FB

FB


Ads

Sabtu, 24 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 089

Dan ke manakah perginya Giam Kwi Hong? Telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong berhasil keluar dari kamar tahanan bersama gurunya yang baru, Bu-tek Siauw-jin. Setelah mempelajari ilmu, terutama sekali setelah memperoleh tenaga sakti Inti Bumi ditambah dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya, Kwi Hong sekarang menjadi seorang yang luar biasa lihainya.

Namun sayang sekali, pengaruh tenaga sakti liar dari Pulau Neraka itu mempengaruhi pula wataknya, dan agaknya pengaruh ini datang dari tenaga sakti itu dan dari pedang Li-mo-kiam di tangannya, karena memang pedang itu bukanlah pedang sembarangan, melainkan sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis yang telah menghirup banyak darah manusia tak berdosa, dan dibuatnya pun secara mujijat dan kejam!

Setelah berhasil keluar dari kepungan para jagoan yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan Maharya yang lihai, Kwi Hong menurut petunjuk suhunya, pergi hendak mencari pamannya, Pendekar Super Sakti. Namun usahanya tidak berhasil, bahkan dia mendengar akan keributan di istana dan betapa Koksu berhasil melarikan diri keluar dari kota raja.

Kwi Hong yang masih merasa penasaran itu cepat mengejar pula keluar dari kota raja dan dia berhasil mendapatkan jejak Pangeran Yauw Ki Ong, pangeran Mancu yang berusaha memberontak dibantu Koksu. Pangeran ini sedang melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja sebelah utara, dikawal oleh Koksu, Maharya dan beberapa orang panglima yang setia kepada mereka, termasuk beberapa orang tokoh Mongol dan Nepal.

Hati dara ini tadi belum merasa puas. Tadinya ketika dia dikepung oleh Koksu, Maharya dan lain-lain bersama gurunya, dia mengamuk dan merobohkan banyak perwira pengawal kaki tangan Koksu dengan pedangnya. Dia merasa gembira sekali melihat darah muncrat setiap kali pedang berkelebat, maka dia agak menyesal dan kecewa ketika gurunya menyuruhnya melarikan diri dari kepungan.

Dia amat membenci Koksu dan Maharya, yang dianggap musuh-musuh besar pamannya. Kini, selagi dia sendirian, tidak ada gurunya yang melarangnya, kebetulan sekali dia dapat menyusul rombongan musuh ini, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik untuk memuaskan hati dan pedangnya!

Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong melakukan perjalanan yang penuh kelesuan, sungguhpun dengan tergesa-gesa. Mereka telah mengalami pukulan hebat, dan hanya karena disitu ada Koksu yang pandai menghiburnya dengan janji-janji muluk bahwa pasukan mereka akan dikerahkan untuk langsung memerangi Kaisar, maka Pangeran Yauw tidak putus asa.

Pangeran ini telah kehilangan segala kemewahan hidup dan kemuliaan, bahkan tidak sempat membawa pergi selir-selirnya yang muda-muda, harta bendanya yang berlimpah, dan kini menjadi seorang pelarian yang harus melakukan perjalanan melarikan diri tanpa berhenti selama dua hari dua malam!

Pada malam ketiganya, Pangeran Yauw setengah memaksa Koksu untuk menghentikan perjalanan. Dia sudah merasa terlalu lelah, bahkan isterinya sudah beberapa kali jatuh pingsan saking kelelahan. Juga roda-roda kereta perlu dibetulkan karena hampir copot.

Melihat bahwa pengejaran tidak ada, atau mungkin juga masih jauh, dan tempat penjagaan pasukan-pasukan mereka yang pertama sudah dekat, Koksu tidak keberatan dan beristirahatlah mereka di sebuah dusun.

Penduduk dusun yang belum tahu akan keributan yang terjadi di kota raja, menyambut rombongan ini penuh penghormatan. Terhibur juga hati Pangeran Yauw dan rombongannya karena dapat melepaskan lelah malam hari itu, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali perjalanan dilanjutkan dalam keadaan tubuh mereka lebih segar.

Akan tetapi, baru saja rombongan keluar dari dusun dan tiba di pinggir sebuah hutan, tiba-tiba terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang pengawal yang menunggang kuda paling depan, roboh dengan tubuh hampir putus menjadi dua potong terbabat kilatan pedang di tangan seorang dara yang cantik namun sepak terjangnya ganas bukan main.

Koksu dan Maharya bersama para panglima pembantu mereka cepat melarikan kuda ke depan dan disana mereka melihat seorang gadis dengan sebatang pedang yang berkilat sinarnya menyilaukan mata di tangan, berdiri dengan sikap gagah penuh tantangan.

Dara itu bukan lain adalah Giam Kwi Hong! Melihat dara itu, terkejut hati Koksu dan Maharya, karena mereka menyangka bahwa munculnya dara perkasa itu tentulah bersama kakek sinting yang mereka takuti, Bu-tek Siauw-jin!

Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara melengking tertawa penuh ejekan yang sengaja dia keluarkan untuk memancing keluar Bu-tek Siauw-jin,

“Siauw-jin manusia rendah dan hina, tua bangka cebol mau mampus, keluarlah jangan bersembunyi di belakang celana muridmu perempuan!”

Sepasang mata Kwi Hong mengeluarkan sinar berapi karena marahnya mendengar ucapan menghina yang ditujukan kepada gurunya itu.

“Maharya pendeta iblis!” pedangnya menuding ke depan dan sinar berkilat menyilaukan mata keluar dari ujung pedang itu, membuat semua orang bergidik ngeri melihatnya. “Suhu tidak berada disini, tidak perlu engkau membuka mulut mengeluarkan hawa busuk memaki Suhu! Aku datang sendiri untuk membunuh engkau yang menghina Suhu, dan membunuh Koksu yang telah membasmi Pulau Es. Kalian berdua adalah manusia-manusia berakhlak bejat, dan aku mewakili pamanku untuk membasmi kalian!”

Pangeran Yauw Ki Ong yang menjenguk keluar dari keretanya melihat gadis itu. Jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga penuh gairah. Gadis itu luar biasa cantiknya! Dan dia telah kehilangan begitu banyak selir muda yang cantik. Kalau dia bisa mendapatkan gadis ini, terhiburlah dia oleh kehilangan semua selirnya itu.

“Seng-jin, siapakah dia?” bisiknya kepada Koksu setelah dia turun dan mendekati.

“Dia bernama Giam Kwi Hong, keponakan Majikan Pulau Es dan kini agaknya menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, setan bangkotan Pulau Neraka. Dia lihai, terutama pedangnya, akan tetapi harap Ong-ya tidak khawatir. Tanpa gurunya, mudah bagi saya untuk menundukkan dan membunuhnya.”

“Jangan dibunuh. Kalau kita dapat menariknya sebagai sekutu, bukankah baik sekali? Tentu membuka kemungkinan untuk menarik pamannya, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es, untuk membantu kita pula menghadapi Kaisar.”

Sepasang mata Koksu itu bersinar-sinar dan sekaligus dia dapat memikirkan akal yang amat baik, sesuai dengan usul pangeran yang dianggapnya tepat sekali ini. Cepat dia mengeluarkan ucapan dalam bahasa India yang ditujukan kepada paman gurunya, Maharya. Pendeta itu mengangguk-angguk, tertawa dan melangkah maju bersama Koksu menghampiri Kwi Hong.

“Bagus, majulah kalian berdua, agar mudah bagiku untuk membunuh kalian sekaligus dengan pedangku!” Kwi Hong membentak, siap dengan pedangnya.

“Sabarlah, Nona. Kami hendak membicarakan urusan penting dengan Nona. Bersabarlah karena sesungguhnya diantara kita tidak ada permusuhan sesuatu.”






Tiba-tiba Maharya mengeluarkan kata-kata dengan lambat namun jelas, keluarnya satu-satu dan setiap ucapan mengeluarkan getaran hebat dari ilmu hitamnya untuk mempengaruhi gadis itu. Gelombang getaran hebat menyambar ke arah Kwi Hong dan terasa benar oleh dara ini, membuatnya agak pening dan tubuhnya bergoyang-goyang, namun dengan pengerahan sin-kangnya dia dapat berdiri tegak kembali dan memandang dengan mata penuh kemarahan. Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, terdengar suara Koksu lemah lembut,

“Nona, harap maafkan kalau kami pernah menyerangmu karena Nona berada bersama dengan Bu-tek Siauw-jin. Setelah kami mengetahui bahwa Nona bukan menyeberang kepada Pulau Neraka, melainkan masih keponakan Majikan Pulau Es, maka sadarlah kami bahwa Nona bukanlah musuh, melainkan teman senasib dan seperjuangan dengan kami.”

“Tidak perlu mengeluarkan kata-kata membujuk yang kosong!” Kwi Hong masih dapat mempertahankan diri terhadap getaran yang terus dikerahkan oleh Maharya untuk mempengaruhi dirinya dan pikirannya. “Memang aku keponakan Majikan Pulau Es, dan aku tidak akan pernah lupa betapa kalian memimpin pasukan menghancurkan Pulau Es, membunuh banyak orang kami, bahkan telah menawanku dengan akal jahat!”

“Aihhh, harap Nona jangan terburu nafsu. Pada waktu itu, kami hanyalah petugas-petugas saja dari Kaisar. Kaisar yang memusuhi Pulau Es. Kaisar membenci Pendekar Siluman pamanmu itu karena pamanmu pernah mencemarkan nama baik kerajaan. Kami hanya ditugaskan untuk menyerang Pulau Es. Kalau mau bicara tentang biang keladinya, hanyalah Kaisar sendiri yang bertanggung jawab! Kami sudah merasa menyesal sekali mengapa dahulu kami menurut saja akan perintah Kaisar lalim itu! Karena kelalimannya maka kami memberontak!

Kita semua telah dibikin sakit hati oleh Kaisar lalim itu, Nona. Karena itu, apa perlunya antara kita bermusuhan sendiri, sedangkan kita semua dikejar-kejar oleh pasukan Kaisar yang dipimpin oleh Majikan Pulau Neraka dan oleh Ketua Thian-liong-pang? Mereka menggunakan kesempatan ini untuk merangkul Kaisar, untuk menghancurkan kita, ya, kita, karena Pulau Es menjadi musuh besar mereka!”

Kwi Hong mulai tergerak hatinya, sebagian karena ucapan-ucapan Koksu, namun terutama sekali oleh gelombang getaran ilmu hitam Maharya yang mujijat. Dia menjadi ragu-ragu sekali.

“Hemmm.... begitukah? Paman memang tidak pernah mau dekat dengan kerajaan....”

“Tentu saja. Pamanmu juga seorang pelarian, seperti kami. Daripada antara kita yang senasib ini terjadi permusuhan, bukankah jauh lebih baik kalau kita bersatu menghadapi Kaisar lalim dan membalas dendam kita bersama?”

Pengaruh ilmu sihir yang dikerahkan oleh Maharya telah melumpuhkan semua daya tahan Kwi Hong, dan kini dia mendengarkan ucapan Koksu dengan penuh perhatian, alisnya berkerut dan tangannya yang memegang pedang Li-mo-kiam tidak menegang lagi. Kemudian dia mengangguk-angguk dan berkata, masih agak meragu,

“Mana mungkin kita melawan pasukan pemerintah?”

“Ha-ha!” Maharya kini berkata dengan suaranya yang menggetar. “Jangan Nona ragu-ragu, karena kami telah membuat persiapan. Marilah Nona ikut bersama kami dan menyaksikan sendiri persiapan kami dengan pasukan kami yang amat kuat. Kalau Nona membantu kami, apalagi kalau kita bersama dapat bergabung dengan Majikan Pulau Es, apa sukarnya menghancurkan kekuasaan Kaisar lalim itu?”

Kwi Hong teringat. Pamannya menjadi pelarian, bersembunyi dan mengasingkan diri di Pulau Es, bahkan kemudian pulau itu dihancurkan oleh pemerintah. Memang harus dia akui bahwa pemerintah telah memusuhi pamannya dan telah melakukan hal-hal yang menyakitkan batin.

“Baiklah,” dia menyarungkan pedang Li-mo-kiam. “Aku suka bekerja sama dengan kalian, untuk menghukum Kaisar lalim!”

Pangeran Yauw Ki Ong segera maju dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada.

“Kami merasa berterima kasih, bersyukur, dan bergirang hati sekali mendengar keputusan Lihiap (Pendekar Wanita) yang bijaksana. Selamat datang dan selamat berjuang bersama-sama, Lihiap. Percayalah, kami Pangeran Yauw Ki Ong yang tidak sudi menyaksikan kelaliman Paman Kaisar menindas rakyat, setelah kami berhasil menduduki singasana, tidak akan pernah dapat melupakan jasa Lihiap yang amat berharga ini!”

Ucapan itu dikeluarkan dengan sikap halus dan sopan, disertai pandang mata kagum dan senyum menggerakkan kumis tipis pangeran itu yang dimaksudkan untuk menundukkan hati perawan cantik perkasa itu. Namun, Kwi Hong hanya balas menghormat dan seujung rambut sekalipun tidak pernah merasa tertarik kepada aksi Si Pangeran ini.

Seekor kuda yang terpilih disediakan untuk Kwi Hong dan tak lama kemudian, dara ini telah menunggang kuda diantara rombongan itu, menjadi sekutu mereka dan bersama-sama mereka lalu melanjutkan perjalanan menujuu ke utara dimana terdapat gabungan pasukan anak buah Koksu, orang-orang Nepal dan orang-orang Mongol.

Demikianlah, tentu saja sia-sia bagi Bu-tek Siauw-jin untuk mencari muridnya itu di kota raja. Dia dan Bun Beng hanya menduga bahwa karena diutara ada “keramaian” yaitu pengejaran yang dilakukan pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Puteri Nirahai terhadap para pemberontak, agaknya Kwi Hong pun tentu akan menonton keramaian kesana.

Dugaan ini membuat keduanya tidak betah tinggal terlalu lama di kota raja dan segera mereka pun melakukan perjalanan cepat menyusul ke utara. Di sepanjang perjalanan, tiada hentinya Bun Beng memperdalam ilmunya yang baru, terutama sekali permainan Ilmu Silat Pedang Lo-thian Kiam-sut yang dilakukan dengan tangan kosong dengan pengerahan tenaga gabungan yang dia latih dari Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin.

Rombongan yang diikuti Kwi Hong itu setelah tiba di Tembok Besar di sebelah utara Peking, lalu menyusuri sepanjang tembok yang besar dan panjang itu menuju ke timur. Kiranya pasukan gabungan para pemberontak itu bersembunyi di dekat gunung-gunung dan jurang-jurang yang amat curam. Memang tempat ini amat tersembunyi dan juga liar sehingga pasukan penjaga kerajaan pun hanya beberapa hari sekali saja meronda di bagian ini.

Akan tetapi pada waktu itu, semua pasukan di sekitar daerah ini yang melakukan penjagaan di tapal batas Tembok Besar adalah pasukan anak buah Koksu yang memang sudah diatur sebelumnya. Karena ini pula maka mudah bagi orang-orang Nepal dan Mongol untuk menyelundup masuk melalui Tembok Besar dimana terjaga oleh kaki tangan Koksu sendiri.

Di sekitar Tembok Besar di lembah Sungai Luan itu telah dibangun pondok-pondok darurat yang dijadikan markas oleh pasukan gabungan pemberontak ini. Bahkan para jagoan yang tadinya menanti di sebelah utara kota raja, di daerah sumber minyak dimana Bun Beng pernah mengamuk, setelah usaha mereka membunuh Kaisar gagal, sisa para jagoan inipun sudah melarikan diri dan berkumpul menjadi satu di lembah Sungai Luan ini, untuk memperkuat pasukan pemberontak.

Kekuatan mereka terdiri dari kurang lebih lima ratus orang, dan merupakan gabungan pasukan Mongol Nepal dan pasukan pengawal Koksu yang rata-rata merupakan perajurit-perajurit pilihan.

Pangeran Yauw Ki Ong yang tergila-gila oleh kecantikan Kwi Hong, bersikap amat manis terhadap nona ini. Pangeran yang sudah banyak pengalaman dengan usianya yang mendekati empat puluh tahun itu tidak mau melakukan tindakan yang tergesa-gesa dan sembrono terhadap Kwi Hong karena dia maklum bahwa nona ini bukan seorang wanita sembarangan. Dia ingin menguasai tubuh Kwi Hong, akan tetapi bukan hanya tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya yang cantik saja, juga terutama sekali ilmu kepandaiannya yang tinggi.

Kalau dia dapat meraih dara ini menjadi selirnya yang tercinta, maka dia sekaligus mendapatkan seorang penghibur yang cantik jelita dan seorang pengawal pribadi yang boleh diandalkan! Dia maklum bahwa dengan bantuan Koksu dan Maharya, setelah dara ini dapat dibujuk menggabung, dengan mudah dia dapat menggunakan kekerasan atau dengan pengaruh ilmu sihir Maharya, untuk menggagahi tubuh dara ini secara paksa. Namun hal ini sama sekali tidak dikehendakinya.

Setelah tiba di markas mereka yang berada di lembah Sungai Luan, di atas puncak Pegunungan Merak Merah, rombongan ini beristirahat. Pada keesokan harinya mereka berkumpul, yaitu Pangeran Yauw, Koksu, Maharya, Thian Tok Lama, Kwi Hong, dan para panglima tinggi, untuk mengatur siasat menghadapi pemerintah yang ingin mereka gulingkan.

Akhirnya diambil keputusan untuk selain melakukan penjagaan ketat, juga untuk mengirim utusan mata-mata dan para penyelidik untuk mengetahui gerak-gerik musuh di selatan. Selesai berunding, Pangeran Yauw mengajak Kwi Hong untuk berburu di bawah puncak dengan pasukan pengawal.

“Lihiap tentu belum mengenal daerah ini,” katanya manis. “Disini banyak sekali terdapat rusa kesturi yang mempunyai dedes yang amat harum baunya.”

Kwi Hong tertarik sekali.
“Pangeran, apakah dedes itu?”

Sang Pangeran tersenyum penuh gaya. Sambil menggerak-gerakkan tangan untuk menimbulkan kesan lebih mendalam, dia menjawab,

“Dedes adalah semacam peluh yang keluar dari tubuh belakang rusa kesturi, dan merupakan bahan wangi-wangian yang amat berharga dan sukar dicari bandingnya dalam hal keharumannya, dan tidak sembarang waktu seekor rusa kesturi mengeluarkan peluh dedes ini. Peluh ini hanya keluar di waktu seekor rusa kesturi datang berahinya dan keluarnya dedes yang menyiarkan bau harum itu adalah daya penarik untuk mengundang seorang lawan kelaminnya untuk.... hemmm.... untuk bermain cinta.”

Biarpun pangeran itu sudah bicara dengan hati-hati sekali, namun tetap saja wajah Kwi Hong menjadi merah sekali mendengar penuturan itu. Sejenak Pangeran Yauw terpesona. Betapa cantiknya ketika sepasang pipi Kwi Hong berubah merah seperti itu! Andaikata dia sendiri seekor rusa kesturi, di saat itu tentulah dia akan mengeluarkan peluh dedes yang tidak kepalang tanggung banyaknya!

“Di samping rusa kesturi ini, juga terdapat rusa-rusa muda yang tanduknya merupakan bahan obat kuat yang amat mujarab. Obat lok-jiong (tanduk menjangan muda) amat mahal dan tanduk itu dapat membuat tubuh menjadi sehat segar dan usia menjadi panjang. Selain binatang-binatang itu kita manfaatkan tanduknya dan dedesnya, juga dagingnya sedap bukan main, lunak gurih dan menghangatkan tubuh. Di samping ini, masih terdapat binatang-binatang lain dan tanam-tanaman yang belum pernah Nona saksikan sebelumnya. Marilah kita berburu, saya tanggung Nona akan merasa puas dan gembira sekali.”

Dan pangeran itu memang tidak berbohong. Pemandangan alam di Pegunungan Merak Merah itu benar-benar amat indah, dan banyak terdapat tumbuh-tumbuhan dengan bunga-bunga beraneka warna yang belum pernah dikenal Kwi Hong.

Bermacam batang bambu yang aneh-aneh dan bagus sekali tumbuh di daerah ini. Setelah berburu selama setengah hari, Kwi Hong dan Pangeran Yauw berhasil memanah roboh dua ekor rusa yang gemuk dan muda, dan kebetulan sekali dari dua ekor rusa ini terdapat dedesnya dan dari yang kedua terdapat tanduknya yang muda dan panjang.

Sore hari itu, Pangeran Yauw mengundang Kwi Hong untuk duduk di tepi Sungai Luan, di dalam taman alam yang amat sejuk dan indah, menghadapi meja penuh hidangan arak dan bermacam masakan daging rusa yang lezat!

Dalam kegembiraannya, Kwi Hong yang menganggap bahwa pangeran itu adalah seorang bangsawan yang sopan dan ramah, sama sekali tidak menaruh curiga dan makan minum bersama pangeran itu, bahkan tertawa memuji ketika Sang Pangeran menuliskan beberapa baris sajak.

Kiranya pangeran bangsa Mancu ini pandai pula dalam hal kesusastraan. Setelah mereka makan cukup kenyang dan minum arak yang cukup memanaskan tubuh, Pangeran Yauw memanggil pelayan pribadinya dan menyuruh mengambil arak simpanannya. Arak di dalam sebuah guci batu giok biru itu ditaruh di atas meja.

“Giam-lihiap, ini adalah arak simpanan yang saya dapatkan di selatan. Arak yang amat luar biasa, sudah tua sekali. Harap Lihiap sudi menerima penghormatan kami dengan tiga cawan arak ini!”

Sambil tersenyum Pangeran Yauw menuangkan secawan arak dari guci arak batu giok itu. Arak itu berwarna merah kekuningan, amat harum baunya dan ketika berada di dalam cawan, kelihatan seperti air emas.

“Kami namakan arak ini arak emas. Silakan minum, Lihiap!”

Kwi Hong merasa sudah terlalu banyak minum akan tetapi dia merasa tidak enak untuk menolak. Diminumnya arak dari cawan itu bersama dengan pangeran yang juga mengangkat cawannya. Arak itu memang enak sekali, manis dan harum, akan tetapi juga amat keras sehingga Kwi Hong merasa betapa hawa panas naik ke kepalanya, membuat ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut.

“Masih dua cawan lagi, Lihiap,” kata Sang Pangeran gembira sambil menuangkan lagi arak ke dalam cawan Kwi Hong yang kosong.

“Maaf, Ong-ya. Saya sudah minum terlalu banyak. Tidak kuat lagi....”

Kwi Hong menundukkan mukanya dan mengatur napas untuk menghilangkan rasa pening di kepalanya.

“Aihhh, apakah penghormatan kami yang hanya tiga cawan tak dapat Lihiap terima?” Pangeran itu berkata dengan suara ringan, tanda bahwa diapun agak mabok.

“Bukan begitu, Ong-ya. Tentu saja saya tidak berani menolak kebaikan Ong-ya, akan tetapi saya benar-benar telah agak pening, maka dua cawan arak ini.... biarlah saya minum perlahan-lahan....”

Pangeran itu tersenyum ramah lagi dan mengangguk-angguk.
“Aku percaya seorang gagah seperti Lihiap tidak akan mengecewakan hatiku...., biarlah guci arak ini kutinggalkan saja disini, harap Lihiap nanti suka menerima dua cawan arak kehormatan dariku lagi, bahkan boleh menghabiskan arak ini kalau suka. Sisanya berikut guci araknya boleh Lihiap kembalikan nanti, aku menanti di kamar.... aku mempunyai sebuah benda yang amat berharga, hendak kuserahkan kepada Lihiap sebagai hadiah.”

Setelah berkata demikian, pangeran itu meninggalkan Kwi Hong dengan langkah kaki agak terhuyung-huyung, langkah seorang mabok.

Kwi Hong menjadi lega hatinya. Harus diakuinya bahwa pangeran itu bersikap amat baik kepadanya. Memang dia tidak bermaksud menolak minum dua cawan arak lagi, akan tetapi ia hanya takut kalau dua cawan itu diminumnya sekaligus, dia akan menjadi mabok betul-betul.

Kalau dibiarkannya minum sendiri perlahan-lahan, kiranya tidak apa-apa. Dia mengangkat guci arak itu dan dipandangnya di bawah sinar lampu merah yang dipasang di taman alam itu. Sebuah guci arak giok yang amat indah. Dia tersenyum, meletakkan guci ke atas meja, kemudian memandang cawan arak wangi. Cawan yang ke dua!

Ketika tangannya bergerak ke arah cawan, hendak diangkat dan diminumnya arak itu sedikit demi sedikit, tiba-tiba dara itu menaruh cawan araknya cepat ke atas meja dan gerakan cepat ini membuat arak sedikit tumpah, sedangkan tangan kirinya menyambar benda hitam yang meluncur ke arah dirinya.

Melihat bahwa benda itu adalah sebuah batu hitam kecil dan ada sehelai kertas diikat pada batu, dia menjadi curiga dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat ke arah datangnya batu tadi. Akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu, dan ketika dia melanjutkan pencariannya keluar dari taman alam itu, dia hanya melihat lima orang tukang kuda sedang bekerja keras menyikat tubuh kuda-kuda tunggangan pangeran dan para pembesar lainnya.

Tentu saja Kwi Hong tidak mau menanyakan sesuatu kepada mereka ini dan dia kembali ke dalam taman. Di bawah sinar lampu merah, dia melihat tulisan di atas kertas itu. Hanya beberapa huruf yang ditulis dengan tergesa-gesa agaknya.

JANGAN DIMINUM ARAK PERANGSANG ITU!

Kwi Hong mengerutkan alisnya, meremas hancur kertas itu dan membuangnya sambil memandang ke arah cawan arak dan guci yang masih terletak di atas meja. Dia merasa penasaran karena sungguh tidak mengerti. Apa artinya arak perangsang? Jelas bukan arak beracun, karena kalau beracun, tentu dia sudah roboh. Pula, mengapa pangeran akan meracuninya? Pangeran itu dan semua pembantunya merupakan sekutunya untuk menghadapi Kaisar! Tak mungkin mereka itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya. Akan tetapi, apa maksud Si Penulis surat aneh ini? Dan siapa orangnya? Diukur dari tenaga lemparan batu kecil tadi, orang itu memiliki kepandaian biasa saja!

Biarpun Kwi Hong tidak mempedulikan isi tulisan itu dan diapun tidak takut kalau-kalau dia diracuni, namun kegembiraannya lenyap dan dia tidak mau lagi minum arak. Arak yang sudah berada di dalam cawan itu dia tuangkan kembali ke dalam guci, kemudian dia membawa guci batu giok itu menuju pondok besar tempat peristirahatan Pangeran Yauw Ki Ong.

Setelah penjaga mempersilakan masuk seperti yang dikehendaki pangeran, Kwi Hong memasuki pondok. Alisnya berkerut dan hatinya tidak senang sekali ketika ia melihat pangeran itu dengan pakaian setengah telanjang roboh telentang di atas pembaringan dan dikeroyok oleh dua orang wanita cantik yang menggosok tubuhnya dengan minyak, sedangkan orang ke dua memijat tubuhnya.

“Ha-ha, engkau telah datang menyusulku, Lihiap? Harap kau taruh saja guci itu di atas meja dan duduklah. Duduklah di kursi itu, atau di pinggir pembaringan ini, nanti akan kuambilkan sebuah hiasan rambut burung Hong dari batu giok yang amat indah, hendak kuhadiahkan untukmu.”

Karena sikap pangeran ini masih ramah dan tidak menonjolkan kekurang-ajaran, maka Kwi Hong yang agak pening oleh arak itu masih tidak merasa. Dia masih terlalu jujur untuk dapat mengenal kegenitan seorang laki-laki yang hendak menjatuhkannya, maka setelah meletakkan guci itu di atas meja dia menjura dan berkata,

“Saya hendak mengaso, Pangeran, dan tidak berniat melanjutkan percakapan kita. Soal hadiah, saya tidak membutuhkannya dan kalau Ong-ya hendak memberikan kepadaku, besok masih banyak waktu. Selamat malam dan maafkan saya.”

Tanpa menanti jawaban dara itu membalikkan tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pangeran itu yang menjadi kecewa sekali.

Pangeran Yauw mendorong dua orang pelayannya dan meloncat turun, menyambar guci arak, membuka tutupnya dan mengintai isinya. Dia kecewa sekali dan maklum bahwa calon korbannya itu tidak minum lagi. Biarpun secawan dari arak emas ini sudah cukup untuk merobohkan seorang wanita yang bagaimana keras hati dan dingin sekalipun, namun agaknya masih kurang kuat untuk menundukkan Kwi Hong!

Obat perangsang itu belum cukup kuat untuk mempengaruhi Kwi Hong yang masih bersih, hanya membuat dara itu bingung saja! Pangeran Yauw maklum bahwa dia tidak boleh terburu nafsu, dan dia akan mencari kesempatan lain untuk melampiaskan niatnya. Dia tersenyum mengusir kekecewaannya, kemudian merangkul dua orang pelayannya itu sebagai penghibur dan pengganti diri Kwi Hong yang tadinya ia harapkan malam itu akan terjatuh ke dalam pelukannya.

Selagi Pangeran Yauw Ki Ong tenggelam ke dalam hiburan kedua orang pelayan wanita muda itu, dan Kwi Hong ke dalam kenyenyakan tidur tanpa mimpi akibat hawa arak, dan Koksu bersama para pembantunya yang berilmu tinggi juga beristirahat dengan hati tenteram karena percaya akan ketatnya penjagaan anak buah mereka, tampaklah dua sosok bayangan tubuh orang yang berkelebat dan bergerak seperti setan di dekat markas para pemberontak ini.

Di dalam kegelapan malam muda itu memang dua sosok bayangan yang berkelebatan di sekitar tempat itu amat mengerikan. Gerakan mereka cepat laksana gerakan iblis sendiri, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang terdengar suara ketawa menyeramkan.

Karena bulan belum muncul, sukar untuk menentukan bentuk dua sosok bayangan itu. Akan tetapi setelah bulan yang lambat itu mulai muncul dan memuntahkan cahayanya yang pucat disaring awan-awan tipis sehingga menciptakan cahaya redup kehijauan di malam hari yang sunyi itu, bentuk dua sosok bayangan itu kelihatan agak jelas. Kiranya mereka adalah dua orang manusia, sungguhpun tidak mungkin manusia biasa melihat cara mereka bergerak secepat itu.

Seorang diantara mereka bertubuh pendek sekali, rambut-nya panjang riap-riapan membuat kepalanya yang besar itu kelihatan makin besar, dan Si Pendek inilah yang tertawa-tawa. Temannya tidaklah setua kakek pendek ini, melainkan seorang muda yang kepalanya dilindungi sebuah topi caping lebar dan di punggungnya tampak buntalan pakaiannya. Sebuah kuncir rambut besar kadang-kadang melambai di balik pundaknya ketika dia bersama kakek itu berloncatan melalui jurang-jurang yang curam. Dilihat dari jauh, oleh mereka seperti dua ekor kijang bermain-main dan saling berkejaran di malam sunyi itu.

Akan tetapi tak lama kemudian tampaklah bayangan mereka. Kakek itu masih tertawa-tawa, akan tetapi mereka membawa sekumpulan senjata yang banyak sekali. Susah payah mereka membawa senjata-senjata tajam yang malang-melintang itu sehingga ada yang tercecer di jalan.

“Ha-ha-ha, betapa lucunya kalau mereka itu dikejutkan dan dalam kegugupan mencari-cari senjata mereka!” kata yang muda. Kakek pendek itupun tertawa, akan tetapi dia lalu menengadah dan bernyanyi,

“Senjata adalah benda sialan dibenci oleh siapapun juga tidak dipergunakan para bijaksana, Bahkan dalam kemenangan sekalipun senjata tak sedap dipandang mata karena yang mengagungkannya hanyalah pembunuh-pembunuh kejam! Alat pembunuhan antar manusia menimbulkan kematian terpaksa mendatangkan duka dan air mata dan kemenangan dirayakan dengan upacara kematian!”

“Locianpwe, saya mengenal sebagian kalimat nyanyian Locianpwe adalah dari isi kitab To-tek-keng! Akan tetapi juga tidak sama....” Pemuda itu, Gak Bun Beng menegur heran.

“Ha-ha-ha, perlu apa menghafal isi ujar-ujar kitab apapun juga seperti seekor burung? Yang penting adalah mengerti dan melaksanakan, karena pelaksanaan yang berdasarkan pengertian bukanlah penjiplakan belaka namanya. Aku benci segala macam senjata, hayo kita buang semua senjata di dalam gudang itu!”

Dua orang itu membawa senjata-senjata yang mereka panggul itu ke tepi jurang, lalu melemparkan senjata-senjata itu ke dalam jurang yang hitam, jurang yang tak dapat diukur dalamnya sehingga ketika senjata-senjata itu sampai ke dasar ujung, tidak terdengar apa-apa dari tempat mereka berdiri!

Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Siauw-jin dan Bun Beng segera berlarian lagi menghampiri gudang senjata milik para pemberontak untuk mengangkuti semua senjata yang terkumpul disitu dan dibuang ke dalam jurang. Belasan orang penjaga gudang itu masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi mereka ini berdiri seperti arca karena sudah tertotok, bahkan senjata di tangan dan di pinggang mereka pun sudah dilucuti oleh Bu-tek Siauw-jin dan ikut terbawa untuk dibuang ke dalam jurang itu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar