FB

FB


Ads

Kamis, 22 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 078

“Bresss!”

Tiba-tiba Thai-lek-gu menjadi bingung karena tadi tampaknya serangannya tak mungkin dapat dielakkan lagi, kedua lengannya sudah menyentuh kedua pundak lawan, akan tetapi begitu kedua tangannya meringkus, yang diringkusnya hanya angin saja dan tubuh pemuda itu sudah lenyap! Cepat dia membalikkan tubuhnya dan ternyata pemuda itu sudah berdiri di belakangnya sambil bersedekap dan tersenyum-senyum.

Terkejutlah Si Muka Pucat yang kurus dan Si Raksasa gundul ketika menyaksikan betapa dengan amat sigapnya tubuh pemuda itu tadi melesat ke luar dari sergapan Thai-lek-gu dan meloncat ke atas melewati kepalanya, kemudian turun bagaikan seekor burung walet saja di belakang Thai-lek-gu.

Juga Thai-lek-gu yang bukan merupakan seorang ahli silat sembarangan, kini dapat menduga bahwa pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi terbukti dari gin-kangnya yang istimewa, bersikap hati-hati dan tidak lagi berani memandang rendah bahkan dia menekan hatinya melenyapkan rasa marah agar dapat menghadapi lawan dengan tenang.

Setelah memasang kuda-kuda, mulailah Thai-lek-gu membuka serangannya. Tubuhnya seperti menggelundung ke depan karena gerakan kedua kakinya sukar terlihat, tertutup oleh perutnya, dan tahu-tahu kedua lengannya sudah menyambar ke depan bergantian, melakukan pukulan-pukulan yang amat keras sehingga terdengar anginnya mengiuk berulang-ulang.

Bun Beng menurunkan kedua tangannya yang bersedekap, kedua tangan itu bergerak cepat sampai tidak tampak, tahu-tahu jari tangannya sudah mengetuk ke arah lengan lawan, yang kanan mengetuk pergelangan tangan kiri, sedangkan yang kiri mengetuk tulang dekat siku.

“Plak! Tukkk!”

“Wadouuhh....!”

Thai-lek-gu berteriak keras sekali dan cepat meloncat mundur, mulutnya yang amat kecil dibandingkan dengan kepala dan perutnya itu menyeringai kesakitan kedua tangannya sibuk sekali bergerak bergantian, yang kiri mengusap siku kanan, yang kanan menggosok pergelangan tangan kiri. Kulit lengan di kedua tempat itu membiru dan tampak benjolan sebesar telur ayam!

Dengan kemarahan yang meluap-luap, Thai-lek-gu kini menyambar sepasang golok yang dibawakan oleh seorang temannya. Sepasang golok ini pantasnya untuk menyembelih babi, dan memang Thai-lek-gu ini dahulunya adalah seorang jagal babi!

Betapapun marahnya, Thai-lek-gu ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang tahu akan kegagahan, maka sambil menahan marah, menggerak-gerakkan sepasang goloknya di depan dada kemudian berhenti depan dada dalam keadaan bersilang dia berseru,

“Hayoh keluarkan senjatamu!”

Bun Beng tersenyum. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan pribadi dengan orang-orang ini dan biarpun dia tahu bahwa mereka itu pemberontak-pemberontak, namun dia tidak pula berpihak kepada Kaisar Mancu. Andaikata mereka ini bukan kaki tangan Koksu yang menjadi musuh besarnya, agaknya diapun tidak mau mengganggu mereka. Apalagi melihat sikap Thai-lek-gu yang masih menghargai kegagahan dalam pertandingan ini, tidak mengeroyok, tidak pula menyerang lawan yang bertangan kosong, dia mengambil keputusan untuk bersikap lunak terhadap mereka.

“Thai-lek-gu, tidak perlu aku mempergunakan senjataku sendiri karena engkau sudah begitu baik hati untuk menyediakannya untukku. Nah, seranglah!”

Thai-lek-gu memandang heran dan ragu-ragu.
“Orang muda yang sombong, jangan kau main-main. Sepasang golokku ini sekali keluar, tidak akan masuk sarungnya kembali sebelum minum darah lawan. Keluarkan senjatamu!”

“Baiklah, akan tetapi bukan senjataku, melainkan yang kau pinjamkan kepadaku itulah!”

Tiba-tiba Bun Beng nenubruk ke depan dan mengirim serangan kilat, menusukkan jari tangan kirinya ke arah mata lawan.

Thai-lek-gu marah dan terkejut, cepat dia menundukkan kepala dan golok kanannya berkelebat membacok ke arah lengan Bun Beng yang menyerangnya. Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba merendahkan diri, gerakannya cepat bukan main, golok menyambar lewat di atas kepalanya dan tiba-tiba Thai-lek-gu mengeluarkan seruan tertahan dan memandang dengan mata terbelalak kepada lawan yang sudah tersenyum-senyum memandangnya dengan sebatang golok di tangan. Golok kirinya telah dirampas secara cepat dan aneh oleh pemuda itu!

“Nah, sekarang aku telah memegang senjata. Terima kasih atas kebaikanmu memberi pinjam golok ini kepadaku, Thai-lek-gu.”

Thai-lek-gu marah bukan main, marah penasaran dan juga kaget. Pemuda itu dalam segebrakan saja telah berhasil merampas sebatang diantara sepasang goloknya. Hal ini saja membuktikan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya. Akan tetapi karena sudah kepalang mencabut senjata, dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang ke depan dengan nekat.

“Trang-trang-trang....!”

Tiga kali Si Pendek gendut menyerang dan tiga kali Bun Beng menangkis tanpa menggeser kaki dari tempatnya, berdiri seenaknya akan tetapi kemanapun golok lawan menyambar, selalu dapat ditangkisnya dan setiap tangkisan membuat Thai-lek-gu terpental ke belakang. Hal ini mengejutkan semua orang. Thai-lek-gu terkenal memiliki tenaga yang amat besar, akan tetapi serangan golok tadi berturut-turut dapat ditangkis oleh Si Pemuda yang membuat tubuh Thai-lek-gu terpental!

Tentu saja Thai-lek-gu menjadi makin marah. Dengan lengking panjang dia lari ke depan, menyerbu dengan golok diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, kemudian golok itu menyambar ke arah leher Bun Beng, dibarengi cengkeraman tangan kiri Thai-lek-gu ke arah perutnya!






Serangan ini dahsyat sekali dan merupakan serangan mati-matian untuk mengadu nyawa. Tentu saja Bun Beng tidak menjadi gentar. Dia sengaja mengerahkan tenaganya, menggerakkan golok menangkis golok lawan, sedangkan tangan kirinya menyambut cengkeraman tangan lawannya dia menotok pergelangan tangan.

“Krekk.... dessss!”

Golok di tangan Thai-lek-gu patah-patah dan dia menjerit kaget ketika tubuhnya terlempar ke belakang dan lengan kirinya lumpuh tertotok. Betapapun diusahakannya untuk mengatur keseimbangan tubuhnya, tetap saja dia terbanting roboh dan karena kelumpuhan lengan kiri, terpaksa dengan susah payah dia merangkak bangun.

“Maafkan aku dan kukembalikan golokmu. Terima kasih!”

Bun Beng melempar golok pinjaman itu yang meluncur ke depan. Semua orang terkejut, mengira bahwa pemuda itu melontarkan goloknya untuk membunuh Thai-lek-gu, akan tetapi golok itu berputaran kemudian meluncur turun menancap di atas tanah depan pemiliknya.
Tiba-tiba terdengar suara menggereng seperti seekor biruang marah dan tanah seperti tergetar ketika seorang raksasa melompat turun di depan Bun Beng. Dengan matanya yang lebar dia memandang Bun Beng, mulut yang tertutup cambang bauk melintang galak itu bergerak-gerak dan terdengar suaranya yang kaku dan parau,

“Aku Gozan. Kau orang muda boleh juga, aku merasa terhormat mendapatkan lawan seperti engkau. Orang muda, majulah kau mari mulai!”

Baru saja menghentikan kata-katanya, raksasa itu sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang itu menyambar dari kanan dan kiri pinggang Bun Beng. Pemuda ini mengerti bahwa lawannya memiliki tenaga yang amat hebat, hal ini diketahuinya dari angin sambaran kedua lengan itu.

Akan tetapi karena dia memang ingin sekali mencoba sampai dimana kehebatan lawan yang menurut Si Muka Pucat tadi adalah jago nomor satu di Mongol, ahli silat dan ahli gulat, maka dia sengaja bergerak lambat dan membiarkan pinggangnya ditangkap. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tahu-tahu tubuhnya terangkat ke atas dan usahanya memperberat tubuhnya sama sekali tidak terasa oleh Si Raksasa itu yang mengangkat tubuhnya ke atas, memutar-mutar tubuhnya sambil tertawa-tawa!

“Kiranya tenagamu tidak berapa hebat, orang muda. Nah, pergilah kau!”

Sambil berkata demikian, Gozan jagoan dari Mongol itu mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan melemparkan tubuh Bun Beng ke depan.

Tanpa dapat dilawan pemuda ini, tenaga dahsyat mendorongnya dan membuat tubuhnya meluncur jauh ke depan, seolah-olah tubuhnya menjadi sebuah peluru yang terbang dengan cepatnya. Namun Bun Beng dapat menguasai dirinya. Dengan ilmu gin-kangnya dia berjungkir-balik di tengah udara dan tubuhnya kini membalik dengan tenaga lontaran masih mendorongnya sehingga tubuhnya meluncur kembali ke arah lawannya!

Tentu saja Gozan menjadi terkejut dan terheran melihat pemuda lawannya itu tahu-tahu telah berkelebat datang dan berdiri di depannya kembali sambil tersenyum-senyum mengejek!

“Engkau masih belum pergi? Kalau begitu engkau sudah bosan hidup!”

Gozan membentak dan kini dia menerjang ke depan, menggerakkan dua pasang kaki dan tangannya, seperti otomatis, bergantian dan bertubi-tubi menghujankan pukulan dan tendangan ke arah tubuh Bun Beng.

Biarpun gerakan itu tidak banyak perubahannya, hanya mengandalkan kecepatan gerak yang teratur, dan mudah bagi Bun Beng menghadapinya, namun pemuda ini maklum bahwa tenaga Si Raksasa itu amat besar dan bahwa terkena sekali saja oleh pukulan atau tendangan itu, amatlah berbahaya.

Maka dia mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya untuk menghindar dengan loncatan ke kanan kiri dan belakang sampai puluhan jurus serangan sehingga akhirnya Gozan sendiri yang menjadi lelah dan napasnya terengah-engah. Tiba-tiba raksasa itu menghentikan serangannya dan memandang dengan mata merah, lehernya mengeluarkan gerengan marah dan dia berkata,

“Orang muda, apakah engkau seorang pengecut sehingga dalam pertandingan selalu menjauhkan diri? Kalau tidak berani bertanding, kau berlututlah dan mengaku kalah, kalau memang berani balaslah seranganku!”

“Begitukah kehendakmu? Nah, sambutlah ini!”

Bun Beng tersenyum dan memukul ke arah dada raksasa itu, tangan kiri siap untuk merobohkan lawan yang bertubuh kuat itu. Akan tetapi, secepat kilat Gozan menangkap lengan kanan Bun Beng dengan cara yang tak terduga-duga. Gerakan kedua tangan raksasa itu seperti gerakan dua ekor ular yang menyambar dari kanan kiri dan tahu-tahu lengan kanan Bun Beng telah ditangkapnya!

Kiranya, dengan ilmu silat pukulan dan tendangan, raksasa itu sama sekali tidak berdaya mengalahkan lawan, maka kini dia kembali hendak menggunakan ilmu gulatnya! Sebelum Bun Beng tahu apa yang terjadi, kembali tubuhnya sudah terangkat ke atas, di atas kepala lawannya, kemudian dia dibanting ke bawah dengan tenaga yang dahsyat! Karena tadi lemparannya tidak berhasil, kini Gozan mengganti siasatnya, tidak melemparkan tubuh lawan, melainkan membantingnya ke atas tanah.

“Wuuuttt.... brukkk.... ngekkk!”

Semua orang terbelalak kaget dan heran, terutama sekali Si Kurus Pucat yang menjadi pemimpin ketika menyaksikan peristiwa yang aneh dan hebat itu. Terbelalak dia memandang jagoannya, Gozan Si Raksasa tinggi besar tadi kini terkapar di depan kaki Bun Beng, dalam keadaan pingsan!

Jelas semua orang melihat tadi betapa tubuh pemuda itu telah diangkat dan dibanting, akan tetapi mengapa tiba-tiba keadaannya terbalik, bukan tubuh Bun Beng yang terbanting melainkan tubuh Si Raksasa itu sendiri? Kiranya Bun Beng sudah bergerak cepat sekali. Ketika tubuhnya dibanting dan lengan kanannya dicengkeram, dia menggunakan tangan kirinya menotok tengkuk lawan dan seketika tubuh raksasa itu menjadi lemas.

Dengan gerakan indah sekali, namun cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata, Bun Beng yang masih terdorong oleh tenaga bantingan membalikkan tubuh sehingga kakinya yang lebih dulu tiba di atas tanah, sedangkan dia menggerakkan kedua tangan yang kini memegang pangkal lengan raksasa itu, menggunakan sisa tenaga bantingan lawan untuk mengangkat tubuh lawan dan membantingnya, ditambah dengan tenaga sin-kangnya sendiri. Dalam keadaan tertotok, Gozan tidak mampu mempertahankan diri dan berat tubuhnya membuat bantingan itu makin hebat akibatnya sehingga dia pingsan seketika!

“Wirr.... siuuuuttt....!”

Bun Beng cepat merendahkan tubuhnya kaget sekali melihat senjata yang menyambarnya. Kiranya Si Muka Pucat yang kurus tadi telah menyerangnya dan senjata di tangan orang ini benar-benar amat luar biasa.

Pimpinan orang-orang gagah itu memegang gagang pancing, lengkap dengan tali dan mata kailnya! Bagi yang mengenal Liong Khek, Si Kurus muka pucat ini tentu tidak akan heran karena dia memang berasal dari keluarga nelayan. Mungkin mengingat akan asal-usulnya ini, ditambah lagi bahwa senjata istimewa ini amat hebat dan jarang dikenal lawan, maka dia memilihnya sebagai senjatanya.

“Orang muda, engkau benar hebat, akan tetapi jangan harap akan dapat keluar dari tempat ini dalam keadaan bernyawa!” Liong Khek berseru dan menerjang maju dengan senjatanya yang aneh.

Bun Beng merasa heran juga melihat senjata itu. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang ahli silat bersenjata pancing, bahkan mendengarpun belum pernah. Oleh karena itu, dia menyabarkan diri dan ingin sekali melihat bagaimana lawannya mempergunakan senjata istimewa itu.

“Singgg.... siuuuttt....!”

Kembali sinar kecil itu menyambar dan Bun Beng cepat mengelak mengulur tangan berusaha menangkap tali pancing itu. Akan tetapi dengan gerakan pergelangan tangannya, Liong Khek Si Kurus itu telah menarik kembali tali pancingnya, kemudian meloncat maju dan kini mempergunakan gagang pancingnya sebagai senjata tongkat untuk menusuk lambung Bun Beng.

Pemuda ini mengelak sambil menangkis dengan lengannya, dengan hati-hati dan penuh perhatian menghadapi lawan. Dia kagum sekali. Kiranya senjata itu benar-benar hebat dan berbahaya sekali. Gagangnya dapat dimainkan sebagai tongkat dan mata kail yang terbuat dari baja dan amat runcing melengkung itu kadang-kadang menyambar ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan setiap kali dapat ditarik kembali kalau talinya digerakkan atau disendal.

Bahkan ada kalanya, gagang pancing menyerang dibarengi sambaran mata kail dari lain jurusan! Benar-benar senjata yang tak tersangka-sangka ini merupakan senjata yang amat berbahaya kalau dimainkan semahir Liong Khek memainkannya.

Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan tampaklah selosin orang berpakaian tentara memasuki markas itu. Mereka adalah utusan Koksu dan begitu melihat Liong Khek bertanding melawan seorang pemuda, komandan pasukan bertanya-tanya. Ketika mendengar bahwa pemuda itu diduga keras seorang mata-mata, komankan pasukan berkata marah.

“Kalau dia mata-mata, mengapa tidak dibunuh saja? Hayo serbu!”

Selosin orang tentara itu sudah meloncat turun dari atas kuda, dan kini bersama orang-orang gagah yang berada di situ, mereka lari menghampiri untuk mengeroyok Bun Beng. Pemuda ini tertawa melengking, mengerahkan khi-kang sehingga para pengeroyok itu terbelalak kaget, kaki mereka menggigil dan sejenak mereka tidak dapat bergerak.

Juga Liong Khek terkejut sekali ketika suara lengkingan dahsyat itu membuat tubuhnya tergetar. Sebelum ia dapat memulihkan kembali ketenangannya tahu-tahu sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat tubuhnya terlempar dan senjata pancingnya telah dirampas pemuda yang luar biasa itu! Ketika terbanting jatuh, maklumlah Liong Khek ternyata bahwa pemuda itu tadi hanya main-main saja dan bahwa sesungguhnya pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!

Bun Beng mencelat ke dekat pagar, mengayun tubuh ke atas dan mengambil buntalan pakaian dan topinya yang tadi ditaruhnya di atas pagar agar jangan mengganggu gerakannya. Dia menaruh topi berbentuk caping petani yang lebar itu, menalikan tali caping di leher, kemudian menalikan buntalan pakaiannya di depan dada sehingga buntalan itu tergantung ke belakang bahu kanannya. Semua ini dikerjakan selagi tubuhnya di atas pagar. Para pengeroyoknya sudah lari mengejarnya dan kini beberapa orang sudah melayang naik ke atas pagar sambil menyerangnya.

“Wuuuttt.... wirrr....!”

Dua orang menjerit dan jatuh dari atas pagar ketika pancing di tangan Bun Beng bergerak menyambar dan melukai hidung dan pipi dua orang itu!

Timbul kegembiraan Bun Beng dengan senjata rampasan yang baru ini. Dia tadinya hendak melompat keluar dari tempat itu dan lari, akan tetapi melihat hasil sambaran senjata pancing itu, dia ingin mencoba lagi dan kini dia malah melompat turun ke sebelah dalam markas! Tentu saja dia disambut pengeroyokan puluhan orang itu, termasuk pasukan tentara yang baru tiba.

“Heii, apakah kalian ini anjing-anjing Koksu?”

Bun Beng berteriak sambil melompat ke kiri dan menggerakkan gagang pancing dengan pergelangan tangannya. Kembali dua orang yang menyerbunya roboh terpelanting!

“Kami adalah pengawal-pengawal, utusan pribadi Koksu. Menyerahlah orang muda!”

Bentak Si Komandan pasukan yang mengira bahwa sebagai seorang kang-ouw, tentu pemuda itu akan gentar dan tunduk kalau mendengar nama Koksu.

Akan tetapi pemuda itu malah tertawa bergelak.
“Kalau kalian anjing-anjing pengawal dari Koksu, aku belum meninggalkan tempat ini sebelum menghajar kalian!”

Kini Bun Beng mengamuk dan serangan-serangannya ditujukan kepada pasukan itu. Mendengar bahwa pasukan itu adalah utusan pribadi Koksu, sudah timbul rasa tidak senangnya.

Empat orang anggauta pasukan roboh pingsan terkena tamparan tangannya, sedangkan dua orang lagi masih mengaduh-aduh karena muka mereka robek terkait mata kail yang runcing. Akan tetapi, orang-orang gagah yang dipimpin oleh Liong Khek merasa marah dan merasa terhina bahwa di depan utusan-utusan Koksu, mereka tidak mampu menangkap seorang pengacau yang masih muda.

Mereka berteriak-teriak dan mengepung Bun Beng. Pemuda ini menjadi kewalahan juga menghadapi demikian banyaknya pengeroyok. Dia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap di atas atap kandang kuda, senjata pancingnya terayun-ayun di tangan kiri. Dia melihat-lihat ke bawah, hendak memilih kuda yang terbaik yang terkumpul di situ.

Perwira yang memimpin pasukan tadi tahu akan niat pemuda pengacau itu.
“Kepung, jangan biarkan dia lolos dengan mencuri kuda!”

Teriaknya sambil berlari cepat diikuti sisa anak buahnya ke bawah atap dimana Bun Beng berdiri. Komandan itu menggerakkan senjata tombak panjangnya menusuk ke atap.

“Crappp!”

Tombak bercabang itu menembus atap, akan tetapi dengan mudah saja Bun Beng mengelak, bahkan kini dia menggerakkan pancingnya ke bawah.

“Auuuhwww.... aduuuuhhh....!”

Mata kail yang runcing melengkung itu telah berhasil mengait pinggul seorang anak buah pasukan dan sekali tangan kiri Bun Beng digerakkan, tubuh orang yang terpancing itu terangkat naik ke atap. Pada saat itu, komandan pasukan dan seorang anak buahnya, dengan kemarahan meluap menusukkan tombak mereka dari bawah mengarah tubuh Bun Beng.

“Crepp! Creppp!”

Dua batang tombak panjang itu menembus atap, akan tetapi dengan gerakan ringan dan mudah sekali, Bun Beng meloncat menghindar kemudian turun dengan kedua kaki, menginjak ujung dua batang tombak yang menembus atap itu! Gagang pancingnya dia gerakkan berputar sehingga tubuh tentara itupun terbawa berputaran, kemudian sambil tertawa Bun Beng melemparkan pancingnya ke arah Si Komandan pasukan. Karena lontaran ini cepat dan kuat sekali, Si Komandan tidak sempat mengelak sehingga dia tertimpa tubuh anak buahnya sendiri dan roboh terguling-guling!

Sebelum komandan itu sempat bangun dan dalam keadaan masih nanar karena kepalanya terbentur keras, tiba-tiba dia merasa pundaknya dicengkeram dan tahu-tahu pemuda yang dikeroyoknya tadi telah berada di dekatnya, tangan kiri mencengkeram pundak dan tangan kanan menodongnya dengan sebatang tombak. Tombaknya sendiri!

“Mundur semua, kalau tidak, kubunuh perwira ini!”

Bun Beng membentak sambil menempelkan ujung tombak yang runcing itu ke perut Si Komandan yang menjadi ketakutan, bermuka pucat dan menggigil.

Melihat ini, Si Muka pucat segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mundur. Tentu saja keselamatan komandan pasukan yang menjadi utusan Koksu amatlah penting, dan kini dia yakin bahwa pemuda yang mengacau itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, terlampau tinggi untuk mereka tandingi dan kalau mereka melanjutkan pertandingan dan pengeroyokan dengan jalan kekerasan, akibatnya akan berbahaya sekali.

“Mundur.... hentikan pertandingan!” teriak Si Kurus dengan suara nyaring, kemudian dia melangkah maju menghadapi Bun Beng, menjura dan berkata,

“Orang muda she Gak! Engkau tadi mengaku bukan mata-mata dan tidak memusuhi kami, mengapa engkau membikin kacau dan menangkap seorang panglima dari kota raja?”

Bun Beng membelalakkan matanya lalu tertawa bergelak, nadanya mengejek,
“Ha-ha-ha! Kalau ada maling teriak maling, hal itu amat lucu dan dapat dimengerti karena Si Maling ingin menyelamatkan diri. Akan tetapi kalau ada pemberontak teriak pemberontak, hal ini sudah tidak lucu lagi, malah menyebalkan! Aku bukan seorang penjilat Kaisar, juga bukan seorang pemberontak. Bukan aku yang mengacau disini, melainkan kalian sendiri yang memaksaku bertanding!”

Si Kurus bermuka pucat itu kembali menjura.
“Kalau begitu, kami menerima salah, harap engkau suka membebaskan panglima yang menjadi tamu kami.”

“Panglima ini harganya tentu lebih mahal dari seekor kuda,” kata pula Bun Beng.

“Seekor kuda....?” Si Kurus memandang tajam.

“Ya, seekor kuda yang paling baik diantara semua kuda disini.”

Mengertilah Si Kurus. Dia lalu memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mengeluarkan kuda tunggangannya sendiri, seekor kuda berbulu putih yang benar-benar bagus dan kuat, merupakan kuda pilihan.

“Nah, ini kudaku sendiri, pakailah kalau engkau memerlukannya,” katanya.

Bun Beng tertawa, melepaskan Si Perwira dan sekali meloncat dia telah berada di atas punggung kuda. Dia sengaja berbuat demikian, karena dia ingin melihat sikap mereka itu. Begitu melihat perwira itu dilepaskan, terjadi gerakan-gerakan seolah-olah mereka hendak maju lagi menerjang Bun Beng yang bersikap tenang di atas punggung kudanya. Akan tetapi Si Kurus bermuka pucat mengangkat tangan kanan ke atas dan membentak,

“Jangan bergerak! Biarkan Gak-congsu lewat dan keluar dari sini tanpa gangguan!”

Bun Beng melarikan kudanya, menoleh ke arah Si Kurus sambil berkata,
“Terima kasih. Pemberontak atau bukan, engkau masih mempunyai sifat kegagahan!”

Kudanya lari terus keluar dari pintu pagar tanpa ada yang merintanginya, dan pemuda ini melanjutkan perjalanan menuju ke selatan, ke kota raja.

**** 078 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar