FB

FB


Ads

Sabtu, 24 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 082

Thian Tok Lama dan para panglima serta jagoan-jagoan Nepal sudah memburu ke bawah pohon, dan kini mereka itu mengurung pohon bahkan pasukan lalu dikerahkan untuk menjaga di sekeliling pohon agar gadis tawanan itu tidak sampai dapat meloloskan diri.

“Milana, manisku, turunlah engkau!”

Wan Keng In berkata halus dan dia belum mengenal siapa adanya laki-laki muda yang bercakap-cakap dengan dara itu. Akan tetapi baik Milana maupun pemuda di atas pohon itu tidak mempedulikannya, tidak mempedulikan mereka yang mengurung pohon karena mereka berdua itu sedang saling berbantah. Melihat sikap mereka itu, mau tidak mau Wan Keng In mendengarkan percakapan mereka dan ia merasa heran, dan marah bukan main!

Pemuda yang berada di atas itu bukan lain adalah Gak Bun Beng! Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda sakti ini meninggalkan markas pasukan istimewa pembantu para pemberontak di perbatasan utara, kemudian dia menuju ke kota raja. Tanpa disengaja, secara kebetulan sekali di dalam hutan itu dia melihat pasukan yang dipimpin Thian Tok Lama sedang diganggu oleh Wan Keng In.

Tentu saja Bun Beng menjadi terkejut sekali dan girang melihat musuh-musuh besarnya, terutama sekali Thian Tok La-ma dan Bhe Ti Kong, dua orang diantara mereka yang dahulu mengeroyok dan membunuh gurunya, Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai. Akan tetapi ia tercengang melihat Wan Keng In dan ia segera mengenal pemuda Pulau Neraka yang amat lihai itu.

Timbul kemarahannya karena ia teringat betapa dia pernah dikalahkan dan dihina oleh pemuda iblis itu, bahkan pedang Lam-mo-kiam telah dirampas oleh pemuda Pulau Neraka yang semenjak kecil sudah amat jahat itu. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut sekali adalah ketika ia melihat Milana duduk di atas punggung kuda sebagai seorang tawanan!

Bertemu dengan semua ini, Bun Beng bersikap hati-hati. Tentu saja dia harus menolong Milana, dara jelita yang telah melepas budi banyak sekali kepadanya. Akan tetapi, dia maklum bahwa menolong Milana dari tangan pasukan yang kuat dan dipimpin orang-orang pandai itu, apalagi di situ terdapat pemuda Pulau Neraka, bukanlah hal yang mudah. Karena inilah, dia bersabar dan bersembunyi sambil mengintai dan mendengarkan mereka.

Mula-mula diapun merasa heran ketika mendengar percakapan antara Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan seperti juga Milana, diam-diam dia mengharapkan kedua pihak ini akan bertanding sehingga dia mendapat banyak kesempatan untuk menolong dara itu.

Akan tetapi betapa kecewanya ketika akhirnya pemuda Pulau Neraka itu dapat terbujuk dan bahkan bersekutu, maka terpaksa dia siap untuk menggunakan kekerasan menyelamatkan Milana. Pada saat itulah Milana merenggut tali belenggunya dan berusaha mengaburkan kuda.

Melihat Milana dikejar Wan Keng In, kudanya dirobohkan dan dara itu sendiri terlempar ke atas, Bun Beng cepat melayang ke atas pohon besar dan menyambar lengan dara itu. Bagaikan dalam mimpi Milana melihat Bun Beng di depannya, di atas dahan pohon tinggi sehingga untuk beberapa lamanya dara ini hanya terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan kedua pipinya berubah merah sekali, jantungnya berdebar.

“Kau....?” Hanya demikian dia dapat mengeluarkan suara.

“Nona, syukur sekali secara kebetulan aku lewat di tempat ini. Serahkan mereka itu kepadaku, akan tetapi engkau harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Berbahaya sekali disini.”

Milana menggeleng kepala keras-keras.
“Membiarkan engkau menghadapi mereka sendiri dan aku lari? Tidak! Aku akan membantumu melawan mereka!”

“Aahhh, jumlah mereka terlalu banyak dan kulihat orang-orang pandai diantara mereka. Harap engkau suka menurut, Nona. Sungguh berbahaya sekali kalau memaksa diri melawan.”

“Hemm, Gak-twako. Kau bilang berbahaya bagiku kalau melawan, habis engkau sendiri?”

“Nona....”

“Gak-twako, begini sombongkah engkau? Sejak dahulu?”

Bun Beng gelagapan ditegur seperti itu dan dia memandang dengan mata terbelalak lebar.
“Sombong! Aku....?”

“Apa kau tidak suka bersahabat denganku?”

“Tentu saja, aku....”

“Sudah mengenal sejak dahulu, mengapa engkau masih selalu sungkan dan menyebut aku nona? Namaku Milana dan engkau tahu ini, bukan?”

“Habis.... habis....?”

“Aku tidak mau kau sebut nona! Nah, sebut namaku atau adik, atau.... sudah jangan mengenal aku lagi kalau kau begini angkuh!”

“Eh...., ohh...., Nona.... eh, Adik Milana! Jangan main-main begini....!”

Bun Beng menegur, terheran-heran mengapa dalam keadaan terancam seperti itu dara yang dahulu bersikap halus dan lemah lembut itu meributkan soal sebutan!

“Gak-twako, tidak girangkah engkau bertemu denganku?”

Bun Beng makin bingung dan memandang dengan alis berkerut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan dara ini keracunan, atau sudah bingungkah pikirannya? Dia mengangguk.

“Aku.... aku girang sekali, Twako tidak tahu engkau betapa girangku.... dan ahh.... kau.... kau tolonglah aku, Twako....!”

Tiba-tiba Milana terisak menangis dan ketika dengan kaget Bun Beng menyentuh lengannya, dara itu memeluknya dan menangis terisak-isak, menyembunyikan muka di dadanya!

Tentu saja Bun Beng menjadi bengong! Dia tidak tahu bahwa sesungguhnya Milana telah menderita guncangan batin yang cukup hebat, menderita tekanan batin yang ditahan-tahannya semenjak dia melihat Thian-liong-pang terbasmi, pembantu-pembantu ibunya gugur dan dia sendiri menjadi tawanan.

Dara itu tentu saja berduka sekali melihat perkumpulan ibunya hancur, melihat Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang dan yang lain-lain roboh dan tewas, dan kemudian dia sendiri menjadi tawanan, bahkan kemudian terjatuh ke tangan Wan Keng In pemuda yang mengerikan, sedangkan dia belum tahu apa yang telah terjadi dengan ibunya.






Dalam keadaan hampir putus asa itu, secara tiba-tiba, secara tidak terduga-duga, di atas pohon, muncul Gak Bun Beng, orang yang selama ini dirindukannya! Inilah sebabnya mengapa dara itu bersikap demikian aneh, seperti orang mabok atau seperti orang yang berubah ingatannya dan kini dia menangis tersedu-sedu, teringat akan semua kedukaannya dan hanya mengharapkan bantuan orang yang amat dipercayanya ini.

Tentu saja Bun Beng salah sangka. Apakah dara ini telah berubah menjadi seorang yang amat penakut dan menangis menghadapi ancaman bahaya? Jantungnya berdebar tidak karuan. Dara yang menangis di dadanya itu membuat dia merasa betapa dekatnya wajah jelita itu yang menempel di dadanya, terasa olehnya kehangatan air mata membasahi kulit dada dan tercium olehnya harum rambut Milana.

“Nona.... eh, Moi-moi (Adik).... hentikan tangismu. Jangan takut, aku akan melindungimu dari mereka itu, percayalah....”

“Keparat, mampuslah engkau!” Tiba-tiba seorang panglima meloncat ke atas dan menggerakkan goloknya membacok Bun Beng.

“Prakk...., bresss....!”

Tubuh panglima itu terlempar dan terbanting roboh ke atas tanah oleh tangkisan Bun Beng.
“Aku tidak takut.... ah, Twako.... kau tidak tahu.... mereka telah membasmi Thian-liong-pang.... Bibi Tang Wi Siang dan para paman.... mereka telah tewas....”

Terkejutlah Bun Beng. Dia sudah tahu bahwa para pemberontak yang dipimpin Koksu memusuhi Thian-liong-pang, akan tetapi tidak disangkanya pasukan ini demikian mudah membasmi Thian-liong--pang.

“Mana mungkin? Dimana ibumu?”

Dia tidak dapat percaya Thian Tok Lama dan kawan-kawannya itu dapat menandingi Ketua Thian-liong-pang yang demikian sakti.

“Ibu tidak ada, mungkin di kota raja. Kami melawan mati-matian, akan tetapi percuma, dan aku tertawan....”

Bun Beng mengangguk-angguk dan tiba-tiba dia melakukan gerakan menampar ke bawah.
“Desss....!”

Dahan dimana Bun Beng berjongkok itu tergetar hebat, akan tetapi tubuh Wan Keng In yang tadi meloncat dan memukul, juga terdorong kembali ke bawah ketika pukulannya tertangkis oleh Bun Beng.

Diam-diam Bun Beng terkejut. Pemuda Pulau Neraka itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya! Di lain pihak Wan Keng In yang belum mengenal Bun Beng karena di dalam pohon sudah mulai gelap, lebih kaget lagi melihat ada orang yang mampu menangkis pukulannya bahkan membuat tubuhnya seperti dibanting ke bawah dengan kekuatan dahsyat!

“Milana,” Bun Beng berbisik, tidak bersikap sungkan lagi. “Tidak banyak waktu sekarang. Mereka itu benar-benar lihai dan jumlah mereka banyak. Kalau kita berdua melawan, mungkin engkau akan tertangkap lagi atau terluka. Engkau harus lari lebih dulu. Tunggu setelah aku mengamuk di bawah, engkau melompat jauh dari tempat ini, melalui pohon-pohon dan menghilang dalam gelap. Bawa pedang ini.”

“Tidak! Aku akan melawan, bertanding di sampingmu sampai mati....”

Bun Beng merasa lehernya seperti dicekik mendengar ini.
“A.... apa....?”

“Gak-twako, apa masih perlu kujelaskan lagi? Tidak cukupkah ketika dahulu aku membela dan melindungimu ketika kau terluka?”

Gemetar seluruh tubuh Bun Beng, tangannya menggigil ketika ia memegang tangan Milana.
“Tidak cukup....? Duhai.... terlalu cukup, terlalu banyak.... bahkan itulah yang menyiksa hatiku. Milana.... betapa aku berani menyatakan kekurang-ajaran ini? Akan tetapi...., ah, kata-katamu tadi.... Milana, orang yang paling kumuliakan di dunia ini karena baik budimu, yang paling kucinta di dunia ini.... maafkan aku.... akan tetapi aku cinta padamu.... dan.... dan kau bilang ingin bertanding di sampingku sampai mati....? Benarkah pendengaranku?”

“Singg....! Krekkk.... plakkk! Aduhhh....!”

Tubuh seorang jagoan Nepal yang tadi menyerang dengan tombaknya, terpelanting, tombaknya patah dan kepalanya pecah oleh pukulan Bun Beng yang menangkis dan memukul tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah Milana.

Sepasang mata itu basah air mata, akan tetapi bibir yang gemetar tersenyum.
“Gak-twako, mengapa baru sekarang kau menyatakan isi hatimu yang sejak dahulu tampak membayang dalam pandang matamu?”

“Milana.... betapa aku berani.... kau.... seorang dara mulia, puteri Ketua Thian-liong-pang, puteri Pendekar Super Sakti yang kumuliakan, malah cucu kaisar sendiri! Ya Tuhan, betapa beraniku menyatakan cinta! Kalau tidak mendengar ucapanmu tadi.... perasaan hatiku akan kusimpan sebagai rahasia sampai mati.”

“Terima kasih, Twako. Sekarang aku tidak ragu-ragu lagi! Aku puas, aku bahagia. Apapun yang akan terjadi, biar orang sedunia menentangnya, aku akan selalu berbahagia di sampingmu, hidup atau mati. Marilah, Twako. Mari kita menerjang ke bawah, kita lolos dan selamat berdua atau mati bersama!”

“Tidak....! Seribu kali tidak! Setelah aku tahu bahwa harapan hidupku tidak sia-sia, setelah aku tahu bahwa engkau pun mencintaku, mana mungkin aku membiarkan engkau terancam bahaya? Tidak! Milana, dengarlah baik-baik. Lihat pedang ini. Ini adalah Hok-mo-kiam yang sudah dapat kurampas kembali. Bawalah pedang ini, cari ibumu di kota raja dan serahkan pedang ini kepada ayahmu, Pendekar Super Sakti. Dengan pedang ini engkau akan dapat melindungi dirimu. Aku akan hadapi mereka di bawah itu.... hemmm.... akan kuhajar cacing-cacing busuk yang telah berani menghina dewi pujaan hatiku!”

“Tidak, Twako....”

“Husshhh, demi cinta kita, taatilah aku sekali ini saja, sayang! Aku tidak akan dapat memaafkan engkau, memaafkan aku sendiri atau siapa juga kalau sampai engkau ikut turun dan menderita celaka. Nah, aku terjun, siaplah meloncat dan lari. Sampai jumpa, sayang!”

Tanpa menanti jawaban, Bun Beng yang hampir bersorak saking gembira hatinya itu turun. Dia hanya mendengar suara Milana terisak, akan tetapi hatinya lega ketika dia mulai merobohkan beberapa orang pengawal dan memandang ke atas, pohon itu telah kosong dan bayangan Milana telah lenyap.

“Thian Tok Lama pendeta palsu!”

Dia membentak ketika melihat kakek itu membuat gerakan hendak melakukan pengejaran kepada Milana. Sebuah pukulan kilat yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang mengejutkan pendeta itu, apalagi ketika dia mengelak sambil menangkis, tetap saja hawa pukulan dari tangan Bun Beng membuatnya terpelanting.

“Wan Keng In, tikus Pulau Neraka, hendak kemana engkau?”

Bun Beng sudah meloncat ke depan, menerjang Wan Keng In yang kelihatan ragu-ragu dan agaknya mencari-cari Milana yang lenyap. Diterjang secara hebat oleh Bun Beng, Wan Keng In terpaksa melayaninya. Dengan penasaran dan marah Keng In mengerahkan tenaganya, menyambut pukulan Bun Beng ke arah dadanya itu dengan dorongan telapak tangannya pula.

“Dessss....!”

Kalau tadi mereka saling mengadu lengan di atas pohon, kini mereka mengadu kedua telapak tangan yang saling bertumbukan. Akibatnya, tubuh Wan Keng In terlempar ke belakang sampai lima meter lebih!

Makin pucat wajah Wan Keng In dan biarpun dia tidak terluka, namun dia terkejut setengah mati dan barulah kini sepasang matanya memandang dengan sinar berkilat-kilat ke arah Bun Beng. Betapa hatinya tidak terkejut. Di dalam dunia ini, kiranya hanya ada dua orang, gurunya sendiri dan paman gurunya, dua kakek setan Pulau Neraka, yang dapat membuatnya terlempar seperti itu!

Pekik melengking yang menyeramkan keluar dari dada pemuda Pulau Neraka itu ketika dia meloncat ke depan lalu membentak,

“Jahanam! Siapa engkau?”

“Plak-plak-dess-dess!”

Empat orang anggauta pasukan terpelanting ke kanan kiri dan tak dapat bangkit kembali terkena hantaman kaki tangan Bun Beng yang merasa betapa tubuhnya ringan dan enak sekali, seringan dan seenak hatinya yang gembira bukan main. Pemuda ini mengerling ke kanan kiri, tertawa ketika melihat para pengawal tidak berani maju dan hanya mengurung dari jarak jauh.

Dengan tenang dia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Wan Keng In, tersenyum mengejek dan memandang dengan sinar mata berseri. Dunia seolah-olah berubah bagi hati Bun Beng dan biarpun dia berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya, dia tetap gembira. Tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, tidak ada kekhawatiran dan semua orang kelihatan menggembirakan.

Agaknya wajahnya yang berseri itu membuat semua orang terheran-heran dan curiga, sedangkan Wan Keng In mulai mengingat-ingat siapa gerangan pemuda tampan berseri-seri yang wajahnya tertimpa cahaya obor yang dinyalakan oleh beberapa orang pengawal. Dia merasa seperti mengenal wajah itu, akan tetapi dia lupa lagi dimana dan kapan.

Selain kebahagiaan karena cinta kasihnya terbalas oleh Milana, hal yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya, atau diharapkannya itu membuat hatinya riang gembira, juga Bun Beng sengaja hendak memancing perhatian mereka agar Milana mendapat kesempatan untuk melarikan diri jauh-jauh.

Kalau Milana sudah selamat, dan pedang Hok-mo-kiam sudah dapat dibawa pergi dara itu untuk diberikan kepada yang berhak, yaitu ayah dara itu, Pendekar Super Sakti, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang menyusahkan hatinya! Dia sendiri akan menghadapi bahaya apapun juga dengan hati ringan.

“Wan Keng In, engkau bocah setan ini makin jahat dan tersesat saja. Sekali ini aku tidak akan membiarkan kau terlepas sebelum memberi hajaran kepadamu! Dan Thian Tok Lama agaknya masih melanjutkan kejahatan-kejahatannya. Sudah lama aku menanti kesempatan ini, untuk bertemu denganmu dan membalas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio.”

Ucapan Bun Beng itu agaknya menyadarkan dua orang ini dan teringatlah mereka kini. Disebutnya nama Siauw Lam Hwesio sebagai guru mengingatkan Thian Tok Lama akan murid kakek tokoh Siauw-lim-pai itu, Gak Bun Beng yang pernah dan sempat dilihatnya pula ketika pemuda itu membantu Pulau Es pada waktu pasukan pemerintah membasmi pulau itu.

Adapun Wan Keng In sekarang teringat akan pemuda yang telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, pemuda bernama Gak Bun Beng yang tadinya dia pandang rendah akan tetapi yang sekarang mampu membuatnya terlempar sampai lima meter!

“Manusia she Gak keparat!” Wan Keng In memaki.

“Gak Bun Beng, engkau anak haram dari Setan Botak Gak Liat yang kurang ajar itu.!”

“Wuuuuttt.... plakkk!”

Untuk kedua kalinya dalam waktu yang singkat itu tubuh Thian Tok Lama terpelanting ketika dia tergopoh-gopoh menangkis pukulan Bun Beng yang marah sekali mendengar makian dan penghinaan itu.

Akan tetapi dia tidak dapat mendesak musuh besarnya itu karena Wan Keng In sudah menyerangnya dengan pukulan-pukulan maut. Pukulan pemuda Pulau Neraka ini dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau, akan tetapi dari setiap ujung jari keluar hawa pukulan beracun yang amat dahsyat.

Bun Beng maklum akan kelihaian Keng In, maka dia sudah cepat mencelat ke kiri menghindarkan serangan sambil menerima tusukan tombak dan golok dari dua orang Nepal, membetot dua buah senjata itu sambil menendang. Dua orang Nepal itu mengaduh dan tubuh mereka terjengkang. Dua orang pengawal yang menerjang maju, roboh oleh tombak dan golok yang dirampas Bun Beng dan disambitkan menyambut terjangan mereka.

Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Bun Beng mengamuk seperti seekor burung garuda, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah pasukan. Tentu saja mereka itu merupakan lawan lunak bagi pemuda sakti ini dan dalam waktu beberapa menit saja sudah ada belasan orang tentara pengawal roboh termasuk beberapa orang Nepal dan panglima.

Melihat sepak terjang Bun Beng yang demikian hebat, Thian Tok Lama dan Wan Keng In menjadi penasaran sekali. Pendeta Lama itu mengeluarkan senjatanya, sebatang golok melengkung yang mengeluarkan sinar hijau, sedangkan Wan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam.

Mereka ini, dibantu oleh Bhe Ti Kong dan sisa para panglima serta jagoan Nepal lain, mengurung Bun Beng. Adapun anak buah pasukan yang juga membentuk pengepungan ketat di sebelah luar, siap pula dengan senjata di tangan sedangkan di empat penjuru, delapan orang memegang obor untuk menerangi tempat yang mulai terselimut malam gelap.

“Kok-kok-kok heeeehhhh!”

Perut gendut Thian Tok Lama mengeluarkan suara berkokok, kemudian disusul bentakannya dia menyerang maju, tangan kiri memukul, tangan kanan menggerakkan goloknya dengan cepat dan kuat sekali.

“Singgg.... syet-syet-syettt....!”

Sinar hijau menyambar-nyambar dan bergulung-gulung ke arah tubuh Bun Beng yang tidak berani memandang rendah. Cepat dia menggerakkan tubuhnya mencelat ke kanan kiri dan belakang. Betapapun cepat serangan Thian Tok Lama, gerakan Bun Beng lebih cepat lagi sehingga gulungan sinar golok berwarna kehijauan itu tak pernah dapat mendekati sasaran.

“Hyaaattt.... singgg.... cing-cing....!”

“Hemmm....!”

Bun Beng mengeluarkan suara kaget dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang dengan kecepatan kilat ketika dia melihat sinar kilat menyambar ganas dengan kecepatan seperti halilintar dan sinar itu mengandung hawa menyeramkan sekali sehingga dia sendiri merasa ngeri, tengkuknya terasa dingin.

Melihat berkelebatnya sinar kilat yang menyilaukan mata, tahulah dia bahwa Wan Keng In telah turun tangan menyerangnya dengan menggunakan pedang Lam-mo-kiam. Maka dia tidak berani berlaku lambat, begitu melempar tubuh ke belakang, dia berjungkir balik dan melanjutkan dengan meloncat jauh ke kanan.

“Syuuuuutttt.... singggg!”

Bun Beng menelan ludah. Bukan main hebatnya Lam-mo-kiam. Biarpun dia sudah bergerak cepat sekali, masih saja dia tadi nyaris tergores punggungnya. Namun dia tidak sempat memikirkan hal itu karena begitu dia terhindar dari bahaya serangan Keng In, serentak dua orang panglima dan dua jagoan Nepal telah menyerangnya dengan berbareng.

Dua orang Nepal yang bersorban itu menyerangnya dengan senjata mereka yang membuat mereka ditakuti, yaitu pisau belati yang kecil namun amat runcing dan tajam, dua buah banyaknya dipegang setengah bersembunyi di balik lengan kanan kiri.

Serangan dari depan oleh dua orang Nepal itu amat cepat, gerakan mereka aneh dan kecepatan mereka menjadi hebat karena lengan mereka panjang. Dalam sedetik itu, dua orang ini menyerang secara berbareng dan empat buah pisau belati menyambar ke arah leher, ulu hati, perut dan lambung! Dalam setengah detik berikutnya, menyambar pula sebatang golok besar di tangan seorang panglima brewok, berlomba cepat dengan tombak gagang pendek di tangan Bhe Ti Kong yang menghujani ke arah punggung Bun Beng!

“Heiiittt!”

Bun Beng berseru keras sekali, tubuhnya membuat gerakan berpusing, demikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandang mata oleh lawan, akan tetapi tahu-tahu jari-jari tangannya secara berturut-turut telah mengetuk terlepas sambungan siku kedua tangan orang Nepal, merampas golok besar dan menangkis tombak gagang pendek Bhe Ti Kong dengan golok itu setelah merobohkan pemilik golok dengan tendangan.

“Tranggg....!”

Bhe Ti Kong berseru kaget dan cepat menarik kembali tombaknya, memutar senjatanya untuk melindungi tubuh. Dua kali dia berhasil menangkis dan harus bergulingan dan jatuh bangun, terus dikejar sinar golok rampasan Bun Beng yang mengenal panglima ini sebagai musuh besarnya dan yang mendesak untuk membunuhnya.

“Singgg....!”

Sinar kilat pedang Lam-mo-kiam yang sudah menyambar lagi menyelamatkan nyawa Bhe Ti Kong.

“Cringgg!”

Bun Beng yang tadinya mendesak Bhe Ti Kong, terkejut melihat sinar kilat, terpaksa membuang diri sambil menangkis dengan golok rampasan, akan tetapi sekali bertemu dengan Lam-mo-kiam, golok besar itu patah menjadi dua potong!

“Trang-trang....!”

Kembali Bun Beng yang baru meloncat bangun itu menangkis dengan golok buntungnya, menangkis serangan golok Thian Tok Lama yang sudah membantu Keng In mengeroyoknya pula. Biar hanya mempergunakan golok buntung, namun tangkisan ini membuat Thian Tok Lama terhuyung.

Bun Beng menyambitkan golok buntungnya kepada Wan Keng In ketika melihat pemuda itu sudah menerjang lagi. Biarpun hanya disambitkan, namun golok buntung itu meluncur dengan kekuatan dahsyat sehingga Keng In tidak berani bersikap sembrono dan cepat menggerakkan Lam-mo-kiam untuk menangkis.

Golok buntung itu runtuh dan patah-patah. Akan tetapi, ketika Keng In menangkis sambitan golok buntung, kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk menerjang ke kiri, merobohkan empat orang panglima dan orang Nepal, dan merampas sebatang tombak lagi. Gerakannya kuat dan cepat sekali sehingga ketika Wan Keng In dan Thian Tok Lama menyerangnya lagi, dia sudah dapat menghadapi mereka dengan tombak di tangan!

Namun, dengan adanya Keng In yang bersenjata Lam-mo-kiam, Bun Beng benar-benar kewalahan. Sekali bertemu, tombak rampasannya patah-patah lagi dan hampir saja dia termakan sinar pedang Lam-mo-kiam yang amat ampuh. Untung baginya bahwa jumlah pengeroyok amat banyak sehingga dia dapat menerjang dan menyelinap diantara para pengeroyok.

Hal ini membuat Keng In merasa agak sukar untuk menekannya, dan pemuda Pulau Neraka itu dibantu oleh Thian Tok Lama selalu mengejar-ngejar Bun Beng yang mengamuk diantara para panglima, orang Nepal, dan pasukan pengawal.

Betapapun dia mencobanya, Wan Keng In dan Thian Tok Lama tidak memberi kesempatan sedikitpun juga kepada Bun Beng untuk dapat melarikan diri. Pemuda itu dikepung ketat dan terpaksa dia mengamuk, merobohkan dan menewaskan banyak sekali anak buah pasukan, sedangkan keselamatannya selalu terancam dan berkali-kali nyaris saja terluka oleh Lam-mo-kiam dan golok di tangan Thian Tok Lama.

Telah lebih dari dua puluh orang anak buah pasukan roboh, lebih setengah jumlah panglima dan jagoan Nepal tewas, dan pertandingan itu telah berjalan sampai hampir tengah malam! Bun Beng berhasil sebegitu jauh menyelamatkan diri dari ancaman Lam-mo-kiam, akan tetapi karena pengeroyokan ketat dan untuk menghindarkan luka senjata, terpaksa dia menerima hantaman tangan kiri Thian Tok Lama sampai dua kali dan tamparan tangan kiri Wan Keng In satu kali.

Tamparan pemuda Pulau Neraka itu hebat bukan main, membuat dada yang terkena tamparan terasa seperti akan pecah dan napas menjadi sesak, Bun Beng maklum bahwa isi dadanya terguncang dan bahwa pukulan Wan Keng In mengandung racun. Dia tidak takut akan pukulan beracun karena tubuhnya sudah kebal oleh jamur-jamur beracun, akan tetapi guncangan itu membuat tenaganya berkurang.

Keadaannya amat berbahaya. Dia tidak takut mati, akan tetapi dia akan merasa kecewa kalau belum berhasil membalas kematian gurunya. Karena itu, dia mencurahkan perhatian dan kepandaiannya untuk memilih sasaran, yaitu Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama, dua diantara para pembunuh gurunya.

“Thian Tok Lama, bersiaplah kau menyusul Thai Li Lama...!”

Tiba-tiba dia berseru ketika melihat lowongan. Secepat kilat dia menubruk maju, menendang sebatang pedang yang menyambar dari samping, mengelak dari tusukan Lam-mo-kiam, menggunakan tangan kanan mencengkeram golok Thian Tok Lama.

Pendeta itu terkejut sekali, bukan hanya karena tahu bahwa yang membunuh saudaranya itu adalah pemuda ini, akan tetapi terutama sekali melihat betapa dengan tangan kosong pemuda lihai itu berani menangkap dan mencengkeram goloknya! Dia berusaha menarik golok untuk melukai tangan Bun Beng, akan tetapi tiba-tiba Bun Beng sudah menggerakkan tangan kiri menampar ke arah kepalanya!

Hebat bukan main serangan ini dan kalau tamparan ini mengenai sasaran, tak dapat disangsikan lagi nyawa Thian Tok Lama tentu akan melayang. Akan tetapi pada saat itu, sebuah pukulan yang keras dari tangan kiri Wan Keng In mengenai tengkuk Bun Beng pada saat yang amat tepat.

“Desss....!”

Berbareng jatuhnya pukulan Keng In pada tengkuk Bun Beng dengan tamparan, tangan Bun Beng yang menyeleweng, tidak jadi mengenai kepala melainkan menghantam pundak Thian Tok Lama. Biarpun menyeleweng, namun cukup membuat pendeta itu terpelanting dan muntah darah! Akan tetapi, hantaman yang keras dari Keng In, itupun membuat Bun Beng terjengkang!

Bhe Ti Kong menubruk dengan tombaknya, menusuk ke arah ulu hati Bun Beng dengan tombak gagang pendeknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dia merasa yakin bahwa sekali ini dia tentu berhasil membunuh pemuda yang berbahaya ini, apalagi melihat pemuda itu telah terpukul dan mulutnya menyemburkan darah seperti yang dialami Thian Tok Lama.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar