FB

FB


Ads

Sabtu, 24 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 083

Tombak itu meluncur tepat ke arah ulu hati Bun Beng. Pemuda ini tak dapat mengelak lagi, maka terpaksa dia memasang kedua telapak tangan ke depan dada dan begitu ujung tombak menyentuh telapak tangannya, dia membuat gerakan menyentak sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

Pengerahan tenaga ini membuat dadanya terasa nyeri bukan main, pandang matanya berkunang dan darah makin banyak keluar dari mulutnya, akan tetapi tombak itu membalik secara tiba-tiba, menyambut dada Panglima Bhe Ti Kong yang terdorong ke depan.

“Crappp..... auggghhh....!”

Bun Beng menjadi gelap mata dan pingsan, tidak tahu bahwa tubuh Bhe Ti Kong menimpa tubuhnya dan betapa darah yang membanjir keluar muncrat-muncrat dari dada musuhnya itu menyiram tubuhnya. Panglima itu berkelojotan dan tewas dengan dada tertembus tombaknya sendiri.

“Tahan, Wan-sicu. Jangan bunuh dia.!”

Thian Tok Lama mencegah ketika melihat Wan Keng In mengelebatkan Lam-mo-kiam untuk membunuh Bun Beng.

Wan Keng In menoleh, menahan pedang dan mengerutkan alisnya.
“Manusia macam dia perlu apa dibiarkan hidup? Dia membuat Milana hilang dan sudah mendatangkan banyak korban.!” Kembali Lam-mo-kiam bergerak.

“Jangan, Wan-sicu! Dia adalah seorang tawanan penting sekali! Dialah yang telah merampas Hok-mo-kiam. Dia yang melepaskan puteri Ketua Thian-liong-pang! Terlalu enak bagi dia kalau dibunuh begitu saja, dan dia perlu diseret di depan Koksu untuk meringankan kesalahan kita.”

“Hmm....”

Wan Keng In menyimpan pedangnya, akan tetapi dia lalu mengayun tangan kanannya ke arah punggung tubuh Bun Beng yang rebah miring.

“Desss!”

Pukulan itu hebat sekali dan Wan Keng In mengomel.
“Biarpun nyawanya rangkap, pukulanku ini akan mencabut nyawanya dalam waktu dua puluh empat jam.”

Thian Tok Lama juga terluka di dalam tubuh, akan tetapi tidak membahayakan nyawanya. Dia lalu turun tangan sendiri, menelikung dan membelit-belit tubuh Bun Beng dengan tali yang amat kuat, lalu mengikat tubuh pemuda yang masih pingsan itu di atas punggung kuda.

“Dia sudah kuberi pukulan Toat-beng-tok-ci (Jari Beracun Pencabut Nyawa). Jangankan untuk melawan, dibiarkan pun dia akan mampus sebelum malam besok.”

Wan Keng In mencela melihat betapa pendeta itu bersusah payah membelenggu tubuh yang dia tahu sudah takkan mampu melawan lagi itu.

“Kita tidak boleh gagal lagi membawa dia ke kota raja, Wan-sicu.”

Thian Tok Lama membantah dan Wan Keng In mendengus, mengangkat pundak dan sikapnya menjadi murung karena dia marah-marah dan kecewa telah kehilangan Milana. Betapapun juga, dia harus ikut dan bertemu dengan Koksu. Setelah dia menyaksikan sendiri betapa lihainya Bun Beng, diam-diam pemuda ini merasa jerih juga. Bukan terhadap Bun Beng yang tinggal menanti maut itu, akan tetapi baru Bun Beng sudah demikian lihainya, apalagi ibu Milana Si Ketua Thian-liong-pang, belum lagi Pendekar Super Sakti!

Maka dia harus bersikap cerdik dan harus dapat mencari kawan, dan agaknya kedudukannya akan kuat sekali kalau dia dapat bersekutu dengan Koksu yang selain memiliki kedudukan tinggi dan pengaruh besar, juga mempunyai banyak orang pandai itu.






Dengan murung dan tergesa-gesa, membawa teman-teman yang terluka, pergi keluar dari hutan menuju ke kota raja. Kuda yang membawa tubuh Bun Beng yang kaki tangannya ditelikung dan diikat di atas punggung binatang itu, berada di tengah-tengah dan dikawal sendiri oleh Thian Tok Lama, Wan Keng In. Kini mereka siap dengan senjata di tangan memegang senjata masing-masing dan bersikap waspada. Baik Wan Keng In maupun Thian Tok Lama sudah mengambil keputusan untuk pertama-tama menggerakkan senjata membunuh Bun Beng apabila terjadi suatu gangguan di tengah perjalanan ini.

Bun Beng membuka matanya. Ketika ia merasa betapa tubuhnya tergantung di atas punggung kuda, bergoyang-goyang dan kaki tangannya terbelenggu, dia teringat semua dan tersenyum! Tubuhnya lemah dan tak bertenaga, sakit-sakit, akan tetapi hatinya riang! Teringat dia akan Milana dan rasa bahagia di hatinya masih mengatasi semua kesengsaraan yang diderita tubuhnya. Milana mencintanya! Puteri Pendekar Super Sakti cinta kepadanya! Bukan main! Cucu kaisar sendiri! Dan dia hanyalah seorang anak haram, keturunan seorang tokoh sesat yang dikutuk dunia! Apalah artinya siksa dan mati setelah menghadapi kenyataan yang berbahagia itu? Dan dia telah berhasil menyelamatkan Milana. Dara itu telah bebas! Dia akan menyambut kematian atau apapun juga, dengan senyum bahagia!

Ia mengerling ke kiri dan melihat Thian Tok Lama duduk di atas seekor kuda, memegang sebatang golok. Hemm, sayang. Dia belum berhasil membunuh pendeta ini, juga belum berhasil membalas Bhong-koksu atas kematian gurunya. Baru Thai Li Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang telah menebus kematian gurunya.

Bun Beng mencoba mengerahkan sin-kangnya. Hawa panas di pusarnya segera menjawab pengerahannya, akan tetapi tiba-tiba dada dan punggungnya terasa nyeri bukan main, tak tertahankan!

Tahulah dia bahwa dadanya terluka dan punggungnya menderita lebih hebat lagi! Darah mengalir dari dalam leher ke mulutnya dan dia tahu bahwa dia telah menderita luka akibat pukulan yang mungkin membawa maut. Tentu perbuatan Wan Keng In atau Thian Tok Lama. Agaknya lebih tepat kalau dia menduga pemuda Pulau Neraka itulah yang memukulnya.

Luka di tulang punggung ini bukan pukulan biasa, dan kiranya hanya pemuda itulah yang dapat melakukan pukulan sekeji ini. Dia menghela napas panjang. Tidak ada harapan untuk menggunakan saat terakhir itu mencoba melepaskan diri dan membunuh Thian Tok Lama. Kalau dia melanjutkan pengerahan sin-kangnya tentu dia akan mati sebelum sempat bergerak!

Dia tidak putus asa. Mereka telah menawannya, dan biarpun agaknya ketika dia pingsan dia menderita pukulan gelap yang amat membahayakan nyawanya, namun pada saat itu dia belum mati dan selama dia belum mati dia tidak akan kehabisan harapan.

Mereka belum membunuhnya, berarti bahwa dia masih mempunyai harapan untuk dapat menyelamatkan diri. Bun Beng tidak berusaha lagi untuk mengerahkan tenaga, bahkan dia lalu melemaskan tubuhnya agar dapat bergantung pada punggung kuda dengan enak.

Rombongan itu melalui hutan terakhir yang penuh dengan pohon bambu. Daerah ini memang terkenal dengan pohon bambu yang bermacam warna dan bentuknya. Hati Thian Tok Lama terasa lega karena kota raja sudah dekat. Tembok kota raja yang tinggi sudah tampak dari tempat tinggi itu, merupakan bayangan hitam memanjang yang tertimpa sinar bintang-bintang di langit yang remang-remang.

Angin malam mempermainkan daun-daun bambu, menimbulkan rasa berkelisik.. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan serta merta terjadilah kekacauan ketika rombongan itu diserang oleh daun-daun bambu yang datang bagaikan anak panah atau senjata rahasia piauw yang runcing.

Tadinya mereka mengira bahwa daun-daun bambu itu rontok oleh angin besar, akan tetapi setelah daun-daun bambu ini menancap dan melukai kulit daging, barulah mereka terkejut dan menjadi kacau!

Kekacauan menjadi-jadi ketika sampai batang-batang bambu yang panjang tiba-tiba meliuk dan menyerang mereka, seolah-olah rumpun bambu itu menjadi hidup dan digerakkan oleh setan-setan menyerang rombongan itu. Terdengar suara berdebuk disusul robohnya orang susul-menyusul ketika tubuh-tubuh itu dihantam oleh batang bambu.

Thian Tok Lama dan Wan Keng In cepat dapat menduga bahwa amukan pohon-pohon dan daun-daun bambu itu tentulah perbuatan musuh yang lihai. Akan tetapi pada saat mereka menggerakkan senjata hendak membunuh Bun Beng, tiba-tiba sebatang pohon bambu yang besar dan panjang terbang menyerang mereka, berikut cabang-cabang dan daun-daunnya.

Tentu saja keduanya menjadi terhalang dan mereka menggerakkan senjata membabat runtuh batang bambu itu. Akan tetapi kuda yang membawa tubuh Bun Beng sudah meringkik keras, terlempar dan roboh dengan perut tertembus batang bambu, sedangkan Bun Beng sendiri yang tadinya menelungkup di atas punggung kuda, melintang, sudah lenyap!

“Tawanan lenyap!”

“Kejar....!”

“Tangkap pengacau!”

Teriakan-teriakan para panglima itu menambah kekacauan dan diantara suara hiruk-pikuk mereka terdengarlah suara terkekeh menyeramkan, suara yang terdengar makin menjauh dan akhirnya lenyap.

“Tidak perlu dikejar, percuma saja karena dialah yang datang menolong Bun Beng,” kata Wan Keng In yang menjadi lemas tubuhnya ketika mendengar suara ketawa itu.

Thian Tok Lama menahan kudanya.
“Siapakah dia?”

Wan Keng In menarik napas panjang.
“Siapa lagi kalau bukan Bu-tek Siauw-jin? Kalau dia muncul dan ikut-ikut, kita takkan mampu menghadapinya. Dan setelah dia muncul, orang satu-satunya yang dapat melawannya hanyalah guruku. Karena itu, aku tidak akan ikut bersamamu ke kota raja, Thian Tok Lama. Aku harus mencari guruku, minta bantuannya untuk menghadapi tua bangka cebol itu. Sampai jumpa!”

Tanpa menanti jawaban, Wan Keng In yang merasa jerih mendengar suara ketawa susioknya, Bu-tek Siauw-jin, berkelebat dan lenyap dari depan Thian Tok Lama. Pendeta Tibet ini menarik napas berulang-ulang, menggeleng kepala dan dengan hati risau terpaksa memimpin sisa pasukannya yang ketakutan itu ke kota raja. Memang dia telah berhasil membasmi Thian-liong-pang akan tetapi pasukannya pun rusak, tawanan lenyap dan banyak panglima tewas, termasuk pembantu kepercayaan Koksu, Panglima Bhe Ti Kong.

Sementara itu, jauh dari situ, di dalam hutan yang gelap, Bu-tek Siauw-jin berjalan seorang diri sambil memanggul sebatang bambu panjang dan di ujung bambu itu terpikul tubuh Bun Beng yang masih terbelenggu kaki tangannya!

**** 083 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar