FB

FB


Ads

Kamis, 22 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 077

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Gak Bun Beng! Yang terakhir kita melihat dia, pemuda yang berwatak lembut itu, mengubur semua mayat yang jatuh sebagai korban pertandingan besar di daerah tandus di puncak Ciung-lai-san di Se-cuan, dimana diadakan pertemuan oleh Thian-liong-pang.

Setelah selesai mengubur semua jenazah yang terlantar itu, Bun Beng menunggang kudanya kembali dan menjalankan kudanya perlahan menuju ke timur. Dia telah berhasil merampas kembali Hok-mo-kiam, bahkan berhasil membunuh dua orang diantara musuh-musuhnya, yaitu Tan-siucai dan terutama sekali Thai Li Lama.

Tadinya dia tidak bermaksud membunuh Tan-siucai seperti yang dilakukan terhadap Thai Li Lama karena dia tidak mempunyai dendam pribadi dengan Tan Ki. Adapun Thai Li Lama merupakan musuhnya karena Lama ini termasuk mereka yang sudah membunuh gurunya, yaitu Kakek Siauw Lam Hwesio.

Akan tetapi musuh-musuhnya masih amat banyak dan mereka itu malah jauh lebih lihai daripada Thai Li Lama. Thian Tok Lama adalah suheng Thai Li Lama yang tentu lebih lihai lagi, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat. Belum lagi Kakek Maharya yang sakti. Bergidik Bun Beng kalau teringat akan kakek ini, yang pernah ia saksikan ketika kakek itu mengadu ilmu sihir dengan Pendekar Super Sakti.

Baru bertemu dan melawan Thai Li Lama saja karena kurang hati-hati, dia terluka. Dia harus giat melatih diri. Mematangkan ilmu-ilmunya, terutama yang dia latih di dalam guha rahasia di bawah markas Thian-liong-pang di lembah Huang-ho itu, sebelum dia menghadapi musuh-musuhnya yang sakti. Juga dia harus mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan Hok-mo-kiam, karena pendekar itulah yang berhak atas pedang buatan Kakek Nayakavhira ini. Di samping itu, dia harus mencari pemuda Pulau Neraka yang telah merampas Lam-mo-kiam!

Bun Beng melakukan perjalanan perlahan. Dia tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan dia terus melatih ilmunya. Ketika ia menggunakan Hok-mo-kiam untuk melatih ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut yang amat dahsyat itu, dia menjadi girang karena mendapat kenyataan betapa pedang itu cocok ukurannya dan tepat pula beratnya sehingga pedang dan tangannya seolah-olah telah melekat dan bersambung menjadi satu!

Barulah hatinya puas setelah dia berhasil memainkan seluruh jurus Lo-thian Kiam-sut tanpa berhenti. Padahal ilmu pedang ciptaan manusia sakti Koai Lojin itu bukanlah sembarangan ilmu sehingga Ketua Thian-liong-pang sendiripun tidak mampu memainkan seluruhnya.

Setelah melakukan perjalanan beberapa pekan dan terpaksa meninggalkan kudanya dan melepas binatang yang sudah payah itu dalam sebuah hutan, tibalah Bun Beng di kaki pegunungan Lu-liang-san, di tepi Sungai Kuning dan di perbatasan Mongolia selatan.

Kota raja sudah tidak jauh lagi dan selagi dia berjalan seenaknya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dari belakang. Bun Beng cepat minggir dan menutupi mulut dan hidungnya dengan lengan baju karena tanah yang kering itu menghamburkan debu tebal ketika barisan kuda itu berlari datang.

Pasukan atau rombongan berkuda itu terdiri dari tiga puluh orang lebih. Bun Beng merasa heran karena rombongan ini terdiri dari bermacam-macam bangsa yang dapat dilihat dari bentuk pakaian mereka. Ada orang Mongol, ada pula orang Tibet dan banyak diantara mereka adalah orang-orang Han.

Akan tetapi melihat cara mereka menunggang kuda dan duduk dengan tegak, melihat senjata-senjata pedang yang tergantung di punggung, melihat gerak mereka, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa rombongan itu terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi.

Setelah rombongan berkuda itu lewat dan debu yang mengebul sudah habis tertiup angin, Bun Beng baru menurunkan lengan baju dari depan mukanya, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke barat, kemana rombongan tadi membalapkan kuda. Di dalam hati timbul kecurigaan dan keheranan. Dia merasa aneh dan tertarik sekali. Orang-orang Mongol, Tibet, dan orang-orang Han menjadi satu dalam sebuah rombongan? Aneh sekali! Mengapa tidak tampak orang Mancu yang pada waktu itu menjadi bangsa yang paling “tinggi” karena bangsa inilah yang berkuasa? Ada terjadi apakah?

Karena hatinya tertarik. Bun Beng mempercepat langkahnya, bahkan mempergunakan ilmu lari cepat untuk mengejar. Setelah malam tiba, dia berhenti di sebuah dusun dan mendapat keterangan bahwa baru saja rombongan itu lewat dan mereka tidak berhenti di dusun itu.

Bun Beng membeli makanan, kemudian malam itu juga melanjutkan perjalanan karena merasa makin heran dan curiga. Hari sudah malam, dan dari dusun itu ke timur merupakan hutan lebat, mengapa mereka itu tidak berhenti di dalam dusun?

Ketika dia melakukan pengejaran, dia melihat bahwa mereka itu berhenti di luar dusun dan beristirahat di tempat sunyi itu, membuat api unggun dan makan dari perbekalan mereka. Kiranya mereka itu hendak menjauhkan diri dari tempat ramai, maka mereka memilih tempat sunyi itu untuk melewatkan malam daripada di sebuah dusun.

Bun Beng terus membayangi rombongan ini dan dari percakapan-percakapan mereka, dia mendengar bahwa mereka itu menuju ke daerah Cip-hong yang berada di perbatasan Mongolia, di sebuah utara kota raja. Ketika ia mendengar disebutnya Koksu dan Pangeran Jeng Han dari Mongol dan Pangeran Yauw Ki Ong dari istana, dia makin tertarik, apalagi ketika mendengar percakapan mereka itu membayangkan sebuah persekutuan antara Tibet, Mongol, pejuang-pejuang Han, dan dari dalam istana sendiri! Tentu merupakan persekutuan gelap, pikirnya.

Ketika rombongan itu tiba dipersimpangan jalan, Bun Beng merasa ragu-ragu. Kalau ke selatan, dia akan sampai di kota raja, tempat yang ditujunya semula. Akan tetapi, rombongan itu besuk pagi tentu akan membelok ke kiri, ke utara. Untuk apa dia mengikuti mereka ini? Urusan persekutuan itu tidak menarik hatinya karena dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan itu. Akan tetapi, malam itu, ketika ia mengambil keputusan untuk melakukan pengintaian yang terakhir kalinya, dia mendengar percakapan yang benar-benar mengejutkan dan menarik perhatiannya.

Dari percakapan mereka, dia mendengar bahwa persekutuan itu, yang dikepalai oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu Bhong Ji Kun, merencanakan untuk membunuh kaisar dan untuk merampas kekuasaan pemerintahan! Dan rombongan itu merupakan bala bantuan untuk memperkuat pasukan orang gagah yang dipusatkan di dekat Cip-hong, di daerah yang terkenal sebagai tempat “api abadi”, yaitu daerah setengah tandus dimana terdapat api yang bernyala-nyala dari tanah dan tak pernah padam selamanya. Tanah di situ sebetulnya mengandung sumber minyak yang tergali, dan minyak dari tanah itulah yang membuat api tak pernah padam.

Karena Bun Beng merasa benci kepada Koksu yang dianggapnya musuh besar, maka biarpun dia tidak berhasrat menyelamatkan Kaisar Mancu, dia ikut pula ke utara, terus membayangi rombongan itu karena dia ingin menggagalkan persekutuan yang dipimpin oleh Koksu musuh besarnya itu. Lebih-lebih ketika dia mendengar bahwa pasukan orang-orang lihai yang tergabung dan dipusatkan di Cip-hong itu merupakan pasukan khusus untuk menghadapi Thian-liong-pang!

Hemm, mereka juga memusuhi Thian--liong-pang dan pasukan ini khusus dipersiapkan untuk melawan orang-orang Thian-liong-pang! Tentu saja Bun Beng menjadi makin tertarik untuk menentang pasukan itu. Ketua Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, dan ibu Milana! Tentu saja dia akan membela Thian¬liong-pang, atau setidaknya membela Milana yang pernah dengan mati-matian menyelamatkannya dari bahaya maut.

Selama hidupnya dia takkan dapat melupakan budi kebaikan dara ini, selama hidupnya dia tidak akan dapat melupakan dara itu bukan hanya cantik jelitanya, bukan hanya karena dia puteri Pendekar Super Sakti yang dikaguminya, melainkan karena.... dia tidak mungkin dapat melupakan pribadi dara itu! Dia sendiri sampai menjadi bingung seperti orang mabok. Mabok asmara!






Selama membayangi rombongan itu sampai belasan hari lamanya, akhirnya rombongan berkuda itu tiba di tempat tujuan mereka. Sebuah tempat yang sunyi, merupakan bangunan-bangunan darurat di luar kota yang jauh dari masyarakat ramai, dikurung pagar yang tinggi sehingga tidak tampak dari luar.

Bun Beng menanti sampai keadaan menjadi sunyi dan ternyata di tempat itu telah tinggal puluhan orang sehingga dengan para pendatang itu jumlah mereka mendekati seratus orang yang kesemuanya kelihatan berkepandaian tinggi!

Setelah malam tiba dan cuaca mulai gelap, Bun Beng menyelinap dan mendekati pagar, siap untuk meloncat dan menyelidik ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba dia berjongkok dalam gelap ketika melihat berkelebatnya bayangan meloncati pagar. Gerakan orang itu cukup ringan dan lincah dan sekelebatan Bun Beng melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki bertubuh kurus jangkung, berusia empat puluhan tahun dan tangan kanannya memegang sebatang golok besar.

Bun Beng tidak tahu siapa orang itu akan tetapi dapat menduga bahwa dia itu tentulah bukan anggota rombongan yang tinggal disitu, karena gerakan dan sikapnya seperti seorang pencuri. Diam-diam Bun Beng meloncat keatas pagar dan cepat melayang turun ke sebelah dalam, dari jauh dia membayangi orang bergolok itu.

Benar saja dugaannya. Orang itu kini mendekam di atas wuwungan dan perlahan-lahan membuka genteng! Akan tetapi, karena gerakan orang itu ketika meloncat ke atas wuwungan menimbulkan sedikit suara, tiba-tiba Bun Beng melihat bayangan-bayangan orang meloncat naik ke atas genteng dengan berturut-turut.

Jumlah mereka delapan orang dan Si Pencuri itu telah terkurung. Si Pencuri itu meloncat bangun dan mengamuk. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah. Biarpun gerakan golok pencuri itu cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup kuat akhirnya dia roboh, goloknya terlepas dan dia dihujani pukulan kemudian diringkus, diikat kaki dan tangannya dan dibawa masuk ke dalam pondok.

Bun Beng tidak mau tahu apa yang mereka lakukan terhadap pencuri itu. Dia lebih perlu melakukan penyelidikan keadaan tempat itu. Ternyata tempat itu cukup luas dan sedikitnya ada dua puluh buah pondok darurat yang dibangun secara sederhana akan tetapi cukup kuat. Di sudut terdapat sebuah bangunan besar dan agaknya malam itu mereka berpesta, diseling suara ketawa-ketawa laki-laki dan perempuan.

Hemm, kiranya di tempat itu disediakan pula wanita-wanita untuk menghibur pasukan khusus itu, pikir Bun Beng. Dia memutari bangunan-bangunan itu dan memeriksa ke pekarangan belakang. Di tempat inilah tampak beberapa lidah api bernyala-nyala keluar dari tanah, dan tak jauh dari situ ia melihat sebuah sumur.

Ketika ia menjenguk ke dalam sumur, hidungnya mencium bau keras, bau minyak! Hmm, bukan air yang berada di sumur itu agaknya, melainkan minyak! Benar-benar Bun Beng tidak mengerti dan dia cepat menjauhi sumur karena menjenguk sebentar saja, kepalanya pening dan dadanya sesak. Uap minyak itu beracun agaknya!

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari dalam. Bun Beng menyelinap di tempat gelap dan melihat empat orang menyeret pencuri tadi yang sudah dibelenggu kaki tangannya. Melihat keadaan pencuri itu tentu dia telah disiksa karena matanya bengkak-bengkak dan dia tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali merintih perlahan. Empat orang diikuti oleh belasan orang yang tertawa-tawa geli, seolah-olah mereka hendak menyaksikan pertunjukan yang menarik hati.

Dengan hati ngeri dan sebal, Bun Beng melihat betapa mereka menggantung kaki pencuri sial itu diatas sumur, kepalanya di bawah kakinya di atas, kemudian mengereknya turun sehingga tampak hanya kakinya di atas permukaan bibir sumur, terikat pada tali timba sumur.

Kaki itu meronta-ronta dan talinya bergoyang-goyang sedangkan belasan orang yang mengelilingi sumur itu tertawa bergelak-gelak, kemudian mereka meninggalkan sumur itu sambil tertawa-tawa, kembali ke dalam pondok, dan ada pula yang agaknya hendak menuju ke pondok di sudut dimana terdengar suara wanita bernyanyi-nyanyi dan orang-orang tertawa-tawa.

Bun Beng tidak maju menerjang orang-orang itu karena tidak tahu siapa pencuri itu, sehingga tidak perlu dia meninggalkan keributan di tempat itu hanya untuk membela seorang pencuri yang tidak dikenalnya.

Akan tetapi setelah orang-orang itu pergi Bun Beng cepat meloncat mendekati sumur. Malam telah hampir lewat dan sinar kemerahan telah muncul di timur. Sebelum terang tanah, dia harus cepat keluar dari tempat itu, maka Bun Beng segera menyambar tali timba dan menarik keluar pencuri sial itu.

Orang itu napasnya sudah empas-empis. Bun Beng mengangkatnya keluar dan merebahkannya ke atas tanah, merenggut putus belenggu kaki tangannya. Orang itu membuka matanya yang bengkak-bengkak, tadinya mengira bahwa dia akan disiksa lagi. Akan tetapi ketika melihat seorang pemuda berjongkok di dekatnya dan pemuda itu melepaskan belenggu kaki tangannya, mulutnya bergerak-gerak lirih,

“Persekutuan.... hendak membunuh Kaisar.... membunuh Pangcu....”

Bun Beng mengerutkan alisnya. Hmm, kiranya bukan seorang pencuri, melainkan seorang mata-mata agaknya!

“Engkau anggota perkumpulan apa?”

“Mereka.... menyiksaku.... aku tidak pernah mengaku.... Thian.... Pangcu akan dibunuh.... auugghh....”

Orang itu terkulai, akan tetapi Bun Beng sudah tahu atau dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang anggota Thian-liong-pang, seorang mata-mata Thian-liong-pang yang dapat mencium rahasia persekutuan itu, akan tetapi tertangkap dan terbunuh.

Karena tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menolong orang yang sudah mati itu, Bun Beng lalu meninggalkannya dan menuju ke pagar untuk meloncat ke luar. Akan tetapi dia terlambat karena pada saat itu, terdengar suara orang dan tampak belasan orang keluar dan menuju ke sumur itu sambil membawa ember-ember besar.

Bun Beng tidak jadi lari pergi karena kembali dia tertarik dan ingin mengetahui apa yang hendak dilakukan orang-orang itu dengan ember-ember mereka? Dia melihat ke sekelilingnya dan melihat gentong-gentong besar berada tak jauh dari sumur. Cepat ia lari menghampiri dan memasuki sebuah diantara gentong-gentong kosong itu, bersembunyi di situ dan menggunakan jari tangannya menusuk gentong sehingga berlubang dan ia mengintai dari lubang itu keluar!

“Haiii! Kenapa dia bisa terlepas....?”

“Wah, belenggunya putus semua....”

“Akan tetapi dia sudah mampus!”

“Hemm, orang ini lumayan kuatnya, dapat membebaskan diri dari gantungan. Tentu dia orang terkenal dari Thian-liong-pang, sayang dia berani menyelidiki kita sehingga mati konyol.”

“Dia tentu berusaha melarikan diri, akan tetapi kekuatannya habis setelah mematahkan belenggu kaki tangannya dan mampus.”

Seorang diantara mereka melapor ke dalam dan muncullah seorang laki-laki bertubuh raksasa, bertelanjang dada dan kepalanya gundul akan tetapi mukanya penuh cambang bauk. Di sebelahnya berjalan seorang tinggi kurus yang mukanya pucat kuning, namun sikapnya menunjukkan bahwa dialah pemimpin disitu sedangkan raksasa itu adalah pembantu utamanya.

“Kubur dia di sudut kosong sana!” Terdengar laki-laki tua kurus itu berkata.

Dua orang menggusur mayat itu, kemudian laki-laki muka pucat itu berkata lagi,
“Hari ini kita menimba sepuluh gentong penuh untuk memenuhi permintaan Pangeran Jenghan yang harus dikirim besok. Kemudian semua harus bersiap, karena kita hanya menanti datangnya berita dari Koksu saja untuk segera bergerak ke selatan secara menggelap.”
Setelah kedua orang pemimpin itu pergi, maka belasan orang bekerja menimba minyak dari dalam sumur dan mengisi gentong-gentong kosong yang berjajar. Diam-diam Bun Beng merasa lega karena dia berada di dalam gentong yang ke enam belas sehingga tidak khawatir akan disiram minyak!

Diam-diam dia memperhatikan orang-orang yang menimba minyak campur lumpur itu. Bagaimana dia harus meninggalkan persekutuan ini atau setidaknya mengacaukan tempat itu? Untuk melawan orang banyak itu, kurang lebih seratus orang banyaknya, dia tidak takut, akan tetapi apa gunanya? Orang-orang itu kelihatan pandai, apalagi Si Kurus muka pucat dan Si Raksasa itu, tentu bukan orang-orang sembarangan.

Kalau dia sekarang meloncat ke luar dan melarikan diri, tentu dia bisa lolos dari tempat itu, akan tetapi dia ingin sekali melihat kedatangan utusan Koksu dan mendengar perkembangan selanjutnya dan rombongan orang kuat yang sengaja dikumpulkan di tempat itu. Selain menjadi tempat memusatkan calon pasukan istimewa untuk melawan Thian-liong-pang, juga agaknya mereka itu sekalian berjaga, menjaga sumber minyak!

Untung bahwa Bun Beng tidak menunggu terlalu lama. Sebentar saja, kurang lebih dua tiga jam, sepuluh buah gentong telah penuh dengan minyak dan lumpur, kemudian mereka semua pergi untuk membereskan tubuh yang berlumuran lumpur. Lebih baik kukacau mereka sekarang, kemudian melihat perkembangan lebih jauh, pikir Bun Beng.

Dia belum begitu mengenal minyak yang diambil dari sumur itu, akan tetapi dia tahu bahwa api bernyala kalau bertemu minyak. Melihat di sekitar sumur itu sudah sunyi, Bun Beng meloncat keluar dari gentong, mengambil sebatang kayu kering mencelupkan kayu itu ke dalam gentong yang penuh minyak, kemudian dengan pedang Hok-mo-kiam dia memukul batu di bibir sumur sehingga berpijarlah bunga api yang menyambar kayu itu. Kayu itu bernyala keras seperti yang diduga oleh Bun Beng. Sambil tersenyum Bun Beng lalu melemparkan kayu bernyala itu ke dalam sumur!

“Heiii! Tangkap pengacau!”

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan seorang berpakaian Han menyerang Bun Beng dari belakang dengan pedangnya. Gerakan orang itu cukup tangkas karena dia meloncat dari jarak empat meter, sambil meloncat pedangnya menusuk ke arah punggung Bun Beng dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga besar.

Pada saat itu, Bun Beng sedang berdiri tegak, pedang Hok-mo-kiam masih terhunus dan berada di tangan kanan, agaknya dia tidak tahu akan serangan itu karena dia sedang memandang ke arah sumur dengan terbelalak menyaksikan betapa ada suara gemuruh keluar dari sumur itu disusul lidah-lidah api dan asap hitam yang mengantar bau yang menyesakkan napas.

Akan tetapi, begitu ujung pedang lawan hampir menyentuh punggungnya, Bun Beng menekuk kedua kakinya, membiarkan pedang dan tubuh lawan lewat dan tiba-tiba dia bangkit sambil menggerakkan pedangnya. Terdengar teriakan mengerikan ketika tubuh laki-laki yang terlanjur meloncat dan kini ditambah dorongan Bun Beng itu meluncur masuk ke dalam sumur yang bernyala-nyala!

Bun Beng yang tadinya tersenyum, berubah wajahnya dan memandang terbelalak! Tak disangkanya sama sekali bahwa elakannya mengakibatkan terjadinya hal mengerikan itu! Dia tidak bermaksud untuk melempar penyerangnya itu ke dalam sumur untuk dibakar hidup-hidup!

Teriakan yang amat nyaring menyayat hati itu terdengar oleh banyak orang dan tampaklah berbondong-bondong penghuni asrama itu berlari keluar. Bun Beng tidak mau melarikan diri seperti pencuri karena biarpun dia dikepung, kalau hendak meloloskan diripun tidak akan sukar baginya. Maka dengan tenang dia menyimpan kembali pedangnya dan berdiri tegak menanti kedatangan puluhan orang itu.

Melihat sikap Bun Beng, orang-orang itu menjadi ragu-ragu untuk menyerang. Apalagi karena mereka tidak melihat temannya yang menjerit tadi. Mereka hanya menanti sampai orang kurus bermuka pucat itu muncul bersama pembantu utamanya, Si Gundul. Orang kurus itu adalah seorang Han, akan tetapi suaranya menunjukkan bahwa dia berasal dari utara.

“Siapakah engkau?” Orang itu bertanya sambil memandang Bun Beng dengan penuh perhatian.

“Namaku Gak Bun Beng,” jawab Bun Beng sederhana.

“Mau apa engkau datang kesini? Apakah engkau juga seorang mata-mata Thian-liong-pang?”

Bun Beng menggeleng kepalanya.
“Aku tidak disuruh oleh siapapun juga, juga tidak mewakili siapa-siapa. Aku kebetulan lewat dan ingin tahu apa yang berada di dalam tempat yang penuh rahasia ini. Kiranya terisi orang-orang yang mengadakan persekutuan!”

Semua orang memandang dengan sikap mengancam ketika mendengar itu, akan tetapi Si Tua kurus itu mengangkat tangan menyuruh anak buahnya diam.

“Kulihat engkau masih amat muda akan tetapi sikapmu tenang dan tabah sekali. Orang muda, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian. Kebetulan sekali disini kurang hiburan bagi anak buahku. Hiburan perempuan dan nyanyian sudah membosankan. Kalau diberi hiburan pertandingan silat yang sungguh-sungguh tentu akan menimbulkan kegembiraan.”

“Bagus! Bagus....! Serahkan dia kepadaku, biar kupatahkan batang lehernya!”

“Tidak, kepadaku saja! Aku ingin merobek mulut yang sombong itu!”

“Biarkan aku menghancurkan kepalanya!”

Si Kurus pucat itu kembali mengangkat tangannya menyuruh anak buahnya diam, lalu berkata gagah.

“Kita adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw, mengapa bersikap seganas itu? Tidak, pertandingan ini akan diadakan satu lawan satu dengan adil. Akan tetapi aku ingin sekali tahu, siapakah yang tadi mengeluarkan suara menjerit?”

Tidak ada seorangpun yang tahu.
“Kami sendiripun tidak tahu. Suara itu terdengar dari sini, akan tetapi ketika kami datang, yang tampak hanya pemuda ini seorang diri. Jangan-jangan setan dari mata-mata itu yang....”

“Hemmm, tak patut orang gagah percaya akan tahyul!” Si Kurus membentak. “Tentu ada yang berteriak tadi, terdengarnya seperti teriakan ketakutan. Eh, orang muda she Gak, apakah engkau tahu siapa yang berteriak tadi?”

Bun Beng mengangguk.
“Aku tahu, sebab yang menjerit tadi adalah seorang anak buahmu yang menyerangku dari belakang ketika aku membakar sumur minyak ini.”

Jawaban ini kembali membuat semua orang ribut. Betapa beraninya pemuda ini, sudah membakar sumur, masih mengaku seenaknya dengan begitu tenang!

“Dimana dia sekarang?” Si Kurus bertanya lagi.

“Didalam sana...!” Bun Beng menuding ke arah sumur yang masih bernyala itu.

Kembali suasana menjadi ribut dan Si Kurus terpaksa mendiamkan mereka dengan isyarat tangannya.

“Apakah engkau melemparnya ke dalam sumur?” tanyanya kepada Bun Beng. Suaranya sudah kehilangan ketenangannya karena dikuasai kemarahan.

“Sama sekali tidak. Dia menyerangku dari belakang, agaknya dia terlalu bernafsu untuk membunuhku sehingga ketika aku mengelak, dia terus menyelonong ke dalam sumur.”

Semua orang terbelalak mendengar ini, merasa ngeri akan nasib kawan mereka yang terbakar hidup-hidup. Akan tetapi Si Kurus pucat bersikap tenang.

“Gak Bun Beng, kesalahanmu bertumpuk-tumpuk. Pertama, engkau memasuki tempat terlarang ini tanpa ijin, seperti maling. Kedua engkau berani membakar sumur yang kami jaga ini. Ketiga engkau telah membunuh seorang diantara anak buahku. Menurut patut, engkau harus dibunuh sekarang juga. Akan tetapi, melihat engkau masih begini muda dan mengingat bahwa kami adalah orang-orang gagah yang tidak mau membunuh begitu saja....”

“Kecuali ketika kalian mengeroyok dan menangkap mata-mata Thian-liong-pang itu, ya?” Bun Beng memotong.

“Hemmm, itu lain lagi. Dia adalah anggauta Thian-liong-pang, musuh kami. Sedangkan engkau hanya seorang pemuda bebas yang terlalu sombong dan lancang. Engkau boleh membela nyawamu dalam pertandingan satu lawan satu, tanpa ada pengeroyokan.”

“Hemmm, kalau aku menang aku boleh pergi dengan bebas?”

“Kalau sudah tidak ada yang mampu melawanmu, boleh saja!” kata Si Kurus dan terdengarlah suara orang-orang tertawa bergelak.

Mereka itu tentu saja memandang rendah kepada Bun Beng. Sebagian diantara mereka adalah orang-orang kang-ouw dan liok-lim, dan mereka belum pernah bertemu atau mendengar nama Gak Bun Beng di dunia persilatan.

“Siapa diantara kalian yang berani melawan bocah ini?” Pemimpin kurus itu berseru.

Pertanyaan itu disambut suara sorak-sorai karena hampir semua orang yang berada disitu mengangkat tangan dan mereka seolah-olah hendak berebut menandingi pemuda itu, bukan hanya untuk membalaskan kematian teman mereka, juga ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk memamerkan kepandaian!

“Locianpwe, mengapa menimbulkan banyak ribut dan susah-susah? Agar urusan cepat selesai, suruh pembantu Locianpwe yang seperti raksasa ini maju. Kalau aku menang, berarti mereka yang berteriak-teriak itu tentu takkan ada yang berani maju lagi, kalau aku kalah, yah, terserah!”

Si Muka pucat ini agaknya senang sekali disebut “locianpwe” oleh Bun Beng, maka kembali dia mengangkat tangan menyuruh orang-orangnya diam, kemudian berkata,

“Ucapan bocah ini benar juga, cukup masuk akal dan bisa diterima. Akan tetapi, sungguh membikin malu aku dan pendekar Gozan dari Mongol kalau dia harus maju sendiri melayanimu, bocah she Gak. Ketahuilah bahwa pendekar Gozan ini adalah seorang ahli silat dan ahli gulat nomor satu di Mongol, dan merupakan orang ke dua sesudah aku di tempat ini. Akan tetapi karena engkau sendiri yang minta, dan memang ada benarnya juga agar tidak membuang waktu, biarlah aku menyuruh orang ke tiga maju melayanimu beberapa jurus. Agar kau ketahui sebelumnya bahwa pertandingan ini merupakan pibu (adu kepandaian) sehingga terluka atau mati bukan merupakan persoalan yang harus disesalkan.”

“Aku mengerti, Locianpwe. Kurasa mati di tangan orang ke tiga di tempat seperti ini cukup terhormat!”

“Ha-ha, bagus sekali! Engkau seorang pemuda yang berani, sayang engkau bukan anak buahku. He, Thai-lek-gu (Kerbau Bertenaga Raksasa), majulah dan harap kau suka mewakili aku melayani Gak Bun Beng ini!” kata Si Kepala asrama yang kurus itu.

Dari dalam rombongan orang-orang itu muncullah seorang laki-laki yang membuat Bun Beng hampir tertawa geli karena anehnya. Orang ini tubuhnya pendek sekali, akan tetapi amat besar dan gendut sehingga seperti bola yang besar. Perutnya besar bulat sehingga bajunya di bagian perut tidak dapat menutupinya dengan baik dan tampaklah kulit perut putih halus membayang di antara kancing baju yang terlepas.

Kepalanya juga bulat dengan sepasang mata kecil sipit. Kakinya pendek buntek, besar seperti kaki gajah, demikian kedua lengannya besar akan tetapi panjang sekali sampai ke lutut sehingga kalau dia membungkuk sedikit saja, kedua tangannya seperti menyentuh tanah dan membuat kedua lengan itu mirip sepasang kaki depan binatang kaki empat. Pantas saja dia dijuluki Kerbau Bertenaga Raksasa, karena memang dia mirip seekor kerbau dengan perutnya yang bergantung ke bawah itu.

Thai-lek-gu langsung menghadapi Bun Beng, matanya yang sipit itu agak terbuka dan terdengar suaranya yang kecil halus, jauh bedanya dengan tubuhnya yang bulat itu.

“Orang muda, sungguh sialan sekali engkau diharuskan bertanding melawan aku. Apakah tidak lebih baik engkau cabut pedangmu itu dan memenggal lehermu sendiri supaya lebih cepat mati dan tidak tersiksa lagi?”

Ucapan ini disambut suara tertawa di sana-sini karena semua orang mengerti bahwa ucapan itu merupakan ejekan.

Bun Beng tersenyum.
“Aku heran sekali mengapa engkau dijuluki Thai-lek--gu, kalau melihat matamu yang kecil dan sikapmu yang malas, engkau lebih tepat dijuluki Thai-lek-ti (Babi Tenaga Raksasa), sungguhpun aku masih menyangsikan sekali akan tenagamu.”

Kembali terdengar suara ketawa, dan sekali ini Thai-lek-gu yang menjadi bahan tertawa sehingga dia marah sekali.

“Bocah bermulut lancang! Kematian sudah di depan hidung engkau masih berani kurang ajar terhadap aku?”

“Memang kematian sudah di depan hidung, akan tetapi entah kematian siapa dan hidung siapa!” Bun Beng menggerak-gerakkan cuping hidungnya, “Menurut hidungku, aku tidak mencium kematianku, akan tetapi ada bau-bau tidak enak datang dari tempat kau berdiri!”
Kembali orang-orang tertawa. si Gendut itu memang wataknya kasar dan sombong, suka mengejek dan mempermainkan teman-temannya yang tidak berani melawan, maka kini mendengar dia diolok-olok oleh pemuda asing itu, mereka menjadi girang dan tertawa geli, biarpun mereka semua maklum bahwa tentu pemuda itu akan tewas oleh Si Gendut yang lihai.

Karena melihat pemuda itu menggerak-gerakkan cuping hidungnya, Thai-lek-gu otomatis juga mencium-cium, akan tetapi karena hidungnya pesek hampir tidak ada ujungnya, maka tentu saja tidak dapat digerak-gerakkan, hanya lubangnya saja yang menjadi makin lebar.

Saking marahnya, dia tidak dapat berkata apa-apa lagi dan hanya mengeluarkan suara menggereng kemudian secara tiba-tiba dia menyerang Bun Beng. Biarpun tubuhnya gendut sekali akan tetapi ternyata gerakannya cepat ketika dia menubruk dengan kedua lengan yang panjang itu terpentang, kemudian menyergap dari kanan kiri hendak merangkul tubuh Bun Beng yang kelihatan kecil itu untuk ditekuk-tekuk dan dipatah-patahkan semua tulangnya!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar