FB

FB


Ads

Selasa, 27 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 091

Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun marah sekali, cepat mengeluarkan aba-aba dan menerjang ke depan dibantu oleh jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya. Juga Thian Tok Lama dan beberapa orang temannya sudah menerjang dan mengeroyok Lulu.

Tidak seperti Nirahai yang menggunakan Hok-mo-kiam, bekas Ketua Pulau Neraka ini menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Namun sepak terjangnya amat hebat dan menyeramkan karena begitu bergerak dia telah memainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat yang amat halus dan tinggi tingkatnya, serta menggunakan tenaga mujijat Toat-beng-bian-kun yang telah bercampur dengan tenaga beracun dari Pulau Neraka.

Dua orang pembantu Thian Tok Lama yang agaknya memandang rendah dan berani menyambut pukulan tangan yang kecil-kecil itu dengan lengan mereka, mengeluarkan pekik mengerikan dan mereka roboh terjengkang dengan seluruh lengan berwarna hitam, berkelojotan dan tewas tak lama kemudian!

Repot juga Lulu dan Nirahai ketika dikeroyok oleh banyak sekali orang pandai itu sehingga mereka tidak dapat mencegah ketika lewat beberapa puluh jurus, Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun mengundurkan diri dari pertempuran, hanya menyerahkan kepada pasukan pengawal untuk mengepung ketat. Mereka berdua sudah cepat memasuki pondok untuk membuat persiapan menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong!

Akan tetapi Nirahai yang berpemandangan tajam, dapat menduga akan keadaan ini. Melihat Koksu dan Thian Tok Lama menghilang dan yang mengepung hanyalah anak buah mereka, dia segera memutar Hok-mo-kiam, membuka jalan darah dan tubuhnya melesat ke atas wuwungan.

“Yauw Ki Ong pemberontak hina, hendak lari kemana engkau?” Bentaknya sambil melayang turun membobol genteng.

Tiba-tiba dia melihat sinar berkilat menyambar dari samping. Nirahai terkejut, maklum bahwa ada lawan tangguh menyerangnya secara tiba-tiba menyambutnya ketika tubuhnya baru saja turun dari atas.

“Tranggg....!”

Bunga api perpijar dan Kwi Hong menjerit lirih. Tangannya terasa panas dan pedang Li-mo-kiam yang biasanya setiap kali bertemu senjata lawan pasti berhasil merusak senjata lawan, kini tergetar hebat!

Juga Nirahai kaget bukan main. Baru sekarang Hok-mo-kiam bertemu dengan sebatang pedang yang amat kuat sehingga tidak patah, apalagi ketika dia melihat seorang gadis cantik dan gagah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat!

Kedua orang wanita itu, yang satu dara remaja yang lain wanita setengah tua, keduanya sama cantik dan sama keras hati, saling berhadapan dan saling pandang, pedang pusaka yang ampuh menggila di tangan masing-masing!

Kini Nirahai tidak lagi mengenakan kerudung muka sehingga Kwi Hong dapat memandang wajahnya yang cantik, pakaiannya yang indah, pakaian seorang panglima wanita! Berdebar jantung Kwi Hong ketika dia mengenal wanita itu. Inilah wanita cantik yang dahulu bertemu dengan pamannya, wanita cantik yang kabarnya puteri kerajaan dan menjadi isteri pamannya, ibu dari Milana! Dia masih belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri pamannya!

Akan tetapi, Nirahai tidak lagi mengenal Kwi Hong. Ketika untuk pertama kalinya dia bertemu dengan gadis ini, pada saat dia bertemu kembali untuk pertama kalinya dengan Suma Han, keadaan terlampau tegang sehingga dia tidak memperhatikan orang lain sehingga dia tidak mengenal keponakan suaminya ini.

Karena dara cantik yang memegang sebatang pedang pusaka ampuh mengerikan itu berada di situ dan telah menyerangnya, sedangkan dia melihat pangeran dikawal Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah lari dari dalam pondok, dia menganggap gadis ini seorang diantara kaki tangan Koksu yang tangguh, maka dia segera menyerangnya.

“Trang-trang-cringggg....!”

Kembali dua orang wanita itu terhuyung mundur. Nirahai terhuyung dua langkah sedangkan Kwi Hong terhuyung mundur sampai empat langkah. Betapapun juga, dara itu masih belum mampu menandingi tenaga sin-kang yang dimiliki Nirahai, sungguhpun dia telah memperoleh kemajuan hebat semenjak menjadi murid Bu-tek Siauw-jin. Bunga api yang muncrat ketika tiga kali berturut-turut pedang Hok-mo-kiam bertemu dengan Li-mo-kiam menyilaukan mata.

Kedatangan Kwi Hong memang pada saat yang tepat, karena kalau tidak ada dara ini, agaknya Koksu dan Thian Tok Lama takkan begitu mudah untuk dapat menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong.

Ketika Kwi Hong mengamuk dan melihat betapa pasukan anak buah Koksu terdesak hebat oleh gelombang serbuan pasukan pemerintah yang jauh lebih banyak jumlahnya, gadis ini merasa khawatir dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, perang itu akan berakhir dengan kekalahan di pihak sekutunya.

Ketika dia menengok dan tidak melihat Koksu dan para pembantunya, yaitu Thian Tok Lama dan para jagoan yang berkepandaian tinggi, dia makin khawatir. Kemanakah mereka pergi? Dia harus mengusulkan kepada Koksu untuk melarikan diri saja sebelum terlambat. Dengan pikiran ini, Kwi Hong membuka jalan darah dengan pedangnya, keluar dari kepungan dan menuju ke markas, yaitu ke pondok Pangeran Yauw dan sekutunya. Kedatangannya tepat sekali. Dia melihat Koksu dan Thian Tok Lama bersama Pangeran Yauw, siap hendak melarikan diri.

“Ahhh, keadaan musuh terlampau banyak dan terlampau kuat. Kita harus melarikan diri, Lihiap,” kata Koksu begitu melihat munculnya Kwi Hong dengan pedang Li-mo-kiam yang berlepotan darah.

“Sebaiknya begitu,” jawab Kwi Hong singkat.

“Akan tetapi, ke manakah kita akan lari? Apakah Nona mempunyai usul yang baik?”

Koksu memancing, padahal di dalam hatinya, dia ingin sekali melarikan diri ke.... Pulau Es, pulau yang sudah kosong itu karena hanya di sanalah dia akan aman dari kejaran pemerintah. Tempat itu merupakan tempat yang sukar didatangi, dan hanya mereka yang tahu jalan saja yang akan dapat menjadi penunjuk jalan saja. Kalau nona ini mau tentu akan dapat membawa mereka ke Pulau Es! Dia tahu bahwa tempat itu sudah kosong, dan kalau rombongannya dapat sampai ke tempat itu lebih dulu, berarti mereka akan memperoleh sebuah tempat pertahanan yang kuat!

“Kalian larilah ke timur, ke pantai. Nanti kuantar kalian pergi melarikan diri ke Pulau Es,” jawab Kwi Hong. Tentu saja Koksu menjadi girang sekali. Akan tetapi dia cerdik dan cepat dia menjawab,

“Akan tetapi.... apakah To-cu pulau itu sudi menerima kami? Dan penghuninya....?”

“Pulau itu sudah kosong. Paman tidak lagi tinggal disana. Pula, kalau paman tahu bahwa kalian melawan pemerintah, tentu paman suka menerima kalian. Paman sendiripun seorang pelarian. Cepat pergilah....!”






Pada saat itu Nirahai datang, meloncat masuk dari atas atap yang dibobolnya. Begitu melihat seorang wanita melayang turun, Kwi Hong segera menyerangnya dan barulah dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah isteri pamannya sendiri, ibu dari Milana!

Tentu saja di dalam hatinya Kwi Hong menjadi bingung sekali dan dia sebetulnya tidak mau bermusuhan dengan isteri pamannya ini. Akan tetapi karena dia diserang terus dan karena dia ingin memberi kesempatan kepada Koksu untuk menyelamatkan Pangeran Yauw, terpaksa dia melakukan perlawanan tanpa mengeluarkan kata-kata.

Dia dapat menduga bahwa tentu wanita ini lupa dan tidak ingat kepadanya. Hal ini melegakan hatinya karena kalau sampai wanita cantik ini tahu bahwa dia adalah keponakan Pendekar Super Sakti, tentu akan menjadi marah sekali sedangkan dia sendiripun tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap wanita ini.

Jelas bahwa wanita ini adalah seorang tokoh pemerintah, dan mungkin puteri ini yang memimpin pasukan pemeritah. Melihat kedudukan itu, wanita cantik ini patut dimusuhinya, akan tetapi kalau teringat bahwa wanita ini adalah isteri pamannya, bagaimana dia berani bersikap kurang ajar dan melawannya?

Betapapun lihai Kwi Hong sekarang, dengan ilmu yang dipelajarinya dari Bu-tek Siauw-jin dan dengan pedang Li-mo-kiam di tangan, namun berhadapan dengan Nirahai, dia menjadi repot juga. Apalagi Nirahai menggunakan sebatang pedang pusaka yang amat hebat pula. Pedang Hok-mo-kiam adalah satu-satunya pedang yang sanggup menandingi Sepasang Pedang Iblis yang ganas. Andaikata Nirahai tidak memegang Hok-mo-kiam, agaknya wanita perkasa ini masih akan repot sekali harus menandingi Kwi Hong yang memegang Li-mo-kiam.

Untung bagi Kwi Hong bahwa dia tidak perlu terlalu lama menahan serangan yang bertubi-tubi dan amat dahsyat dari Nirahai karena Koksu yang cerdik itu sudah cepat mengirim bala bantuan berupa dua puluh orang lebih pengawal pribadi pangeran yang sudah menyerbu dalam pondok itu dan mengeroyok Nirahai.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwi Hong untuk mencelat ke luar dari dalam pondok, meninggalkan Nirahai yang dikepung dan dikeroyok oleh para pengawal. Cepat dia berlari keluar dan bergabung dengan rombongan Pangeran Yauw, dilindungi oleh pasukan dan melarikan diri ke timur menuju pantai, melalui pegunungan dan jurang-jurang.

Sementara itu, pertandingan antara Gak Bun Beng melawan Maharya yang berlangsung amat hebat itu masih terjadi dengan seru, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menonton dari pinggir sambil tersenyum-senyum. Kakek cebol yang sinting ini sekarang menganggur karena pasukan Nepal itu sedang dihajar oleh pasukan pemerintah yang pulih kembali semangat mereka setelah debu dan asap hitam membuyar. Tidak perlu lagi kakek ini membantu sehingga kini dia dapat menonton dengan enaknya, menonton pertandingan antara Maharya dan Gak Bun Beng.

“Ha-ha-ha, Maharya dukun lepus! Engkau tidak akan mampu mengalahkan muridku, ha-ha-ha!”

Bu-tek Siauw-jin sengaja mengaku pemuda itu sebagai muridnya untuk membanggakan dirinya. Padahal dia hanya mengajar selama tiga hari saja, itupun hanya menurunkan inti tenaga saktinya yang hanya merupakan sebagian dari gabungan sin-kangnya dengan sin-kang Pendekar Super Sakti! Kalau melawan “muridnya” saja Maharya tidak mampu menang, apalagi melawan dia yang menjadi gurunya?

“Siauw-jin, asal engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyok aku....”

“Heh-heh-heh, siapa sudi mengeroyokmu?” Bu-tek Siauw-jin mengejek.

Inilah yang dikehendaki Maharya. Betapapun sintingnya, ucapan dari seorang kakek sakti seperti Bu-tek Siauw-jin boleh dipercaya. Tanpa diminta, jawaban kakek sinting itu sudah merupakan janji. Boleh jadi pemuda ini lihai, akan tetapi dengan hanya bertangan kosong dan tanpa dibantu Bu-tek Siauw-jin, masa dia tidak akan mampu mengalahkannya? Untuk mengandalkan ilmu sihirnya, percuma, dan hal ini sudah diketahuinya sejak tadi karena pemuda itu sama sekali tidak pernah mau beradu pandang mata dan pemuda itu memiliki sin-kang yang amat kuat. Apalagi sekarang ada Bu-tek Siauw-jin duduk menonton di situ, tentu saja dia tidak dapat mengandalkan ilmu hitamnya.

Sebetulnya tidak perlu Maharya harus menggunakan akal untuk memancing janji seorang seperti Bu-tek Siauw-jin. Bagi kakek yang tidak lumrah manusia sehingga seperti sinting ini, kalah menang bukanlah apa-apa, dan dia sudah pasti tidak akan sudi turun tangan membantu Bun Beng biarpun pemuda itu andaikata terancam bahaya maut kalau pertempuran yang dihadapi pemuda itu merupakan pertempuran yang adil dan pantas.

Kalau tadi dia selalu memperhatikan Bun Beng adalah karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu terjebak ke dalam perangkap Maharya yang banyak akalnya. Kalau pemuda itu dikeroyok, tentu saja dia akan membelanya, juga kalau Maharya menggunakan ilmu sihir, tentu dia akan berusaha menghalau kekuasaan dan pengaruh ilmu hitam itu. Akan tetapi dalam sebuah pertandingan seperti yang terjadi sekarang, tanpa dimintapun dia tidak akan mencampurinya.

Bu-tek Siauw-jin merasa gembira dan tegang menonton pertandingan itu, akan tetapi sama sekali bukan tegang karena khawatir Bun Beng kalah. Bagi dia, siapa yang kalah siapa yang menang dalam sebuah pertandingan adil, tidak menjadi soal. Dia merasa tegang karena pertandingan itu memang hebat sekali, dahsyat dan seimbang.

“Heeaaahhh!”

Tiba-tiba Maharya yang sudah menjadi marah sekali karena merasa penasaran, menubruk maju, tombak bulan sabit di tangan kanannya diputar seperti kitiran angin dan menyambar ganas, sedangkan tangan kiri yang memegang tasbih sudah siap pula mengirim serangan susulan.

Berbeda dengan tadi, Maharya kini agaknya hendak mempercepat dan mengakhiri pertandingan karena melihat betapa pasukannya sudah mundur dan banyak yang tewas. Tadi dia masih selalu bersikap hati-hati, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menyerang.

“Haiitt!”

Bun Beng meloncat ke atas dan berjungkir-balik menghindarkan diri dari sambaran tombak bulan sabit, akan tetapi bukan semata-mata hendak mengelak saja karena sambil berjungkir-balik itu tangannya mencengkeram dan dia menggunakan gerakan cepat luar biasa ini untuk menangkap batang tombak di dekat bulan sabit yang tajam itu.

Maharya terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang yang memiliki banyak pengalaman dalam pertandingan melawan orang-orang pandai sehingga setiap keadaan yang bagaimanapun juga, bahkan yang kelihatannya mengerikan, dapat dia manfaatkan sebaiknya demi keuntungannya. Karena itu, dia sengaja tidak mau menarik tombaknya untuk merampas kembali senjata yang telah dipegang lawan ini, bahkan menggunakan kesempatan selagi tubuh lawan masih di angkasa, tasbih di tangan kirinya menyambar dada!

Bun Beng sudah siap karena memang diapun sudah menduga bahwa lawannya tidak akan berhenti disitu saja. Maka diapun menggerakkan capingnya untuk menangkis.

“Trakkkk!”

Caping dan tasbih bertemu dan pada saat itu kedua kaki Bun Beng sudah tiba lagi di atas tanah. Akan tetapi di luar dugaan pemuda ini, tiba-tiba kakek itu melepaskan tombaknya dan berbalik merampas topi capingnya. Karena gerakan Maharya ini tidak disangka sama sekali, dan ketika memegang tombak lawan dia mengerahkan tenaga, tubuhnya agak terhuyung dan tahu-tahu tasbih lawan telah meluncur dan melibat lehernya!

Bun Beng mengerahkan tenaga. Lehernya tercekik dan terdengar suara lawannya tertawa. Bun Beng maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dia terancam maut, maka dengan pengerahan tenaganya, dia menyodokkan gagang tombak rampasannya ke arah pusar lawan.

Maharya yang memegang caping rampasan, menangkis sodokan gagang tombak itu, akan tetapi bukan itulah maksud serangan Bun Beng karena tiba-tiba tombaknya ditarik kembali dan kini bagian yang tajam berbentuk bulan sabit itu membabat ke atas, ke arah tasbih yang melibat dan mencekik lehernya.

“Cringgg.... rrrttt!”

Disambar bagian yang amat tajam dari tombak bulan sabit itu, tasbih yang membelit leher Bun Beng putus dan mutiara-mutiara besar yang diuntai itu jatuh berserakan.

“Wuuuttt.... brakkkk!”

Pada saat tombak tadi menyambar tasbih, Maharya juga melihat gerakan ini dan maklum bahwa dia tidak dapat menyelamatkan tasbihnya, maka dengan kemarahan meluap dia menghantamkan caping rampasannya ke arah muka Bun Beng.

Kakek pendeta ini menyerang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan Bun Beng yang baru saja menggunakan tombak untuk menyelamatkan lehernya dari belitan tasbih, melihat datangnya caping dengan kecepatan kilat. Dia tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak, terpaksa dia menekuk kedua lututnya, memberi kesempatan kedua tangannya untuk menggerakkan tombak yang diangkat melintang dan menerima hantaman caping itu.

Hebat bukan main pertemuan antara caping dan tombak. Caping pecah dan tombak patah-patah, pundak Bun Beng masih terpukul pecahan caping demikian kerasnya sehingga tubuhnya terguling ke atas tanah.

“Mampuslah!”

Maharya menubruk dengan injakan kedua kakinya ke arah kepala Bun Beng, akan tetapi pemuda itu dengan sigapnya berhasil menggulingkan tubuhnya sehingga enam tujuh kali injakan kaki Maharya ke arah kepalanya yang merupakan serangan maut itu dapat dihindarkannya.

Karena serangan kaki secara bertubi-tubi itu tidak memberinya kesempatan untuk membalas atau meloncat bangun, ketika untuk kesekian kalinya berguling, tangannya menyambar tanah dan sambil berguling dia melontarkan tanah ke arah muka lawan. Biarpun melontarkannya sambil bergulingan, namun tenaga sambitan ini hebat dan kalau tanah itu mengenai muka, terutama mata akan hebat akibatnya bagi Maharya.

Melihat datangnya sinar hitam ini, terpaksa Maharya meloncat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk meloncat bangun. Pundaknya terasa nyeri, akan tetapi dia sudah siap sehingga ketika melihat tubuh Maharya menerkamnya, dia menyambut dengan kedua telapak tangan didorongkan ke depan.

Maharya sudah marah sekali. Pasukannya sudah habis, sebagian melarikan diri, dan dia sudah terkepung sendiri disitu oleh pasukan pemerintah yang kini seperti juga Bu-tek Siauw-jin, hanya menonton.

Namun kakek ini maklum bahwa dia telah terkepung dan sukar untuk lolos kalau tidak dapat segera mengalahkan pemuda ini dan mengalahkan Bu-tek Siauw-jin. Maka kini, melihat Bun Beng meloncat bangun dalam keadaan terluka pundaknya, dia sudah mengirirn serangannya yang paling dahsyat dengan memukulkan kedua telapak tangannya yang penuh dengan tenaga sin-kang bercampur tenaga yang keluar dari ilmu hitamnya.

“Bresss!”

Bukan main hebatnya pertemuan tenaga sakti yang amat kuat dari kedua pihak itu, dan akibatnya, mulut Maharya menyemburkan darah segar, akan tetapi tubuh Bun Beng terjengkang dan bergulingan!

Maharya terkejut, maklum bahwa dia terluka parah, maka dia berlaku nekat. Dengan suara melengking seperti iblis marah, dia menubruk tubuh Bun Beng yang bergulingan, dengan maksud untuk mengadu nyawa, mengajak lawan mati bersama.

Akan tetapi dia tidak tahu sama sekali bahwa pemuda itu memang sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan untuk mengambil kekuatan dari bumi sesuai dengan ilmu yang diterimanya dari kakek Bu-tek Siauw-jin, yaitu tenaga sakti Inti Bumi. Begitu melihat kakek itu menubruk, dengan menekan bumi Bun Beng mengirim pukulan dari bawah, dengan telapak tangan kanan didorongkan ke atas menyambut tubuh kakek itu.

“Desss....!”

Terdengar pekik mengerikan ketika tubuh kakek itu terlempar kembali ke atas, terbanting ke atas tanah, berkelojotan dengan mata mendelik dan mulut muntah-muntah darah segar, kemudian mengejang dan tewas.

Bun Beng cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan mata. Biarpun lukanya tidak hebat, namun pukulan dengan caping yang pecah mengenai pundaknya tadi menggetarkan isi dadanya dan harus cepat disembuhkan dengan pengerahan sin-kang. Bu-tek Siauw-jin menoleh kepada para perajurit pemerintah yang menonton, lalu membentak ke arah mereka.

“Hayo pergi kalian! Mau apa menonton? Ini bukan tontonan! Kalian telah membawa kami terpaksa ikut berperang. Sialan!”

Para perajurit terkejut sekali. Mereka tidak mengenal siapa adanya kakek cebol ini dan pemuda yang amat gagah itu, akan tetapi karena sudah jelas bahwa kedua orang itu tadi bertempur membantu mereka, maka mereka tidak berani membantah dan segera meninggalkan tempat itu untuk membantu pasukan yang masih mengejar-ngejar pasukan pemberontak.

Pasukan pemberontak telah dihancurkan, sebagian kecil yang merupakan pasukan khusus, pengawal-pengawal pribadi Koksu dan Pangeran Yauw, ikut melarikan diri dan mengawal rombongan pangeran itu, termasuk tukang kuda dan pengurus kereta yang telah kehilangan kereta karena tak dapat dipergunakan dalam pelarian yang tergesa-gesa itu. Bahkan tidak semua dari mereka dapat menunggang kuda.

Nirahai dan Lulu merasa penasaran sekali. Biarpun pasukan-pasukan pemberontak dapat dihancurkan, markas mereka dibasmi dan dibakar, namun biang keladi pemberontak dapat melarikan diri.

Ketika mereka mendengar laporan tentang dua orang sakti yang membantu pasukan ketika pasukan siluman Nepal dengan gajah-gajah mereka mengamuk, Nirahai segera menduga bahwa mereka itu tentulah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng. Maka dia mengajak Lulu untuk mendatangi tempat itu. Ternyata benar dugaannya. Gak Bun Beng masih duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin berdiri di dekatnya, tertawa-tawa ketika melihat Nirahai.

“Wah-wah, setelah kerudungnya dibuka, ternyata dalamnya sebuah wajah yang luar biasa cantiknya!”

Kata kakek sinting itu, sama sekali tidak peduli bahwa dia bicara dengan bekas Ketua Thian-liong-pang, bahkan puteri Kaisar yang menjadi panglima besar.

“Bu-tek Siauw-jin, terima kasih atas bantuanmu kepada pasukanku sehingga pasukan Nepal yang membantu pemberontak dapat dihancurkan,” kata Nirahai, suaranya tenang saja.

Dia bukanlah seorang muda yang dapat panas hatinya oleh sikap kakek sinting ini, apalagi dia sudah tahu akan watak kakek ini yang tidak lumrah manusia.

“Ha-ha-ha, engkau sendiri pernah menolongku ketika aku diganggu Koksu palsu itu selagi mandi. Pertolonganmu itu lebih berharga karena hampir aku dibuat malu!”

Agak merah sedikit kulit muka yang halus itu karena Nirahai teringat betapa kakek sinting ini pernah berdiri bertelanjang bulat begitu saja di depannya tanpa malu-malu! Dia melirik ke arah Bun Beng dan bertanya,

“Apakah dia terluka?”

Sebelum Bu-tek Siauw-jin menjawab, Bun Beng sudah membuka mata, bangkit berdiri dan memberi hormat.

“Locianpwe, saya tidak apa-apa hanya terluka sedikit. Sukur bahwa Locianpwe telah berhasil menghancurkan musuh....”

“Aihh, dialah orangnya yang dahulu membantu Koksu di kapal ketika menyerang Pulau Es!” Ucapan ini keluar dari mulut Lulu ketika dia memandang mayat Maharya

Mendengar ini, Bu-tek Siauw-jin tertawa,
“Ha-ha-ha, dia pula yang membasmi Pulau Neraka akan tetapi Majikan Pulau Neraka sama sekali tidak becus mempertahankan pulaunya!”

Lulu mengerutkan alisnya. Mukanya yang pucat itu tidak berubah, dan sepasang matanya yang lebar dan jernih namun berkilat mengerikan itu ditujukan kepada kakek cebol itu.

“Siapa engkau?”

Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tidak menjawab, melainkan melanjutkan kata-katanya,
“Muridku inilah yang telah berhasil membunuhnya, maka engkau harus berterima kasih kepadanya!”

Lulu melirik ke arah Gak Bun Beng, alisnya masih berkerut.
“Bukankah engkau pemuda yang dahulu membantu pula ketika Pulau Es diserbu pasukan pemerintah?”

Bun Beng memberi hormat dan memandang penuh heran, kaget dan kagum.
“Dan kalau saya tidak salah menduga, Locianpwe adalah wanita sakti yang dahulu melepas bahan-bahan peledak, kemudian mengacau di kapal Koksu.”.

“Hemmm, agaknya engkau seorang bocah ringan tangan, dimana-mana engkau hadir dan bercannpur tangan!”

Lulu berkata lirih, akan tetapi diam-diam dia heran bukan main bagaimana seorang pemuda seperti ini dapat membunuh Maharya yang demikian lihai!

“Sungguh aku heran sekali mengapa semua orang muda kau akui sebagai muridmu, Bu-tek Siauw-jin?”

Nirahai bertanya karena sudah mendengar dari puterinya bahwa Kwi Hong juga diambil murid oleh Bu-tek Siauw-jin.

Sebelum kakek sinting itu menjawab, Lulu sudah mencelat ke depan, berhadapan dengan kakek cebol itu.

“Jadi engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?”

Ketika Nirahai untuk pertama kalinya menyebut nama kakek itu, dia kurang memperhatikan karena perhatiannya lebih tertarik kepada mayat Maharya. Baru sekarang dia mendengar nama itu dan kemarahannya bangkit.

“Dan mana yang satu lagi? Mana dia yang disebut Cui-beng Koai-ong?”

Bu-tek Siauw-jin tertawa.
“Heh-heh, jadi engkau sudah mendengar nama kami? Tentu puteramu yang manja dan jahat itu yang memberi tahu!”

“Tua bangka sialan!”

Lulu yang masih belum hilang betul watak kerasnya menjadi marah mendengar betapa puteranya dicela oleh kakek ini.

“Kau kira aku takut kepadamu? Biarpun engkau dan Cui-beng Koai-ong disebut tokoh-tokoh iblis dari Pulau Neraka, aku tidak takut!”

“Lulu, kita dalam tugas, jangan bawa-bawa urusan pribadi!”

Nirahai memperingatkan Lulu, akan tetapi setelah marah seperti itu, mana mungkin dengan mudah saja Lulu dibikin sabar. Dia sudah menerjang kakek itu dengan pukulan sakti dari Hong-in-bun-hoat! Kakek itu cepat mengelak, akan tetapi angin pukulan masih membuat dia terhuyung dan sambil tertawa kakek itu menjauhkan diri bergulingan lalu meloncat bangun.

“Eit-eit, sungguh galak engkau! Kalau dahulu bukan aku yang melarang suheng, agaknya engkau hanya tinggal nama saja! Dan kalau aku tidak melihat bahwa engkau adalah pewaris kitab-kitab Pendekar Sakti Suling Emas yang kami kagumi dan hormati, apakah aku akan melarang suheng menghancurkan engkau? To-cu (Majikan Pulau) yang memiliki warisan senjata kipas pusaka dan ilmunya Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan), mengapa tidak mengeluarkannya dalam pertempuran?”

Lulu terbelalak.
“Kau.... kau.... tahu akan itu semua?”

“Heh-heh, sehari setelah To-cu datang, kami berdua sudah memeriksa seluruh benda yang To-cu bawa, karenanya aku bersikeras melarang suheng turun tangan karena To-cu adalah ahli waris Suling Emas.”

“Lulu!” Nirahai kini menghadapi Lulu dengan alis berkerut dan sinar mata memandang dengan penuh selidik. “Jadi engkau yang mengambil benda-benda pusaka itu? Jadi engkau yang membunuh Kakek Gu Toan.?”

Lulu membanting-banting kakinya teringat akan semua peristiwa yang dialaminya. Di bagian depan cerita ini telah dituturkan betapa ketika Lulu mulai dengan perantauannya bersama anak-nya yang masih kecil, Wan Keng In, dia tiba di kuburan keluarga Suling Emas, melihat kakek itu diserang oleh seorang yang amat lihai, dan oleh Kakek Gu Toan dia disuruh menyelamatkan benda-benda pusaka peninggalan keluarga Suling Emas.

Dia telah mewarisi ilmu-ilmu itu, akan tetapi dia tidak mau mempergunakannya karena ingin menyembunyikan diri di Pulau Neraka sampai niatnya berhasil, yaitu bertemu dengan orang yang dicintainya, menjadi isteri orang itu atau menjadi musuh besarnya. Kiranya keadaan menghendaki lain dan semua niat dan cita-citanya hancur berantakan, puteranya menyeleweng menyakitkan hatinya, Pulau Neraka hancur dan Suma Han.... menambah sakit hatinya!

“Tidak! Aku tidak membunuhnya. Dahulu aku hanya melihat seorang tinggi kurus seperti orang India menyerangnya dan mendesaknya. Sekarang aku tahu siapa adanya orang kurus itu. Bukan lain adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun! Aku tidak tahu apakah Kakek Gu Toan mati atau hidup dalam pertandingan itu karena dia minta kepadaku untuk mengambil benda-benda pusaka dan melarikannya.”

“Dimana benda-benda itu sekarang?” tanya Nirahai.

“Ada kusimpan sebelum Pulau Neraka dihancurkan. Mengapa, Suci?” tanya Lulu, suaranya penuh tantangan.

Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan nyaring sekali, datang dari jauh dan membuat semua orang terkejut. Hanya seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi dan sin-kang yang luar biasa kuatnya saja mampu mengeluarkan suara melengking seperti itu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar