FB

FB


Ads

Sabtu, 24 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 081

Dugaan Bu-tek Siauw-jin memang benar. Biarpun kakek cebol ini kelihatan sinting dan ketolol-tololan, namun dia adalah seorang yang sudah berpengalaman dan berada di tempat itu selama beberapa hari, mendengar percakapan-percakapan antara Koksu dan Nirahai, percakapan-percakapan yang dilakukan para pengawal ketika dia dan muridnya ditahan, sudah cukup baginya untuk mengerti duduknya perkara.

Dugaannya bahwa Thian-liong-pang diserang selagi ketuanya mengamuk di taman, memang tepat sekali. Hal ini memang sudah direncanakan oleh Bhong-koksu yang menganggap bahwa kalau Thian-liong-pang belum dihancurkan lebih dahulu, tentu perkumpulan yang amat kuat itu akan menjadi penghalang bagi pemberontakan yang diaturnya bersama Pangeran Yauw Ki Ong karena Nirahai tentu akan memimpin perkumpulannya itu untuk membela ayahnya kaisar.

Pada saat Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk di taman istana koksu, sepasukan tentara dipimpin oleh Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong panglima tinggi besar tangan kanan Koksu, dan beberapa orang panglima yang berkepandaian tinggi dibantu pula oleh orang-orang yang menjadi jagoan-jagoan dari Nepal dan Tibet, menyerbu markas besar Thian-liong-pang di luar kota raja.

Karena puteri Ketua Thian-liong-pang, Milana sudah mengetahui akan rahasia Bhong-koksu dengan persekutuan pemberontaknya, maka begitu ibunya meninggalkan markas untuk membuat perhitungan dengan Koksu, dara perkasa ini telah mengadakan persiapan. Penjagaan dilakukan dengan ketat dan dibantu oleh para tokoh Thian-liong-pang, yaitu Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok Si Kakek Muka Singa, dan para pembantu lainnya.

Jumlah anak buah Thian-liong-pang bersama para pemimpinnya yang berkumpul di tempat itu masih ada kurang lebih seratus orang. Mereka semua siap sedia menanti perintah dari puteri ketua mereka dan di lain pihak Milana juga menanti kembalinya ibunya dengan hati penuh ketegangan karena dia maklum bahwa pasti akan terjadi sesuatu yang hebat berhubungan dengan pemberontakan yang diatur oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu itu.

Karena persiapan yang telah diadakan oleh Milana dan para tokoh Thian-liong-pang inilah, maka ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan pengawal yang dipimpin oleh Thian Tok Lama, terjadi pertempuran yang amat seru dan hebat.

Pihak Thian-liong-pang mengadakan perlawanan mati-matian dan karena rata-rata anggauta Thian-liong-pang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, maka biarpun pasukan tentara lebih besar dan lebih kuat, tidak mudah bagi mereka untuk menumpas Thian-liong-pang tanpa jatuh banyak korban di pihak tentara.

Betapapun juga, ilmu kepandaian Thian Tok Lama amat lihai dan betapapun para tokoh Thian-liong-pang membela diri mati-matian, tak seorangpun diantara mereka yang mampu menandingi pendeta Lama dari Tibet yang kosen ini.

Agaknya hanya Milana seoranglah yang hampir dapat mengimbanginya, akan tetapi pada saat penyerbuan terjadi, Milana telah dikepung dan dikeroyok oleh lima orang Nepal dan dua orang Tibet pembantu Thian Tok Lama, sedangkan Lama itu sendiri memimpin orang-orangnya menyerbu ke dalam dan mengamuk, ditahan oleh Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok. Terjadilah pertandingan dahsyat di sebelah luar dan dalam markas Thian-liong-pang. Pertandingan mati-matian yang berlangsung sampai setengah hari lebih!

Betapa gigih para tokoh Thian-liong-pang mempertahankan diri, tanpa adanya ketua mereka di situ, akhirnya mereka itu runtuh juga. Seorang demi seorang roboh dan tewas, mula-mula Tang Wi Siang tewas oleh Thian Tok Lama, kemudian Lui-hong Sin-ciang Chie Kang bahkan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok juga terluka parah dan hanya karena di situ tidak ada ketuanya maka kakek ini memaksa diri untuk lari, bukan karena dia takut mati, melainkan agar kelak dia dapat melaporkan kepada ketuanya, apalagi setelah dilihatnya betapa puteri ketuanya tertawan oleh Thian Tok Lama.

Hanya beberapa orang saja yang berhasil lolos dari maut dalam penyerbuan itu, dan seperti juga Sai-cu Lo-mo, para anggauta Thian-liong-pang yang berhasil lolos dan melarikan diri itu menderita luka-luka parah.

Karena telah dapat menghancurkan Thian-liong-pang dan terutama sekali dapat menawan Milana, Thian Tok Lama tidak melakukan pengejaran terhadap sisa orang Thian-liong-pang. Hari telah menjadi sore dan dia hendak cepat-cepat membawa Milana sebagai tawanan ke kota raja. Dara itu merupakan seorang tawanan penting sekali, karena dengan adanya dara itu sebagai sandera, tentu Ketua Thian-liong-pang tidak akan mampu berbuat hal-hal yang akan merugikan persekutuan yang dipimpin oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan Bhong-koksu.

Berangkatlah sisa pasukan pengawal yang tinggal separuh itu meninggalkan markas Thian-liong-pang yang telah terbasmi dan telah mereka bakar, menuju ke kota raja. Milana dengan kedua tangan terbelenggu, menjadi tawanan dan dinaikkan ke atas punggung seekor kuda, digiring di tengah-tengah mereka dan dikawal sendiri oleh Panglima Bhe Ti Kong, Thian Tok Lama dan para pembantunya.

Yang menjadi pelopor di depan adalah jagoan-jagoan Nepal Yang bersorban dan rata-rata bertubuh tinggi besar. Mereka merasa bangga karena dalam kemenangan ini mereka melihat tanda yang baik bahwa persekutuan mereka akan berhasil, dan kalau kaisar berhasil dijatuhkan, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi bukan hanya dari kaisar baru, akan tetapi terutama dari raja-raja mereka sendiri karena Pangeran Yauw Ki Ong sudah menjanjikan persahabatan, bukan penaklukan seperti sekarang, kepada Nepal, Mongol dan Tibet.

Karena hari sudah hampir gelap dan perjalanan melalui sebuah hutan besar, maka pasukan itu melakukan perjalanan cepat. Terdengar suara derap kaki kuda mereka bergema di dalam hutan dan pasukan yang berjalan kaki mengikuti dari belakang setengah berlari.

Sembilan orang jagoan Nepal yang merasa berjasa dan bergembira, tidak dapat menahan kegembiraan hati mereka dan terdengarlah suara mereka bernyanyi-nyanyi dalam bahasa Nepal ketika mereka membedal kuda tunggangan mereka mendahului pasukan karena memang mereka menjadi pelopor. Aneh dan janggal sekali suara mereka itu, suara asing yang bergema di sepanjang hutan yang dilalui pasukan itu.

Kadang-kadang suara nyanyi hiruk-pikuk panjang pendek itu diseling suara ketawa dan teriakan-teriakan mereka bersendau-gurau. Semua ini diperhatikan dan didengarkan oleh Milana yang duduk dengan sikap tenang di atas kudanya. Dara perkasa ini merasa berduka mengingat akan kehancuran Thian-liong-pang dan kematian tokoh perkumpulan ibunya. Namun sedikitpun dia tidak merasa gelisah atau takut. Hanya terpaksa dia ditawan. Akan tetapi setiap saat ia bersiap untuk melawan dan memberontak jika terdapat kesempatan.

Satu-satunya hal yang dikhawatirkannya hanyalah keadaan ibunya. Ibunya belum tahu akan malapetaka yang menimpa Thian-liong-pang dan dia tidak tahu dimana adanya ibunya, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ibunya juga terancam bahaya besar yang direncanakan oleh Koksu dan kaki tangannya.

Dengan sikap angkuh dan agung Milana mengerling kepada Thian Tok Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang menunggang kuda di dekatnya. Panglima itu menjadi orang kepercayaan Koksu dan kedua orang ini, terutama Thian Tok Lama, yang mengawal dan menjaganya. Kalau saja tidak ada pendeta Tibet itu, agaknya masih ada harapan baginya untuk meloloskan diri. Akan tetapi pendeta gundul itu benar-benar amat lihai.

“Tidak enakkah dudukmu, Nona? Menyesal sekali, terpaksa kami membelenggu kedua tanganmu.” Terdengar Panglima Bhe Ti Kong berkata.






Milana tidak menjawab, juga tidak menoleh sama sekali, melainkan tetap duduk tegak memandang ke depan seolah-olah tidak mendengar suara panglima itu. Betapapun juga, dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, malah lebih jelas lagi, puteri dari Puteri Nirahai! Dia adalah cucu kaisar! Kedudukannya jauh lebih tinggi daripada kedudukan seorang panglima pembantu Koksu. Dengan pikiran ini, Milana dapat duduk dengan tegak dan sikap agung dan sikap ini terasa sekali oleh Bhe Ti Kong maupun Thian Tok Lama.

“Hemm, tiada gunanya bersikeras. Hanya orang bodoh dan tidak bijaksana saja yang tidak mampu menghadapi kekalahan dan berkeras kepala.”

Kembali Bhe Ti Kong berkata karena diapun tahu bahwa dara jelita dan perkasa itu adalah cucu kaisar, merupakan seorang tawanan yang amat penting dan membuat dia merasa tidak enak sendiri.

Milana tersenyum mengejek, mengerling dan berkata,
“Perlu apa banyak cerewet? Tunggulah saja kalau sampai kalian terjatuh ke tangan ibuku!”

Pada saat itu, sebelum Bhe Ti Kong atau Thian Tok Lama menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan di sebelah depan. Sampai tiga kali terdengar jerit mengerikan itu jerit memanjang, jerit orang yang ketakutan, jerit kematian. Setelah gema suara jerit itu lenyap, yang terdengar hanya derap kaki kuda dan suasana menjadi menyeramkan dan menegangkan sekali.

“Harap Ciangkun menjaga dia baik-baik, pinceng akan mengadakan pengawalan di belakang. Kumpulkan semua tenaga untuk mengawal dia,” kata Thian Tok Lama.

Bhe Ti Kong mengangguk, kemudian memanggil para panglima dan jagoan-jagoan Nepal, dan pasukan itu bergerak maju, Milana di tengah-tengah mereka, dijaga ketat.

“Apakah yang terjadi? Siapa yang menjerit tadi?” Bhe Ti Kong bertanya.

Para pelopor, jagoan-jagoan Nepal itu mengangkat bahu.
“Kawan-kawan yang berada di depan tentu akan dapat memberi keterangan nanti,” kata mereka.

Mereka adalah tiga orang diantara sembilan jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Adapun yang enam orang lain telah mendahului gerakan pasukan sebagai pelopor dan pembuka jalan, juga sebagai pengawas agar jalan yang akan mereka lalui aman.

Milana tetap duduk tegak di atas kudanya dengan tenang. Dikurung di tengah-tengah antara para panglima dan jagoan Nepal, kudanya lari mencongklang, membuat tubuhnya terayun-ayun mengikuti gerakan kuda, dan rambut dara yang panjang itu berkibar. Mereka memasuki bagian hutan yang lebat dan keadaan sudah mulai suram dan agak gelap.

“Haiii....! Lihat di depan itu....!”

Tiba-tiba Bhe Ti Kong berteriak, disusul seruan-seruan kaget para jagoan Nepal yang cepat membalapkan kuda mereka menuju ke depan dimana tampak sesosok tubuh orang bersorban membujur di atas tanah.

Milana memandang dengan jantung berdebar. Dari jauh saja dia sudah dapat melihat bahwa orang yang rebah di atas tanah di tengah jalan itu tentulah seorang di antara jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi.

Dugaannya memang tepat. Setelah mereka datang dekat dan para jagoan Nepal bersama Panglima Bhe Ti Kong meloncat turun dari kuda memeriksa, ternyata bahwa tubuh itu adalah mayat seorang diantara para jagoan Nepal yang mendahului jalan, rebah telentang dan tewas dengan sebatang pisau, pisaunya sendiri yang menjadi kebanggaan para jagoan Nepal itu, menancap di tenggorokannya!

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda membalap dari arah depan dan belakang. Hampir berbareng dua orang penunggang kuda itu tiba disitu. Yang datang dari belakang adalah Thian Tok Lama yang telah mendengar akan kematian seorang pembantunya dari Nepal, adapun yang datang dari depan adalah seorang jagoan Nepal lain yang bermuka pucat dan yang begitu datang melapor dengan suara terengah-engah kepada Thian Tok Lama,

“Celaka.... di depan ada lagi tiga orang teman yang tewas....!”

Thian Tok Lama terkejut dan marah sekali. Sambil mengeluarkan suara menggereng keras dia melayang turun dari atas punggung kudanya, berdiri dan memandang ke depan, mulutnya mengeluarkan suara yang nyaring melengking sampai bergema di seluruh hutan.

“Pinceng Thian Tok Lama memimpin pasukan khusus dari Koksu, siapakah begitu berani mati mengganggu kami dan membunuh empat orang anggauta pengawal pasukan kami?”

Semua orang diam dengan hati tegang membuka mata dan telinga menanti jawaban dan keadaan di hutan itu sunyi sekali, sunyi dan menyeramkan. Sampai dua kali Thian Tok Lama mengulang teriakannya namun belum juga ada jawaban.

Suara Milana yang tertawa mengejek memecahkan kesunyian yang menyeramkan itu.
“Hem, mengapa kalian begini ketakutan?”

Dara itu mengejek, hanya untuk memperolok orang-orang yang dibencinya itu. Dia sendiri tidak tahu siapa pembunuh orang-orang Nepal itu, tidak dapat menduga apakah pembunuh itu kawan ataukah lawan.

Melihat caranya membunuh jagoan-jagoan Nepal yang lihai jelas dapat diduga bahwa pembunuhnya tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi dia yakin bukan ibunya yang melakukan hal itu. Cara yang dipergunakan ibunya selalu terbuka, tidak suka ibunya membunuh lawan secara menggelap macam itu. Ibunya adalah seorang gagah perkasa sejati sedangkan cara yang dipergunakan pembunuh ini menyeramkan penuh rahasia.

Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, seolah-olah menyambut atau menjawab pertanyaan mengejek dari Milana tadi.

“Kalau Nona Milana tidak segera dibebaskan, sebentar lagi bukan hanya para pelopor yang tewas, melainkan seluruh pasukan! Berani melawan dan menghina tunanganku, berarti bosan hidup!”

Diam-diam Milana terkejut dan kecewa sekali mendengar suara yang dikenalnya itu. Dia merasa gelisah. Tahulah dia bahwa yang membunuh orang-orang Nepal itu adalah pemuda Pulau Neraka yang amat dibencinya itu, dibenci akan tetapi juga ditakutinya. Namun tentu saja dara jelita ini tidak memperlihatkan rasa khawatirnya dan masih tetap bersikap biasa dan tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang membuat dia merasa khawatir.

Tentu saja Thian Tok Lama menjadi marah sekali. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga siapa orang yang mengeluarkan kata-kata sombong itu, akan tetapi dia menduga bahwa tentulah orang itu berniat merampas tawanan. Satu-satunya orang yang ditakutinya di dunia ini hanyalah Pendekar Super Sakti, dan biarpun dia tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang juga amat lihai dan mungkin saja ketua itu tiba-tiba muncul untuk menolong puterinya, namun dengan bantuan para jagoan-jagoan Nepal dan pasukannya yang kuat, dia merasa cukup kuat menghadapi bekas puteri kaisar itu.

“Siapa berani main-main dengan pinceng? Harap suka keluar untuk bicara!”

Kembali Thian Tok Lama mengeluarkan seruan dengan pengerahan khi-kang sehingga suaranya mengandung getaran berpengaruh.

“Blarrr....!”

Sebuah ledakan keras mengejutkan semua orang. Tempat itu menjadi gelap tertutup asap hitam. Seorang panglima yang berlaku waspada cepat meloncat dekat kuda yang diduduki Milana untuk menjaga jangan sampai dalam keadaan gelap itu tawanan yang penting ini dilarikan orang.

“Pasukan tenang, jangan gugup dan mudah dikacau orang. Asap ini tidak berbahaya....!”

Thian Tok Lama berseru ketika ia mendapat kenyataan bahwa asap hitam itu tidak mengandung racun. Sedangkan dia sendiri diam-diam bergerak di dalam asap, memasang mata untuk mencari musuh yang melepas asap hitam tebal.

Akan tetapi tidak tampak ada gerakan sesuatu, maka diapun hanya berdiri dan bersikap waspada karena untuk bergerak di dalam selimutan asap gelap itu benar-benar merupakan bahaya, salah-salah bisa menyerang anak buah sendiri.

“Wir-wir-wirrr....!”

Asap hitam membuyar tertiup angin yang menyambar-nyambar sehingga tak lama kemudian tempat di sekitar itu tidak begitu gelap lagi. Asap hitam mulai menipis. Thian Tok Lama memandang dengan mata terbelalak, kaget bukan main melihat bahwa angin yang menyambar-nyambar mengusir asap hitam itu keluar dari gerakan kedua lengan seorang pemuda tampan yang tahu-tahu telah berdiri di dekat kuda yang ditunggangi Milana, sedangkan seorang panglima tua yang tadi mendekati dan menjaga tawanan telah menggeletak tak bernyawa di kaki kudanya sendiri!

“Keparat, siapa engkau....?” Thian Tok Lama sudah menggerakkan tangan dan siap menyerang.

Pemuda itu mengangkat tangan-kanannya ke atas dan terdengar suaranya tertawa. Thian Tok Lama merasa seram. Pemuda itu tertawa, atau lebih tepat, memperdengarkan suara tertawa, akan tetapi mulut dan matanya tidak tertawa, hanya bibirnya bergerak sedikit. Persis mayat tertawa!

“Ha-ha-ha-ha, pendeta Lama. Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan sembrono menggerakkan tangan menyerang!”

Sikap dan kata-kata pemuda itu membuat Thian Tok Lama ragu-ragu dan curiga. Dia tidak tahu siapakah pemuda aneh ini, kawan ataukah lawan karena keadaan masih agak gelap, bukan hanya gelap oleh asap, akan tetapi karena senja mulai mendatang dan tempat itu penuh dengan pohon-pohon besar. Akan tetapi ada sesuatu yang seolah-olah membisikkan kewaspadaan kepadanya, maka kini dia melangkah maju dan memandang penuh perhatian.

Tiba-tiba pendeta Lama itu terkejut. Kini dia mengenal pemuda itu, seorang pemuda yang masih remaja, akan tetapi yang memiliki sikap aneh luar biasa. Pemuda tampan yang mempunyai mata seperti mata iblis, mukanya agak pucat dan gerak-geriknya membayangkan ketinggian hati yang tidak lumrah. Pemuda dari Pulau Neraka yang pernah muncul di padang tandus ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan dan pertandingan!

Hatinya menjadi agak lega. Pemuda ini bukan tokoh Thian-liong-pang, dan sebagai seorang tokoh Pulau Neraka, pasti sekali bukan sahabat Thian-liong-pang, sungguhpun dia dan pasukannya tidak dapat mengharapkan sikap baik dari penghuni Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah itu.

“Orang muda, kalau pinceng tidak salah mengenal orang, engkau adalah orang yang pernah muncul sebagai tokoh Pulau Neraka, benarkah?”

Mendengar ucapan Thian Tok Lama itu, para panglima dan jagoan Nepal terkejut, dan diam-diam mereka bersiap-siap dengan pasukan mereka mengurung pemuda itu. Sedangkan Milana yang diam-diam merasa cemas juga, tetap bersikap dingin dan tidak mau mengacuhkan mereka semua, duduk diam dan tegak di atas kudanya, memandang jauh.

Pernuda itu adalah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka. Pemuda yang tergila-gila kepada Milana itu, mendengar pertanyaan Thian Tok Lama tersenyum dingin dan hanya mengangguk dan memandang rendah, sama sekali tidak menjawab karena dia sudah menoleh lagi kepada Milana dengan pandang mata penuh kemesraan!

Melihat sikap pemuda itu, diam-diam Thian Tok Lama mendongkol sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai dan aneh, akan tetapi dia sendiri bukanlah seorang biasa yang mudah merasa gentar menghadapi lawan semuda itu! Apalagi melihat bahwa pemuda itu hanya seorang diri, tidak ditemani dua orang kakek seperti setan yang pernah menggegerkan pertemuan yang diadakan Thian-liong-pang. Dengan adanya pasukan dan para pembantunya, tentu saja dia tidak takut menghadapi pemuda yang masih amat muda itu.

“Orang muda, pinceng harap engkau tidak begitu nekat untuk menentang pasukan pemerintah! Apakah engkau yang telah lancang membunuh orang-orang kami itu?” Kembali Thian Tok Lama bertanya.

Dengan sikap acuh tak acuh, Wan Keng In memaksa mukanya mengalihkan pandang mata dari wajah Milana yang jelita kepada wajah Thian Tok Lama yang gemuk. Cuping hidungnya yang tipis bergerak, mengeluarkan dengus menghina, kemudian dia berkata,

“Thian Tok Lama, tak perlu menggertak aku dengan nama pasukan pemerintah. Aku tahu pasukan apa ini, dan tahu pula apa yang akan dilakukan oleh Koksu bersama Pangeran Yauw Ki Ong. Ha-ha-ha, apa kau kira aku tidak melihat betapa kalian membasmi Thian-liong-pang? Sungguh bagus.!”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Thian Tok Lama mendengar ucapan itu, dan semua anggauta pasukan sudah meraba senjata. Akan tetapi karena pendeta Lama itu belum memberi aba-aba, mereka semua hanya bersiap-siap menghadapi pemuda yang mendatangkan suasana menyeramkan itu.

“Orang muda, di pihak siapakah engkau berdiri?”

Thian Tok Lama memancing, tidak mau berpura-pura lagi karena maklum bahwa dia menghadapi orang luar biasa.

“Tentu saja di pihakku sendiri, tolol!” Wan Keng In menjawab. “Kalian membasmi Thian-liong-pang bukan urusanku karena Ketua Thian-liong-pang berani menghina dan menolak pinanganku. Akan tetapi engkau telah berani menawan dan menghina tunanganku ini, hemm...., benar-benar tak boleh dibiarkan begitu saja. Kalau Koksu tidak minta maaf kepada Nona Milana, aku akan membasmi dia dan semua kaki tangannya!”

“Manusia sombong....!”

Bhe Ti Kong berseru marah sekali. Panglima ini adalah seorang yang tangguh, kasar dan setia kepada Koksu. Sudah banyak dia melihat orang pandai namun orang-orang pandai tunduk dan takut kepada Koksu, maka kini melihat seorang pemuda bersikap demikian angkuh, dan melihat sikap Thian Tok Lama yang dianggapnya terlalu merendahkan kedudukan dan wibawa Koksu, dia menjadi marah sekali.

Sambil membentak demikian, Bhe Ti Kong sudah menerjang maju, meloncat turun dari kudanya dan langsung menyerang pemuda itu dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sebuah tombak cagak yang bergagang pendek. Gerakan panglima ini kuat sekali, dan bagaikan seekor burung rajawali dia menyambar dari atas, langsung tombaknya melakukan gerakan serangan beruntun sampai tiga kali ke arah kepala, leher, dan dada Wan Keng In.

“Plak-plak-plak.... bressss....!”

Enak saja Wan Keng In menyambut serangan-serangan itu. Tanpa menggeser kedua kakinya yang masih berdiri terpentang lebar, dengan sikap acuh tak acuh, dia tadi menggerakkan tangan kiri, menyampok ke arah tombak setiap kali ujung tombak itu menyambar.

Tiga kali dia menangkis dan yang terakhir kalinya disusul dengan dorongan yang membuat tubuh Panglima Bhe Ti Kong terbanting ke atas tanah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, para jagoan Nepal dan para panglima terkejut dan sudah mencabut senjata masing-masing, bergerak hendak mengeroyok.

“Tahan....!”

Thian Tok Lama mengangkat tangan ke atas sehingga pasukannya tidak berani maju, hanya menoleh dan memandang kepadanya penuh pertanyaan. Thian Tok Lama melangkah maju menghadapi Wan Keng In yang tersenyum mengejek.

“Orang muda, engkau siapakah, dan apakah kehendakmu? Berikan penjelasan sebelum kami terlanjur turun tangan yang akan mendatangkan penyesalan karena kami akan lebih suka menarikmu sebagai sahabat. Pada waktu ini, Koksu membutuhkan bantuan banyak orang pandai dan kalau engkau suka membantunya, pinceng yakin bahwa kelak engkau akan memperoleh kemuliaan.”

Pendeta itu memang cerdik sekali. Biarpun dia tidak takut terhadap pemuda ini, akan tetapi kalau sampai terjadi bentrokan, tentu akan jatuh banyak korban diantara pembantu-pembantunya melihat pemuda itu secara lihai bukan main telah mengalahkan Bhe Ti Kong dalam segebrakan saja. Apalagi kalau diingat bahwa siapa tahu, muncul pula dua orang kakek setan yang mengerikan itu! Maka, jauh lebih baik membujuk pemuda ini, karena kalau dia berhasil menarik pemuda lihai ini sebagai sekutu, tentu Koksu akan menjadi girang bukan main dan akan memujinya.

Wan Keng In mengeluarkan suara mendengus marah.
“Huhh! Kau kira aku ini orang macam apa yang membutuhkan anugerah Koksu? Kalau Koksu sendiri mau datang kesini dan minta maaf kepada Nona Milana, kemudian mengundang aku, barulah aku akan pikir-pikir tentang kerja sama yang kau sebut-sebut itu.”

Dapat dibayangkan betapa marahnya Thian Tok Lama mendengar ucapan yang amat sombong itu! Namun, sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda dari Pulau Neraka ini adalah seorang anak manja yang sejak kecil memperoleh pendidikan kesaktian tinggi sehingga terlalu percaya kepada kepandaian sendiri, juga karena ada yang diandalkan. Maka dia bersikap sabar, bahkan tersenyum dan berkata,

“Ha-ha-ha, tenaga seorang pandai memang amat mahal! Seorang pemimpin yang bijaksana tidak akan segan-segan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan orang pandai. Menteri Kiang Cu Ge pun baru mau mengabdi kepada kaisar setelah kaisar datang sendiri mengundangnya. Pantas saja kalau Sicu (Orang Muda Gagah) mencontoh perbuatannya. Akan tetapi, sebelum terbukti cukup berharga untuk diundang sendiri oleh Koksu, harus lebih dulu diuji kepandaiannya. Pinceng adalah seorang pembantu Koksu yang sudah memperoleh kepercayaan, biarlah pinceng memberanikan diri untuk menguji kepandaian Sicu, kalau Sicu suka memperkenalkan nama.”

Mendengar ucapan dan melihat sikap menghormat ini, Wan Keng In yang biasanya dimanja menjadi bangga sekali. Pendeta itu adalah tangan kanan Koksu Negara, dan sudah menyamakannya dengan Kiang Cu Ge, tokoh manusia dewa dalam sejarah lama (cerita Hong-sin-pong) yang menjadi pujaan semua manusia karena kebijaksanaannya sehingga sekalian setan dan iblis di nerakapun tunduk kepadanya!

“Thian Tok Lama, aku Wan Keng In pun bukanlah seorang yang tidak tahu siapa yang pada waktu ini patut dibantu. Aku tadi membunuh orang-orangmu karena aku marah melihat kekasih dan tunanganku ditawan. Kalau engkau hendak mengujiku, silakan, akan tetapi jangan menyesal kalau engkau tewas dalam pertandingan ini!”

Benar-benar ucapan yang amat sombong, akan tetapi pada saat itu Wan Keng In sudah mencabut pedangnya yang membuat Thian Tok Lama terbelalak kaget dan ngeri. Pedang di tangan pemuda itu mengeluarkan sinar maut yang berkilat-kilat.

“Aihh.... bukankah Lam-mo-kiam di tanganmu itu, Sicu?”

Wan Keng In memandang pedangnya dan mengangguk bangga.

“Wan-sicu, pinceng percaya bahwa Si-cu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarlah tidak perlu lagi pinceng menguji dan marilah Sicu ikut bersama pinceng pergi menghadap Koksu” Gentar juga pendeta ini melihat Lam-mo-kiam.

Wan Keng In masih melintangkan pedangnya di depan dada, alisnya berkerut, kemudian dia menjawab,

“Dengan dua syarat!”

“Katakanlah, pinceng yakin Koksu akan dapat memenuhi syarat Sicu.”

“Pertama, Nona Milana ini adalah kekasih dan tunanganku, tidak boleh diganggu dan bahkan harus disyahkan menjadi isteriku. Kedua, aku menjadi pembantu langsung dari Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, dan hanya mau menjadi bawahan orang yang dapat mengalahkan kepandaianku!”

Diam-diam Thian Tok Lama tertawa dalam hatinya. Orang muda ini benar-benar sombong dan berkepala dingin! Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Koksu adalah seorang yang ahli dalam memilih pembantu, kalau sudah bertemu dengan Wan-sicu dan menyaksikan kelihaian Sicu, tentu akan suka memberikan kedudukan yang tinggi. Tentang Nona ini.... ehhh....!”

Tiba-tiba Thian Tok Lama tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat betapa kuda yang ditunggangi Milana itu mendadak meloncat ke depan dan kabur! Kiranya ketika tadi Milana mendengar percakapan diantara mereka dan melihat perkembangan yang tidak menguntungkan baginya, dara ini menjadi makin cemas.

Tadinya dia mengharap akan terjadi bentrokan antara pihak Thian Tok Lama dan Wan Keng In sehingga dalam kekacauan itu dia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri. Akan tetapi dengan kecewa dan mendongkol dia melihat perkembangan yang jauh berbeda. Kedua orang itu bahkan bersekutu, maka habislah harapannya untuk melihat mereka bertanding. Karena tidak melihat jalan lain, dan merasa ngeri membayangkan terjatuh ke tangan pemuda gila itu, dia lalu berusaha mengaburkan kudanya sambil mengerahkan tenaga sehingga belenggu kedua tangannya putus.

“Ha-ha, tidak perlu khawatir, aku akan menangkapnya kembali. Heiii, manisku, engkau hendak pergi kemana? Jangan tinggalkan aku, kekasih....!” Wan Keng In berseru dan tubuhnya sudah meluncur ke depan cepat sekali.

Milana maklum bahwa dia harus melawan mati-matian, maka dengan nekat dia lalu menggerakkan tangannya dan bekas tali yang tadi membelenggu tangannya, kini meluncur menjadi sinar hitam menyambut tubuh Wan Keng In yang mengejarnya.

“Ha-ha-ha, engkau mau main-main denganku?”

Wan Keng In tertawa, tangan kiri menyambut tali itu. Menangkap ujungnya dan terus disentakkan ke atas, tangan kanan dipukulkan ke depan ke arah tubuh belakang kuda yang membalap.

Kuda yang ditunggangi Milana mengeluarkan suara meringkik keras dan roboh berkelojotan terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Wan Keng In, sedangkan tubuh dara itu terlempar ke atas ketika tali yang dipergunakan menyerang pemuda itu tadi tertangkap oleh Keng In dan disentakkan ke atas. Pemuda itu benar-benar hebat sekali ilmu kepandaiannya dan kini dia sudah meloncat ke depan untuk menyambut tubuh Milana yang terlempar ke atas.

“Ehhhh....?”

Wan Keng In terbelalak heran dan memandang ke atas. Dia merasa kecelik karena tubuh dara yang dinantikan itu sama sekali tidak kelihatan melayang turun, bahkan ketika ia menarik lagi tali yang dicengkeramnya, tali itu putus dan hampir menghantam mukanya sendiri. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika melihat bahwa kini Milana telah duduk di atas dahan pohon tinggi, berhadapan dengan seorang pemuda dan mereka asyik bercakap-cakap!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar