FB

FB


Ads

Kamis, 22 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 079

“Haiiii....! Maharya pendeta palsu tukang tipu! Hayo keluar kau jangan sembunyi saja! Terimalah jawaban teka-tekimu. Hayo keluar, kalau tidak, kucabut nanti bulu jenggotmu!”

Yang berteriak-teriak ini adalah Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek cebol yang keluar dari tempat tahanannya bersama Kwi Hong. Dara jelita ini bersikap tenang, berjalan di samping gurunya. Dia tidak pedulikan gurunya yang berteriak-teriak karena dia sudah maklum akan watak dan sifat gurunya yang aneh dan tidak lumrah manusia.

Dia sendiri tentu saja tidak khawatir keluar dari tempat tahanan, apalagi bersama gurunya yang sakti, sungguhpun dia maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya karena mereka berada di tempat kediaman Koksu, berada di dalam sarang harimau. Ada beberapa orang penjaga yang bingung tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, berlagak hendak mencegah dua orang tahanan ini keluar. Yang berani menghadang hanya empat orang penjaga. Mereka melintangkan tombak menghadang dan berkata,

“Tanpa perkenan Koksu kalian tidak boleh keluar....!”

Empat kali Kwi Hong menggerakkan tubuhnya, empat kali terdengar suara “krekk! plakk!” dan empat batang tombak patah-patah disusul tubuh empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri! Adapun kakek cebol itu masih berteriak-teriak memanggil nama Maharya, seolah-olah tidak melihat muridnya merobohkan empat orang penghalang tadi.

“Maharya pendeta palsu! Dimana engkau? Koksu, suruh pembantumu Si Pendeta konyol itu keluar....!”

“Ser-serr-serrr....!”

Tampak sinar menyambar dari kanan kiri dan depan. Dengan tenang sekali Kwi Hong menggerak-gerakkan kedua lengan bajunya seperti yang dilakukan gurunya dan belasan batang anak panah yang menyambar ke arah mereka itu runtuh ke bawah.

“Ha-ha-ha, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, beginikah seorang Koksu negara menghadapi tamu?”

Bu-tek Siauw-jin tertawa mengejek sedangkan Kwi Hong memandang ke depan dan kanan kiri dengan alis berkerut marah. Daun pintu besar yang menembus ruangan belakang gedung Koksu itu tiba-tiba terbuka dan muncullah Bhong-koksu bersama Maharya dan belasan orang panglima yang menjadi kaki tangan dan sekutu Koksu itu, diiringkan pula oleh sepasukan tentara yang berjumlah lima puluh orang lebih bersenjata lengkap!

“Heh-heh-heh, Siauw-jin. Engkau adalah seorang hukuman, tanpa ijin Koksu berani membobol penjara dan merobohkan penjaga. Sungguh tak tahu aturan!” Maharya berkata sambil tertawa mengejek.

Bu-tek Siauw-jin memandang dengan mata melotot.
“Siapa jadi orang hukuman? Kami menjadi tamu! Dan teka-tekimu yang palsu itu mudah saja menjawabnya! Maharya, lekas kau ambil pisau penyembelih babi, lekas!”

Karena nada suara kakek cebol itu mendesak dan disertai pengerahan tenaga sin-kang, maka mempunyai wibawa yang kuat sekali sehingga Maharya yang menjadi ahli sihir itupun sampai terpengaruh dan otomatis bertanya heran,

“Pisau penyembelih babi? Untuk apa?”

“Ha-ha-ha-ha! Untuk memotong ujung hidungmu yang terlalu panjang itu! Bukankah sudah begitu perjanjian antara kita? Kalau aku bisa menjawab teka-tekimu, engkau harus memotong ujung hidungmu, kemudian engkau, Koksu dan pendeta Tibet.... eh, mana Si Gendut itu, mengapa tidak ikut pula menyongsongku? Dan jangan lupa, Pulau Es dan Pulau Neraka juga harus dibangun kembali!”

“Siauw-jin, kematian sudah berada di depan mata, engkau masih berani barsombong. Orang macam engkau tak mungkin dapat menjawab pertanyaanku itu....”

“Apa? Pertayaan licik penuh akal bulus dan palsu itu siapa yang tidak dapat menjawabnya? Dengar baik-baik, Maharya. Aku Sejati yang kau tanyakan itu adalah Aku Sejati yang palsu, khayalan pikiranmu sendiri yang kotor itu, yang hanya meniru-niru dari orang lain yang sebetulnya juga tidak tahu apa-apa. Semua itu palsu, sepalsu hati dan pikiranmu, Maharya!”

“Ihhh, engkau gila....!” Maharya membentak dengan muka merah.

“Paman guru, perlu apa melayani orang gila ini?”

Tiba-tiba Koksu berkata sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan mengeluarkan cambuk merah dengan tangan kiri, kemudian mengangkat cambuk ke atas sebagai aba-aba. Para panglima melihat ini lalu mencabut senjata mereka dan semua anak buah pasukan tentara pengawal juga siap dengan senjata masing-masing.

“Suhu, teecu rasa tidak perlu melayani mereka ini!”

Kwi Hong juga berkata dan tampaklah sinar berkilat mengerikan ketika dara itu sudah mencabut keluar pedang Li-mo-kiam!

“Serbu....!”

Bhong-koksu mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah pasukan pengawal dipimpin oleh belasan orang panglima itu. Memang Koksu telah siap, untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin dan karena dia tahu betapa lihainya kakek itu bersama muridnya yang memegang pedang mujijat, maka dia sendiripun telah mengeluarkan pedangnya, sebatang pedang pusaka yang jarang dia pergunakan karena biasanya, dengan sebatang pecut merahnya saja Koksu ini sudah sukar menemukan tanding.

“Ha-ha-ha, pendeta palsu, Koksu pengecut!”

Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa ketika melihat pasukan pengawal itu menyerbu. Akan tetapi Kwi Hong tidak seperti gurunya, dara ini sudah berkelebat ke depan didahului sinar pedangnya yang menyilaukan mata. Para pengawal yang belum mengenal dara dan pedangnya yang mujijat itu, menerjang dengan senjata tombak, golok atau pedang.

“Singgg.... trang-trang-krek-krek-krekkk....!”

Tombak, golok dan pedang beterbangan di udara dalam keadaan patah-patah, disusul pekik kaget dan kesakitan, pekik kematian dari mulut lima orang pengawal yang tak dapat menghindarkan diri dari sambaran sinar pedang Li-mo-kiam!

Melihat ini, terkejutlah semua anak buah pasukan dan mereka mengurung dan mengeroyok lebih hati-hati, dipimpin oleh belasan orang panglima yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Karena maklum bahwa dia sama sekali tidak boleh memandang ringan pengeroyok yang jumlahnya amat banyak itu Kwi Hong tidak bertindak sembrono, dan hanya berdiri di tengah-tengah, pedang melintang depan dada, tidak bergerak dan hanya sepasang matanya yang indah itu saja yang bergerak, mengerling ke kanan kiri menanti gerakan lawan.






Dua belas orang panglima yang menjadi kaki tangan Bhong-koksu, yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, dengan hati-hati mengurung Kwi Hong dan di belakang mereka bergerak, siap siaga dengan pengurungan yang amat nekat.

Tiba-tiba terdengar seorang panglima tertua mengeluarkan seruan sebagai aba-aba, dan puluhan anak buah mereka serentak dua belas orang panglima itu menerjang Kwi Hong dibantu oleh anak buah mereka dari belakang. Kembali tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap bersembunyi di balik sinar pedang yang amat menyilaukan mata, seperti kilat menyambar-nyambar.

Dia berhasil mematahkan beberapa batang senjata lawan namun karena dua belas orang panglima itu memang sudah maklum akan keampuhan pedang di tangan gadis itu, mereka bersikap hati-hati dan tidak mau mengadu senjata sehingga Yang menjadi korban hanya senjata para pengawal yang berani menyerang terlalu dekat.

Betapapun juga, Kwi Hong tidak dapat mencurahkan perhatian untuk merobohkan lawan di depan karena dia dikepung ketat dan senjata-senjata lawan datang bagaikan hujan di sekeliling tubuhnya, sedangkan tangan yang menggerakkan senjata-senjata itupun tangan terlatih dan cukup kuat dan cepat.

Sementara itu, Maharya yang bersenjata sebatang tombak bulan sabit, senjata barunya setelah dia meninggalkan senjatanya yang dahulu berupa ular putih hidup dan sarung tangan emas, sudah menerjang maju melawan Bu-tek Siauw-jin dibantu oleh Koksu yang bersenjatakan pedang di tangan kanan dan cambuk di tangan kiri.

“Ha-ha-ha, kalian ini tiada lebih hanyalah tukang-tukang keroyok yang menjijikkan!”

Bu-tek Siauw-jin tertawa mengejek, akan tetapi dia harus cepat-cepat menghindar dan mengebutkan lengan bajunya karena ujung tombak bulan sabit itu telah menyambar ganas ke arah lehernya, disusul tusukan pedang Bhong-koksu ke arah ulu hatinya dan sambaran cambuk ke arah ubun-ubun kepalanya.

“Tarrr....!”

Sambaran cambuk yang datang terakhir itu tidak dielakkan dan ditangkis, melainkan diterima begitu saja oleh ubun-ubun kepalanya, akan tetapi akibatnya, ujung cambuk itu membalik dan telapak tangan Bhong-koksu lecet-lecet!

“Serang lima tempat dari mata ke bawah!”

Maharya berseru dan kini Bhong-koksu menerjang lagi membantu paman gurunya, menujukan serangan-serangannya ke arah kedua mata, tenggorokan, pusar, dan bawah pusar!

“Heh-heh-heh, Maharya pendeta palsu, dukun lepus! Mari-mari kita main-main sebentar!”

Setelah berkata demikian, kakek pendek itu membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh, kedua telapak tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat, kadang-kadang mengandung hawa panas, kadang-kakang dingin sehingga Maharya maupun Bhong-koksu berlaku hati-hati dan tidak berani menghadapi langsung pukulan-pukulan itu, melainkan mengelak sambil mengirim serangan-serangan balasan dari samping.

Dalam hal ini, hanya cambuk di tangan kiri Bhong-koksu saja yang lebih berguna karena cambuk itu cukup panjang untuk mengirim serangan dari jarak jauh. Sedangkan tubuh Maharya menyambar-nyambar, menggunakan kesempatan setiap Bu-tek Siauw-jin mengelak dari sambaran cambuk, menerjang dengan tombak bulan sabitnya.

Bu-tek Siauw-jin masih tertawa-tawa dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja. Memang kakek aneh dari Pulau Neraka ini sudah puluhan tahun meninggalkan senjata, dan hal inipun tidaklah aneh kalau diingat bahwa dengan kaki tangannya dia sudah cukup kuat menghadapi serangan lawan.

Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan dua orang sakti seperti Maharya dan Bhong-koksu, kakek cebol ini repot juga dan biarpun mulutnya tertawa-tawa, dia harus memeras keringat untuk menghindarkan diri dari hujan serangan maut itu.

Tingkat kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat dari Maharya, dan mungkin tidak ada dua tingkat dari kepandaian Bhong-koksu. Untung bagi kakek cebol Pulau Neraka ini babwa dia kebal terhadap ilmu sihir biarpun dia sendiri tidak suka mempelajari ilmu itu sehingga kekuatan ilmu sihir yang dimiliki Maharya tidak ada artinya kalau ditujukan terhadap Bu-tek Siauw-jin dan di samping ini dia menang jauh dalam hal kekuatan sin-kang, maka dia dapat menahan tekanan dua orang itu dengan tenaga sin-kangnya.

Dibandingkan dengan gurunya, keadaan Kwi Hong lebih payah. Dua belas orang panglima itu berkepandaian tinggi, dan andaikata hanya mereka yang mengeroyok, kiranya Kwi Hong akan mampu menandingi dan mengatasi mereka. Akan tetapi, di samping dua belas orang panglima itu, masih terdapat puluhan, bahkan kini ratusan orang tentara pengawal yang mengepungnya! Hal ini membuat dia lelah sekali setelah berhasil merobohkan tiga puluh orang lebih! Tetap saja dia masih terkepung ketat karena yang datang jauh lebih banyak daripada yang roboh.

Kini, enam orang panglima yang melihat betapa Kwi Hong sudah terkepung ketat, meninggalkan pimpinan pengeroyokan kepada enam orang temannya dan mereka sendiri lalu membantu Bhong-koksu menyerbu Bu-tek Siauw-jin.

“He-he-he, bagus, bagus....! Majulah semua, maju yang banyak agar lebih menggembirakan....!”

Bu-tek Siauw-jin tertawa dan tiba-tiba tubuhnya roboh menelungkup ke depan, berputar dan tahu-tahu kedua kakinya menendang ke belakang, inilah ilmu yang baru, Si Jengkerik menyentik atau Si Kuda menyepak yang didapatkan ketika dia mengadu jengkerik. Serangan ini amat tiba-tiba dan tidak terduga oleh Maharya dan Bhong-koksu, sehingga biarpun mereka berdua cepat menghindar, tetap saja angin tendangan kedua kaki itu menyambar ke arah muka mereka dan celakanya tapak kaki itu berlepotan tanah sehingga muka mereka terkena tanah dan lumpur!

Pada detik-detik berikutnya, terdengar jerit nyaring dan dua orang panglima roboh tewas terkena tendangan kaki yang kekuatannya tidak kalah oleh sepakan lima ekor kuda itu! Andaikata Maharya atau Bhong-koksu yang terkena sepakan itu, tentu paling hebat tubuh mereka akan terlempar. Akan tetapi dua orang panglima yang tingkat sin-kangnya kalah jauh itu, terkena sepakan pada dada mereka, seketika tewas dengan tulang-tulang iga remuk dan jantung tergetar pecah!

“Tar-tar-tar....!”

Cambuk panjang di tangan Bhong-koksu melecut seperti halilintar menyambar-nyambar ke arah kepala Bu-tek Siauw-jin.

“Aihh.... wuuutt!”

Ujung cambuk itu terkena sambaran tangan Si Kakek cebol dan dicengkeramnya. Tentu saja Bhong-koksu mempertahankan senjatanya itu dan mereka bersitegang. Cambuk yang terbuat dari bahan yang ulet dan dapat mulur itu meregang dan tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin melepaskan ujung cambuk. Terdengar suara nyaring dan ujung cambuk ini menyambar ke arah muka Bhong-koksu sendiri! Bhong-koksu kaget bukan main melepaskan gagang cambuk dan menundukkan muka merendahkan tubuh.

“Aduhhh....! Aduhhh....!”

Dua orang panglima pembantu yang berdiri di belakangnya berteriak dan roboh, merintih-rintih karena yang seorang kepalanya benjol besar dihantam gagang cambuk sedangkan orang ke dua kulit dadanya robek disambar ujung cambuk.

Dengan kemarahan meluap Bhong-koksu kini menerjang maju dengan hanya mempergunakan pedangnya, sedangkan Maharya juga mendesak dengan tombak bulan sabitnya.

“Kwi Hong, kau larilah!”

Tiba-tiba tubuh kakek cebol itu berkelebat melewati di atas kepala Bhong-koksu dan Maharya, sambil berteriak ke arah muridnya yang terdesak hebat dan terkurung ketat. Akan tetapi, begitu tubuhnya tepat berada di atas kedua orang musuhnya terdengar suara memberobot disusul bau yang cukup membikin Bhong-koksu dan Maharya merasa muak hendak muntah!

“Tidak, Suhu. Kita hajar mampus semua anjing ini!”

Kwi Hong yang tahu-tahu melihat gurunya sudah berada di sampingnya dan dengan mudah mendorong-dorong roboh beberapa orang pengeroyok, membantah.

“Hushhh, musuh terlampau kuat dan banyak. Buat apa mati konyol disini? Heran sekali pamanmu, Pendekar Siluman itu. Kemana saja dia minggat dan mengapa membiarkan kita dikeroyok tanpa membantu? Hayo kau pergi cari pamanmu, minta bantuannya!”

“Suhu yang harus pergi!”

“Hushhh, aku masih belum kenyang main-main disini. Pula, perutku mules ingin buang air besar. Lekas kau pergi keluar dari sini, cari pamanmu sampai dapat dan katakan, kalau dia tidak mau membantu aku, kelak akupun tidak sudi membantunya kalau dia membutuhkan tenaga bantuan. Hayo!”

“Tapi, Suhu sendiri....”

“Ihhhh, anak bandel! Sungguh tolol sekali aku mengapa mengambil murid engkau perawan bandel ini. Pergi, atau minta kugaplok?”

Kwi Hong maklum bahwa gurunya berwatak sinting, maka bukanlah tidak mungkin kalau dia benar-benar akan digaploknya. Dia masih penasaran melihat Bhong-koksu dan Maharya belum roboh, akan tetapi dia mengerti juga kalau pertandingan ini dilanjutkan, dia tentu akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan kalah.

“Baik, Suhu. Hati-hati menjaga dirimu Suhu!”

“Weh-weh! Kau kira aku anak kecil, ya? Pakai ditinggali pesanan segala. Pergilah, aku membuka jalan!”

Kakek itu lalu menerjang ke depan, kedua lengannya bergerak dan setiap kedua lengan dikembangkan dan didorongkan, tentu pihak pengeroyok bubar dan terhuyung ke kanan kiri, membuka jalan.

Kwi Hong berkelebat ke depan, tubuhnya dilindungi sinar pedang Li-mo-kiam sehingga senjata-senjata rahasia dan anak panah yang berusaha mencegah dia lari, runtuh semua dan tak lama kemudian lenyaplah dia keluar dari tempat itu.

Kini kemarahan Bhong-koksu dilimpahkan seluruhnya kepada Bu-tek Siauw-jin.
“Kakek tua bangka keparat! Kalau belum memenggal lehermu dengan pedangku, aku Im-kan Seng-jin takkan mau sudah!”

“Singg.... siuuutt....!”

Hampir berbareng, pedang di tangan Bhong-koksu menyambar dari kanan dan tombak bulan sabit di tangan Maharya menyambar dari kiri. Namun, tiba-tiba tubuh cebol itu roboh ke atas tanah. Dua orang lawannya terkejut dan terpaksa menahan serangan dan bersikap waspada karena mengira bahwa si cebol itu tentu akan menggunanakan jurus tendangan menyepak yang lihai tadi. Akan tetapi mereka kecele karena Si Cebol tua renta itu sama sekali tidak menendang, melainkan terus menggelundung menuju ke belakang dan keluar dari pintu memasuki taman.

“Kejar....!”

“Tangkap....!”

“Bunuh....!”

Teriakan-teriakan nyaring ini keluar dari mulut para panglima dan pengawal, akan tetapi yang berkelebat lebih dulu melakukan pengejaran adalah Bhong-koksu dan Maharya. Mereka mengejar ke dalam taman yang besar dan indah itu, akan tetapi tidak tampak bayangan Bu-tek Siauw-jin.

“Celaka, jangan-jangan dia telah berhasil melarikan diri....” Bhong-koksu berkata.

“Belum tentu, kalau dia melompat keluar dari taman tentu kita tadi melihatnya,” kata Maharya sambil mencari terus ke seluruh taman.

Para panglima dan pasukan pengawal yang ikut mengejar telah tiba disitu pula, akan tetapi tidak ada seorangpun diantara mereka yang melihat bayangan kakek cebol yang lihai itu.

“Heiiii, kalian mencari apa? Aku berada disini!”

Semua orang memandang dan kiranya kakek yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, duduk ongkang-ongkang di atas dahan dalam keadaan telanjang bulat, pakaiannya tergantung di cabang pohon. Tentu saja Bhong-koksu dan Maharya marah sekali dan mereka sudah berlari menghampiri pohon yang berdiri di tepi telaga di dalam taman.

“Aku gerah sekali, lelah melayani kalian. Aku mau mandi lebih dulu nanti kita lanjutkan lagi.”

Setelah berkata demikian, tubuh kakek cebol itu melayang ke bawah dan terjun ke dalam air telaga.

“Byuuurrr!”

Air muncrat tinggi dan sampai lama tubuh itu tenggelam. Ketika dia muncul lagi yang tampak hanya kepala sebatas dada. Kiranya telaga itu tidak dalam dan di dasarnya terdapat tanah lumpur sehingga ketika terjun tadi sebagian tubuh Bu-tek Siauw-jin terbenam ke dalam lumpur. Tentu saja muka dan kepalanya penuh lumpur ketika dia tersembul keluar sambil megap-megap!

“Siauw-jin, engkau akan mampus dalam keadaan yang lebih rendah daripada seorang siauw-jin (manusia hina). Engkau akan mampus seperti seekor anjing yang bangkainya hanyut di air!” Maharya berseru dan kini semua orang telah mengurung telaga itu dengan senjata disiapkan.

Bu-tek Siauw-jin yang gelagapan tadi kini sudah mencuci kepala dan mukanya dengan air. Air telaga itu jernih sekali, dan disitu terdapat banyak ikan emas peliharaan Koksu. Sambil menyembur-nyemburkan air dari mulut dan menggosok kedua matanya, Bu-tek Siauw-jin memandang kepada Koksu dan Maharya, terkekeh gembira mempermainkan dan mengejek.

“Ha-ha-ha, sejak jaman dahulu, belum pernah kerajaan memiliki seorang Koksu segagah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, mengerahkan pasukan pengawal dan anjing peliharaan Maharya pendeta palsu untuk mengeroyok seekor anjing yang sedang mandi! Eh, Bhong-koksu dan Maharya, tahukah engkau mengapa aku harus mandi dulu?”

Maharya yang sudah banyak pengalamannya dan maklum akan kelihaian kakek cebol itu, menahan gejolak kemarahan hatinya. Diapun tersenyum lebar, sungguhpun senyumnya agak pahit, kemudian berkata,

“Tentu saja aku tahu, Siauw-jin. Memang tepat sekali kalau engkau mandi lebih dulu agar tubuhmu bersih, karena setelah mati tidak akan ada yang sudi membersihkan mayatmu. Biarlah engkau mati dalam keadaan bersih tubuhmu, kami sabar menantimu disini.”

Jawaban itu dikeluarkan dengan suara halus dan ramah, namun sebetulnya merupakan ejekan yang menyakitkan hati.

“Bukan! Bukan begitu! Jawabanmu ngawur dan memang sejak dahulu aku tahu engkau seorang manusia tolol dan berkedok pendeta biar dianggap suci dan pintar, Maharya! Akan tetapi engkau tidak bisa mengelabuhi aku! Engkau bertapa di puncak gunung-gunung, bukan untuk membersihkan batin melainkan untuk memupuk ilmu agar dapat kau pergunakan untuk merebut kemuliaan di dunia ramai! Engkau memakai cawat dan pakaian sederhana, makan seadanya, memamerkan hidup sederhana, bukan untuk mempertajam pandang mata batin melainkan kau pakai untuk kedok agar lebih mudah engkau menipu orang, seperti seekor srigala berkedok bulu domba. Mau tahu mengapa aku mandi? Karena sudah terlalu lama aku bertanding dengan kalian, dan terlalu banyak kotoran dari kalian mengotori tubuhku. Maka itu harus membersihkan dulu tubuhku agar tidak sampai keracunan oleh kotoran dari kalian tadi, ha-ha-ha!”

Bhong-koksu marah bukan main. Dia melambaikan tangan kiri memberi aba-aba dan mulailah para panglima dan anak buah mereka menyerang kakek cebol yang sedang mandi itu dengan senjata rahasia. Beterbanganlah anak panah, piauw (pisau terbang), peluru besi, paku dan lain-lain ke arah tubuh Bu-tek Siauw-jin.

Sambil tertawa kakek itu mengelak ke kanan kiri kemudian tenggelam. Karena pergerakannya, tentu saja air menjadi keruh dan tubuhnya tidak tampak. Tahu-tahu dia telah muncul jauh dari tempat sasaran dan kedua tangannya digerak-gerakkan menyambit ke daratan.

Berhamburanlah air keruh, lumpur dan batu-batu kecil ke arah para pengurungnya! Bahkan ada dua buah benda kekuningan menyambar ke arah muka Koksu dan Maharya. Dua orang ini cepat mengelak dan dua buah benda itu dengan tepat mengenai muka dua orang panglima yang berada di belakang Koksu dan Maharya.

“Plok! Plok! Uuhhhgg.... hak.... haek--haek....!”

Dua orang panglima itu muntah-muntah karena dua “benda” yang mengenai mulut dan hidung mereka itu adalah tahi (kotoran manusia) yang lembek, lunak dan masih hangat! Kiranya kakek cebol itu bukan hanya mandi, melainkan juga membuang air besar! Kiranya dia tadi tidak membohong ketika menyuruh muridnya pergi dan dia ingin membuang air besar lebih dulu. Pantas saja dia merendam tubuh bertelanjang bulat dan ketika ia membuang air besar diam-diam ditampungnya kotoran dengan tangan dan kini dipergunakan untuk membalas serangan senjata rahasia lawan dengan “senjata rahasia” yang luar biasa itu!

“Ha-ha-ha-ha, benar-benar anjing yang suka makan tahi!”

Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, akan tetapi terpaksa harus slulup (menyelam) kembali karena dari pihak pengurungnya telah datang anak panah seperti hujan menyerang dirinya. Terjadilah main kucing-kucingan antara kakek cebol dan para pengurungnya. Kalau dihujani serangan, dia menyelam, kemudian timbul di lain bagian sambil membalas dengan sambitan batu-batu dan lumpur.

Agaknya permainan ini mendatangkan kegembiraan besar di hati Bu-tek Siauw-jin, apalagi ketika dia berhasil mengotori pakaian Koksu dan sorban di kepala Maharya dengan lumpur membuat dua orang sakti itu memaki-maki dan menyumpah-nyumpah. Kakek cebol tertawa bergelak, mengejek ke kanan kiri sambil menjulurkan lidah.

“Ambil minyak! Kita bakar permukaan telaga!”

Tiba-tiba Bhong-koksu mengeluarkan perintah. Perintahnya ini hanya gertakan saja, akan tetapi cukup membuat Bu-tek Siauw-jin terkejut dan khawatir.

“Wah, itu licik sekali namanya! Biar kulawan kalian lagi di atas daratan kalau begitu!”

Akan tetapi Bhong-koksu, Maharya dan para panglima beserta anak buah mereka, telah menanti di tepi telaga, membuat kakek itu sukar mendarat dan terpaksa ke tengah telaga kembali sambil memaki-maki.

“Kalian cacing-cacing busuk, pengecut licik, tak tahu malu, ya?”

“Singgg.... cuppp....! Wirrrr!”

Maharya dan Bhong-koksu terbelalak memandang gagang pedang yang tergetar di atas tanah di depan mereka itu, sebatang pedang yang tadi meluncur dari atas, menancap di atas tanah depan mereka. Pada detik berikutnya, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka, dekat pedang di atas tanah tadi, telah berdiri seorang wanita bertubuh tinggi langsing dan mukanya berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!

“Pa.... paduka....?”

Bhong-koksu berseru, lupa diri dan menyebut paduka kepada Ketua Thian-liong-pang yang dikenalnya sebagai puteri kaisar, Nirahai.

“Aihhh, Ketua Thian-liong-pang hendak memberontak?” Maharya juga berseru.

“Bhong Ji Kun manusia rendah budi, pengkhianat dan pemberontak hina! Engkaulah yang hendak mengkhianati kaisar, hendak memberontak dan bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Tibet dibantu orang-orang Nepal, hendak menjatuhkan kaisar dan diperalat Pangeran Yauw Ki Ong yang hendak merebut tahta kerajaan. Berlututlah engkau pengkhianat busuk agar kutangkap dan kuhadapkan kaisar!” Ketua Thian-liong-pang atau Puteri Nirahai itu membentak dengan suaranya yang nyaring.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bhong-koksu dan semua panglima yang menjadi kaki tangannya mendengar betapa rahasia mereka telah terbuka. Untuk menyembunyikan rasa khawatirnya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa.

“Ha-ha-ha! Engkau puteri buronan, puteri pelarian yang telah mencemarkan nama kerajaan, berpura-pura hendak bersikap seperti seorang setiawan. Kebetulan sekali, Nirahai, engkau menjadi musuh kerajaan dan hadapilah kematianmu di ujung pedangku sendiri!”

Bhong-koksu melintangkan pedang di depan alisnya sedangkan Maharya telah menggerakkan senjata tombak bulan sabitnya.

“Haiii.... engkaukah Ketua Thian--liong-pang? Gagah perkasa benar engkau, akan tetapi aku Bu-tek Siauw-jin tidak minta bantuanmu! Menghadapi coro-coro kacoa bau itu aku belum membutuhkan bantuanmu!”

Bu-tek Siauw-jin berteriak-teriak dari tengah telaga, kemudian meloncat ke darat dekat Ketua Thian-liong-pang.

Nirahai, wanita berkerudung itu secepat kilat telah menyambar pedangnya yang tadi dilontarkan menancap tanah, ketika ia melirik ke kiri dari balik kerudungnya, mukanya menjadi merah padam melihat betapa kakek cebol di sebelahnya itu bertelanjang bulat!

“Kakek sinting, pergilah!” bentaknya ketus. “Aku tidak butuh bantuanmu!”

Bu-tek Siauw-jin mengerutkan alisnya, menghadapi Nirahai dan bertolak pinggang, lupa sama sekali betapa lucu sikapnya, bertolak pinggang membusungkan dada tipis dan sama sekali tidak berpakaian!

“Wah-wah-weh-weh! Siapa yang membantu dan siapa yang dibantu? Sebelum kau muncul aku sudah mereka keroyok sampai kelelahan dan terpaksa aku mandi dan buang air dulu. Engkau mau dibantu atau tidak, aku terpaksa harus menggempur mereka ini, terutama si botak Koksu dan si palsu Maharya!”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar