FB

FB


Ads

Selasa, 27 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 094

Milana menghentikan gerakannya meronta-ronta. Dia tahu bahwa semua itu percuma saja. Kalau tadinya dia meronta-ronta dan berteriak-teriak sedapatnya karena tubuhnya tertotok lemas, bukanlah untuk membebaskan diri karena dia maklum bahwa hal itu tidak mungkin, melainkan untuk menarik perhatian orang.

Dia melihat betapa para penjaga yang berusaha menolongnya malah menjadi korban kelihaian dan keganasan Wan Keng In, maka dia berteriak-teriak dan memaki-maki hanya untuk meninggalkan jejak kemana dia dilarikan agar para petugas istana itu dapat membayangi arah larinya Wan Keng In dan gurunya.

Akan tetapi setelah dua hari dia menjadi tawanan masih belum ada penolong datang, harapannya menipis. Tentu ayahnya atau ibunya belum tahu bahwa dia diculik pemuda Pulau Neraka ini, karena kalau ayah bundanya sudah mendengar, tentu sekarang mereka sudah mengejar dan menolongnya dari cengkeraman pemuda iblis yang gila ini. Kini dia tidak dapat mengandalkan orang tuanya, para pengawal, atau siapapun juga. Dia harus menolong dirinya sendiri, maka dia mulai tenang dan tidak lagi meronta-ronta.

Akan tetapi ketika Wan Keng In dan kakek seperti mayat hidup itu mulai mendaki sebuah gunung dengan gerakan cepat sekali seperti terbang, Milana kembali merasa ngeri. Bagaimana kalau ayah bundanya mencarinya dan kehilangan jejak? Dia tidak memperlihatkan rasa gelisahnya, akan tetapi diam-diam dia merobek-robek saputangannya dan melempar-lemparkan robekan saputangan itu di sepanjang jalan menuju ke atas puncak gunung itu.

“Malam hampir tiba. Pemandangan di puncak ini indah sekali dan hawanya sejuk, sebaiknya kita beristirahat dan melewatkan malam disini, Suhu.” Wan Keng In berkata ketika mereka tiba di puncak.

“Sesukamulah,”

Jawab gurunya tak acuh sambil memandang kearah barat dimana matahari telah menjadi sebuah lampu besar yang mulai menyuram seolah-olah kehabisan minyak.

“Nah, engkau manis sekali kalau begini, Milana. Engkau tidak meronta-ronta lagi dan tidak memaki-maki aku lagi.” Keng In berkata kepada dara yang dipondongnya.

“Kalau engkau bersikap manis dan sopan, tidak kurang ajar, tentu aku akan bersikap baik pula, tidak melawan dan tidak memaki. Kau turunkanlah aku, aku bukan anak kecil yang harus dipondong saja.”

Wan Keng In tertawa gembira.
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Nah, mestinya begini, Milana. Aku tidak akan menggunakan kekerasan, aku cinta padamu, dan aku akan bersikap baik selama engkau tidak memberontak.” Keng In menurunkan tubuh dara itu, meraba pundaknya dan membebaskan totokannya.

Milana segera duduk di atas rumput dan menyalurkan jalan darahnya untuk memulihkan tenaga. Biarpun dia bebas, akan tetapi dia tidaklah begitu bodoh untuk mencoba melawan atau melarikan diri. Pemuda itu memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan dia bukanlah tandingan pemuda itu. Baru pemuda itu saja seorang diri, dia tidak akan mampu melawan atau melarikan diri, apalagi disitu masih ada guru pemuda itu yang amat mengerikan. Tentu gurunya ini sakti seperti iblis sendiri!

“Suhu, lihat! Dia seorang anak yang baik, bukan? Pilihan teecu (murid) tidak akan meleset, Suhu. Dia cantik jelita, manis, halus, pintar.... pendeknya tidak ada keduanya di dunia ini!” Wan Keng In tersenyum-senyum senang sekali melihat Milana tidak memberontak lagi.

“Huhhh....! Perempuan....!”

Hanya itu saja yang keluar dari mulut Cui-beng Koai-ong, kemudian dia membuang muka, duduk membelakangi mereka di atas batu dan sama sekali tidak bergerak lagi seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu pula.

Milana yang melihat gerak-gerik kakek itu bergidik. Setiap gerak-gerik dan suara yang dikeluarkan kakek itu membuat bulu tengkuknya meremang. Kakek itu tiada ubahnya seperti mayat hidup, gerakannya seperti kaku akan tetapi cepat dan tiba-tiba, amat mengejutkan. Kelingking jari tangan kiri yang putus separuh itu menambah seram keadaannya.

Sementara itu Wan Keng In dengan wajah berseri telah membuka buntalan, mengeluarkan beberapa potong roti dan seguci air jernih. Roti dan guci terisi air ini dia letakkan di depan Milana dan dia berkata ramah,

“Milana pujaan hatiku, makan dan minumlah. Engkau tentu lapar, sudah dua hari engkau tidak mau makan atau minum sedikitpun, membuat hatiku menjadi tidak enak dan khawatir!”

Milana masih memandang punggung kakek yang duduk di atas batu.
“Dia juga tidak pernah makan atau minum selama ini,”

Katanya perlahan karena memang hatinya selalu bertanya-tanya, kalau dia menderita kelaparan selama dua hari itu karena dia selalu menolak makan atau minum, mengapa kakek itupun tidak pernah makan minum, bahkan pemuda itu tidak pernah menawarkan kepada gurunya, hanya selalu makan minum sendiri kalau Milana menolak.

“Suhu? Hemm, Suhu hanya makan hawa dan minum kabut embun.”

Kembali Milana merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Manusia biasa mana ada yang seperti itu?

“Aku tidak mau makan dan minum,” katanya lirih.

“Aihhh, jangan begitu, Manis. Mana bisa engkau seperti Suhu? Kalau sampai engkau jatuh sakit, siapa yang susah? Makanlah sedikit, dan minumlah air ini. Air jernih sejuk, baru kuambil siang tadi di lereng gunung.”

Ingin rasanya Milana membuat pemuda itu susah selama hidupnya, akan tetapi memang benar, dia tidak mungkin dapat hidup tanpa makan dan minum. Sekarangpun dia merasa amat haus dan lapar. Akan tetapi dia menahan diri. Kesempatan baik, pikirnya.

“Aku tidak bisa makan seperti ini.” katanya sambil memandang roti kering itu. “Aku biasanya hanya makan nasi dan masakan yang enak.”

“Wah, jangan khawatir. Kalau kita sudah tiba di Pulau Neraka, engkau mau minta masakan apa saja, tentu akan kusediakan. Akan tetapi disini, mana ada nasi dan masakan?”

“Tidak peduli!” Suara Milana agak keras, sebagian terdorong oleh rasa gembira bahwa dia dapat merongrong pemuda itu, kedua karena timbul harapannya untuk mencari kesempatan meloloskan diri. “Pendeknya, aku hanya mau makan kalau ada nasi, ada arak dan setidaknya ada daging panggang!”






Wan Keng In memandang dengan mata terbelalak kepada gadis itu, akan tetapi kemarahannya lenyap ditelan penglihatan yang mempesonakan hatinya. Bibir dara itu! Untuk bibir itu saja mau kiranya dia melakukan apapun juga, jangankan hanya mencarikan nasi dan sekedar daging panggang, biar disuruh memetik bintang dari langit sekalipun, kalau dia bisa, tentu akan dilakukannya!

“Aihhh.... bibirmu itu....”

Keng In menghela napas dan Milana yang mengira ada sesuatu pada bibirnya, otomatis menggunakan ujung lidahnya untuk menjilati sepasang bibirnya. Penglihatan ini membuat Keng In makin terpesona sampai dia melongo memandang dan menelan ludah. Barulah Milana maklum bahwa pemuda itu memuji bibirnya. Seketika sepasang pipinya menjadi kemerahan dan dia memandang dengan tajam.

“Sudahlah! Kalau tidak ada nasi dan daging berikut araknya, aku tidak sudi makan!”

“Serrr!” Hampir Keng In mengeluh. Pandang mata itu seolah-olah anak panah yang menancap di ulu hatinya.

“Aihhh.... matamu.... dan bibirmu.... eh, baiklah, Milana. Apa sih sukarnya mencarikan semua itu untukmu, Sayang?”

Tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak dan sekali berkelebat dia telah lenyap ke dalam hutan di bawah puncak yang sudah mulai gelap.

Berdebar jantung Milana. Pancingannya berhasil! Pemuda itu benar-benar pergi untuk memenuhi permintaannya. Di sekitar tempat itu, mana ada nasi dan daging serta arak? Pemuda itu tentu akan pergi mencari ke dusun dan belum tentu akan mendapatkan yang dimintanya sampai semalam suntuk. Dengan hati-hati Milana melirik ke arah kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya.

Kakek itu masih duduk bersila di atas batu, sama sekali tidak bergerak, bahkan agaknya bernapaspun tidak. Kakek itu seperti arca mati yang sudah melekat dan menjadi satu dengan batu yang didudukinya. Bagaimana kalau dia lari sekarang? Akan tetapi dia harus hati-hati dan tidak sembrono. Sekali dia gagal, tentu Keng In akan menjaga lebih ketat lagi, mungkin tidak akan membebaskannya dari totokan. Dia memang harus berusaha lari, akan tetapi sekali melakukannya harus berhasil.

Milana bangkit berdiri dan berjalan-jalan, matanya tak pernah dialihkan dari tubuh kakek yang masih duduk bersila. Dengan memberanikan diri, dia berjalan perlahan melewati depan kakek dan dia melihat bahwa kakek itu duduk bersila sambil memejamkan mata dan.... agaknya benar-benar tidak bernapas!

Biarpun cuaca sudah remang-remang, namun dia masih dapat melihat keadaan kakek itu. Sampai tiga kali dia berjalan perlahan seperti orang melemaskan kaki, mengelilingi kakek itu dan berhenti di sebelah belakangnya. Kakek itu sama sekali tidak pernah bergerak apalagi menengok.

Milana membungkuk, mengambil sepotong batu, lalu melontarkan batu itu ke semak-semak di sebelah kanan kakek itu, matanya memandang tajam. Namun, kakek itu tetap tidak bergerak sama sekali, seolah-olah telah mati, atau telah tidur nyenyak!

Jantung Milana berdebar tegang. Tentu kakek itu tidak akan merintanginya karena sedang tidur, atau demikian tenggelam dalam samadhinya sehingga seperti orang mati. Berindap-indap Milana melangkah menjauhi kakek itu, mengambil arah yang berlawanan dengan perginya Keng In tadi.

Makin lama langkahnya yang gemetar itu menjadi makin tetap, langkah kecil-kecil menjadi makin melebar dan karena kakek itu sudah tidak tampak lagi dalam cuaca yang suram, dia tidak lagi menengok dan selagi dia mengambil keputusan hendak lari, tiba-tiba terdengar suara orang di depannya. Seketika dia menjadi lemas melihat Keng In muncul dengan seekor ayam hutan di tangannya.

“Aihh, sudah begitu laparkah engkau, Sayang? Apakah engkau sengaja menyongsong aku? Lihat, kuperoleh seekor ayam, gemuk untukmu, enak dibuat menjadi ayam panggang!”

Milana memaksakan dirinya untuk tersenyum dan berkata dengan suara agak gembira,
“Aku hendak menyusul, habis engkau lama benar sih, dan perutku sudah amat lapar!”

“Aduh kasihan, bidadari yang jelita! Nah, terimalah ayam ini, kau tentu mau memanggangnya untuk kita makan bersama, bukan?”

Milana menahan kemarahan dan kekecewaannya, terpaksa menerima bangkai ayam hutan yang gemuk itu, kemudian sengaja berkata,

“Ahhh, kenapa hanya ayam saja? Apakah aku hanya kau suruh makan daging panggang? Mana nasinya? Mana araknya? Wan Keng In, aku sudah mulai menurut karena sikapmu yang baik akan tetapi kalau permintaan macam itu saja kau tidak mampu penuhi, apa gunanya aku tunduk?”

“Wah-wah.... sabarlah, Sayang. Aku memang sengaja membawa ayam ini lebih dulu agar dapat kau panggang. Selagi kau memanggangnya, aku akan pergi mencari nasi dan arak, jadi tidak ada waktu terbuang sia-sia, bukan?”

Milana tersenyum, agak lebar supaya kelihatan lebih manis, kemudian mengangguk.
“Baiklah, Keng In, akan tetapi jangan terlalu lama, ya? Perutku sudah lapar sekali.”

“Hi-hik, perutmu lapar atau engkau tidak tahan berpisah lama denganku?”

Ingin Milana meludahi muka pemuda itu untuk kata-kata ini, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya melirik sambil cemberut, sikap yang dia tahu menambah kemanisan wajahnya. Keng In tertawa kemudian berkelebat pergi, kini menuju ke kanan, agaknya di sebelah sana terdapat dusun terdekat.

Kembali berdebar jantung Milana. Sekaranglah saatnya, pikirnya. Tidak boleh membuang waktu lagi. Hampir saja dia tadi celaka. Kalau saja Keng In mendapatkan dia tadi sedang melarikan diri, sedang berlari cepat, tentu rahasianya ketahuan dan mungkin sekarang dia sudah rebah terbelenggu atau tertotok.

Dia bergidik, kemudian setelah menanti sejenak agar Keng In berlari cukup jauh ke sebelah kanan puncak, Milana lalu membanting bangkai ayam hutan lalu meloncat melarikan diri, mengambil jalan sebelah kiri puncak.

“Bresss....!”

Milana terjengkang dan cepat berjungkir balik agar jangan terbanting. Ketika dia berlari cepat tadi, tahu-tahu dia menabrak sesuatu yang tiba-tiba menghalang di depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit karena yang ditabraknya adalah tubuh kakek iblis guru Keng In yang entah bagaimana dan kapan tahu-tahu telah berdiri disitu dengan kedua lengan bersedakap dan kedua mata terpejam!

“Augghhh....!” Milana merintih menahan rasa ngeri, meloncat ke kiri tubuh kakek itu dan lari lagi.

“Brukkk....!”

Kembali dia terjengkang dan ketika meloncat bangun dan memandang, lagi-lagi kakek iblis itu yang ditabraknya.

“Aihhh....!”

Milana meloncat sambil membalikkan tubuh, berlari lagi untuk menjauhi kakek yang menyeramkan itu, akan tetapi kemanapun juga dia lari, dia selalu menabrak tubuh kakek berdiri itu, yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di depannya. Rasa ngeri bercampur takut membuat dia marah sekali, dengan nekat dia lalu menghantam dada kakek itu!

“Buk-buk-desss!”

Tiga kali dia menghantam dan yang ketiga kalinya dia mengerahkan seluruh tenaga, akan tetapi akibatnya dia roboh sendiri! Tubuh itu kaku dan keras seperti baja, sama sekali tidak bergoyang terkena pukulan-pukulannya yang disertai sin-kang!

Tiba-tiba rambut Milana yang terlepas dan terurai panjang itu dijambak, tubuhnya diseret. Dengan mata terbelalak Milana memandang. Kiranya kakek itu yang menjambak rambutnya dan yang menyeretnya. Dia menangis dan mengeluh, sama sekali tidak melawan karena maklum bahwa menghadapi kakek ini, dia lebih lemah daripada seorang anak kecil!

Setelah tiba di tempat tadi, kakek itu melepaskan jambakannya dan melemparkan tubuh Milana ke atas rumput, sedangkan dia sendiri lalu duduk diatas batu, bersila dan meram seperti tadi, seolah-olah telah berubah menjadi arca!

Milana menghentikan isaknya. Air matanya masih bercucuran, air mata jengkel, marah, dan putus harapan serta kecewa. Kini dia memandang kepada kakek itu dengan kemarahan meluap. Biar iblis sekalipun, kakek itu menghalanginya untuk lari, menggagalkan kesempatan baik yang diperolehnya.

“Iblis tua bangka....!”

Dia meloncat dan langsung menerjang tubuh kakek itu, menggunakan jurus terlihai dari Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), jari tangan kiri menotok ke tengkuk membidik jalan darah kematian, tangan kanan dengan jari terbuka membacok ke arah lambung dengan pengerahan sin-kang. Serangannya ini hebat sekali, selain terarah juga teratur dan disertai pengerahan seluruh tenaganya. Dara yang kecewa ini sudah nekat dan hendak membunuh atau terbunuh oleh kakek itu!

“Plakkk! Bukkk!”

Milana terpekik mundur, kedua lengannya lumpuh. Pukulan tadi tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh kakek itu sama sekali tidak terguncang, bahkan kedua tangannya terasa nyeri dan lengannya seperti lumpuh. Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, tiba-tiba tangannya sudah meluncur ke belakang dan menotok jalan darah di pundak Milana, membuat tubuh dara itu kehilangan tenaga dan roboh lemas!

Totokan kakek itu hebat luar biasa sehingga Milana tidak hanya lemas, akan tetapi juga lumpuh dan sama sekali tidak dapat digerakkan, kecuali bibir dan pelupuk matanya untuk menangis! Dia rebah miring dan ujung-ujung rumput yang menggelitik pipi dan daun telinganya amat mengganggu, akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kepalanya.

Benar seperti dugaan Milana, menjelang pagi, setelah ayam hutan mulai berkeruyuk dan cahaya di langit timur sudah mulai muncul, baru Keng In muncul, membawa bungkusan nasi, sayur-mayur, dan seguci arak!

“Milana kekasihku, inilah permintaanmu.... heiiii! Mengapa kau?”

Pemuda itu meletakkan bawaannya, berlutut dekat Milana dan cepat membebaskan totokan yang membuat dara itu lemas. Begitu terbebas dari totokan, biarpun tubuhnya masih lemas dan jalan darahnya belum pulih benar, Milana sudah mencelat bangun dan menyerang Wan Keng In!

“Brukkk! Heiii.... mengapa kau ini....?”

Keng In cepat menangkap lengan Milana dan merangkulnya, meringkusnya membuat dara itu tak mampu melepaskan diri.

“Milana bidadariku, pujaan hatiku, kenapa kau....? Mana daging panggang itu dan kenapa kau tertotok?”

Mau rasanya Milana menangis mengguguk. Demikian kecewa dan mendongkol rasa hatinya. Mendengar pertanyaan ini, timbul akalnya untuk mengadu domba antara guru dan murid ini.

“Mau tahu? Tanya saja gurumu tua bangka iblis itu!”

Ingin dia membohong, ingin dia menjatuhkan fitnah kepada kakek itu, mengatakan bahwa kakek itu hendak memperkosanya, akan tetapi karena sejak kecil dia tidak biasa membohong kata-kata ini tidak bisa keluar dari mulutnya.

Keng In menoleh kepada gurunya yang kini sudah membuka matanya.
“Suhu, apa yang terjadi? Mengapa Suhu membuat Milana rebah dengan totokan?”

“Keng In, engkau ini laki-laki macam apa? Tidak semestinya seorang laki-laki membiarkan dirinya dihina perempuan! Kalau kau suka dia dan dia banyak rewel paksa saja!”

Milana merasa benci bukan main kepada kakek itu setelah melihat kakek itu bicara tanpa menggerakkan bibir dan mendengar ucapan yang amat menghina dan merendahkan wanita itu. Kalau dia tidak tahu bahwa melawan kakek itu percuma saja, tentu dia sudah menerjang mati-matian.

“Aahh, Suhu, mana bisa teecu berlaku keras kepada Milana? Tentu dia tadi hendak melarikan diri maka Suhu menotoknya, bukan? Wah, jangan sekali-kali engkau melarikan diri, biarpun aku tidak ada. Masih untung bahwa Suhu hanya merobohkanmu, tidak membunuhmu.”

“Aku tidak takut mati!” Milana membentak.

“Huh, perempuan keras hati ini,” kembali kakek itu mengomel. “Dan kau mencinta dia?”

“Benar, Suhu. Aku cinta Milana, aku ingin menjadikan dia sebagai seorang isteri yang tercinta, yang membalas cintaku, karena itu, sangat mustahil kalau aku harus mengganggu badan atau nyawanya dengan kekerasan. Harap Suhu suka bersabar menghadapi Milana.”

“Huh, agaknya kau takut mengganggunya. Anak siapa dia?”

“Dia bukan seorang gadis sembarangan, Suhu. Dia adalah puteri tunggal dari Ketua Thian-liong-pang.”

“Huh!” Cui-beng Koai-ong mendengus memandang rendah.

Milana sudah bangkit berdiri dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu, suaranya lantang ketika dia berkata,

“Ibuku tidak hanya Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi dia juga Puteri Nirahai puteri Kaisar yang perkasa, dan ayahku adalah Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu Pulau Es! Kalau ayah bundaku tahu bahwa aku kalian culik, tentu mereka akan datang dan mencabut nyawa kalian berdua seperti mencabut rumput saja!”

Kakek yang tadinya kelihatan diam seperti arca itu, kini membuka mata memandang dan Keng In juga kelihatan terkejut karena dia tidak menyangka-nyangka bahwa dara yang dicintanya itu adalah puteri Pendekar Super Sakti. Cui-beng Koai-ong mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau marah, kemudian tubuhnya mencelat dekat, tangannya bergerak. Milana berusaha mengelak, namun kalah cepat.

“Brettt-brett-brettt....!”

Milana menjerit kaget melihat tubuhnya yang sudah menjadi telanjang bulat sama sekali karena tiga kali renggutan oleh tangan Cui-beng Koai-ong tadi sudah membuat seluruh pakaiannya, luar dan dalam, terobek dan tanggal semua!

“Suhu....!”

Cui-beng Koai-ong melemparkan pakaian itu ke atas tanah.
“Perkosa dia! Hayo kau perkosa puteri Pendekar Siluman ini!” katanya kepada Keng In.

Keng In membuka jubah luarnya dan menubruk gadis telanjang bulat yang matanya terbelalak lebar dan mukanya pucat, yang dengan sia-sia mencoba untuk menggunakan tangan menutupi tubuhnya, menutupkan jubah itu menyelimuti tubuh Milana. Dengan cepat gadis itu menggunakan jubah menutupi tubuhnya dan memandang kepada kakek itu dengan sinar mata penuh kebencian akan tetapi juga kengerian.

“Keng In, perkosa dia!” Kembali Cui-beng Koai-ong berkata. “Kalau tidak, aku yang akan melakukannya!”

“Suhu, jangan, Suhu. Aku ingin mendapatkan dia dengan suka rela, aku cinta padanya.”

“Aku tidak peduli kau cinta atau tidak. Saat ini aku ingin melihat engkau memperkosa seorang perempuan, dan kau harus melakukan hal itu!”

“Suhu, tunggu....! Ada orang....!”

Wan Keng In berseru dan meloncat ke depan. Benar saja tampak bayangan berkelebatan dan muncullah lima orang yang gerakannya gesit dan bersikap gagah. Empat orang laki-laki setengah tua yang bersenjata pedang dan seorang wanita berusia tiga puluhan tahun, juga gagah sikapnya, bersenjata sebatang cambuk.

“Bebaskan Nona itu!”

Wanita itu sudah membentak dan cambuknya bergerak mengeluarkan suara meledak-ledak. Juga empat orang laki-laki itu sudah menerjang maju, disambut oleh Keng In yang sudah mengeluarkan pedangnya. Begitu pemuda ini mengelebatkan pedangnya, tampak sinar berkilat dan sinar ini menyambar ke arah empat orang penyerangnya.

“Cringgg trak-trak-trak-trak!”

Empat batang pedang di tangan empat orang laki-laki gagah itu patah semua ketika bertemu dengan Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In, bahkan disusul robohnya tubuh mereka yang hampir putus menjadi dua potong. Mereka roboh dan tak bergerak lagi, mandi darah mereka sendiri.

Milana tadinya hendak bergerak membantu para penolongnya, akan tetapi terpaksa mengurungkan niatnya karena teringat akan tubuhnya yang telanjang bulat dan hanya terselimut jubah luar. Kalau dia bergerak, tentu jubahnya terbuka! Apalagi melihat betapa dalam segebrakan saja Keng In telah membunuh empat orang itu, harapannya lenyap kembali.

Wanita bercambuk itu menjadi kaget dan marah. Cambuknya menyambar ke arah Wan Keng In yang sambil tersenyum telah menyarungkan Lam-mo-kiam kembali. Cambuk menyambar dan mengenai leher Keng In, melibat leher dan wanita itu menarik.

Namun, tubuh Keng In sama sekali tidak bergoyang, bahkan sekali Keng In menarik leher ke belakang, tubuh wanita itu terhuyung ke depan, tertangkap oleh pelukan kedua lengan Keng In. Wanita itu hendak meronta, akan tetapi cambuknya sudah mengikat kedua tangannya sehingga tidak dapat berkutik.

“Apakah Suhu masih ingin melihat aku memperkosa perempuan?”

Keng In yang sengaja tidak membunuh wanita ini karena ingin menolong Milana, menoleh kepada gurunya.

“Hem, hayo cepat!” gurunya yang gila itu berkata.

Keng In menotok wanita itu sehingga menjadi lemas, kemudian dia menanggalkan seluruh pakaian wanita itu satu demi satu, melempar-lemparkan pakaian itu kepada Milana sambil berkata,

“Milana, kau pakailah pakaiannya, pakaianmu sudah robek semua.”

Milana tidak mengerti apa yang akan terjadi, akan tetapi melihat pakaian itu dilempar-lemparkan kepadanya ia lalu memakainya. Untung bahwa bentuk tubuh wanita itu hanya sedikit lebih besar dari tubuhnya, maka pakaian itu, dari pakaian dalam sampai pakaian luar, dapat dipakainya dengan baik.

Akan tetapi, betapa kaget dan ngeri hati Milana ketika melihat Keng In mulai menanggalkan pakaiannya sendiri kemudian menubruk wanita tawanan yang sudah menggeletak di atas rumput tanpa pakaian itu.

“Kau....!”

Milana marah bukan main, lupa diri dan bergerak menyerang Keng In. Akan tetapi, dengan tangan kirinya Keng In menyambar cambuk wanita tadi, menggerakkan cambuk itu sehingga ujungnya menotok pundak Milana yang terguling roboh dan tidak mampu bergerak lagi.

Gadis ini mula-mula terbelalak memandang penglihatan yang terjadi hanya dua meter di depan matanya, kemudian dia memejamkan matanya dan seluruh tubuhnya menggigil. Hatinya penuh dengan kebencian dan dia berjanji untuk membunuh Wan Keng In dan gurunya itu karena dia menganggap mereka itu bukan manusia, kejam melebihi binatang buas, bahkan iblis sendiri belum tentu seganas dan sejahat mereka!

Biarpun dia telah memejamkan matanya, namun Milana tetap saja mendengar rintihan wanita itu. Betapa heran dia setelah beberapa lama, terdengar wanita itu berkata diseling isak,

“Aku.... aku akan membantumu.... aku bersedia menjadi pembantumu yang setia.... asal jangan bunuh aku.... ampunkanlah aku...., aku telah berani menentang seorang gagah seperti engkau.”

Ucapan itu terhenti, terdengar suara “prakkk!” dan keadaan menjadi sunyi. Tidak terdengar apa-apa lagi. Setelah agak lama, barulah Milana merasa pundaknya disentuh dan dia terbebas dari totokan.

Dibukanya matanya dan dia terbelalak. Sinar matahari pagi menimpa tubuh yang telanjang bulat, tubuh yang berkulit putih bersih, akan tetapi kini kulit yang putih kuning itu telah berlepotan darah, diantaranya darah yang masih menetes keluar dari kepalanya yang pecah!

“Ihhh....!” Milana menutupi mata dengan kedua tangannya.

Wan Keng In yang sudah berpakaian lagi itu merangkulnya dan berbisik,
“Terpaksa kulakukan untuk memuaskan hati Suhu, dan sebagai penggantimu.”

Biarpun masih nanar, Milana maklum apa artinya semua itu, dan kejijikan terhadap Keng In makin menghebat. Direnggutnya secara kasar tubuhnya dari rangkulan Keng In.

Tiba-tiba Wan Keng In meloncat ke atas batu besar di puncak itu, memandang ke sekeliling. Kemudian dia melayang turun lagi, berkata kepada suhunya yang masih duduk di atas batu,

“Suhu, kurang lebih lima puluh orang telah mengurung puncak ini, agaknya teman-teman lima orang itu. Bagaimana baiknya? Apakah teecu amuk dan bunuh saja mereka?”

“Mana anak buah kita?” Kakek itu berkata tak acuh.

“Belum ada yang muncul, Suhu.”

“Hemmm...., panggil mereka. Suruh mereka basmi anjing-anjing itu!”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar