FB

FB


Ads

Selasa, 27 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 095

Keng In lalu membuat api unggun, terus ditambahi dahan dan daun kering sehingga bernyala besar sekali. Kemudian dia menggunakan tenaga khi-kang untuk meniup dan setiap kali tiup, segumpal asap hitam bergulung-gulung ke angkasa. Beberapa kali dia lakukan hal ini dalam jarak-jarak waktu tertentu. Milana hanya memandang dengan heran. Hatinya tegang. Benarkah ada lima puluh orang mengurung tempat ini? Siapakah mereka? Dan siapa pula lima orang yang berusaha menolongnya akan tetapi tewas semua ini?

“Ibuuuuu....!”

Tiba-tiba Milana berteriak sambil mengerahkan khi-kangnya. Suaranya melengking tinggi dan bergema di seluruh lereng gunung.

“Milana, jangan....!”

Keng In meloncat dengan sigapnya, mengejar gadis yang berusaha melarikan diri itu dan seperti ketika pertama kali dia menculik Milana, gadis itu dikempit pinggangnya dan dipanggulnya setelah ditotok lemas.

Milana meronta-ronta tanpa hasil. Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, akan tetapi suara itu mengecewakan hati Milana karena bukan lengking suara ibunya, bukan pula suara ayahnya yang sudah dikenalnya. Dan ternyata memang bukan karena Keng In segera mengeluarkan teriakan yang sama sebagai jawaban. Tak lama kemudian Milana mendengar suara hiruk-pikuk orang bertanding di sekeliling puncak.

“Suhu, anak buah kita sudah berpesta membunuhi mereka.” Keng In berkata dan gurunya hanya mendengus.

“Tahukah engkau, Milana? Anak buah kita, para penghuni Pulau Neraka, telah datang. Sebentar lagi orang-orang yang mengurung kita tentu akan terbasmi dan kita akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Neraka. Jangan mencoba untuk lari lagi, Manis. Kau tahu hal itu percuma, dan pula, bukankah aku sudah bersikap baik terhadapmu? Aku cinta padamu. Milana, berilah cium....”

Keng In mendekatkan mulutnya, akan tetapi Milana berkata dengan suara mendesis saking marahnya.

“Aku berjanji takkan melarikan diri, berjanji akan menyerah. Akan tetapi kalau kau berani menciumku, berani menjamahku, biarpun aku tidak dapat melawanmu, aku akan membunuh diri!”

Mulut Keng In yang sudah hampir menyentuh pipi Milana itu ditarik ke belakang.
“Aihhh.... jangan, Manis. Kalau kau bunuh diri, habis aku bagaimana....”

Ucapannya terdengar tolol dan kekanak-kanakan, atau seperti ucapan orang yang tidak waras otaknya.

“Kalau begitu, lepaskan aku. Aku takkan lari.”

Keng In cepat menurunkan tubuh Milana dan membebaskan totokannya. Mereka bertiga duduk disitu menanti sampai suara hiruk-pikuk dari senjata beradu dan teriakan kematian diseling sorak kemenangan itu makin berkurang, akhirnya berhenti. Tak lama kemudian tampak bermunculan tiga puluh lebih orang-orang Pulau Neraka yang mukanya berwarna-warni, ada yang merah, biru, hijau, merah muda dan hijau pupus. Mereka semua menjatuhkan diri berlutut di depan Keng In dan Cui-beng Koai-ong.

“Mohon ampun atas kelambatan kami, Siauw-tocu.”

“Tidak mengapa,” kata Keng In kepada seorang kakek berkepala gundul bermuka merah muda yang memimpin rombongan orang Pulau Neraka itu. “Kong To Tek, siapakah para pengepung tadi dan bagaimana keadaan mereka sekarang?”

“Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang bergabung dengan pengawal-pengawal yang dipimpin oleh seorang panglima pengawal. Kami telah menyerbu dan menurut penglihatan kami, mereka yang jumlahnya lima puluh dua orang telah mati semua, Siauw-tocu. Menanti perintah selanjutnya.”






“Bagus! Sediakan sebuah perahu, kami hendak kembali ke Pulau Neraka.”

Orang-orang yang berlutut itu mengangkat muka dan kelihatan terkejut dan tidak menyangka-nyangka.

“Dan kami...., Siauw-tocu?”

“Kalian juga. Kita bangun kembali pulau kita, aku yang memimpin bersama calon isteriku ini, dibantu oleh Suhu.”

Orang-orang itu bersorak girang.
“Perahu sudah siap di pantai dekat Gua Naga Hitam, Siauw-tocu.”

Sebentar saja mereka sudah menuntun datang beberapa ekor kuda, yaitu tunggangan para penyerbu yang telah tewas semua itu. Para pengurung puncak itu memang benar rombongan pengawal dari kota raja yang dipimpin oleh seorang panglima. Rombongan ini berhasil mengikuti jejak Wan Keng In dan di sepanjang jalan mereka minta bantuan orang-orang kang-ouw, termasuk empat orang dan seorang wanita yang telah lebih dulu menjadi korban keganasan Wan Keng In itu.

“Apakah Suhu juga hendak menunggang kuda?”

Wan Keng In bertanya ragu kepada suhunya. Biarpun kakek itu gurunya, namun dia sama sekali tidak mengenal betul keadaan kakek itu, yang gerak-geriknya penuh rahasia dan tidak pernah mau bercerita tentang dirinya sendiri. Cui-beng Koai-ong mendengus, kemudian sekali berkelebat, tubuhnya yang kaku itu telah lenyap.

“Suhu telah pergi lebih dulu ke Pulau Neraka. Hanya kalian kawal kami berdua. Semua orang harus tunduk dan hormat kepada Puteri Milana ini, dia adalah calon isteriku. Siapa yang membuat hatinya tidak senang akan kubunuh!”

Semua orang itu adalah tokoh-tokoh Pulau Neraka dan sebagian diantara mereka sudah mengenal Milana, bahkan sudah pernah bentrok dengan gadis ini ketika Milana memimpin orang-orang Thian-liong-pang. Mereka tahu bahwa Milana adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, maka mendengar bahwa dara yang cantik jelita dan perkasa itu akan menjadi isteri majikan mereka, hati mereka menjadi terheran-heran, akan tetapi juga girang.

Berangkatlah Keng In dengan rombongannya, dan Milana yang tidak mempunyai harapan untuk dapat lolos lagi itu, kini menurut saja. Yang penting baginya sekarang adalah mencegah Keng In memaksanya sebagai isterinya, dan tentang meloloskan diri, akan diatur sebaiknya kalau sudah ada kesempatan terbuka.

Tidak ada halangan terjadi yang menghalangi rombongan ini sampai mereka menggunakan perahu melanjutkan perjalanan dan tiba di Pulau Neraka. Milana merasa ngeri melihat keadaan pulau ini. Sebuah pulau liar penuh dengan binatang buas yang beracun, dan biarpun sudah pernah diserbu dan dibakar oleh pasukan pemerintah yang amat kuat, kini tidak kehilangan keangkerannya.

Dia tidak banyak memperlihatkan perlawanan, bahkan membantu ketika Keng In dan anak buahnya membangun kembali bangunan yang telah terbakar. Bahkan dia bersikap baik terhadap Cui-beng Koai-ong yang sudah lebih dulu berada di pulau itu. Dengan perantaraan Keng In, gadis ini malah mulai mempelajari ilmu-ilmu aneh dan mujijat dari Cui-beng Koai-ong!

“Aku bersedia menjadi isterimu, dengan satu syarat, yaitu ayah bundaku harus menyetujuinya. Sebelum itu, biar kau paksa sekalipun, aku tidak akan menurut dan kalau kau menggunakan paksaan, aku akan membunuh diri dan rohku akan selalu mengejarmu untuk membalas dendam.”

Ucapan Milana yang dikeluarkan dengan sungguh-sungguh ini membuat Keng In maklum bahwa dia harus memenuhi permintaan itu sebelum dia dapat menundukkan dara itu agar secara suka rela menjadi isterinya.

Dia merasa tersiksa sekali karena harus menahan nafsunya yang kadang-kadang membakar dirinya. Dia terlalu mencinta Milana dan ingin hidup selamanya di samping wanita ini, maka betapapun sukarnya, dia akan mengusahakan agar orang tua dara itu menyatakan persetujuannya, kalau perlu dengan kekerasan dan untuk ini dia mengandalkan bantuan gurunya.

Mulailah sebuah kehidupan baru bagi Milana, di atas Pulau Neraka yang sedang dibangun oleh Keng In, dimana dia dikenal sebagai calon isteri Siauw-tocu, dan dimana dia harus mempergunakan seluruh kecerdikannya untuk menyelamatkan diri dari gangguan Keng In tanpa menimbulkan kecurigaan pemuda luar biasa itu.

**** 095 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar