FB

FB


Ads

Selasa, 27 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 092

“Ha-ha-ha! Dia baru datang!”

Bu-tek Siauw-jin terkekeh dan Bun Beng juga sudah dapat menduga siapa adanya orang yang mengeluarkan suara melengking seperti itu. Nirahai dan Lulu saling pandang, agaknya baru menduga setengahnya, dan baru mereka terkejut ketika lengking itu disusul suara yang terdengar dari jauh akan tetapi amat jelas.

“Nirahai....! Lulu....! Kalian memang patut dihajar!”

Wajah Nirahai berubah merah sekali, dan wajah Lulu yang telah menjadi putih karena keracunan di Pulau Neraka tidak berubah, akan tetapi matanya bergerak-gerak liar ke kanan kiri mencari-cari.

Tentu saja kedua orang wanita ini mengenal suara itu, suara yang mereka takkan lupakan selama hidup mereka, suara yang selalu terdengar oleh telinga mereka di waktu mereka melamun atau di waktu mereka bermimpi. Tanpa disengaja keduanya saling pandang dan seolah-olah dalam pandang mata mereka itu terjadilah sebuah permufakatan tanpa direncanakan atau dibicarakan, bahkan kini tanpa diucapkan.

Bun Beng memandang dengan hati penuh ketegangan, apalagi ketika ia melihat sikap kedua orang wanita cantik itu. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa Pendekar Super Sakti marah-marah, dan mengapa kedua orang wanita itu kini hendak menyambut kedatangan pendekar yang dikagumi itu dengan jarum-jarum di tangan kiri!

Bagaikan seekor burung garuda putih tubuh Pendekar Super Sakti meluncur turun dari atas, gerakannya cepat bukan main karena dia telah mempergunakan ilmunya yang luar biasa, yaitu Soan-hong-lui-kun. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, berloncatan dengan ayunan kaki tunggalnya, makin lama makin cepat seolah-olah Kauw Cee Thian (Si Raja Monyet) sendiri yang berloncatan!

Dengan wajahnya yang tampan gagah itu kini kehilangan kemuramannya, sepasang matanya yang tajam dan aneh itu bersinar-sinar, kedua pipinya kemerahan dan wajahnya berseri, dagunya mengeras membayangkan kemauan keras yang tidak dapat dibantah, pendekar itu kini telah berdiri di depan kedua orang wanita itu dengan tegak.

“Singg.... wir-wir-wir.... siuuuttt....!”

Sinar-sinar merah meluncur dari tangan kiri Nirahai dan sinar hitam meluncur dari tangan kiri Lulu. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam dan Hek-kong-ciam dari kedua orang wanita sakti itu. Jarum-jarum yang selain mengandung racun mematikan, juga dilempar dengan pengerahan tenaga sin-kang sehingga jarum-jarum kecil itu cukup kuat untuk menembus benda keras! Namun Pendekar Super Sakti sama sekali tidak mengelak atau bergerak menangkis, masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali, bibirnya tersenyum dan sinar matanya amat tajam.

“Cep-cep-cep, wir-wir-wirrr!”

Jarum-jarum yang saking cepatnya telah menjadi sinar-sinar merah dan hitam itu seolah-olah menembus tubuh Suma Han. Padahal, tidak ada sebatang pun jarum yang menyentuh kulitnya, karena jarum-jarum itu hanya mengenai baju di sekeliling tubuhnya, menembus baju itu dan meluncur terus ke sebelah belakang tubuh Suma Han.

Kiranya, biarpun kelihatan marah dan ganas, kedua orang wanita itu melontarkan senjata rahasia mereka dengan terarah, sama sekali tidak ada yang ditujukan kepada tubuh orang yang mereka cinta, melainkan membidik ke sekeliling tubuhnya.

“Ihhhh....!” Lulu menahan seruannya dan matanya yang lebar terbelalak.

“Ohhhh....!” Nirahai juga menahan seruannya dan otomatis tangan kirinya meraba bibir menutupi mulutnya.

Kedua orang wanita itu kaget setengah mati, bukan hanya karena rahasia mereka terbuka, rahasia bahwa mereka itu biarpun di luarnya kelihatan marah dan memusuhi, namun di balik sikap ini terkandung rasa cinta yang besar sehingga mereka tidak mau menyerang sungguh-sungguh dengan jarum-jarum mereka. Bukan karena inilah mereka terkejut, melainkan karena melihat kenyataan betapa Suma Han sama sekali tidak mengelak atau menangkis!

Mereka maklum bahwa biarpun mereka menyerang dengan sungguh-sungguh sekalipun, tak mungkin mereka akan dapat melukai pendekar itu dengan jarum-jarum mereka. Mereka mengharapkan pendekar itu mengelak atau memukul runtuh jarum-jarum mereka dengan kibasan tangan atau dengan tongkat. Siapa kira, pendekar itu sama sekali tidak mengelak sehingga andaikata mereka tadi menyerang sungguh-sungguh, tentu tubuh Suma Han telah terkena jarum beracun!

“Kau.... kau mau apa.?” Lulu bertanya, gagap.

“Pendekar kaki buntung, mau apa engkau datang kesini?” Nirahai juga menegur, suaranya bergetar ketika menyebut “Pendekar Kaki Buntung” menyakitkan hati sekali.

Akan tetapi Suna Han tidak mempedulikan itu, hanya memandang mereka lalu terdengar suaranya menegur, seperti seorang ayah menegur dua orang anaknya yang nakal.

“Apa yang kalian lakukan ini? Mengapa kalian begini bodoh untuk melibatkan diri dengan urusan negara? Benar-benar kalian masih belum dewasa, lancang dan perlu dihajar!”

Nirahai dan Lulu terbelalak memandang Suma Han. Sedikitpun mereka tidak pernah mimpi akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut Suma Han, laki-laki yang sejak dahulu bersikap lemah, yang menyakiti hati mereka oleh kelemahan sikapnya itu. Akan tetapi, disamping keheranan luar biasa, juga ucapan Suma Han membangkitkan kemarahan besar.

“Peduli amat engkau dengan apa yang kami lakukan?” Nirahai balas membentak. “Engkau mau apa kalau kami mencampuri urusan negara?”

“Tentu saja aku peduli karena engkau isteriku, Nirahai. Setiap perbuatan seorang isteri menjadi tanggung jawab suaminya pula. Dan juga perbuatan Lulu menjadi tanggung jawabku! Aku melarang kalian melanjutkan penglibatan diri kalian dengan urusan pemerintah!”

“Suma Han, enak saja kau bicara!” Lulu membentak marah dan bertolak pinggang. “Nirahai suci boleh jadi isterimu, akan tetapi engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!”

Suma Han tersenyum memandang Lulu dan senyum ini saja sudah hampir melepaskan semua sendi tulang di tubuh wanita ini.

“Lulu, berani engkau bicara seperti itu kepadaku? Engkau adik angkatku.”

“Aku tidak sudi menjadi adikmu!”






“Aku tahu, biarlah kurubah sebutan, itu. Engkau sebagai wanita yang mencintaku juga yang kucinta, tentu saja engkau menjadi tanggung jawabku pula dan engkau harus menurut kata-kataku!”

Lulu membanting-banting kaki kanannya, kebiasaan yang belum juga dapat dihilangkannya semenjak dia masih seorang dara remaja!

“Tidak tahu malu! Tak tahu malu.!”

“Suma Han, apa kehendakmu dengan segala sikap aneh ini? Apakah engkau datang untuk membadut? Ataukah engkau sekarang sudah gila?”

“Ha-ha-ha! Ho-ho-ho-heh-heh! Lucu....! Lucu....! Belum pernah aku melihat yang selucu ini! Mau aku digantung kalau aku pernah melihat yang selucu ini! Ha-ha-ha!”

Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa sambil memegangi perutnya. Bun Beng yang tadinya merasa tegang, terpaksa menahan geli hatinya mendengar ucapan dan melihat sikap kakek sinting itu. Disana-sini terdengar suara tertawa dan Suma Han segera menoleh ke kanan kiri. Kiranya tempat itu penuh dengan perajurit-perajurit anak buah Nirahai yang menonton!

“Keparat kalian semua! Pergi dari sini.!”

Suma Han yang menjadi merah mukanya itu membentak ke kanan kiri, ditujukan kepada para perajurit. Para perajurit menjadi kaget, akan tetapi mereka tidak bergerak pergi. Panglima mereka berada disitu, mana mungkin mereka pergi begitu saja diusir oleh orang luar, sungguhpun mereka mendengar bisikan-bisikan bahwa yang mengusir mereka itu Pendekar Siluman yang namanya pernah menggegerkan istana!

Nirahai menoleh ke kanan kiri dan dia pun membentak,
“Kalian pergi! Pergi....! Pergi jauh dan jangan ada yang mendekat!”

Tentu saja perintah yang keluar dari mulut Nirahai ini seperti cambukan pada tubuh sekumpulan domba. Mereka terkejut dan ketakutan, cepat mereka itu membubarkan diri dan pergi dari tempat itu.

Tak seorangpun berani mendekati tempat itu, biar dengan sembunyi sekalipun, karena mereka tahu bahwa sembunyipun percuma, tentu akan diketahui oleh panglima wanita yang amat lihai itu. Sebentar saja tempat itu menjadi sunyi. Kini yang masih berada di tempat itu hanyalah Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin.

“Nirahai, sekarang kujawab pertanyaanmu tadi. Aku datang sebagai suamimu dan engkau sebagai isteriku harus tunduk kepadaku, dan harus ikut ke manapun aku pergi. Aku hendak membawamu pergi. Aku hendak membawamu pergi dari sini dan kau harus ikut denganku!”

“Tidak sudi!”

“Sudi atau tidak, mau atau tidak, engkau harus ikut bersama aku sekarang juga. Kalau kubiarkan terus sendirian, makin lama engkau makin keras kepala dan menimbulkan keributan dimana-mana. Huh, sungguh gila! Menjadi Ketua Thian-liong-pang, berkerudung, menggegerkan kang-ouw, kemudian sekarang malah kembali menjadi panglima pemerintah. Apa-apaan ini?”

“Setan! Kau kira akan mudah saja memaksaku!”

Nirahai hampir menjerit saking marahnya. Mukanya merah, sepasang matanya mendelik dan tangannya sudah meraba gagang pedang Hok-mo-kiam di pingganggnya.

“Lawan saja, Suci. Dia memang seorang manusia tak tahu diri, biar kubantu engkau, Suci!” Lulu berkata, juga suaranya terdengar marah sekali.

“Lulu, engkau pun mulai saat ini harus ikut dengan aku. Suka tidak suka, mau tidak mau, engkau harus berada di sampingku untuk selamanya!” kembali Suma Han berkata dan di dalam suaranya terkandung ketegasan yang tidak boleh dibantah lagi.

“Apa? Lebih baik aku mati!” Lulu membentak.

“Engkau takkan kubiarkan mati. Kalian harus ikut bersamaku dan habis perkara!” kembali Suma Han berkata.

“Sing....!”

Hok-mo-kiam telah dicabut dari sarungnya, kemudian Nirahai menerjang maju menyerang Suma Han dengan gerakan cepat sekali. Lulu tidak tinggal diam dan diapun sudah menyerang dengan pukulan-pukulan maut.

“Bagus! Memang aku harus menundukkan kalian dengan kekerasan, hal yang semestinya kulakukan sejak dahulu!”

Suma Han berkata, suaranya terdengar gembira, dan tubuhnya sudah mencelat mengelak, kemudian seperti kilat dia mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi dua orang wanita yang dicintanya, dua orang wanita yang selama kurang lebih dua puluh tahun telah membuat dia menderita amat hebat!

Tongkatnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung mengimbangi sinar pedang Hok-mo-kiam, dan dia menghadapi dua orang wanita itu dengan pengerahan ilmunya karena baik Nirahai maupun Lulu, bukanlah dua orang wanita seperti dua puluh tahun yang lalu, melainkan telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sehingga tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi.

Nirahai dan Lulu juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan Suma Han. Hanya inilah satu-satunya jalan bagi mereka untuk mempertahankan harga diri dan keangkuhan mereka. Mereka tidak akan menyerah mentah-mentah sungguhpun di sudut hati mereka, dua orang wanita ini merasa terharu, bangga dan juga bahagia bahwa pria yang mereka cinta itu bersikeras untuk hidup bersama mereka!

Seperti telah bermufakat sebelumnya, dalam menghadapi Suma Han ini, Nirahai dan Lulu dapat bekerja sama dan seolah-olah saling membantu sehingga tentu saja kedudukan mereka kuat bukan main, membuat Suma Han yang sudah mempergunakan Ilmu Sakti Soan-hong-lui-kun itu harus bersikap hati-hati kalau dia tidak ingin gagal dan dikalahkan!

“Ha-ha-ha, lucu! Lucu dan gila! Eh, Bun Beng, lihat mereka bertiga itu! Seperti kanak-kanak, atau orang-orang dewasa yang miring otaknya! Ha-ha, jangan mau kalah, Nirahai dan Lulu! Laki-laki macam itu memang pantas dihajar babak belur, biar kapok, biar tahu bahwa wanita-wanita macam kalian tak boleh dibuat sembarangan, tak boleh dipermainkan. Ha-ha-ha! Eh, Pendekar Siluman, masa engkau tidak mampu menundukkan mereka? Wanita-wanita keras kepala memang semestinya ditundukkan dengan kekerasan. Itulah yang mereka kehendaki! Mereka suka ditundukkan, suka menyerah di bawah kekerasan laki-laki! Kalau engkau menjadi suami yang terlalu lunak, terlalu halus terlalu mengalah, mereka malah muak! Hayo, gaplok saja! Wah, ramai....! Ramai....! Ha-ha-ha!”

Tiga orang itu saling serang dengan hebat, Bun Beng menonton dengan hati gelisah akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa gembira bertepuk-tepuk tangan, bersorak dan menyiram minyak pada api di hati tiga orang itu saling bergantian agaknya ingin melihat pertandingan itu makin seru dan mati-matian. Lagaknya seperti kalau dia mengadu jangkerik, akan tetapi kali ini dia tidak memihak, kedua pihak dipujinya juga dicelanya!

“Locianpwe, bagaimana Locianpwe dapat mengatakan lucu? Teecu tidak melihat sesuatu yang lucu, hanya tegang karena pertandingan hebat ini benar-benar amat berbahaya.”

Biarpun bicara dengan Bu-tek Siauw-jin, namun pandang mata Bun Beng tidak pernah beralih dari gerakan tiga orang yang bertempur itu. Dia kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang demikian dahsyat dan luar biasa. Ilmu yang dimainkan tiga orang itu adalah ilmu silat-ilmu silat tinggi yang sebagian besar bersumber kepada ciptaan-ciptaan Bu Kek Siansu atau Koai-lojin, juga menjadi ilmu silat pusaka dari keluarga Suling Emas yang terkenal sepanjang masa itu.

“Eh? Engkau tidak melihat lucunya? Mereka itu saling mencinta, dan sekarang saling menyerang seperti orang-orang yang saling membenci mati-matian. Mereka seperti orang gila, dan memang mereka telah dibikin gila oleh cinta! Ha-ha!”

Bun Beng mengerutkan alisanya dan kini dia mengalihkan pandang matanya dari pertempuran itu karena penasaran. Mengapa kakek yang sakti ini demikian memandang rendah cinta? Cinta baginya suci murni, halus dan sungguh-sungguh urusan perasaan yang paling halus, terutama dia berpendapat seperti itu setelah pertemuannya yang terakhir dengan Milana. Akan tetapi kakek ini bicara soal cinta seolah-olah cinta merupakan hal yang remeh dan lucu!

“Locianpwe, menurut pendapat teecu, cinta adalah perasaan yang mulus, murni dan bersih. Tidak ada yang lebih suci daripada cinta. Mengapa Locianpwe menganggapnya lucu?”

Suaranya mengandung penasaran. Kalau cinta dianggap lucu dan remeh, apakah cinta antara dia dan Milana juga remeh dan lucu?

“Ha-ha-ha, itulah tandanya engkau dimabok cinta! Tandanya engkau menjadi korban cinta! Semua cinta yang disebut-sebut manusia adalah cinta yang palsu!”

“Wah, teecu tidak bisa menerima pendapat Locianpwe ini!”

Bun Beng membentak dan mereka berdua kini sudah melupakan tiga orang yang masih saling serang. Kini mereka berdua berhadapan, saling pandang seperti dua orang yang siap untuk bertanding, bukan bertanding pukulan melainkan bertanding pendapat tentang cinta!

“Bagaimana Locianpwe dapat mengatakan bahwa cinta yang murni dari Suma taihiap terhadap mereka itu palsu?”

“Cinta antara pria dan wanita bukanlah cinta yang sejati namanya! Melainkan asmara yang timbul dari kecocokan selera, baik mengenai ketampanan maupun mengenai watak sehingga saling tertarik, kagum seperti orang melihat bunga-bunga indah. Gairah karena kecocokan selera ini bercampur dengan nafsu berahi. Asmara ini penuh dengan keinginan menguasai, memiliki, memperbudak, penuh dengan keinginan dimanja, dipuja dan dijunjung tinggi, disamping keinginan menikmati kepuasan dari hubungan badan yang didorong nafsu berahi.

Semua ini bersumber kepada Si Aku yang selalu menujukan segala hal demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, biarpun dengan cara yang cerdik berliku-liku, tujuan terakhir adalah untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Karena itulah, asmara antara pria dan wanita ini menimbulkan hal-hal gila seperti sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan duka, kalau dikhianati menimbulkan benci, kalau kurang tanggapan menimbulkan cemburu. Pendeknya, asmara antara pria dan wanita menimbulkan bermacam pertentangan, ketakutan, yaitu takut kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara pria dan wanita yang kau agung-agungkan itu!”

Bun Beng masih penasaran.
“Mungkin itu gambaran cinta seorang yang berwatak buruk, seorang yang hanya ingin mementingkan dirinya pribadi! Cinta seorang yang berhati murni amat bersih, sanggup berkorban, dan siap melakukan apapun juga, bahkan berkorban nyawa kalau perlu, untuk orang yang dicinta!”

“Ha-ha-ha, alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang dimabok cinta! Memang aku percaya bahwa engkau akan berani berkorban nyawa untuk gadis yang kau cinta, Bun Beng. Akan tetapi bagaimana seandainya gadis itu tidak membalas cintamu? Bagaimana kalau engkau melihat dia berkasih-kasihan dengan pria lain? Bagaimana kalau dia tidak setia kepadamu, memperolok cintamu dan dengan mencolok bermain cinta dengan pria lain di hadapanmu? Apakah engkau rela dan cintamu akan tetap?”

“Cintaku takkan berubah....” Bun Beng menjawab akan tetapi jawabannya yang keluar dengan suara sumbang itu lenyap ditelan suara kakek itu. Bun Beng masih penasaran dan berkata,

“Kalau begitu, apakah tidak ada cinta suci di dunia ini menurut pendapat Locianpwe?”

“Tidak ada! Yang disebut-sebut orang, semua adalah cinta palsu yang berdasarkan kepada kepentingan Si Aku masing-masing.”

“Ah, masa begitu, Locianpwe? Bagaimana dengan cinta seorang anak kepada ibunya?”

Bun Beng mengajukan pertanyaan dengan penuh semangat, karena dia merasa bahwa tentu kakek itu takkan mampu menjawab. Bagaimana mungkin orang menyangsikan cinta kasih seorang anak terhadap ibunya?

“Itupun palsu! Seorang anak merasa terkurung budi kepada ibunya, orang terdekat dengannya sejak kecil! Orang yang bersikap manis, orang yang selalu digantunginya, disandarinya, sehingga dia terbiasa oleh perlindungannya dan setelah Si Anak besar, teringat akan kebaikan-kebaikan ini merasa berhutang budi dan ingin membalas budi. Bukan cinta yang sejati, melainkan perasaan hutang budi belaka.

Andaikata Si Anak sejak bayi diberikan kepada seorang wanita lain, kalau wanita itu melimpahkan kebaikan-kebaikan kepadanya, tentu anak itu akan berhutang budi pula. Inipun bersumber kepada Si Aku, coba kalau seorang ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya, apakah Si Anak akan tetap mencintanya seperti yang diucapkan mulutnya? Lihat saja semua orang yang telah dewasa, setelah menikah, bukankah perasaannya lebih mendekat kepada suami, isteri, dan anak-anaknya?”

“Wah, Locianpwe pandai sekali berdebat. Bagaimana kalau cinta kasih seorang ibu kepada anaknya? Nah, beranikah Locianpwe menyangkalnya dan mengatakan bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anaknya juga palsu?”

“Memang palsu selama Si Ibu mengharapkan kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang ibu hendak membuktikan cintanya palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada diri sendiri, marahkah dia kalau Si Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah dia kalau Si Anak berani melawannya dan bersikap kurang ajar kepadanya, dan dukakah dia kalau Si Anak melupakannya dan tidak membalas budi kepadanya. Kalau benar demikian, maka sesungguhnya dia tidak mencinta anaknya, karena dimana ada cinta, disitu tidak mungkin ada kebencian, kemarahan dan kedukaan.”

“Wah, kalau begitu pendapat Locian-pwe, cinta bukan perasaan manusia biasa! Agaknya hanya cinta kasih manusia terhadap Tuhan saja yang suci!” Bun Beng membantah.

“Sama sekali tidak! Cinta manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Sesungguhnya bukan cinta, melainkan pemujaan dan pemujaan ini palsu belaka kalau di baliknya terdapat keinginan agar memperoleh balas jasa atau imbalan. Kalau manusia memuja Tuhan dengan niat agar memperoleh imbalan berkah, baik selagi masih hidup atau kelak kalau sudah mati, maka pemujaan itupun palsu belaka, seperti jual beli! Cinta adalah sederhana dan wajar, tanpa pamrih, karenanya tidak akan mendatangkan kecewa, benci atau duka.”

“Haaaiiittt.... desss! Desss!”

Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin terpaksa menengok dan mereka melihat betapa Nirahai dan Lulu tadi menyerang secara berbareng, akan tetapi dengan teriakan panjang tubuh Suma Han mencelat ke atas dan ketika kedua orang wanita itu mengejar dengan loncatan cepat, Suma Han mendorongkan kedua tangannya untuk menangkap mereka.

Mereka menangkis dan keduanya terlempar kembali ke bawah, hampir terbanting kalau tidak cepat-cepat menggulingkan tubuh lalu meloncat berdiri. Dengan kemarahan meluap keduanya sudah menerjang dan pertandingan berlangsung terus lebih ramai. Melihat ini, Bun Beng kembali menoleh kepada Bu-tek Siauw-jin.

“Locianpwe yang begitu pandai menguraikan tentang cinta, yang begitu pandai menyeret semua cinta kepada hal yang remeh dan palsu, tentunya sudah mempunyai banyak sekali pengalaman tentang cinta. Pernahkah Locianpwe mencinta seseorang, seorang wanita maksud teecu?”

Bu-tek Siauw-jin meloncat tinggi ke belakang seperti disambar seekor ular berbisa, matanya terbelalak.

“Hehhh....? Aku....? Aku mencinta seorang wanita? Gila kau! Aku.... aku belum pernah terjeblos ke dalam perangkap asmara!”

“Kalau begitu, bagaimana Locianpwe bisa bicara tentang asmara?”

“Bukan karena pengalaman sendiri, melainkan karena melihat akibat-akibat yang terjadi dan dengan membuka mata melihat, membuka telinga mendengar. Lihat dan dengar saja tiga orang itu! Jelas, bukan? Mereka tidak saling mencinta, dalam arti kata cinta suci, kalau demikian, mana ada duka, mana ada benci, dan mana ada pertempuran seperti sekarang ini?”

“Haiii, Bu-tek Siauw-jin! Kami bukan bertempur, melainkan aku sedang berusaha untuk menundukkan mereka ini!”

Jawaban ini keluar dari mulut Suma Han dan sekali ini Bu-tek Siauw-jin membalikkan tubuh menonton. Dia terkekeh, merasa terpukul pernyataannya yang terakhir tadi tentang tiga orang ini karena kini barulah dia tahu bahwa pertandingan yang kelihatan mati-matian itu sebetulnya mengandung hal-hal tidak wajar yang amat lucu!

Biarpun Suma Han melancarkan pukulan-pukulan hebat, namun semua pukulan itu hanya dimaksudkan untuk menangkap kedua orang wanita itu bukan untuk merobohkan. Dan lucunya, pedang Hok-mo-kiam itu biarpun berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung, sesungguhnya lebih banyak merupakan ancaman daripada serangan betul-betul, seolah-olah pemegangnya selalu khawatir kalau-kalau pedang yang ampuh itu betul-betul akan menembus tubuh Suma Han.

Demikian pula dengan Lulu, pukulan-pukulannya hanyalah pukulan yang dia yakin takkan mencelakai tubuh orang yang dicintanya! Tiga orang itu melampiaskan kemarahan dan kemendongkolan hati, namun tetap saja tidak tega untuk saling mencelakakan, apalagi saling membunuh!

“Cringgg....! Bun Beng, terimalah pedang ini!”

Sebuah tangkisan tongkat yang digetarkan oleh tangan Suma Han membuat pedang Hok-mo-kiam terlepas dari tangan Nirahai dan terlempar ke arah Bun Beng. Pemuda itu tentu tidak akan berani menerima pedang yang tadinya dipegang oleh Nirahai itu kalau tidak diperintah oleh Suma Han. Dia cepat menyambut pedang itu dan tetap berdiri dengan pedang di tangan, memandang penuh perhatian.

“Kalian benar-benar keras kepala!”

Ucapan Suma Han ini disusul dengan serbuannya ke depan, serbuan yang nekat dan bukan merupakan jurus ilmu silat lagi, melainkan menubruk dan menggunakan kedua lengannya merangkul pinggang kedua orang wanita itu, terus diangkat dan dipanggulnya!

Karena dia tidak melakukan penotokan, tentu saja amat mudah bagi Nirahai dan Lulu andaikata mereka hendak mencelakai Suma Han. Kaki tangan mereka meronta-ronta dan mulut mereka berteriak,

“Lepaskan! Lepaskan aku!”

Akan tetapi mereka sama sekali tidak menggunakan tangan yang bebas untuk melakukan serangan. Padahal dalam keadaan seperti itu, kalau mereka melakukan totokan atau pukulan, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan mampu menjaga dirinya!

“Tidak akan kulepaskan kalian lagi!” kata Suma Han yang memanggul tubuh dua orang itu di atas pundaknya, dengan dipeluk pinggang mereka kuat-kuat.

“Lepaskan aku, kalau tidak, kupukul pecah ubun-ubun kepalamu!” Lulu berteriak, tangannya dikepal dan mengancam di atas kepala Suma Han.

“Hayo lepaskan aku! Apa kau ingin kutotok jalan darah kematianmu di tengkukmu!” Nirahai mengancam pula, jari tangannya sudah menyentuh jalan darah pokok di tengkuk Suma Han.

Suma Han hanya tersenyum dan kelihatan gembira sekali.
“Biar kalian membunuhku, aku tidak akan melepaskan kalian sebelum kalian berjanji untuk memenuhi permintaanku.”

“Manusia tak tahu malu! Apa permintaanmu?” Nirahai membentak.

“Nirahai, engkau adalah isteriku, maka mau atau tidak, engkau mulai sekarang harus ikut bersamaku, kemanapun aku pergi dan kau harus selalu memenuhi perintahku sebagai suamimu!”

“Suma Han! Nirahai suci mungkin saja kau paksa karena dia isterimu. Akan tetapi aku tidak semestinya kau paksa!” Lulu meronta dan berteriak.

“Kita telah melakukan kekeliruan, biarpun saling mencinta tidak bersikap jujur. Untuk menebus kesalahan kita itu, mulai sekarang kita tak boleh berpisah lagi. Engkau harus ikut pula bersama kami, Lulu, dan untuk selamanya hidup bersamaku!” jawab Suma Han, suaranya tegas.

“Suma Han, enak saja kau bicara! Katakan, siapakah yang kau cinta? Aku ataukah Lulu sumoi?” Nirahai menuntut.

“Aku.... aku mencinta kalian berdua, dan aku mau menghabiskan sisa hidupku disamping kalian berdua, sampai kakek nenek, sampai mati.”

“Aku tidak sudi menjadi adik angkatmu!”

“Kalau begitu, karena kita saling mencinta dan sudah semestinya demikian, engkau mulai sekarang menjadi isteriku juga.”

“Gila! Mana mungkin suci mau menerima aku sebagai madunya?”

“Lulu-sumoi! Kau bilang apa? Kalau dia tidak mau mengambil engkau sebagai isterinya, akupun tidak akan sudi ikut bersamanya.”

“Nirahai-suci....!”

Jerit yang keluar dari mulut Lulu ini sudah berubah, tidak lagi marah melainkan mengandung isak.

“Sumoi, sudah semestinya begini....!”

Nirahai berkata dan keduanya masih dipanggul di atas kedua pundak Suma Han, kini saling rangkul di punggung pendekar itu, saling rangkul sambil menangis.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar