FB

FB


Ads

Kamis, 22 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 075

"Ahhh, siapa sangka! Di tempat ini aku baru mendapatkan penerangan batin!"

"Apa.... apa maksudmu, Paman?"

"Aku tidak hanya menemukan jawaban dari teka-teki Maharya saja, melainkan jawaban dari segala macam pertanyaan di dunia ini! Aihhh, semuanya karena engkau yang mulai menyalakan api penerangan itu, Alan. Biarpun tidak kau sengaja, karena engkau polos, wajar, karena engkau tidak tahu apa-apa itulah yang menyalakan api penerangan! Tahukah engkau? Siapa yang sengsara, yang tidak bahagia, maka dia merindukan kebahagiaan, dia mengejar kebahagiaan. Setelah dia merasa mendapatkan kebahagiaan, maka kebahagiaan yang didapatkannya itu hanyalah kebahagiaan palsu hasil khayalan pikirannya belaka, tidak akan kekal. Orang bahagia tidak akan merasakan kebahagiaannya sudah menjadi satu. Kalau terpisah, berarti tidak bahagia, dan kebahagiaan hanya menjadi renungan saja! Ha-ha-ha! Dan semua pelajaran itu.... ha-ha-ha, semua itu sungguh menggelikan. Hanya permainan khayal, lelucon hidup!"

Milana memandang wajah ayahnya, mula-mula khawatir karena baru sekarang dia melihat dan mendengar ayahnya itu tertawa bergelak. Akan tetapi setelah melihat jelas bahwa suara ketawa itu sewajarnya, dia ikut merasa gembira walaupun bingung juga karena tidak mengerti.

"Bagaimana, Paman? Apa hubungannya dengan teka-teki Maharya?"

"Sudah terjawab semua, Alan! Kebenaran bukanlah kebenaran kalau dinyatakan oleh mulut dan pikiran! Kebahagiaan bukanlah kebahagiaan kalau dinyatakan oleh pikiran. Aku Sejatipun bukan Aku Sejati kalau dinyatakan oleh pikiran. Semua adalah khayalan pikiran karena pelajaran-pelajaran yang pernah didengar atau dilihatnya meniru-niru dan mengulang-ulang barang lama pusaka usang!"

"Wah, sekarang akulah yang menjadi bingung, Paman!"

Milana berseru sambil memijit-mijit pelipis kepalanya karena dia menjadi pening mengikuti semua kata-kata ayahnya.

"Aku sendiripun tidak mudah membebaskan semua yang menempel di dalam benakku, Alan. Pikiran merupakan kertas putih bersih dan kalau sudah terlalu penuh dengan coretan-coretan beraneka warna, tidaklah mudah untuk membersihkannya, walaupun bukan tidak mungkin. Dan selama kertas itu tidak kembali putih bersih dan kosong seperti semula, maka selalu akan menjadi kabur oleh bekas-bekas goresan, bahkan akan diselundupi goresan-goresan baru. Aihhh, kini aku mengerti mengapa kaum budiman di jaman dahulu, memuji dan mengagumi kehidupan anak-anak yang bagaikan kertas putih belum ternoda oleh goresan-goresan kotor!"

Tiba-tiba dari bawah terdengar suara Bu-tek Siauw-jin.
"Heiii! Pendekar Super Sakti, Suma-taihiap! Lapat-lapat aku mendengar engkau bilang sudah mendapatkan jawaban. Betulkah itu? Kalau betul, harap segera memberitahukan kepadaku, jangan menjual mahal!"

Suma Han tersenyum, lalu menjawab,
"Bu-tek Siauw-jin, temuilah Maharya dan jawablah bahwa Aku Sejati yang dia tanyakan itu adalah khayalan pikiran alias palsu!"

Hening sampai lama sekali di bawah karena mendengar jawaban itu, Bu-tek Siauw-jin menjadi bingung dan terheran-heran, memeras otaknya memikirkan jawaban yang dianggapnya aneh itu. Kurang lebih seperempat jam kemudian, barulah terdengar suaranya.

"Suma taihiap, apakah engkau sengaja memperolok-olokkan aku seorang tua? Jawaban itu bukanlah jawaban!"

"Mengapa bukan jawaban? Itulah jawabannya yang paling tepat. Kalau engkau menjawab dengan dasar filsafat sesuatu agama, tentu akan dibantahnya dengan dasar filsafat lain. Akan tetapi jawaban ini berdasarkan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Siapa yang dapat membantah kenyataan? Dengarlah baik-baik, Bu-tek Siauw-jin. Dia bertanya apakah yang dinamakan Aku Sejati, bukan? Nah, jawabannya yang dinamakan Aku Sejati adalah bukan Aku Sejati, melainkan khayalan pikiran alias palsu!"

"Kenapa begitu?"

"Karena, yang dapat dinamakan itu hanyalah Aku Sejati atas dasar pelajaran yang pernah didengar dari seorang guru atau dari kitab, sehingga menciptakan Aku Sejati khayalan pikiran. Jadi jelas bahwa yang dinamakan Aku Sejati adalah bayangan khayalan pikiran, palsu."

"Hemm, seperti jawaban akal bulus, akan tetapi dapat kurasakan kebenarannya. Bagaimana kalau dia tanya, ada atau tidakkah Aku Sejati?"

"Bu-tek Siauw-jin, harap jangan bodoh. Yang ditanyakan adalah apa yang dinamakan Aku Sejati, bukan mempersoalkan ada atau tidaknya. Ada atau tidak bukanlah persoalan manusia, bukan persoalan hidup."

"Kau benar aku salah. Aku takkan mau menjawab kalau dia tanyakan itu, dan akan kutempiling kepalanya kalau dia mengajukan lain pertanyaan karena yang dijanjikan hanya satu ini. Akan tetapi, Suma taihiap, diantara kita sendiri, apakah kau percaya akan adanya Aku Sejati?"

"Bu-tek Siauw-jin, percaya atau tidak percaya hanyalah merupakan kebodohan. Kalau kita ingin mengerti, kita harus melakukan penyelidikan dengan penuh perhatian dan kesungguhan. Setelah kita mengerti, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak. Setelah kita melihat bahwa matahari terbit dari timur, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak, bukan? Setelah kita merasakan sendiri bahwa jantung kita berdenyut, tidak ada persoalan lagi apakah kita percaya atau tidak akan hal itu.

Percaya atau tidak hanya timbul kalau kita belum mengerti, dan tidak ada gunanya sama sekali. Selama kita didorong keinginan mengerti apakah ada Aku Sejati, selama kita didorong keinginan mencarinya, kita tidak akan pernah mengerti tentang Aku Sejati, atau Kebahagiaan, atau Cinta Kasih, atau sebutan suci lain lagi. Mari kita sama-sama menyelidikinya, Bu-tek Siauw-jin, dengan mengenal diri sendiri, mengenal nafsu-nafsu kita, mengawasi kesemuanya itu dan menyadari apa yang kita hadapi saat ini. Bebas dan bersihnya pikiran dari masa lampau dan semua goresannya melenyapkan sang aku yang selalu menjadi pusat segala pemikiran, dan pergerakan manusia sehingga timbullah pertentangan-pertentangan karena perpisahan dan pemecahan-pemecahan antara aku dan engkau dan dia dan mereka!"

"Wah-wah-wah! Aku jadi ingin sekali melihat wajahmu, Suma taihiap! Belum pernah selama hidupku aku mendengar vang berbicara seperti itu."

"Akupun baru saja menemukan diriku sendiri. Akan tetapi cukuplah semua itu, sekarang mari kita menjumpai Koksu dan para pembantunya."

"Kita?"

"Benar, karena aku akan turun ke bawah, akan kujebolkan lantai ini. Hati-hati di bawah sana, Siauw-jin dan Kwi Hong, jangan tertimpa pecahan lantai!"

Terdengar suara ledakan keras ketika Suma Han dengan seluruh tenaganya menerjang lantai dan lantai batu itu ambrol! Suma Han memegang lengan Milana, dan membawa dara itu meloncat turun ke dalam kamar tahanan Kwi Hong dan Bu-tek Siauw-jin.






Ketika Kwi Hong melihat Milana, dia terkejut sekali dan baru sekarang dia mengenal gadis itu setelah gadis itu muncul, bersama pamannya.

"Kau.... kau.... Milana....!" teriaknya.

Milana juga terkejut. Setelah Kwi Hong mengenalnya, mana mungkin dia bisa mungkir lagi?
"Kwi Hong....!" katanya dan ia terisak.

"Milana....? Engkau.... engkau.... Alan.... engkau Milana....?" Suma Han merasa seperti disambar petir ketika ia membalikkan tubuh dan memandang wajah Milana. "Aihh, betapa bodohku! Dan ibumu.... Nirahai.... dia.... dia...."

Milana masih menangis, dia mengangguk dan terdengar isaknya.
"Be.... benar Ayah....!"

Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, tangannya menangkap lengan Milana dan tiba-tiba dia mencelat ke arah pintu. Terdengar suara ledakan keras lagi, pintu kamar tahanan Bu-tek Siauw-jin pecah berantakan dan tubuh Pendekar Super Sakti itu lenyap bersama Milana.

"Paman....!"

Kwi Hong berseru, akan tetapi sia-sia saja karena pamannya sudah tidak berada di situ lagi. Terdengar teriakan-teriakan di luar dan disusul suara berdebukan robohnya para pengawal yang menjaga ketika mereka itu secara berani mati mencoba untuk menghadapi larinya Pendekar Super Sakti.

Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang.
"Waaah, aku kecelik! Paman atau gurumu itu sehebat itu, dan engkau masih berguru kepadaku. Benar-benar aku merasa malu sekali!" Dia terus menggeleng-geleng kepala dan mulutnya berkecap-kecap kagum, "tsk-tsk-tsk!" tiada hentinya.

"Akan tetapi ilmu yang kau ajarkan kepadaku juga hebat, Suhu," bantah Kwi Hong.

"Sudahlah, mari kita keluar." Kakek itu lalu monyongkan mulutnya, berteriak nyaring sekali, "Haiii! Maharya pendeta palsu! Hayo kesini dan terima jawabankuuuu....!"

Bersama Kwi Hong, kakek itu melangkah keluar melalui daun pintu baja yang sudah ambrol, berjalan seenaknya dan tertawa ha-ha heh-heh seperti orang keluar dari kamar tidurnya sendiri saja.

"Ayah.... harap jangan marah, Ayah.... ampunkan aku, Ayah.... dan jangan marah kepada Ibu.... hu-hu-huuuk...."

Milana yang dibawa lari ayahnya yang mengamuk keluar, merobohkan siapa saja yang menghalanginya sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota raja, menangis di sepanjang jalan.

Suma Han berhenti, mukanya merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi ketika dia menoleh dan memandang anaknya, dia terisak dan memeluk Milana, mendekap kepala puterinya itu di dadanya dan mengelus-elus rambut yang halus itu.

"Milana.... ah, anakku.... aku seperti buta tidak mengenalmu....! Milana, betapa kejam hati ibumu, mengapa merendahkan diri seperti itu, menjadi Ketua Thian-liong-pang, melakukan hal-hal keji dan menggegerkan dunia kang-ouw? Mengapa dia begitu kejam menyeret engkau, anakku, ke dalam kejahatan seperti itu? Di mana dia? Di mana Nirahai? Aku harus bertemu dengannya dan menegurnya!"

"Ayah, jangan memarahi Ibu...."

"Aku akan mengajaknya bicara dan engkau sebagai anak boleh mendengarkan dan mempertimbangkan siapa yang keliru dan siapa yang benar dalam hal ini."

"Ayah, aku tidak tahu siapa yang lebih kejam, Ibu atau engkau! Baiklah, kalau Ayah ingin bertemu dengan Ibu. Rahasianya telah terbuka, bukan karena salahku. Mari, Ibu berada di cabang kami dekat kota raja kalau aku tidak salah duga!"

Setelah berkata demikian, Milana lalu berlari cepat diikuti ayahnya menuju ke markas Thian-liong-pang dekat kota raja yang baru saja didirikan setelah Thian-liong-pang membantu pemerintah.

Para anggauta Thian-liong-pang terkejut setengah mati ketika mereka melihat Pendekar Super Sakti datang mengunjungi perkumpulan mereka. Mereka yang belum pernah melihat pendekar ini, memandang dengan mata terbelalak ketika teman-temannya yang pernah bertemu dengan Suma Han memberi tahu dengan bisik-bisik bahwa itulah Pendekar Siluman To-cu Pulau Es yang amat terkenal itu.

Andaikata Suma Han datang seorang diri, biarpun jerih, agaknya mereka masih akan menghadangnya, sedikitnya untuk bertanya dan menahannya di luar sebelum mereka melapor kepada ketua mereka.

Akan tetapi karena kedatangan pendekar ini bersama Milana, tidak ada seorangpun anggauta Thian-liong-pang yang berani mencegah mereka berdua memasuki gedung. Bahkan ketika mereka tiba di ruangan dalam, dua orang tokoh Thian-liong-pang, Sai-cu Lo-mo Toan Kok, dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, menyambut mereka dengan muka pucat melongo.

"Siocia, apa artinya ini....?" Sai-cu Lo-mo berseru kaget sambil mencelat bangun dari kursinya ketika melihat Suma Han.

"Nona, tahan dulu....!"

Lui-hong Sin-ciang Chie Kang juga berseru dengan ragu-ragu dan bingung karena tentu saja dia tidak berani lancang turun tangan terhadap To-cu Pulau Es yang sudah diketahui kelihaiannya itu.

Milana membalikkan tubuh menghadapi mereka berdua.
"Harap kedua kakek suka mundur dan jangan mencampuri urusan kami. Ini adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan Thian-liong-pang. Kakek Bhok, dimana Ibu?"

"Di dalam taman," jawab Sai-cu Lo-mo yang memegang tangan kawannya dan memberi isarat agar jangan bergerak ketika dua orang itu pergi meninggalkan ruangan itu.

Sai-cu Lo-mo menjadi pucat wajahnya. Hanya dia seoranglah yang sudah diberi tahu oleh ketua mereka bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti, yaitu ketika dia dahulu melamar dara itu untuk cucu keponakannya, Gak Bun Beng. Dan kini, pendekar itu, suami Ketua Thian-liong-pang, telah datang dan agaknya rahasia ketua mereka telah terbuka! Dia dapat membayangkan betapa hebatnya peristiwa ini, akan tetapi karena maklum bahwa urusan itu adalah urusan keluarga, maka dia menarik tangan Chie Kang dan berkata,
"Chie-sute, mari kita ke depan, jangan mencampuri urusan itu. Pangcu tentu akan membunuh kita kalau kita mencampurinya."

"Eh, apa yang terjadi, Suheng?"

"Sssstt, diamlah dan mari kita pergi ke depan saja."

Suma Han yang masih panas isi dadanya itu tidak pernah bicara, hanya mengikuti Milana yang sudah lari ke belakang gedung memasuki taman yang luas, di pinggir sebuah anak sungai yang airnya mengalir tenang.

Tempat ini adalah pemberian dari Koksu sebagai hadiah kepada Thian-liong-pang dan merupakan cabang yang terbesar karena dari sinilah dipusatkan kekuatan Thian-liong-pang yang membantu pemerintah membasmi para pemberontak yang terdiri dari orang-orang kang-ouw.

Tiba-tiba Milana berhenti dan terisak perlahan, mukanya membuat gerakan ke depan untuk menunjukkan kepada ayahnya. Suma Han sudah melihat wanita berkerudung yang duduk di bawah pohon di tepi anak sungai, kelihatan melamun di tempat sunyi itu.

Seketika kemarahannya membuyar seperti awan tipis ditiup angin ketika ia melihat wanita berkerudung itu duduk bersunyi seorang diri seperti itu. Kini dia mengenal betul bentuk tubuh Nirahai di balik pakaian dan kerudung itu, biarpun mereka telah saling berpisah lama sekali.

"Nirahai....!"

Suara Suma Han gemetar dan kaki tunggalnya menggigil ketika dia mencelat ke dekat wanita itu dan berdiri dalam jarak tiga meter. Wanita berkerudung itu memang Ketua Thian-liong-pang, Nirahai. Dia mencelat berdiri sambil membalikkan tubuh, terkejut seperti disambar petir.

"Han Han....!"

Sepasang mata di balik kerudung itu memandang bingung, akan tetapi dia melihat Milana menangis tak jauh dari situ, mengertilah dia bahwa rahasia telah terbuka oleh Milana. Sekali renggut saja dia telah melepas kerudungnya dan Suma Han terpesona melihat wajah isterinya itu masih cantik jelita seperti dulu, masih seperti ketika dia bertemu dengan Nirahai pada waktu Milana berusia tujuh-delapan tahun yang lalu, bahkan masih seperti waktu masih gadis dahulu, seolah-olah baru kemarin mereka saling berpisah!

"Kau.... kau mau apa datang kesini....?"

Nirahai bertanya, suaranya juga gemetar dan kedua matanya seperti sepasang mata kelinci ketakutan, pelupuk matanya bergerak-gerak, bibirnya dan cuping hidungnya bergerak seperti hendak menahan tangis.

"Nirahai!"

Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya penuh kemarahan karena dia sudah marah lagi mengingat betapa isterinya telah menjadi Ketua Thian-liong-pang.

"Jadi engkaukah Ketua Thian-liong-pang yang telah melakukan segala macam perbuatan keji dan rendah itu?"

Kalau tadinya Nirahai gemetar dan pucat pandang matanya sayu dan dia seperti setangkai kembang yang hampir layu dan kekeringan, haus akan siraman cinta kasih, mendengar ucapan Suma Han itu tiba-tiba wajahnya menjadi kemerahan, pandang matanya berapi dan tubuhnya berdiri tegak, dada membusung, dagu terangkat dan terdengar ia berkata dengan suara dingin tegas keras, seperti biasanya suara Ketua Thian-liong-pang.

"Benar! Memang aku telah melakukan itu semua dan tahukah engkau, Suma Han? Seperti telah kukatakan padamu dahulu, semua itu kulakukan dengan sengaja untuk menantangmu bertanding! Majulah, Suma Han Majikan Pulau Es yang sombong dan lawanlah Ketua Thian-liong-pang sampai seorang diantara kita menggeletak tak bernyawa di tempat ini!"

Setelah berkata demikian, Nirahai menggerakkan tangan dan kerudungnya telah menutup mukanya kembali. Dia berdiri dan bertolak pinggang, sepasang mata dari balik kerudung seolah-olah mengeluarkan sinar berapi yang ditujukan penuh kebencian ke arah muka Suma Han.

"Nirahai! Aku tidak peduli untuk apa kau lakukan itu semua, tidak peduli untuk menantang aku atau siapa juga. Akan tetapi, dengan perbuatanmu yang tidak patut itu engkau telah menyeret anak kita Milana ke dalam pecomberan! Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu mementingkan perasaan hatimu sendiri, tidak ingat sama sekali akan kepentingan anak kita!"

"Cukup!"

Nirahai membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas tanah. Pohon di sebelahnya tergetar dan banyak daunnya rontok oleh getaran itu. Kemudian telunjuk kirinya menuding ke arah muka Suma Han dan dia berkata,

"Tidak perlu kau menyebut-nyebut anak kita! Tengoklah tengkukmu sendiri dan bercerminlah! Engkau menyalahkan aku, akan tetapi semenjak Milana kulahirkan, pernahkah engkau datang mencarinya? Pernahkah engkau sebagai ayahnya menimang anakmu itu satu kali saja? Engkau melupakan anak kita, engkau hidup dengan angkuh dan sombong sebagai raja di Pulau Es. Sang Pendekar Super Sakti yang bertahta di angkasa, begitu tinggi, begitu sakti seperti dewa! Sekarang setelah Pulau Es hancur, engkau pura-pura mencari anakmu, pura-pura datang mau menyalahkan aku?"

"Nirahai! Engkau tahu dan yakin aku tidak seperti itu! Biarpun aku sekarang sudah tidak punya apa-apa, kalau engkau mau, kalau engkau sudi, bersama Milana, marilah ikut bersamaku, sebagai isteriku yang tercinta, marilah kita melanjutkan sisa hidup ini untuk mendidik anak kita."

"Tidak sudi! Berulang kali engkau hendak membujuk rayu! Laki-laki pengecut!"

"Nirahai, engkau tetap keras kepala seperti dahulu! Engkau bahkan kembali menjadi algojo membunuh orang-orang gagah dengan dalih menindas pemberontakan. Semua ini tentu gara-gara bujukan Bhong Koksu. Baik, sekarang juga aku akan menghancurkan dia, membasmi Koksu berikut semua kaki tangannya. Selamat tinggal, Nirahai!"

Dengan wajah pucat dan mata terbelalak penuh dengan sakit hati, Suma Han membalikkan tubuh dan berloncatan pergi.

"Ayaaaahhh....! Ayaaahh.... tungguuuu....!"

Milana menjerit dan meloncat lalu lari mengejar, tidak mempedulikan ibunya yang kini tidak berdiri tegak lagi melainkan terhuyung ke belakang dan berpegang pada batang pohon sambil menangis! Mendengar jerit anaknya, Suma Han menghentikan loncatannya akan tetapi ia tetap berdiri tegak, tidak menoleh.

"Ayahh....!" Milana menubruk kaki ayahnya yang tinggal satu itu, menangis tersedu-sedu. "Ayah, mengapa Ayah begini kejam? Ibu sudah banyak menderita karena Ayah. Dan lupakah Ayah akan kesadaran Ayah tadi di dalam tahanan? Mengapa Ayah menurutkan nafsu hati yang terdorong oleh ingatan? Apakah Ayah kembali hendak memasuki alam penghidupan seperti boneka, dipermainkan oleh angan-angan dan pikiran sendiri yang palsu? Ayahhh....!"

Lemas seluruh tubuh Suma Han mendengar ini. Dia menghela napas panjang dan berkata lirih,
"Anakku.... engkau jauh lebih bersih daripada aku atau ibumu, aku.... aku hanya manusia lemah.... manusia canggung yang tak tahu lagi apa yang akan kulakukan.... aku tidak hanya cacad lahiriah, akan tetapi juga cacad batiniah, lemah dan canggung. Mungkin ibumu lebih benar, biarkan aku pergi dulu, Milana."

"Ayaaahhh....!" Milana menjerit, akan tetapi Suma Han sudah melesat jauh dan lenyap dari situ.

"Ibuuu....!"

Milana yang menoleh ke arah ibunya, terkejut melihat ibunya terhuyung-huyung dan hampir roboh terguling. Cepat ia lari menghampiri, memeluknya dan kedua orang ibu dan anak ini bertangis-tangisan.

"Ibu, mengapa kita menjadi begini?"

Nirahai memeluk puterinya, menahan isaknya.
"Entahlah, anakku.... entahlah.... aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi begini kalau bertemu dengan ayahmu."

"Ibu mencinta Ayah, aku yakin akan hal ini."

"Tidak ada manusia lain yang kucinta melainkan engkau dan ayahmu. Akan tetapi dia sudah menyakiti hatiku, dan satu-satunya jalan untuk memperbaiki hatiku yang rusak hanya...."

"Hanya bagaimana, Ibu?"

"Biar dia tahu sendiri. Engkau tentu akan membuka rahasia hatiku, seperti telah kau buka rahasia kerudungku kepadanya."

"Ah, tidak sama sekali, Ibu. Karena pertemuan kami dengan Kwi Hong di dalam kamar tahanan di gedung Koksulah yang membuat rahasia itu terbuka!"

"Di kamar tahanan gedung Koksu?"

Nirahai menghentikan isaknya, memandang puterinya dengan heran. Milana lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia diculik oleh ayah kandungnya sendiri, menceritakan betapa baik ayah kandungnya itu, betapa hampir saja dia terculik Wan Keng In kalau tidak ada ayahnya yang menolong, kemudian tentang pengintaiannya ke gedung Koksu.

"Ibu, mereka itu hendak membunuhmu! Persekutuan dengan Thian-liong-pang yang diadakan oleh Koksu itu sebetulya hanya hendak mencelakakan Ibu, karena Koksu dan kaki tangannya mempunyai rencana pemberontakan dan khawatir kalau-kalau Ibu membela kerajaan."

"Apa....?"

Keharuan dan kedukaan hati Nirahai lenyap tertutup oleh keheranan dan kemarahannya mendengar ini. Milana menceritakan sejelasnya akan semua percakapan yang ia curi di dalam ruangan istana Bhong Ji Kun.

Kemarahan Nirahai memuncak.
"Si keparat Bhong Ji Kun! Manusia seperti itu harus dibunuh, dia berbahaya bagi kerajaan!"

Nirahai meloncat bangun, semua kelemahan akibat keharuan dan kedukaan sudah lenyap dan semangatnya bernyala-nyala kembali sebagai Ketua Thian-liong-pang yang tegas!

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan muncullah Tang Wi Siang bersama anak buahnya dengan langkah terhuyung-huyung, kemudian mereka semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nirahai. Juga Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang ikut memasuki taman, dan dengan kepala tunduk Sai-cu Lo-mo berkata,

"Maaf, Pangcu. Saya sudah melarang mereka masuk, akan tetapi karena mereka terluka parah dan perlu segera menghadap Pangcu."

Nirahai mengangkat tangan ke atas.
"Tidak mengapa, Lo-mo. Eh, Wi Siang, apa yang telah terjadi?"

Dengan suara tersendat-sendat Tang Wi Siang yang biasanya gagah itu menceritakan tentang perbuatan Wan Keng In yang melukai mereka semua di dalam hutan.

"Kami tidak mampu melawannya, Pangcu. Dia lihai bukan main, iblis cilik Pulau Neraka itu. Dia sengaja memberi pukulan beracun pada punggung kami dan menyuruh kami menghadap Pangcu. Dia.... dia.... mengajukan pinangan kepada Nona Milana.... kalau dalam waktu sebulan Pangcu tidak mengumumkan perjodohan antara Nona Milana dan Wan Keng In, dia datang membasmi Thian-liong-pang.!"

"Bresss! Krraaaakkk!"

Pohon di samping Ketua Thian-liong-pang itu tumbang oleh pukulan Nirahai yang menjadi marah bukan main.

"Bangsat cilik! Dia menggunakan nama Pulau Neraka untuk menghina Thian-liong-pang? Bangsat itu harus mampus di tanganku!"

"Harap Pangcu suka menaruh kasihan kepada Tang Toanio dan para anak buah yang terluka parah," tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata.

Nirahai meghampiri seorang anggauta Thian-liong-pang yang berlutut di depannya, merobek bajunya dan dia terkejut melihat tapak tiga jari tangan merah di punggung orang itu.

"Apakah semua terluka seperti ini?" tanyanya kepada Wi Siang.

Tang Wi Siang mengangguk.
"Dia bilang bahwa dalam satu bulan kami akan mati, kecuali kalau Pangcu menerima pinangannya, dia akan datang menyembuhkan kami, demikianlah pesannya."

"Hemm, si keparat!"

Nirahai memaki dan dia lalu memeriksa luka yang kelihatannya tidak hebat itu, hanya merupakan "cap" merah dari tiga buah jari tangan. Ia mencoba dengan menyalurkan sin-kang, telapak tangannya ditempelkan di punggung untuk mengusir luka pukulan beracun itu. Namun hasilnya sia-sia.

"Hemm, pukulan beracun ini amat aneh dan aku tidak mengenal racun apa yang terkandung dalam hawa pukulan. Lo-mo, ambilkan pisau perak di kamarku."

Sai-cu Lo-mo cepat pergi dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sebatang pisau tajam meruncing terbuat daripada perak. Nirahai menggerakkan ujung pisaunya menggurat tanda tapak jari tangan di punggung orang itu yang menggigit bibir menahan rasa nyeri agar tidak menjerit.

"Aihh....!"

Nirahai berseru kaget. Pisaunya menjadi hitam seperti dibakar dan tanda guratan pisau itu memanjang ke bawah dan menjadi merah pula seperti tanda tapak jari itu. Tiba-tiba orang itu meronta, dan roboh bergulingan, berkelojotan dan merintih perlahan, kemudian tak bergerak sama sekali, dan ketika Nirahai memeriksanya, ternyata dia telah mati! Tentu saja semua orang menjadi kaget sekali, terutama Tang Wi Siang dan teman-temannya yang terluka. Wi Siang yang berlutut itu maju mendekati ketuanya dan berkata,

"Pangcu, harap Pangcu bunuh saja saya dengan sekali pukul. Pukulan beracun ini agaknya hanya dapat diobati oleh iblis cilik itu, dan saya lebih baik mati daripada Nona Milana diperisteri olehnya. Daripada menanggung derita sebulan lamanya, biarlah sekarang saja Pangcu membunuh saya."

Nirahai mengerutkan alisnya.
"Jangan putus harapan, Wi Siang. Aku akan mencarikan obatnya. Waktu sebulan masih lama."





Tidak ada komentar:

Posting Komentar