FB

FB


Ads

Sabtu, 24 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 090

Karena jarak antara gudang senjata dan jurang tempat pembuangan itu cukup jauh, dan jumlah senjata dalam gudang amat banyak sedangkan betapapun saktinya, kedua orang itu masing-masing hanya mempunyai sepasang tangan, setelah bekerja sampai pagi, belum ada setengah isi gudang berhasil mereka buang ke dalam jurang.

Ketika untuk kesekian kalinya Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin kembali ke gudang, begitu mereka memasuki gudang, terdengar bentakan-bentakan dan ternyata gudang itu telah dikurung oleh puluhan orang perajurit!

Mereka telah ketahuan, atau lebih tepat lagi, peronda telah melihat penjaga-penjaga yang tertotok kaku itu sehingga mereka segera melaporkan kepada Koksu dan Koksu yang menduga bahwa tentu ada mata-mata musuh menyelundup sudah memasang perangkap sehingga ketika dua orang itu datang, mereka telah terkurung!

Tentu saja kedua orang itu segera diserbu dan dikeroyok oleh puluhan orang perajurit. Apalagi setelah Koksu menerima pelaporan bahwa yang mengacau di gudang senjata adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng, dia segera mengerahkan para pembantunya untuk mengeroyok.

“Wah, repot nih, Bun Beng!” Bu-tek Siauw-jin berkata, sambil sibuk meloncat kesana-sini diantara serbuan para perajurit. “Kita membuang senjata supaya jangan ada perang, malah diperangi!”

“Mari kita keluar, Locianpwe!”

Bun Beng berkata, khawatir juga karena dia tidak mungkin dapat menghadapi pengeroyokan hebat itu dengan sikap berkelakar dan tidak peduli seperti kakek yang agaknya tidak bisa melihat bahaya itu. Dengan gerakan kaki tangannya, Bun Beng berusaha membuka jalan keluar dari dalam gudang senjata, akan tetapi karena Bu-tek Siauw-jin enak-enak saja menendangi semua pengeroyoknya, kadang-kadang terkekeh girang kalau melihat beberapa orang terjengkang roboh sendiri setelah memukulnya, Bun Beng merasa bingung dan benar-benar mendongkol sekali. Kakek itu agaknya malah girang dan gembira menghadapi pengeroyokan itu, seperti seorang kanak-kanak memperoleh sebuah permainan baru dan merasa sayang untuk meninggalkannya!

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras di luar gudang tempat pengeroyokan itu dan terjadilah kekacauan hebat. Menurut pendengarannya yang memperhatikan suara teriakan-teriakan itu, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa tempat markas pemberontak itu telah diserbu oleh pasukan pemerintah!

Keadaan menjadi kacau balau. Koksu dan para pembantunya segera lenyap dari situ meninggalkan Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin yang masih dikeroyok oleh para pasukan penjaga. Tentu saja bagi Koksu dan teman-temannya, berita penyerbuan pasukan pemerintah itu lebih penting, lebih hebat dan harus segera ditanggulangi daripada kekacauan yang disebabkan oleh perbuatan dua orang ini.

Memang benarlah apa yang didengar oleh Bun Beng. Pasukan besar pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Nirahai dan Lulu telah datang menyerbu tempat itu secara mendadak. Terjadilah perang yang amat hebat, perang mati-matian karena para pemberontak membuat pertahanan yang terakhir. Mereka masih menanti datangnya bala bantuan dari barat dan utara, siapa mengira bahwa pagi hari itu mereka harus menghadapi penyerbuan pasukan pemerintah yang tidak mereka sangka-sangka akan demikian cepat datangnya.

Tentu saja Koksu tidak menyangka bahwa Puteri Nirahai sendiri yang menjadi pemimpin penyerbuan ini, seorang puteri yang sudah banyak pengalamannya dalam menghadapi pasukan pemberontak, seorang yang tidak saja ahli dalam hal ilmu silat, juga seorang ahli perang yang terkenal!

Setelah Koksu dan para pembantunya meninggalkan gudang senjata dimana Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin terkepung, tentu saja dengan mudah kedua orang sakti ini mampu keluar dari kepungan. Apalagi karena para perajurit yang mendengar akan penyerbuan tentara musuh sudah menjadi panik, bahkan akhirnya sisa mereka meninggalkan dua orang itu untuk membantu teman-teman menghadapi pasukan pemerintah.

Gudang senjata telah mereka bobol dari belakang dan sisa senjata yang masih berada di dalam gudang telah mereka angkut keluar untuk dipergunakan para pasukan menghadapi musuh.

“Wah, perang telah terjadi?”

Kata Bu-tek Siauw-jin setelah mereka berdua keluar dari dalam gudang senjata. Terdengar dari situ pekik sorak mereka yang berperang, dan suara senjata yang menggegap gempita.

“Mudah-mudahan saja para pemberontak segera dapat dihancurkan,” kata Bun Beng sambil berdiri termenung.

Yang terbayang di depan matanya adalah Milana. Apakah dara itu ikut berperang membantu ibunya yang memimpin pasukan pemerintah itu? Teringat betapa fihak pemberontak terdapat orang-orang pandai seperti Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama, ia merasa khawatir juga akan kekasihnya itu.

“Locianpwe, saya hendak menonton perang dan kalau perlu membantunya.”

“Eh, kau mau membantu siapa?”

“Membantu Puteri Nirahai dan puterinya.”

“Mengapa? Apakah engkau sudah menjadi kaki tangan pemerintah pula?”

“Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, kita sudah melihat bahwa pemberontak dipimpin oleh orang-orang sesat macam Koksu, Maharya, dan yang lain-lain. Mereka itulah yang menimbulkan perang sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang, karena itu maka merekalah yang akan saya tentang.”

Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk.
“Hemm, boleh kita menonton, akan tetapi kalau tidak perlu sekali, untuk apa kita mengotorkan tangan ikut dalam perang yang hanya merupakan penyembelihan antara manusia?”

Bun Beng tidak mau banyak berbantah dengan kakek sinting ini, dan keduanya lalu menyelinap diantara pohon-pohon dan berloncatan melalui jurang-jurang menuju ke tempat dimana terjadi perang yang amat dahsyat.

Akan tetapi ketika mereka tiba di bagian yang datar, tiba-tiba mereka melihat hal yang amat mengejutkan, Para pasukan pemberontak di bagian ini tiba-tiba mundur, akan tetapi ketika pasukan pemerintah mendesak, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan muncullah seekor gajah yang amat besar.

Binatang raksasa inilah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan pasukan pemerintah yang berada paling depan segera berhadapan dengan gajah ini. Seorang tinggi kurus berkulit hitam yang menunggang gajah itu. Pendeta Maharya sendiri mengeluarkan aba-aba dan gajah itu mengamuk!

Dengan belalainya yang besar, sekali sambar gajah itu menangkap dua orang perajurit musuh, membantingnya remuk dan dengan kedua kaki depannya yang besar binatang itu menginjak ke depan, membuat dua orang musuh lain lagi terinjak gepeng.

Maharya yang berada di atas gajah itu masih menggerakkan senjatanya tombak bulan sabit, tampak sinar berkelebat dan empat orang perajurit pemerintah roboh. Maharya mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba cuaca di tempat itu menjadi gelap, debu mengepul tinggi dan di balik kegelapan ini menyerbulah pasukan Nepal yang dipimpin oleh Maharya, menyerbu bagaikan pasukan setan ke depan!






Pasukan pemerintah menjadi kacau balau dan pecah belah. Mereka menjadi bingung, apalagi ketika dua orang perwira pemimpin mereka dengan mudah roboh binasa oleh amukan gajah dan melihat betapa cuaca menjadi gelap, debu mengebul tinggi, mereka makin panik.
“Pasukan siluman....!” terdengar teriakan.

“Pasukan siluman.... laporkan ke induk pasukan!”

Kiranya, pasukan itu adalah pasukan Nepal yang baru saja datang, pasukan yang dinanti-nanti oleh Koksu. Begitu pasukan ini tiba bersama lima ekor gajahnya, Maharya segera menyambutnya, menunggangi seekor gajah dan Maharya sendiri yang memimpin pasukan istimewa ini, menggunakan ilmu hitamnya, dibantu oleh pasukan istimewa ini yang menggunakan debu dan asap hitam untuk mengacau musuh.

Jumlah mereka sebetulnya hanya seratus orang, akan tetapi karena mereka itu terlatih dan mempunyai cara-cara berperang yang aneh, mereka mampu mendatangkan kekacauan dan banyak diantara pasukan pemerintah yang roboh menjadi korban, terutama sekali amukan lima ekor gajah, seekor di antaranya yang ditunggangi Maharya sendiri.

“Locianpwe, kita harus membantu mereka menghadapi pasukan siluman itu!”

Bun Beng berkata, kemarahannya timbul menyaksikan musuh besarnya, Maharya, dengan ganas membunuh pasukan pemerintah dengan bantuan gajahnya dan tombak bulan sabitnya.

“Ha-ha-ha! Maharya Si Dukun Lepus itu memang menyebalkan sekali. Ilmu setannya ini, siapa lagi kalau bukan aku yang dapat membuyarkannya?”

Bu-tek Siauw-jin tertawa sambil menerjang ke depan menyambut debu dan uap yang mengebul itu.

“Maharya, sejak dahulu engkau mendatangkan keributan saja!”

Bun Beng membentak lalu meloncat ke depan, langsung menyerang pendeta kurus itu dengan pukulan tangan ke arah kepala.

Melihat munculnya pemuda ini, Maharya memandang rendah. Biarpun pemuda itu dia tahu cukup lihai seperti yang diperlihatkannya ketika pemuda itu membela Pulau Es ketika pulau itu diserbu oleh pasukan Koksu dahulu, namun, baginya, pemuda itu tidak ada artinya. Yang membuat dia khawatir hanya ketika melihat munculnya Bu-tek Siauw-jin tadi.

Kakek pendek itulah yang perlu diperhatikan, karena dia tahu bahwa dia sendiri takkan dapat menangkan kakek iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, dia dibantu oleh gajah-gajahnya, oleh pasukan siluman dari Nepal, apalagi Koksu, Thian Tok Lama, dan banyak tokoh pandai lain berada tidak jauh dari situ. Pemuda ini harus dibunuh lebih dulu.

“Mampuslah!”

Dia berteriak dengan suara nyaring. Tombak bulan sabit di tangannya bergerak, gagangnya menusuk dan menyambut tubuh Bun Beng yang meloncat ke atas tadi, menusuk ke arah pusar pemuda itu. Melihat gerakan Maharya ini amat kuat, Bun Beng tentu saja tidak membiarkan dirinya disate gagang tombak.

“Haaiiittt....! Plak! Wiiirrr....!”

Tangan Bun Beng menangkis gagang tombak itu dengan meminjam tenaga tusukan gagang tombak ini, dia membuat tubuhnya mencelat ke atas dan membuat salto jungkir-balik, kemudian seperti seekor burung garuda terbang, dia menyerang ke arah ubun-ubun kepala Maharya! Dengan jari tangan kanan dia menusuk ke arah ubun-ubun ketika tubuhnya meluncur ke bawah.

“Aehhhh!”

Maharya berseru keras dan kaget bukan main, kakinya menekan telinga gajah. Binatang itu mengeluarkan suara melengking dan mengangkat kedua kaki depannya. Gerakan ini tentu saja membuat tubuh Maharya terbawa ke belakang dan otomatis terbebas dari serangan Bun Beng yang tubuhnya meluncur ke bawah itu.

Dengan geram Maharya menggerakkan tombak bulan sabitnya menyambut tubuh Bun Beng dan dibantu oleh gajahnya yang sudah menggerakkan belalainya untuk menangkap tubuh pemuda itu!

Bun Beng tidak merasa kaget menghadapi kegagalannya dan melihat serangan berbahaya ini. Dia sudah cukup mengenal siapa kakek ini dan betapa lihainya kakek ini, maka cepat sekali kakinya bergerak ke depan, menyambut gagang tombak di bawah bulan sabit yang tajam itu, mengerahkan tenaga sehingga begitu kakinya menyentuh gagang tombak tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, berputaran, kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangannya! Sambaran tombak di tangan Maharya kembali dapat ia elakkan di tengah udara.

“Plakkk!”

Gajah itu mengeluarkan jerit menyayat hati, kedua kaki depannya diangkat, tubuhnya bergoyang-goyang penuh kemarahan karena kulit belalainya telah terobek oleh dua jari tangan kecil tadi, mencucurkan darah. Melihat dengan mata kecilnya betapa manusia bercaping yang menyakitinya itu telah meloncat ke atas tanah di depannya, gajah itu lalu menghempaskan kedua kakinya hendak menginjak tubuh itu sampai lumat.

Namun, dengan sigap Bun Beng sudah meloncat ke samping, dan tiba-tiba dia sudah menyerang Maharya dari samping kanan. Gerakannya cepat bukan main dan dari tangan kanannya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan ke arah lambung Maharya. Kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangan!

“Uuuh....!”

Maharya terkejut sekali ketika dia menggerakkan tombak ke kanan untuk menyambut, tombaknya itu menyeleweng terdorong oleh hawa pukulan dahsyat, dan pukulan tangan kanan pemuda itu masih terus melayang datang bersama tubuh pemuda itu yang melayang cepat. Biarpun dia merasa kaget sekali karena tombaknya menyeleweng terdorong hawa pukulan, namun Maharya tidak gugup dan dia sudah dapat menggunakan lengannya menangkis datangnya tamparan tangan Bun Beng ke arah lambungnya itu

“Dess....! Aihhh....!”

Maharya kini terpaksa mengeluarkan teriakan kaget sekali karena benturan lengannya dengan lengan pemuda itu membuat lengannya seperti lumpuh dan tubuhnya terlempar dari atas tubuh gajahnya! Dia tidak terbanting dan masih dapat menguasai dirinya, namun dia kini memandang kepada Bun Beng dengan mata terbelalak penuh keheranan, kekagetan dan penasaran. Pemuda itu dapat memaksanya turun dari punggung gajah dan kini pemuda itu telah berdiri di depannya dengan wajah tenang dan topi caping lebar masih di atas kepalanya!

“Hemm, orang muda, bukankah engkau Gak Bun Beng?”

“Tidak salah dugaanmu, Maharya, dan sebagai seorang muda aku merasa terhormat sekali bahwa namaku dikenal oleh seorang seperti engkau!”

Bun Beng menjawab tanpa berani menentang pandang mata pendeta itu. Biarpun dia telah memiliki kekuatan sin-kang yang mujijat, namun dia maklum betapa hebat pengaruh pandang mata kakek ahli sihir ini, yang dalam ilmu itu bahkan berani menentang dan mengadu sihir dengan Pendekar Super Sakti. Kalau sampai dia terpengaruh ilmu hitamnya yang mujijat, dia bisa celaka!

“Gak Bun Beng, mengapa berkali-kali engkau memusuhi aku seorang tua yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan dirimu? Mengapa?”

Suara pendeta itu terdengar halus menimbulkan rasa malu dan iba. Namun Bun Beng sudah menekan perasaannya dengan tenaga dalam, dan dia menjawab, suaranya lantang,

“Sejak aku masih kanak-kanak, engkau telah menjadi seorang jahat yang kuanggap musuhku, Maharya. Pertama kali ketika engkau bersama muridmu yang gila, Tan-siucai, mencuri Hok-mo-kiam. Kemudian melihat engkau membantu Koksu menghancurkan Pulau Es, Pulau Neraka, kuanggap engkau seorang yang patut ditentang.”

“Hok-mo-kiam....? Hemm, karena pedang itu, muridku telah tewas, dan pedang itu lenyap. Memperebutkan pedang diantara orang gagah tidak bisa disebut jahat, orang muda.”

“Bukan soal pedang, melainkan karena engkau seorang pendeta yang selalu mengejar kemuliaan duniawi, mengejar kedudukan sehingga rela menjual diri bersekutu dengan Koksu, dipergunakan oleh Koksu, mengacau orang-orang gagah, bahkan tidak segan-segan untuk bermuka dua, berpura-pura bersahabat dengan Thian-liong-pang, akan tetapi diam-diam mengusahakan kematian ketuanya. Apa kau kira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan di Se-cuan ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan besar dahulu itu?”

Maharya memandang tajam.
“Eh? Kau tahu? Kalau begitu.... kau tahu pula tentang kematian Tan Ki dan Thai Li Lama.?”

“Tentu saja! Pedang Hok-mo-kiam bukan miliknya atau milikmu. Pedang itu kini sudah kukembalikan kepada yang berhak.”

Merah muka Maharya dan tombak bulan sabit di tangannya menggetar.
“Jadi.... engkaukah orangnya yang membunuh muridku?”

“Dia mencari kematiannya sendiri.”

Bun Beng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia harus cepat mengelak dari sambaran tombak bulan sabit yang telah meluncur ketika Maharya menyerangnya dengan gerakan penuh kemarahan dan penuh nafsu membunuh. Maharya sudah marah sekali mendengar bahwa pemuda ini yang membunuh muridnya dan merampas Hok-mo-kiam, dan diapun maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, kalau tidak cepat dirobohkan akan berbahaya sekali.

“Robohlah! Lihat aku siapa! Pandang aku! Tak mungkin dapat menang melawan aku!”

Berkali-kali Maharya membentak dengan suara yang amat berpengaruh, namun Bun Beng sama sekali tidak mempedulikannya, juga tidak pernah menentang pandang mata kakek itu. Dia hanya mengelak dengan cepatnya karena tombak bulan sabit itu bergerak seperti kilat menyambar-nyambar, sambil menanti kesempatan untuk merobohkan lawan yang tangguh itu.

Sementara itu, dari gumpalan debu dan asap yang menyembunyikan pasukan siluman bangsa Nepal, menyambar ratusan batang anak panah ke arah pasukan pemerintah. Pasukan pemerintah yang sedang kacau ini tentu saja menjadi makin bingung ketika tiba-tiba mereka diserang anak-anak panah yang tidak ketahuan dari mana datangnya sehingga banyak diantara mereka yang terjungkal roboh menjadi korban anak panah lawan.

Melihat ini, Bu-tek Siauw-jin lalu membentak keras, kedua tangannya mendorong ke depan berkali-kali dan dia terus menerjang maju, tidak mempedulikan anak panah-anak panah yang menyambutnya dan yang mengenai seluruh tubuhnya bagian depan. Anak panah yang mengenai tubuhnya runtuh, tidak mempan, dan dari kedua telapak tangan kakek sakti ini menyambar angin yang membuat debu dan asap itu membuyar dan tertiup membalik ke arah para pasukan Nepal sendiri!

Mulailah pasukan Nepal itu tampak setelah debu dan asap membuyar, dan melihat seorang kakek cebol yang sakti membantu pihak mereka, bangkit kembali semangat para perajurit pemerintah. Mereka berteriak-teriak menyerbu dan terjadilah perang campuh yang amat dahsyat antara orang-orang Nepal dan orang-orang Mancu perajurit pemerintah.

Bu-tek Siauw-jin tidak sudi bertanding melawan perajurit-perajurit Nepal yang baginya terlalu lemah itu, dan dia bergembira menghadapi serbuan empat ekor gajah yang ditunggangi oleh perwira-perwira Nepal. Dia menubruk kaki seekor gajah, dicobanya untuk mengangkat tubuh binatang itu, namun terlampau berat, mendorongnyapun amat berat dan agaknya merupakan hal yang amat sukar untuk merobohkan binatang raksasa itu. Bu-tek Siauw-jin menjadi penasaran, meloncat ke belakang, kemudian dia lari ke depan dengan kepala dipasang seperti seekor kerbau mengamuk.

“Desss!”

Dengan kepalanya, kakek cebol yang sinting itu menubruk dada seekor gajah dan.... binatang raksasa itu terjengkang dan roboh! Dua orang perajurit Nepal yang tidak menyangka sama sekali dan berada di dekat gajah yang mereka andalkan itu, terhimpit perut gajah dan tewas seketika, sedangkan penunggang gajah itu, seorang perwira Nepal yang sudah tua, terlempar dari atas punggung gajah dan terbanting pingsan!

Amukan kakek cebol sinting itu benar-benar menimbulkan kekacauan kepada pasukan istimewa Nepal itu, apalagi setelah tiga ekor diantara lima ekor gajah itu telah roboh oleh Bu-tek Siauw-jin, dan debu serta asap hitam telah membuyar.

Tadinya anak buah pasukan itu mengandalkan ilmu hitam Maharya, akan tetapi kakek India itu sendiri sedang bertanding hebat dan mati-matian melawan pemuda yang amat tangguh dan lihai itu. Tentu saja hal yang melemahkan semangat pasukan Nepal ini, sebaliknya mendatangkan semangat baru kepada para perajurit pemerintah yang tadinya sudah merasa agak panik.

Pertandingan antara Bun Beng dan Maharya memang terjadi makin seru dan mati-matian. Kakek India itu benar-benar amat lihai dan andaikata Bun Beng belum menerima ilmu terakhir dari Pendekar Super Sakti dan Bu-tek Siauw-jin, kiranya diapun tidak akan mudah untuk dapat menandingi Maharya.

Sebetulnya, dalam hal ilmu silat, tentu saja Bun Beng memiliki dasar yang lebih murni dan lebih tinggi tingkatnya, dan juga dalam inti tenaga sakti, dia tidak kalah kuat. Kekalahannya dalam hal pengalaman dan latihan dapat ditutup oleh keunggulannya karena ilmu silatnya adalah ciptaan manusia dewa yang amat tinggi tingkatnya.

Akan tetapi, yang membuat Maharya amat sukar dilawan dan sukar dikalahkan adalah tenaga mujijat yang keluar dari pribadi kakek ini, berkat ilmu hitamnya. Bun Beng harus berhati-hati sekali, sama sekali tidak pernah berani bertemu pandang mata dengan lawannya, dan kadang-kadang dia bergidik karena merasa betapa ada hawa tenaga mujijat menyambar dari lawannya, kadang-kadang disertai suara aneh yang membuat bulu tengkuknya meremang, seperti suara jerit tangis kanak-kanak yang disiksa, suara tertawa wanita yang tidak lumrah manusia. Seolah-olah tempat itu, atau di kanan kiri dan belakang lawannya terdapat iblis-iblis yang tidak tampak akan tetapi yang terdengar suaranya dan terasa pula sambaran angin pukulannya!

Bun Beng melawan dengan mati-matian. Dia sama sekali tidak tahu bahwa kakek sinting itu, biarpun kelihatannya mengamuk di lain bagian namun diam-diam kakek itu tidak pernah melepaskan perhatiannya dan selalu mengikuti pertandingan itu, atau hanya sebentar saja kadang-kadang dia mengalihkan perhatian.

Dia selalu menjaga dan siap untuk melindungi pemuda yang disukanya itu. Diam-diam kakek ini kagum sekali. Setelah menyaksikan sepak terjang Maharya dia harus mengakui bahwa dalam pertandingan mati-matian ini, memang hebat sekali pendeta itu dan dia sendiripun tidak akan mudah dapat mengalahkan Maharya.

Namun pemuda yang hanya tiga hari menjadi muridnya itu, dengan tangan kosong mampu menandingi Maharya dalam pertempuran hebat selama seratus jurus lebih, sedangkan Maharya yang tadinya menunggang gajah bersenjatakan tombak bulan sabit, kini sudah kehilangan gajahnya dan agaknya tombaknya itupun sudah tidak banyak artinya dalam pertempuran hebat itu.

Kini Maharya telah melolos kalung tasbehnya yang terbuat dari mutiara-mutiara putih yang besar-besar, memegang tombak bulan sabit di tangan kanan tasbeh di tangan kiri. Menghadapi serangan-serangan yang ganas dan dahsyat dari dua senjata aneh itu, Bun Beng mengandalkan kegesitan dan keringanan tubuhnya, akan tetapi diapun sudah menanggalkan topi capingnya dan menggunakan benda ini untuk membantunya menangkis sambaran senjata yang bertubi-tubi.

Dibagian lain, di balik puncak Pegunungan Merak Merah, tidak tampak dari situ hanya terdengar suaranya yang riuh rendah, terjadi pula perang yang lebih hebat dan seru lagi karena pusat perang terjadi di tempat itu, antara pasukan inti yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan pasukan inti penyerbu dari pemerintah yang dipimpin oleh Nirahai dan Lulu!

Dalam perang dahsyat ini, Koksu mendapat bantuan Thian Tok Lama dan Kwi Hong! Kwi Hong tentu saja membantu Koksu ketika melihat penyerbuan pasukan pemerintah yang dianggap musuhnya dan musuh pamannya. Apalagi ketika dia mendapat keterangan dari Koksu bahwa yang memimpin penyerbuan itu adalah Ketua Thian-liong-pang dan Ketua Pulau Neraka, dia tidak ragu-ragu lagi untuk membantu pihak Koksu.

Memang sudah dipikirkannya masak-masak. Permusuhannya dengan Koksu dan kaki tangannya hanya karena Koksu melakukan tugas membasmi Pulau Es, dan sebagai petugas tentu saja dia tidak dapat terlalu menyalahkan Koksu, dan Kaisarlah yang sesungguhnya menjadi musuh pamannya. Kini Kaisar mengirim pasukan, apalagi dipimpin oleh Ketua Thian-liong-pang dan Pulau Neraka yang sejak dahulu memang bukan sahabat Pulau Es, bahkan ketika dia masih kecil pernah dia diculik oleh Ketua Pulau Neraka.

Maka ketika terjadi pertempuran, Kwi Hong sudah membantu Koksu, mengamuk dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya. Para perajurit pemerintah yang berhadapan dengan amukan dara perkasa ini menjadi ngeri karena pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu benar-benar menyeramkan. Tidak ada senjata yang mampu menandinginya, begitu bertemu satu kali saja tentu akan terbabat putus berikut tubuh pemegangnya!

Betapapun juga, karena jumlah pasukan jauh kalah banyak, pasukan pemberontak terdesak hebat. Kwi Hong sendiri, biarpun mendatangkan kekacauan kepada pihak musuh dengan amukan pedangnya yang dahsyat dan membuat para perajurit musuh gentar, terpaksa harus menggunakan sebagian besar perhatiannya untuk melindungi tubuhnya karena banyaknya lawan yang mengeroyoknya. Bermacam senjata datang bagaikan hujan menyerangnya.

Koksu merasa girang sekali melihat kenyataan bahwa Kwi Hong benar-benar membantunya. Dia sendiri bersama Thian Tok Lama lebih mementingkan penjagaan terhadap Pangeran Yauw Ki Ong, karena kalau sampai pangeran ini tewas, habislah arti dari semua usaha perjuangannya.

Tanpa adanya pangeran ini, tidak mungkin dia akan mendapatkan dukungan orang-orang Mancu sendiri yang berpihak kepada pangeran ini, dan berarti jalan masuk baginya ke Kerajaan Mancu akan tertutup. Diapun mengerahkan seluruh pembantunya, memimpin pasukan untuk melakukan perlawanan mati-matian. Dia mengharapkan agar paman gurunya Maharya, yang memimpin pasukan bantuan musuh, dapat segera mengubah keadaan dan dapat datang membantunya.

Namun, yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dan dia mendengar pelaporan anak buahnya bahwa pasukan siluman Nepal yang dipimpin oleh Maharya sendiri itupun mengalami tekanan hebat dari pihak musuh!

Sama sekali Koksu tidak menyangka bahwa yang membuat Maharya tertahan itu adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng! Kalau dia tahu, tentu dia merasa khawatir sekali, apalagi kalau diingat bahwa munculnya dua orang itu, terutama Bu-tek Siauw-jin yang sudah menjadi guru Giam Kwi Hong, tentu akan mendatangkan perubahan besar kepada Kwi Hong.

Betapapun gigih Koksu dan anak buahnya mempertahankan, namun pihak musuh terlampau kuat dan jauh lebih besar jumlahnya. Terpaksa Koksu dan Thian Tok Lama sendiri mundur untuk melakukan penjagaan atas diri Pangeran Yauw yang berlindung di dalam pondoknya, mendekam di atas pembaringannya dengan muka pucat dan dikelilingi para pelayan wanita yang seolah-olah hendak dijadikannya sebagai perisai terakhir.

Pasukan pemberontak makin terdesak mundur dan tak lama kemudian, muncullah Nirahai dan Lulu sendiri di depan pondok persembunyian Pangeran Yauw Ki Ong yang dijaga oleh Koksu, Thian Tok Lama dan para panglima tinggi serta jagoan kaki tangan Koksu. Memang Nirahai mengajak Lulu meninggalkan pasukan mereka yang sudah mendesak dan hampir menang itu untuk mencari-cari biang keladi pemberontak, yaitu Pangeran Yauw, Koksu dan kaki tangannya.

“Yauw Ki Ong, pemberontak laknat!” Nirahai membentak sambil merobohkan beberapa orang anggauta pengawal yang sudah menyambut dia dan Lulu. “Menyerahlah untuk kuseret ke depan kaki Kaisar!”

Yauw Ki Ong adalah saudara tiri Nirahai sendiri. Keduanya adalah keturunan Kaisar, berlainan ibu. Yauw Ki Ong tentu saja sudah mengenal dan maklum akan kelihaian Nirahai, maka mendengar suaranya, dia menjadi pucat dan tidak berani keluar dari tempat persembunyiannya di dalam pondok yang terjaga kuat itu. Koksu dan para pembantunya, terutama sekali Thian Tok Lama, sudah bersiap-siap menjaga disitu dan kini mereka meloncat keluar menghadapi Nirahai dan Lulu.

“Bhong Ji Kun, manusia rendah! Seekor anjing sekalipun akan ingat akan budi orang. Engkau telah memperoleh kemuliaan dari Kaisar, sebagai seorang asing peranakan India engkau telah diangkat menjadi Koksu negara. Akan tetapi engkau tidak berterima kasih malah menjadi pemberontak hina! Manusia macam engkau ini tidak ada harganya untuk hidup!”

Tanpa menanti jawaban lagi, Nirahai sudah menggunakan pedangnya menerjang Bhong-koksu. Kakek botak tinggi kurus ini terkejut bukan main melihat pedang di tangan Nirahai yang mengeluarkan cahaya menyilaukan mata itu. Dia segera mengenal Hok-mo-kiam, pedang yang dahulunya terjatuh ke dalam tangan Maharya, paman gurunya, kemudian pedang itu lenyap bersama tewasnya Tan Ki, murid Maharya yang tewas bersama Thai Li Lama tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya dan siapa yang mencuri atau merampas Hok-mo-kiam. Kini tahu-tahu pedang pusaka itu berada di dalam tangan bekas Ketua Thian-liong-pang ini!

“Tar-tar.... singgg....!”

Pecut kuda berbulu merah di tangan kiri dan sebatang golok besar, golok perang di tangan kanan Koksu itu menyambar ganas.

“Cringgg.... trakkk!”

Ujung golok di tangan Bhong-koksu patah ketika bertemu dengan Hok-mo-kiam, akan tetapi Nirahai harus cepat menarik pedang dan mencelat ke belakang karena ujung cambuk merah sudah mengancam lengannya yang memegang pedang.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar