil berkata,

“Aku tidak dapat menerima permintaan itu!”

Tentu saja semua ini memang telah direncanakan oleh Bhong Ji Kun, Pangeran Yauw dan para pembantunya. Sama sekali bukan maksud mereka untuk mengangkat dara itu menjadi permaisuri. Maksud sesungguhnya adalah kalau sampai Kwi Hong dapat diperisteri oleh Pangeran Yauw, otomatis Pendekar Super Sakti tentu kelak akan mau membantu usaha pemberontakan mereka.

Kini melihat sikap Kwi Hong yang dengan keras menolak, Bhong Ji Kun dan para pembantunya meloncat mundur, Pangeran Yauw cepat menyelamatkan diri dan mundur di belakang para jagoannya dan mereka membuat gerakan mengurung Kwi Hong yang masih berdiri tegak dengan sikap gagah, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan dengan jari-jari terbuka siap di dekat gagang pedang Li-mo-kiam!

“Kalau begitu, jelas engkau tidak berniat baik, maka terpaksa kami harus menggunakan kekerasan!”

Bhong Ji Kun berkata sambil mencabut senjatanya, pecut kuda berbulu merah dan sebatang golok besar. Thian Tok Lama juga sudah mengeluarkan sebatang tongkat pendeta, sebuah senjata baru yang kini selalu dipegangnya karena pendeta ini dalam pengalamannya maklum bahwa kedua tangan kosongnya yang biasanya amat ampuh itu tidak cukup untuk menghadapi seorang lawan tangguh seperti murid Pendekar Super Sakti ini.

Sin-jio Ciat Leng Souw Si Tombak Sakti sudah siap pula dengan tombak gagang panjang dilintangkan di depan dada, demikian pula para tokoh pembantu Koksu yang lain telah pula siap dengan senjata masing-masing mengurung Kwi Hong.

“Bhong-koksu, harap jangan melukainya, apalagi membunuhnya,” kata Pangeran Yauw sebelum mengundurkan diri dari ruangan luas itu.

“Ha-ha, jangan khawatir, Ong-ya. Akan hamba tangkap hidup-hidup untuk Paduka.”

Kemarahan hati Kwi Hong yang terdorong rasa penyesalan besar itu tidak dapat ditahannya lagi. Sambil mengeluarkan seruan melengking tinggi nyaring, dara perkasa itu sudah menerjang maju, menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan dia telah menerjang Bhong Ji Kun yang amat dibencinya.

Kakek ini cepat mengelak dan masih sempat berseru,
“Ingat jangan bentur senjatanya!”

Memang sebelum terjadi pengeroyokan ini, Koksu telah mengatur terlebih dahulu siapa yang akan menghadapi dara ini, dan mereka semua telah diperingatkan untuk tidak mengadu senjata mereka dengan pedang Li-mo-kiam yang amat ampuh itu.

Maka semua serangan Kwi Hong hanya dielakkan oleh yang diserangnya, sedangkan teman lain cepat turun tangan menerjang dara itu dari belakang sehingga yang diserang oleh Kwi Hong selalu tertolong, sebaliknya dara itu sendiri yang menghadapi serangan serentak dari belakang dan kanan kiri.

Terjadilah pertandingan mati-matian bagi Kwi Hong karena para pengeroyoknya adalah orang-orang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Yang mengepungnya berjumlah sepuluh orang, dan sebagian besar dari mereka yang paling lihai semua memegang senjata panjang.

Bhong Ji Kun dengan cambuk merahnya, Thian Tok Lama dengan tongkat pendetanya, Ciat Leng Souw dengan tombak panjangnya, Liong Khek dengan senjata pancingnya, Thai-lek-gu dengan sepasang golok, dan empat panglima lain yang bersenjata pedang. Hanya Gozan yang bertangan kosong, akan tetapi raksasa Mongol ini tidak ikut menerjang maju, hanya siap untuk turun tangan kalau keadaan mengijinkan untuk menangkap dara itu hidup-hidup seperti yang dikehendaki Pangeran Yauw Ki Ong tadi.

Giam Kwi Hong adalah murid Pendekar Super Sakti, dan dia bahkan sudah digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin, tentu saja ilmu silatnya hebat. Apalagi di tangannya ada Li-mo-kiam yang ampuh, maka andaikata diadakan pertandingan satu lawan satu, kiranya hanya Bhong Ji Kun seoranglah yang akan mampu mengatasinya, sedangkan Thian Tok Lama dan Ciat Leng Souw kiranya akan menghadapi kesukaran hebat untuk dapat mengalahkan dara perkasa ini.

Akan tetapi, kini dia dikepung ketat oleh sepuluh orang, dan mereka itu bersikap hati-hati, tidak mau menangkis pedang Li-mo-kiam, melainkan selalu menyerangnya serentak dari belakang kalau dia menyerang seorang diantara mereka.

Senjata mereka panjang dan ini masih ditambah oleh pukulan-pukulan sin-kang jarak jauh yang dilontarkan oleh Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama. Tentu saja Kwi Hong menjadi repot sekali, bahkan beberapa kali dia terhuyung oleh angin pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang dilakukan oleh Thian Tok Lama. Pendeta Tibet ini memang terkenal sekali dengan ilmu pukulannya ini, pukulan mujijat yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh. Tangan kanannya berubah menjadi biru dan setiap kali dia melakukan pemukulan dengan dorongan telapak tangan, dari perutnya terdengar bunyi kok-kok seperti ayam betina habis bertelur, dan dari telapak tangannya menyambar uap hitam!

Yang amat merepotkan Kwi Hong adalah ujung pecut merah Bhong Ji Kun yang menyambar-nyambar dari atas, meledak-ledak dan mengancamnya dengan totokan-totokan maut. Namun, Kwi Hong tidak menjadi jerih dan sudah mengambil keputusan untuk bertanding mati-matian mempertaruhkan nyawa. Karena dia maklum bahwa diantara mereka semua, yang paling lihai adalah Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama, maka kedua kakek inilah yang menjadi sasaran utama dari sinar pedangnya.

Dengan gerakan yang amat cepat disertai bentakan nyaring, pedang Li-mo-kiam yang berubah menjadi sinar kilat itu menyambar ke atas lalu meluncur ke arah tenggorokan Thian Tok Lama yang cepat meloncat ke belakang. Akan tetapi sinar pedang itu mengejar terus. Mata pendeta Tibet itu menjadi silau dan terpaksa dengan kaget sekali dia menangkis dengan ujung tongkatnya.

Sementara itu, Bhong Ji Kun melihat temannya terancam bahaya, sudah menggerakkan cambuknya dan ujung pecut ini menyambar ke arah jari-jari tangan kanan Kwi Hong yang menggenggam gagang pedang. Hal ini sudah dijaga oleh Kwi Hong, maka tanpa menghentikan serangannya kepada Thian Tok Lama, dia merobah kedudukan kaki sehingga tubuhnya membalik, tangan kirinya menyambar dan menangkap ujung pecut itu sambil mengerahkan tenaga menahan!

“Crokkk!”

Ujang tongkat Thian Tok Lama terbabat patah sedikit dan sinar pedang Li-mo-kiam masih terus menyambar tenggorokannya. Pendeta itu berteriak kaget, terpaksa membuang tubuhnya ke belakang dan bergulingan. Biarpun dia kaget setengah mati, dan ujung tongkatnya patah, namun dia selamat.

Dengan tangan kiri masih memegang ujung pecut, Kwi Hong menggerakkan pedangnya, yang gagal mengenai Thian Tok Lama untuk menangkis datangnya senjata yang bertubi-tubi. Semua senjata cepat ditarik kembali karena takut terbabat rusak, akan tetapi tali pancing itu di tangan Liong Khek Si Muka Pucat telah melibat pedang, sedangkan Ciat Leng Souw yang melihat pedang yang ditakuti itu sementara tak dapat dipergunakan karena terlibat tali pancing, cepat membabatkan tombaknya ke arah kedua kaki Kwi Hong!

Dara perkasa itu terkejut sekali. Tangan kirinya masih memegang ujung cambuk Bhong Ji Kun dan pedangnya tertahan oleh tali pancing, kini kedua kakinya terancam bahaya diserampang oleh tombak. Maka dia lalu menggunakan tenaga pertahanan cambuk dan tali pancing, menggenjot tubuhnya dan meloncat ke atas sehingga sambaran tombak itu lewat di bawah kakinya.

Akan tetapi pada saat itu, Gozan yang sejak tadi telah siap menanti saat baik, menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu dan besar itu telah merangkul tubuh Kwi Hong, meringkusnya dengan kekuatan seekor gajah!

Sebelum Kwi Hong yang kaget sekali dapat melawan, Koksu telah menotok pundak kirinya sedangkan gagang tombak Ciat Leng Souw telah mengetuk lututnya. Tubuh dara itu lemas dan dia tidak dapat bergerak lagi, tak dapat melawan ketika kaki tangannya dibelenggu dan dia diseret dan dilempar ke dalam sebuah kamar di istana itu, dipaksa rebah di atas pembaringan dan kaki tangannya dibelenggu pada kaki pembaringan!

Pangeran Yauw minta dengan sangat kepada Koksu agar Kwi Hong tidak diganggu, dan hal inipun dipenuhi oleh Koksu yang melarang para pembantunya mengganggu tawanan itu. Dia masih menaruh harapan besar agar Kwi Hong dapat ditundukkan, karena hal ini akan menguntungkan mereka.

Sebaliknya, kalau terpaksa gagal, mereka tentu akan dimusuhi oleh Pendekar Super Sakti dan hal ini tidak menguntungkan usaha pemberontakan mereka. Karena inilah maka Koksu memerintahkan kepada para pembantunya yang melakukan penjagaan untuk mengirim makan minum kepada tawanan itu dan memperlakukannya baik-baik.

Akan tetapi, Kwi Hong sama sekali tidak mau makan, bahkan setiap kali ada yang memasuki kamar tahanan, dia memaki-maki dan berusaha meronta. Wajahnya menjadi pucat setelah selama dua hari dua malam dia tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur sama sekali. Mendengar laporan tentang dara itu, Pangeran Yauw menjadi khawatir akan keselamatan Kwi Hong, maka dia mengambil keputusan untuk membujuk sendiri.

Demikianlah pada hari ke tiga, setelah menyuruh para penjaga menjauhkan diri agar tidak menyaksikan pertemuan itu, Pangeran Yauw seorang diri memasuki kamar tahanan Kwi Hong. Begitu masuk, pangeran itu mengeluh dan berlutut di dekat pembaringan dimana Kwi Hong dibelenggu kaki tangannya.

“Ahhh, betapa sakit hatiku melihat keadaanmu seperti ini, Nona. Mengapa engkau berkeras kepala? Kalau tidak aku yang minta-minta kepada mereka, tentu engkau telah dibunuh atau diperlakukan lebih mengerikan daripada kematian. Aku yang minta agar kau tidak diganggu dan dilayani sebaiknya, akan tetapi engkau tetap keras hati.”

“Cukup! Mau apa engkau datang kesini? Mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati? Mendengarkan omonganmu yang beracun lebih mengerikan daripada menghadapi maut!”

“Aihh, Kwi Hong.... kenapa engkau besikap begini? Tidakkah engkau melihat bahwa semua kesabaran itu, semua kerendahan ini kulakukan karena aku cinta padamu? Karena aku tergila-gila kepadamu? Engkau menurutlah menjadi isteriku, kelak engkau akan kuangkat menjadi permaisuri, dan....” Suara Pangeran Yauw menurun menjadi bisikan halus, “....sakit hatimu akan terbalas semua. Setelah aku berhasil dengan perjuanganku, aku akan menghukum mampus Bhong-koksu dan semua pembantunya itu, yang telah menghinamu.... kau mau bukan menjadi kekasihku, menjadi permaisuriku, sayang?”

“Cuhhh....!” Kwi Hong meludah dan tepat mengenai pipi kanan pangeran itu.

“Aduhhh....!”

Pangeran itu terjengkang dan meraba pipinya yang terasa nyeri seperti dihantam benda keras. Matanya terbelalak penuh kemarahan, telunjuknya menuding ke arah muka Kwi Hong.

“Perempuan laknat! Berani engkau meludahi aku? Aku akan menyiksamu untuk penghinaan ini! Akan kusuruh semua orang memperkosamu di depan mataku, sampai engkau mampus.!”

Pangeran Yauw tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba sebuah ledakan terdengar dan sinar merah menyambar ke lehernya, tubuhnya terangkat ke atas dan ternyata dia telah tergantung di ujung cambuk yang dipegang oleh Koksu. Mata pangeran itu mendelik, kaki tangannya bergerak-gerak.

“Hemm.... engkau hendak membunuh kami kelak, ya? Pengkhianat tak tahu malu, tak mengenal budi!”

Bhong Ji Kun melemparkan tubuh di ujung cambuk itu kepada Gozan yang bersama yang lain ikut pula masuk, lalu berkata,

“Lemparkan dia dalam keadaan telanjang bulat ke luar!”

Pangeran Yauw berteriak-teriak minta ampun dan melimpahkan janji-janji muluk namun Gozan mengangkatnya seperti seorang mengangkat anak kecil, membawanya keluar dari istana. Pangeran itu meronta-ronta, meratap-ratap, namun tidak ada yang suka atau berani menolongnya. Dengan renggutan-renggutan tangannya yang kuat, Gozan menelanjangi pangeran itu sehingga tidak ada secarik kainpun yang melindungi tubuhnya ketika tubuh itu dilempar ke atas salju yang dingin.

Pangeran itu berlutut, menyembah-nyembah minta ampun, akan tetapi setiap kali dia hendak lari ke istana mencari tempat berlindung dari hawa dingin, dia ditendang ke luar. Akhirnya suara ratapannya makin lemah dan tak lama kemudian dia sudah rebah meringkuk dengan tubuh beku kedinginan di atas tumpukan salju!

Dua orang pelayan wanita yang tadinya menjadi selir pangeran dan yang selalu dipandang dengan sinar mata penuh iri oleh anggauta rombongan yang lain, kini menjadi rebutan diantara para pembantu Bhong Ji Kun, kecuali Thian Tok Lama dan Ciat Leng Souw yang telah tua dan satu-satunya nafsu keinginan mereka hanyalah mengejar kedudukan dan kemuliaan. Atas perintah Bhong Ji Kun, dua orang pelayan muda itu harus menyerahkan diri kepada Liong Khek Si Muka Pucat dan Gozan raksasa Mongol!

Memang patut dikasihani seorang manusia yang hidupnya dikuasai nafsu-nafsu keinginan seperti Pangeran Yauw Ki Ong. Dia sebagai seorang mahluk manusia dengan penghidupannya sama sekali tidak ada artinya, tidak penting lagi karena yang terpenting hanyalah pengejaran segala keinginannya itulah.

Ketika tergila-gila kepada Kwi Hong, agaknya pangeran yang entah sudah berapa ratus kali berganti selir-selir baru itu, bersedia untuk bersumpah bahwa dia mencinta Kwi Hong. Akan tetapi kenyataannya, begitu Kwi Hong menolak cintanya, perasaannya yang disebut cinta itu berubahlah menjadi benci yang hebat!

Cinta macam itu sungguh tidak ada harganya! Cinta yang begitu mudah merobah diri menjadi benci, hanyalah nafsu berahi, yang nilainya sama rendah dengan benci. Namun, betapa banyaknya orang yang masih belum sadar akan hal ini, menganggap dengan penuh keyakinan bahwa perasaan seperti itu adalah cinta! Bahkan cinta suci katanya! Ada yang kalau cintanya ditolak berubah benci. Ada pula yang cintanya ditolak lalu membunuh diri. Ini lebih gila lagi, karena apa yang di sebutnya hanya sama nilainya dengan kegilaan, karena hanya orang yang tidak waras otaknya sajalah yang akan melakukan bunuh diri! Bagi mereka yang masih belum sadar ini, cinta mereka sama dengan benci, atau cinta mereka sama dengan gila!

Juga Pangeran Yauw Ki Ong selama hidupnya didorong untuk selalu memperoleh yang diinginkan. Tidak tahu dia bahwa nafsu memperoleh ini ujungnya adalah kebosanan. Nafsu memperoleh ini pada awalnya menimbulkan gairah namun pada akhirnya, setelah yang diinginkannya itu diperoleh, berubahlah gairah menjadi kebosanan, dan timbullah pula nafsu memperoleh hal atau benda lain lagi. Dengan demikian dia terseret dalam lingkungan setan yang tiada berkeputusan, hidupnya seperti mahluk penasaran yang selalu mengejar-ngejar nafsu yang dibuatnya sendiri. Tidak menyedihkankah hidup seperti itu, menjadi boneka permainan nafsu keinginan?

Bhong Ji Kun tidak hanya marah kepada Pangeran Yauw Ki Ong yang mengkhianatinya, akan tetapi juga dia marah kepada Kwi Hong yang terang-terangan sampai matipun tidak akan suka menuruti kehendaknya, yaitu menyerahkan pusaka Istana Pulau Es. Kekecewaan hatinya menimbulkan kemarahan yang membuat dia makin kejam dan ganas, merencanakan hukuman dan siksaan yang dianggapnya paling keji dan hebat bagi Kwi Hong.

“Engkau tetap keras kepala, ya? Baiklah ingin kulihat apakah engkau cukup keras untuk tidak minta ampun seperti Pangeran Yauw Si Keparat tadi! Dua orang selirnya masih jauh lebih terhormat nasibnya daripada perempuan keras kepala macam engkau! Setidaknya mereka menjadi milik pribadi dua orang pembantuku yang berkedudukan tinggi! Akan tetapi engkau! Hemmm, biarpun engkau seorang yang masih perawan, akan tetapi engkau akan kuserahkan kepada para bujang, tukang kuda dan pelayan. Engkau akan menjadi milik mereka secara bergiliran! Dan siapa yang dapat membuat engkau mengeluh dan menangis akan kuberi hadiah! Ha-ha-ha, ingin sekali aku mendengar teriakanmu seperti yang dilakukan pangeran gila tadi!”

Para bujang yang jumlahnya ada delapan orang itu tentu saja menyeringai gembira, biarpun hati mereka merasa agak gentar juga. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi, menghambakan diri kepada seorang majikan macam Bhong Ji Kun, tentu saja membuat watak merekapun tak dapat dikata baik.

Setelah mendengar keputusan Koksu yang menghadiahkan gadis tawanan itu kepada mereka, dimulai malam nanti, beramai-ramai delapan orang itu sibuk menjadikan Kwi Hong semacam hadiah undian untuk menarik giliran masing-masing!

Kwi Hong yang masih rebah telentang di atas pembaringan, tak dapat melakukan sesuatu ketika Bhong Ji Kun menotok dua jalan darah di punggungnya yang membuat kaki dan tangannya lemas dan setengah lumpuh. Dia dapat bergerak, akan tetapi tidak mampu mengerahkan tenaga sin-kangnya.

Setelah ikatan kaki dan tangannya dilepaskan, dia segera meloncat. Akan tetapi dia terbanting roboh lagi di atas pembaringan karena selain kedua kaki dan tangannya lemas juga tubuhnya lemah akibat kurang makan, kurang minum, dan kurang tidur. Bhong Ji Kun tertawa bergelak lalu meninggalkan kamar tahanan itu.

Kwi Hong rebah miring. Dia maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Maklum bahwa mengandalkan tenaganya, tidak mungkin dia menghindarkan diri dari malapetaka. Tanpa dapat menggerakkan kaki tangan secara leluasa, tanpa dapat mengerahkan sin-kang, apa dayanya.

Kehormatannya terancam dan dia tidak mampu mempertahankan kehormatannya dengan ilmu silat dan tenaga. Akan habiskah dia? Tidak adakah harapan lagi baginya? Dan pada saat itu, terbayanglah wajah Gak Bun Beng. Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pelupuk mata-nya.

Dia mencinta Bun Beng, dan biarpun hanya menjadi rahasia hatinya sendiri, sering kali dia bermimpi berjumpa dengan pemuda itu yang dalam mimpinya juga mencintanya. Beberapa kali dia mimpi bercumbu dengan pemuda itu, bahkan mimpi menjadi isteri pemuda itu. Betapa bahagianya!

Akan tetapi semua itu hanya mimpi, dan sekarang dia berada di tepi jurang kehancuran, terancam malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut sendiri dikorbankan oleh Bhong Ji Kun untuk diperkosa secara bergiliran oleh para bujang tanpa dia dapat mempertahankan diri sama sekali.

“Bun Beng.... ah, Bun Beng...., dimana engkau....?”

Kwi Hong mengeluh dan air matanya bercucuran. Apakah dia harus minta ampun kepada Bhong Ji Kun? Akan tetapi tidak mungkin. Hal itu hanya akan menimbulkan bahan penghinaan dari para musuhnya itu, karena dia benar-benar tidak tahu dimana pamannya menyimpan kitab-kitab pusaka Istana Pulau Es. Andaikata dia tahu sekalipun, dia tidak percaya bahwa dengan memberikan kitab-kitab itu dia akan terbebas dari kematian.

Orang-orang seperti Bhong Ji Kun dan kaki tangannya sama sekali tidak dapat dipercaya dan mereka itu baru bersikap baik kalau mempunyai maksud tertentu demi keuntungan mereka sendiri. Buktinya, Pangeran Yauw sudah merencanakan pembunuhan mereka, dan begitu hal ini diketahui Bhong Ji Kun, dengan kejam pangeran itu dibunuh tanpa ampun lagi. Dia, sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, musuh besar mereka, mana mungkin bisa mendapatkan ampun? Betapa bodohnya dia! Mudah saja ditipu oleh Bhong Ji Kun!
Malam tiba. Hal ini diketahui Kwi Hong dari lenyapnya sinar matahari yang makin menyuram melalui lubang angin di bawah genting kamar tahanan dan terganti sinar penerangan dari ruangan samping. Cuaca menjadi remang-remang dan jantung Kwi Hong berdebar. Bahaya mulai datang mendekat dan dia mencari akal bagaimana untuk dapat mempertahankan diri.

Yang akan muncul tentulah seorang diantara pelayan yang sebagian besar sudah tua dan lemah. Biarpun dia tidak dapat mengerahkan sin-kang, dan tubuhnya lemas, akan tetapi dia masih menguasai ilmu silat. Dia akan menggunakan sedikit tenaga yang ada untuk merobohkan, kalau bisa membunuh setiap orang laki-laki yang berani menjamahnya!

Dia tahu caranya. Dengan tendangan perlahan mengenai alat kelaminnya, dengan tusukan jari tangan mengenai matanya, dua serangan ini saja, betapapun lemahnya, cukup membuat pengganggunya tak berdaya. Timbul kembali harapannya untuk lolos dari ancaman bahaya ini. Untung bahwa kebencian Bhong Ji Kun kepadanya amat besar sehingga saking inginnya menghinanya sampai serendah-rendahnya, dia tidak diberikan kepada para pembantunya yang memiliki kepandaian tinggi, meiainkan kepada para bujang untuk diperkosa secara bergilir.

Kalau dia diberikan kepada seorang seperti Thai-lek-gu atau Gozan, tentu akan habis harapannya, karena dalam keadaannya seperti ini takkan mungkin dia melawan seorang diantara mereka. Dia bergidik! Membayangkan betapa dia dipermainkan seorang laki-laki seperti Gozan, raksasa Mongol yang tubuhnya berbulu-bulu sampai ke jari tangan dan lehernya itu!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar