FB

FB


Ads

Kamis, 22 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 080

Maharya, Bhong-koksu, dan lima orang panglima sudah menerjang maju, tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Bhong-koksu yang menganggap bahwa Nirahai lebih berbahaya, bukan ilmunya karena mungkin Si Kakek cebol itu lebih sakti, melainkan berbahaya karena Nirahai telah mengetahui rahasianya, sudah cepat-cepat menerjang Nirahai dengan pedangnya.

Pedang itu dengan gerakan cepat membabat leher Nirahai, ketika dielakkan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut yang dapat ditangkis pula oleh pedang Nirahai, akan tetapi pedang di tangan Koksu yang seperti hidup, tahu-tahu sudah membabat ke arah kedua kaki lawan!

Nirahai maklum bahwa lawannya bukan orang sembarangan, melainkan seorang ahli silat tinggi yang sakti, maka cepat tubuhnya mencelat ke atas, kedua kakinya ditarik ke atas menghindarkan babatan pedang, namun kaki itu tidak hanya mengelak saja, melainkan dari atas mengirim tendangan beruntun ke arah dada dan muka lawan!

“Wuuut! Wuuutt!”

Bhong-koksu berseru kaget dan nyaris dagunya tercium ujung sepatu lawan kalau saja dia tidak cepat-cepat mencelat mundur dan keadaannya yang terdesak itu tertolong oleh majunya tiga orang panglima pembantunya yang mengurung dan menyerang Nirahai sehingga wanita berkerudung itu tidak dapat mendesak Bbong-koksu yang dibencinya.

Biarpun dihadapi tiga orang panglima yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, Nirahai masih dapat mencelat melalui mereka dan pedangnya menyambar ke arah Maharya yang berada di tempat lebih dekat dengannya daripada Bhong-koksu yang melompat mundur tadi. Dia sengaja menyerang pendeta ini karena dia maklum bahwa diantara para pembantu Bhong-koksu, pendeta inilah yang paling berbahaya.

Pedangnya yang berkelebat seperti halilintar menyambar itu mengejutkan Maharya yang cepat menggerakkan tombak bulan sabitnya sambil membentak,

“Robohlah!”

Tangkisan Maharya dengan tombaknya mengenai pedang Nirahai, menimbulkan bunyi nyaring sekali, dan bentakannya tadi mengandung pengaruh mujijat ilmu sihirnya, namun selain Nirahai telah memiliki sin-kang yang amat kuat, juga muka wanita ini terlindung kerudung sehingga sinar mata Maharya yang penuh kekuasaan mujijat itu tidak mempengaruhinya.

Namun, tetap saja bentakan itu mendatangkan getaran hebat bagi Nirahai yang cepat mengerahkan sin-kang melindungi jantungnya. Lebih hebat lagi, tangkisan tombak kepada pedang itu disambung dengan meluncurnya tiga batang jarum yang keluar dari leher tombak menyambar ke arah Nirahai!

“Pendeta curang...!”

Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berteriak dan tiga batang jarum beracun itu runtuh semua oleh sambitan Si Kakek cebol ini yang menggunakan lumpur! Sambitan ini menyelamatkan Nirahai sungguhpun belum tentu wanita perkasa ini akan menjadi korban jarum andaikata tidak dibantu Bu-tek Siauw-jin, akan tetapi baju Nirahai terkena noda sedikit lumpur.

“Singgg.... wuuusss.... hayyaaa....!”

Bu-tek Siauw-jin menggulingkan tubuhnya ketika tiba-tiba pedang Nirahai menyambar ke arah lehernya!

“Wah-wah, Ketua Thian-liong-pang benar ganas! Diberi madu membalas racun! Ditolong membalas dengan niat membunuh!”

“Siapa membutuhkan pertolonganmu? Engkau mengganggu saja!”

“Weh-weh, sombongnya! Kalau tidak kubantu, apa engkau kira akan mampu menang melawan mereka ini?”

“Aku tidak sudi dibantu orang gila tak tahu malu. Hayo berpakaian dulu kau, kakek tua bangka tak bermalu, baru kita bicara tentang bantuan!”

Nirahai terpaksa sudah meninggalkan Bu-tek Siauw-jin lagi untuk mengamuk dengan pedangnya karena Bhong-koksu dan Ma-harya sudah menerjangnya lagi. Suara pedangnya menangkis senjata mereka dan senjata para panglima terdengar nyaring berdenting dan bertubi-tubi kemudian terdengar teriakan dua orang pengawal yang roboh terkena sambaran sinar pedang wanita berkerudung yang sakti itu.






Bu-tek Siauw-jin yang merasa penasaran karena tidak boleh ikut bertanding, sambil mengomel meloncat ke atas pohon menyambar pakaiannya dan karena tergesa-gesa mengenakan pakaiannya beberapa kali dia memakai pakaian dengan terbalik! Akhirya selesai juga dia berpakaian.

“Thian-liong-pangcu! Lihat aku sudah sopan sekarang, sudah berpakaian, uh-uh! Pikiran gila yang menganggap bahwa berpakaian tanda sopan! Hayoh kita berlomba, siapa lebih banyak merobohkan cacing-cacing tanah ini!”

Dari atas, tubuh yang cebol itu melayang turun, berputar-putar seperti gerakan seekor anak burung belajar terbang dan akhirnya tubuh cebol itu menyambar dari atas ke arah kepala Maharya. Memang pendeta inilah yang dicarinya!

Begitu Bu-tek Siauw-jin menyambar, kakek cebol ini menggunakan tangan kiri menyambar lengan yang memegang tombak bulan sabit, tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala, kedua kaki menendang bergantian ke arah punggung dan lambung sedangkan mulutnya masih mengeluarkan suara “cuhhh!” meludah ke arah tengkuk Maharya!

Diserang secara luar biasa itu, Maharya gelagapan. Dia dapat menyelamatkan diri dengan memutar senjatanya melindungi kepala dan membuang tubuh ke bawah lalu bergulingan, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengelak dari air ludah yang berubah menjadi hujan kecil menimpa sebagian dagunya!

“Siauw-jin manusia kotor!”

Dia membentak setelah mencelat berdiri lagi sambil menyerang ganas, dibantu oleh beberapa orang panglima. Bu-tek Siauw-jin maklum akan kelihaian Maharya dan para pembantunya, cepat dia menggerakkan kaki tangan untuk mengelak dan menangkis, mulutnya tertawa-tawa mengomel.

“Heh-heh, kau kira engkau ini manusia bersih? Mana lebih baik kotor luarnya bersih dalamnya dibandingkan dengan engkau yang bersih luarnya kotor dalamnya? Heh-heh-heh! Aku memang Bu-tek Siauw-jin, namaku saja sudah manusia rendah, apanya yang aneh kalau aku kotor! Engkau adalah seorang pendeta, baik pakaian maupun namamu menunjukkan bahwa engkau pendeta, akan tetapi sepak terjangmu sama sekali berlawanan!”

“Mampuslah!”

Maharya membentak dan senjatanya yang ampuh itu sudah menyambar dan tampak sinar kilat berkelebat. Namun, dengan tubuhnya yang cebol, Bu-tek Siauw-jin dapat mencelat ke kiri, kakinya menendang sebatang golok di tangan seorang pengawal yang mencoba menyerangnya. Pengawal itu terhuyung ke depan, diterima oleh pinggul kakek cebol yang digerakkan ke samping.

“Desss! Augghh....!”

Tubuh pengawal yang kena disenggol pinggul kakek itu terlempar dan menabrak dua orang temannya sendiri sehingga mereka bertiga jatuh terguling-guling.

Hanya Maharya dan Bhong-koksu saja yang masih dapat menandingi amukan Bu-tek Siauw-jin dan Nirahai secara berdepan, sedangkan para panglima dan anak buah mereka yang banyak jumlahnya itu hanya berteriak-teriak dan membantu mengurung serta menyerang kalau ada kesempatan, dari kanan kiri atau belakang, karena amukan kakek cebol dan wanita berkerudung itu benar-benar amat dahsyat dan sudah banyak jatuh korban diantara para pengawal yang berani menyerang terlampau dekat.

Memang kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Maharya masih kalah tinggi oleh Bu-tek Siauw-jin, sedangkan Bhong-koksu pun masih kalah setingkat oleh Nirahai yang pada tahun-tahun yang lalu memperoleh kemajuan banyak sekali berkat mengambil inti sari ilmu-ilmu silat tinggi dari partai-partai lain.

Akan tetapi, dengan bantuan pengeroyokan banyak anak buah mereka, sedangkan para panglima yang membantu juga memiliki kepandaian lumayan, maka kakek cebol dan wanita berkerudung itu terkurung ketat dan belum juga mampu merobohkan Maharya dan Bhong-koksu.

Tiba-tiba muncul belasan orang Tibet dan Mongol yang memiliki gerakan cepat dan jelas bahwa tingkat mereka lebih tinggi daripada kepandaian para panglima. Mereka adalah bala bantuan yang didatangkan oleh seorang panglima dan kini mereka langsung menerjang maju mengeroyok Bu-tek Siauw-jin dan Nirahai!

Terpaksa dua orang yang terkurung itu kini saling membantu dengan beradu punggung saling membelakangi. Bu-tek Siauw-jin sudah mandi keringat. Kakek ini telah merampas sebatang toya dan melindungi tubuhnya dengan toya itu sampai senjata itu remuk, lalu dirampasnya sebatang golok untuk melanjutkan gerakannya melindungi tubuh sendiri dari serangan yang datang bagaikan hujan lebatnya.

“Kita harus keluar dari sini,” tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata kepada Nirahai di belakangnya.

“Hemmm, apakah engkau takut?”

Nirahai balas bertanya dan ujung sepatu kirinya berhasil merobohkan seorang Nepal, dengan menendang pusar orang itu sehingga roboh berkejotan untuk tak dapat bangun kembali.

“Siapa takut? Yang terlalu adalah Pendekar Super Sakti, sampai sekarangpun tidak muncul batang hidungnya. Terlalu ini namanya! Aku sendiri yang disuruh menghadapi cacing-cacing ini!”

“Aku tidak butuh bantuan dia atau siapa juga!” Mendengar disebutnya Pendekar Super Sakti, Nirahai marah. “Kalau kau takut, pergilah. Aku tidak butuh bantuanmu.”

“Eh-eh, benar-benar kau wanita sombong dan galak! Untung bukan isteriku!”

Nirahai terbelalak di balik kerudungnya dan memutar pedangnya menangkis serangan yang datang bertubi-tubi sehingga tampak bunga api berpijar menyusul suara berdencing nyaring.

“Apa kau bilang? Mengapa untung?”

“Punya isteri galak macam engkau benar-benar mendatangkan neraka dunia!” Bu-tek Siauw-jin berkata lagi. “Sudah dibantu, tidak menerima malah bicara galak dan sombong. Eh, Thian-liong-pang-cu, aku menganjurkan kita keluar dari sini bukan karena takut melainkan aku khawatir saat ini perkumpulanmu sedang dihancurkan oleh mereka!”

“Apa....?”

“Bodoh! Apakah engkau melihat pembantu-pembantu mereka itu lengkap? Engkau kena dipancing disini, kalau kau tidak cepat-cepat keluar menolong perkumpulanmu, akan habislah Thian-liong-pang!”

Karena percakapan itu dilakukan dengan suara keras, tentu saja terdengar oleh Bhong-koksu yang tertawa bergelak,

“Si Cebol busuk ini benar-benar pandai! Memang sekarang Thian-liong-pang sedang kami gempur habis, ha-ha!”

“Singgg.... tranggg....!”

Bhong-koksu terkejut dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang. Serangan Nirahai tadi benar-benar hebat bukan main, dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga saking marahnya sehingga tangkisan Bhong-koksu membuat kakek ini terpental dan hampir saja pundaknya tercium pedang lawan.

Para pembantunya, orang-orang Tibet dan Mongol yang lihai segera mengurungnya kembali. Kini dua orang sakti itu mengamuk lagi, akan tetapi kalau tadi mengamuk untuk membunuh lawan sebanyaknya, kini mereka mengamuk untuk membuka jalan darah dan keluar dari tempat itu, keluar dari taman istana Koksu untuk menyelamatkan Thian-liong-pang.

Tentu saja Nirahai yang mempunyai keinginan ini, sedangkan Bu-tek Siauw-jin sama sekali tidak peduli akan nasib Thian-liong-pang karena dia sendiri ingin mencari muridnya disamping sudah lelah sekali bertempur sejak tadi.

Sudah bosan dia dan ingin menyusul muridnya, ingin bertemu dengan Pendekar Super Sakti yang dikagumi akan tetapi yang juga menimbulkan kemendongkolan hatinya karena sampai sekian lamanya pendekar itu tidak muncul juga membantunya!

Adapun Bhong-koksu dan Maharya yang maklum bahwa dua orang itu berusaha keluar dari kepungan, berkali-kali meneriakkan aba-aba untuk mengepung lebih ketat lagi sehingga terjadilah pertandingan yang lebih hebat dan mati-matian.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar