FB

FB


Ads

Kamis, 22 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 074

"Suhu....!"

Kwi Hong menyatakan keraguannya dengan pandang mata. Sungguh amat bodoh memasuki istana itu, sama dengan memasuki guha harimau. Akan tetapi gurunya tersenyum lebar dan berkata,

"Jangan ragu-ragu, masuk saja. Hendak kulihat apa yang akan dikeluarkan dari perut Maharya!"

Bagai seorang pahlawan yang pulang dari medan perang membawa kemenangan, Bu-tek Siauw-jin berjalan dengan penuh gaya, dadanya diangkat membusung, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum-senyum dan matanya memandang ke kanan kiri! Akan tetapi Kwi Hong berjalan dengan hati-hati, menunduk dan sepasang matanya yang indah mengerling ke kanan kiri, siap siaga menghadapi penyerangan gelap atau jebakan musuh.

Koksu kini mengerti bahwa Maharya hendak menundukkan kakek pendek itu secara halus, maka diapun diam saja, hanya diam-diam dia memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan persiapan dan mengerahkan pasukan untuk menjaga dan mengurung.

Adapun Maharya diam-diam memperhatikan Bu-tek Siauw-jin. Puluhan tahun yang lalu dia memang pernah bertemu dengan Bu-tek Siauw-jin di lereng Pegunungan Himalaya yang tinggi dan kakek ini dahulu hanya mengaku berjuluk Siauw-jin saja, sebuah "julukan" yang amat aneh dan kiranya orang sedunia, apalagi seorang tokoh kang-ouw yang berilmu, tidak ada yang sudi menggunakannya karena Siauw-jin berarti manusia rendah budi! Dan orang pendek itu sejak dahulu memang berwatak ugal-ugalan, namun penuh rahasia dan memiliki ilmu yang aneh-aneh.

Memang Bu-tek Siauw-jin, tokoh atau datuk kedua Pulau Neraka ini amat berbeda dengan suhengnya, Cui-beng Koai-ong datuk pertama Pulau Neraka. Kalau Cui-beng Koai-ong selalu menyembunyikan diri, lebih banyak berdekatan dengan mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia daripada dengan manusia hidup dan mencari ilmu-ilmu hitam di dalam tanah-tanah kuburan, sebaliknya Bu-tek Siauw-jin ini selain mencari ilmu-ilmu hitam di kuburan, juga suka melakukan perantauan tanpa tujuan dengan menggunakan nama samaran Siauw-jin dan tak pernah mengaku bahwa dia datang dari Pulau Neraka. Karena itu, dia telah merantau sampai jauh ke barat, melalui Himalaya, Tibet, sampai ke India dan Nepal.

Akan tetapi namanya tidak terkenal dan dia hanya dikenal oleh orang yang pernah berjumpa dengannya sebagai seorang yang berotak miring atau berwatak sinting. Di lain pihak, biarpun dia sendiri tidak terkenal, namun dalam perantauannya ini Bu-tek Siauw-jin mengenal dunia kang-ouw dan mengenal pula atau setidaknya mendengar nama para tokoh kang-ouw dan tahu akan kelihaian dan keistimewaan mereka.

Mereka telah memasuki ruangan yang luas. Yang ikut masuk ke dalam ruangan itu mengiringkan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong adalah Maharya, Koksu, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan belasan orang panglima pengawal. Namun tentu saja dengan diam-diam ruangan itu, juga gedung itu, telah dikurung oleh pasukan yang melakukan penjagaan ketat.

Tanpa dipersilakan lagi, Bu-tek Siauw-jin lalu duduk di atas kursi, menyambar seguci arak dan minum arak itu tanpa cawan dan tanpa penawaran tuan rumah lagi. Arak itu dituangkan begitu saja ke mulut sampai gucinya kosong! Kemudian ia mengembalikan guci kosong ke atas meja, mengusap bibir dengan ujung lengan baju dekil dan berkata,

"Nah, keluarkan isi perutmu, Maharya. Pertanyaan tentang ilmu batin apa yang hendak kau ajukan untuk kupecahkan dan jawab? Hayo, keluarkan seluruh kepunsuanmu (kepandaianmu)!"

Semua orang mengambil tempat duduk, kecuali Kwi Hong yang hanya berdiri di belakang gurunya, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan meraba gagang pedang, wajahnya dingin. Kalau ada orang yang sudah mengenal Kwi Hong sebelum ia menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, tentu kini akan terheran-heran melihat betapa wajah dan sikap dara itu berubah sama sekali. Kini wajah yang dahulu cerah dan riang itu kelihatan muram dan dingin, sikapnya angkuh dan memandang rendah.

Tanpa disadarinya oleh dia sendiri, pengaruh ilmu mujijat yang dimilikinya telah menguasai batinnya! Hal ini tidak diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin. Kakek ini adalah seorang yang telah memiliki batin kuat sekali, dan memang memiliki dasar yang baik sehingga dia dapat mengatasi pengaruh segala ilmu hitam yang dipelajarinya.

Berbeda dengan suhengnya yang juga tercengkeram oleh pengaruh ilmu hitam. Kini murid kakek ini, Kwi Hong, biarpun semenjak kecil digembleng oleh Pendekar Super Sakti, kini tanpa disadarinya juga mulai berubah sikapnya, menjadi dingin, murung dan kehalusan perasaannya menipis, membuatnya tak pedulian dan kejam.

"Bu-tek Siauw-jin,"

Maharya mulai bicara sedangkan semua orang mendengarkan penuh ketegangan karena belum pernah mereka yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi ini menyaksikan pertandingan seaneh ini, pertandingan mengadu pengetahuan tentang ilmu batin!

"Segala macam ilmu kepandaian yang dimiliki manusia di dunia ini tidak ada artinya kalau manusia tidak mengerti akan hidup dan inti hidup. Karena itu, mengapa kita mesti berkelahi seperti anak kecil untuk menentukan siapa yang lebih unggul? Sebaiknya kita menguji kematangan jiwa. Apakah engkau siap untuk mencoba memecahkan dan menjawab pertanyaanku?"

"Wah, sejak dahulu kau memang tajam lidah! Lekas keluarkan pertanyaan kentutmu itu, perlu apa banyak rewel?"

Bu-tek Siauw-jin kena dibakar dan dibuat tidak sabar oleh sikap Maharya yang memang sengaja merangsang kemarahan lawannya.

"Bu-tek Siauw-jin, jawablah ini: Apakah yang dinamakan Aku yang sejati?"

"Apa lagi?"

"Cukup satu itu, karena yang satu itu sudah mencakup seluruh pengetahuan batin."

"Hemmm...., di dunia ini banyak sekali pengetahuan kebatinan berdasarkan agama dan filsafat yang timbul dari tradisi bangsa-bangsa. Kurasa masing-masing agama mempunyai jawaban yang berbeda-beda terhadap pertanyaanmu itu, Maharya. Jawaban dari sudut pandangan agama apa yang kau kehendaki?"

"Aku tidak akan menyangkut kepercayaan agama atau filsafat, karena selama masih ada yang menyangkal, berarti belum tentu tepat. Jawaban agama atau filsafat tentu akan menghadapi tantangan dari agama atau filsafat lain. Aku menghendaki agar engkau dapat memecahkan ini dengan tepat, disertai dengan alasan-alasan yang kuat, tidak peduli engkau mengambil agama atau filsafat apapun, asal benar. Hanya aku menghendaki jawaban satu kali saja dan hanya yang satu kali itu yang berlaku, benar atau salah. Kalau benar, kami siap memenuhi semua permintaanmu. Kalau salah, engkau dan muridmu harus pergi dari sini dan selamanya tidak boleh mengganggu kami lagi."

Bu-tek Siauw-jin benar-benar merasa terpukul. Tak disangkanya Maharya akan mengajukan pertanyaan yang sedemikian hebat! Pertanyaan yang mungkin sekali waktu akan menyelinap ke dalam hati setiap orang manusia dan yang sudah ribuan tahun semenjak sejarah manusia tercatat, belum ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu! Dia menggaruk-garuk kepalanya dan menoleh kepada Kwi Hong.

"Kwi Hong, monyet kurus ini benar-benar lihai sekali. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan jawaban pertanyaan itu. Terpaksa kita harus mengeram di dalam kamar tahanan untuk beberapa hari, muridku."






Kwi Hong cemberut,
"Suhu, perlu apa melayani segala macam obrolan? Harap Suhu jangan kena dibujuk dan ditipu mentah-mentah oleh pendeta palsu itu! Tanpa bantuan Suhu sekalipun, aku sanggup untuk membasmi mereka semua ini!"

Kwi Hong membuat gerakan dan tiba-tiba terdengar suara berdesing dan tampak sinar kilat menyambar di dalam ruangan itu.

"Pedang Iblis....!"

Koksu dan Thian Tok Lama berseru kaget menyaksikan pedang yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.

"Hushhh, sarungkan kembali pedangmu, muridku."

Bu-tek Siauw-jin menyentuh lengan Kwi Hong dan gadis itu terkejut karena merasa lengannya tergetar. Suhunya telah mempergunakan tenaga dan ini tentu berarti bahwa dia harus menyimpan pedangnya karena sesuatu yang amat gawat. Sambil menghela napas dia menyimpan kembali pedangnya dan menundukkan muka.

"Maharya, engkau tua bangka licik! Pertanyaanmu merupakan pertanyaan seluruh manusia, akan tetapi karena waktunya sebulan, biarlah aku dan muridku berdiam di dalam kamar tahanan sebagai tamu yang tidak agung. Heh-heh-heh! Marilah, antar kami ke tempat kami!"

Dengan wajah berseri Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama sendiri mengantar kedua orang itu ke dalam kamar tahanan yang berada di ruangan bawah tanah, melalui anak tangga dan terowongan yang amat dalam.

Mereka berdua memasuki sebuah kamar yang ditunjuk, kemudian pintunya yang terbuat dari baja yang amat kuat seperti pintu kerangkeng gajah itu ditutup dan dikunci dari luar. Demikianlah, guru dan murid ini menjadi orang-orang tahanan dan mereka selalu menerima jaminan makan dan minum melalui jeruji di atas pintu kamar tahanan.

"Mengapa Suhu begini bodoh mau ditipu?" Kwi Hong menegur gurunya setelah mereka berada di dalam kamar tahanan.

"Wah, jangan murung, muridku yang manis! Tempat ini amat baik untuk engkau berlatih dan memperdalam ilmumu. Dengar baik-baik. Kulihat Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama merupakan lawan-lawan yang tidak lemah. Apalagi di samping mereka masih ada belasan orang panglima dan mungkin ribuan orang perajurit. Karena itu, sebelum kita turun tangan, engkau harus menyempurnakan ilmu pedangmu yang baru lebih dulu, dan mematangkan tenaga sin-kangmu. Waktu yang sebulan ini kiranya cukup. Dan selain engkau dapat berlatih, akupun amat tertarik untuk mencari jawaban atas pertanyaan Maharya itu."

Kwi Hong mengangguk-angguk. Kelihatannya saja gurunya ini sinting, sebenarnya di balik watak sintingnya itu bersembunyi kecerdikan yang mengagumkan. Maka diapun tidak banyak cakap lagi dan berlatih dengan tekunnya di dalam kamar tahanan, kadang-kadang saja menerima petunjuk dari Bu-tek Siauw-jin.

Adapun kakek ini, untuk melewatkan waktunya, kadang-kadang duduk bersila dan mengerutkan kening, mengasah otak sampai-sampai ubun-ubunnya mengepulkan uap putih, mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan Maharya. Kalau sudah terlalu lelah dan jawaban yang tepat belum juga dapat ditemukan, dia lalu bermain-main seperti anak kecil, kadang-kadang mengumpulkan batu dan dibuatlah kelereng, bermain kelereng sendirian sambil tertawa-tawa.

Telah tiga pekan mereka berada di dalam kamar itu dan ilmu pedang Kwi Hong sudah mengalami kemajuan yang pesat sekali sehingga menggirangkan hati gurunya. Akan tetapi, pertanyaan itu masih belum didapatkan jawabnya oleh Bu-tek Siauw-jin!

Saking kesalnya, ketika ia mendengar jangkerik, dia girang sekali dan ingin benar dia menangkap jangkerik itu. Mereka berdua tidak tahu bahwa pada saat itu, percakapan mereka didengarkan oleh Suma Han dan Milana, di dalam kamar tahanan yang berada di atas mereka!

Melihat betapa gurunya ingin sekali menangkap jangkerik, dan karena keadaan cuaca dalam kamar tahanan itu agak gelap, Kwi Hong lalu menyalakan lampu minyak sehingga kamar itu tidak begitu gelap lagi.

"Wah-wah-wah, tidak mau mengerik lagi!"

Bu-tek Siauw-jin berlutut di lantai, menelungkup dan menempelkan telinganya di lantai yang penuh batu berserakan, yaitu batu-batu yang dicongkel keluar dari lantai oleh kakek itu untuk dipakai sebagai gundu.

"Wah, kenapa lampunya dinyalakan? Kalau keadaan terang, tentu saja jangkerik itu mengira hari telah siang dan tidak mau berbunyi."

"Memang sekarang bukan malam, Suhu."

"Benar, akan tetapi kalau tidak dinyalakan akan gelap, jangkerik itu mengira malam dan berbunyi. Hayo padamkan lagi biar dia mengeluarkan bunyi!"

"Aihh, Suhu ini aneh-aneh saja! Biarpun lampu dipadamkan, kalau Suhu ribut-ribut begitu mana dia mau mengerik? Pula, sudah diketahui dia berada di dalam lubang itu, biar dia mengerik sekalipun tentu dari dalam lubang."

"Oya, kau benar aku yang salah. Kalau begitu, biar kukencingi!"

"Jangan, Suhu! Kamar ini menjadi makin bau! Karena kalau ditepuk-tepuk di sekitar lubang, dia akan kaget dan akan keluar juga, atau kalau ditiup lubangnya."

Kini Kwi Hong mulai tertarik dan iapun ikut berlutut di dekat suhunya, mereka memandangi lubang jangkerik seolah-olah hal menangkap jangkerik merupakan peristiwa yang terpenting di saat itu!

"Oya, kau benar dan aku salah!" Kembali kakek itu berkata. "Kalau kukencingi, mana jangkerik itu kuat bertahan terkena kencingku? Tentu akan mati pengap! Biar kutiup lubangnya dan kau tepuk-tepuk di sebelah atas lubangnya."

Dua orang itu bekerja sama dengan asyik. Tiba-tiba dari dalam lubang itu meloncat keluar seekor jangkerik yang segera ditangkap oleh tangan kakek itu yang segera bersorak girang sambil menggenggam jangkerik itu.

Kwi Hong juga terseret dalam kegembiraan. Baru sekarang tampak wajahnya berseri dan kembalilah dia seperti Kwi Hong yang lincah gembira. Akan tetapi hanya sebentar saja.

“Besarkah jangkeriknya, Suhu? Merah atau hitam bulunya?" Mereka mengintai bersama ketika kakek itu membuka sedikit genggaman tangannya.

"Uhhhh!" Kwi Hong berseru geli dan menutupi mulutnya.

"Sialan dangkalan!" Bu-tek Siauw-jin memaki ketika melihat ke dalam genggaman tangannya. "Ini namanya jangkerik upo (jangkerik kecil pemakan nasi upo)! Jangkerik kecil tidak bisa diadu! Engkau penipu kecil seperti Maharya saja!"

Kakek itu tiba-tiba membuka lebar mulutnya dan.... jangkerik kecil itu ditelannya bulat-bulat! Kalamenjingnya bergerak dan berbunyi "ceguk-ceguk!" ketika ia menelan jangkerik itu hidup-hidup!

"Ihhhh! Mengapa Suhu jorok (kotor) sekali? Masa jangkerik hidup-hidup ditelan?"

Kwi Hong mencela. Gurunya ini benar-benar aneh, kadang-kadang dia pandang sebagai guru yang pandai, akan tetapi ada kalanya dia merasa seperti berhadapan dengan seorang anak kecil yang memerlukan teguran-teguran!

"Apa kau bilang? Kotor? Wah, menelan jangkerik mentah dan hidup masih mending. Pernahkah engkau mendengar orang-orang sinting menelan cindil (anak tikus) hidup-hidup? Coba bandingkan! Kan lebih gagah jangkerik daripada cindil? Jangkerik memiliki sifat jantan dan pemberani, tidak seperti tikus-tikus cilik itu!"

Kwi Hong tidak mau membantah lagi. Payah memang berbantah dengan gurunya yang pandai berdebat ini. Pula, kegembiraannya sudah hilang dan kembali dara itu termenung dengan wajah muram dan dingin.

"Kwi Hong....!"

Tiba-tiba terdengar suara panggilan yang amat jelas, seolah-olah Kwi Hong mendengar suara pamannya di dekat telinga dan pamannya seperti berdiri di sampingnya. Kwi Hong mencelat kaget.

"Paman....!"

"Kwi Hong, dengan siapa engkau di situ dan mengapa?" kembali suara Pendekar Super Sakti bergema memasuki ruangan kamar tahanan itu.

"Paman, dimana engkau? Suaramu begini dekat....!"

Kwi Hong yang merasa bingung itu tiba-tiba menjadi takut. Bagaimana dia harus menerangkan kepada pamannya bahwa dia telah menjadi murid kakek sinting, Datuk Pulau Neraka ini?

"Ha-ha-ha-ha! Sungguh lucu! Eh, bukankah Suma taihiap, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es yang berada di atas itu? Maaf, maaf! Kita belum pernah saling bertemu akan tetapi sudah bertahun-tahun aku kagum sekali kepada Taihiap. Sekarang, secara aneh kita bertemu akan tetapi tak dapat saling pandang! Ha-ha-ha!"

Karena kakek itu mengerahkan khi-kang maka suaranya meluncur melalui lubang kecil itu ke kamar di atas dan terdengar jelas sekali oleh Suma Han yang menjadi kagum dan maklum bahwa orang yang berada di bawah bersama keponakannya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.

"Siapakah Locianpwe yang telah mengenalku?" tanyanya, menahan rasa penasaran karena tadi keponakannya menyebut "suhu" kepada orang itu.

"Wah-wah, jangan menyebutku Locianpwe. Harap Taihiap ketahui bahwa aku hanyalah seorang kakek tua bangka yang tidak ada harganya, hanya keturunan para buangan di Pulau Neraka."

Suma Han makin terkejut dan teringatlah ia akan penuturan Alan puteri Ketua Thian-liong-pang tentang keponakannya yang keluar dari lubang kuburan! Suaranya memang berbeda akan tetapi siapa lagi yang begitu lihai dan mengaku sebagai keturunan buangan Pulau Neraka kalau bukan kakek mayat hidup yang pernah bertemu dan bertanding dengannya, yang amat sakti itu sehingga hampir saja ia celaka? Akan tetapi, mungkinkah Kwi Hong menjadi murid manusia iblis itu? Bukankah kakek iblis itu menjadi guru Wan Keng In? Dia merasa bingung dan hatinya tegang.

"Apakah Cui-beng Koai-ong di bawah sana?" tanyanya penuh wibawa.

"Ha-ha-ha, kiranya Taihiap sudah pernah bertemu dengan Suhengku itu? Tidak, Taihiap. Aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin, sutenya dan aku mendapat kehormatan besar sekali untuk menjadi guru keponakanmu."

Kwi Hong berdiri dengan muka pucat. Dia tahu bahwa dia telah berbuat sesuatu yang amat salah dalam pandangan pamannya. Dia adalah keponakan, dan terutama sekali murid Pendekar Super Sakti. Bagaimana dia berani menjadi murid orang lain? Hal ini sama saja dengan menghina guru atau pamannya itu! Maka, sebelum pamannya mengucapkan sesuatu yang timbul dari kemarahan, dia cepat mendahului, berkata dengan pengerahan khi-kang.

"Paman, harap suka mendengarkan penuturanku!"

Cepat dia menuturkan pertemuannya dengan Bu-tek Siauw-jin dan bagaimana dia sampai menjadi muridnya. Betapa gurunya itu biarpun seorang Datuk Pulau Neraka, akan tetapi sikapnya baik sekali, bahkan kini mereka ke kota raja karena kakek itu hendak membantunya menghadapi musuh-musuhnya, Koksu dan kaki kanannya.

"Sayang sekali, Suhu ditipu oleh Maharya. Suhu diajak bertaruh memecahkan sebuah pertanyaan yang sulit. Suhu diberi waktu sebulan disini, dan sudah tiga pekan kami berada disini, agaknya Suhu belum berhasil! Harap Paman suka mengampunkan aku yang lancang.... akan tetapi sesungguhnya Suhu adalah seorang yang sakti dan amat baik, Paman."

Sunyi sejenak, hanya terdengar suara Bu-tek Siauw-jirt tertawa kecil, agaknya merasa geli mendengarkan penuturan Kwi Hong tadi.

"Bu-tek Siauw-jin, setelah mendengar penuturan keponakanku, dan karena sudah terlanjur dia menjadi muridmu, biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Pertanyaan apakah yang diajukan oleh Maharya kepadamu? Aku akan membantumu mencarikan jawabannya."

"Bagus! Engkau benar-benar seorang pendekar tulen, Suma taihiap! Tidak saja tidak marah kepadaku yang merampas muridmu, akan tetapi juga berterima kasih dan ingin membantuku memecahkan teka-teki. Wah, kalau engkau benar-benar bisa membantuku memecahkan pertanyaan itu, benar-benar aku takluk dan mengangkat engkau sebagai sahabatku yang paling jempol di dunia ini! Pertanyaannya adalah : Apakah yang dinamakan Aku yang sejati? Nah, bantulah aku menjawabnya, Taihiap."

Suma Han yang tadinya mendekatkan mukanya di lantai kamar tahanan, kini bangkit duduk dan kedua alisnya berkerut. Pertanyaan yang amat luar biasa! Bagaimana menjawabnya? Dia sudah banyak membaca filsafat kuno dari berbagai agama. Akan tetapi, apakah jawabannya yang tepat? Apakah itu SENG yang merupakan anugerah Tuhan seperti yang dimaksudkan dalam ujar-ujar Nabi Khong-cu? Apakah itu TAO seperti yang dimaksudkan dalam Agama Tao? Ataukah Atman seperti yang disebut-sebut oleh pendeta-pendeta Hindu. Ataukah Roh Suci? Mana yang benar?

Melihat ayah kandungnya duduk termenung diam tak bergerak seperti arca itu, Milana ikut pula duduk di lantai. Luka-lukanya sudah sembuh, tubuhnya tidak merasa nyeri lagi. Dia duduk bersila dan memikirkan pertanyaan aneh itu. Hatinya bicara sendiri. Hemm, orang-orang tua ini memang aneh! Apa gunanya? Apa untungnya kalau mengetahui AKU SEJATI? Membuang-buang tenaga pikiran saja.

Pula apapun juga jawabannya, siapa yang akan dapat memastikan apakah jawaban itu benar atau salah? Adakah manusia yang pernah melihatnya atau bertemu dengan AKU SEJATI itu? Mungkin ada, pikirnya. Kalau tidak ada mengapa disebut-sebut? Adanya disebut, tentu ada yang pernah mengalami bertemu dengannya!

Kepalanya menjadi pening memikirkan pertanyaan yang ruwet itu. Jangankan mendapatkan jawaban, bahkan pertanyaan itu saja tidak dimengertinya. Dia tidak mengenal yang disebut Aku Sejati itu. Mendengarpun baru sekarang! Milana melirik ke arah ayahnya dan melihat pendekar itu masih duduk termenung penuh kesungguhan, dia tidak berani mengganggu, bahkan menjauhinya dan untuk melewatkan waktu Milana meraba-raba dinding untuk memeriksanya dan mencari kemungkinan membobol dinding itu.

Tiba-tiba jari tangannya yang halus itu meraba permukaan dinding yang tidak rata, ada lubang-lubang besar kecil, panjang pendek seperti ukir-ukiran. Dia tertarik sekali dan cepat dia menggosok dan membuang lumut-lumut hijau yang tumbuh di atas batu dinding. Maka tampaklah ukiran huruf-huruf kecil di atas batu.

Dengan penuh semangat dan amat tertarik, Milana terus membersihkan batu dinding dan setelah bekerja keras hampir satu jam lamanya, akhirnya dia dapat melihat sebaris huruf yang cukup jelas. Saking girangnya, dia lupa akan ayahnya dan membaca huruf-huruf itu dengan suara agak keras.

"Sesungguhnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran manusia."

"Apa kau bilang?" Tiba-tiba Suma Han menoleh dan bertanya seperti orang terkejut.

Milana juga kaget karena di luar kesadarannya dia telah membaca huruf-huruf itu keras-keras,
"Aku membaca ukir-ukiran huruf di dinding ini, Paman."

Sekali berkelebat Suma Han telah berada di depan dinding itu dan membaca ukiran huruf-huruf yang coretannya indah dan kuat itu, mula-mula perlahan kemudian dibacanya lagi agak keras, diulang-ulangi.

SESUNGGUHNYA YANG ADA ITU BUKAN, KARENA YANG ADA ITU DIADAKAN OLEH PIKIRAN MANUSIA.

Belum pernah dia bertemu dengan kalimat seperti itu, akan tetapi seperti ada hubungannya dengan pertanyaan Maharya! Ia menggunakan ingatannya, mengenang kembali ayat-ayat dalam kitab-kitab yang pernah dibacanya. Tiba-tiba ia menepuk pahanya,

"Hampir sama dengan makna dalam kitab To-tik-keng ayat pertama!"

Milana yang biarpun sudah banyak membaca namun sejak dahulu memang tidak menaruh minat terhadap kitab-kitab filsafat dan agama, bertanya,

"Bagaimana bunyinya, Paman?"

Suma Han mengangkat mukanya dan mengerutkan kening, membaca ayat pertama kitab To-tik-keng seperti yang diingatnya :

"Jalan (Tao) yang dapat dipergunakan sebagai jalan bukanlah Jalan (Tao) yang sejati.
Nama yang dapat dipergunakan sebagai nama bukanlah nama sejati.
Tanpa Nama adalah awal Bumi dan Langit.
Dengan Nama adalah ibu segala benda.
Tidak Ada kalau kita ingin menyatakan rahasianya.
Ada kalau kita ingin menyatakan keadaannya;
keduanya berpasangan walau namanya berbeda;
pasangan yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!"

Tiba-tiba Milana memandang ayahnya dengan wajah berseri dan dia berseru,
"Wah! Kalau begitu cocok! Itulah jawaban untuk teka-teki yang diajukan oleh pendeta Maharya itu, Paman!"

Suma Han melongo.
"Hemm? Apa? Bagaimana? Bagaimana jawabannya?"

"Jawabannya adalah itu! Tidak ada apa-apa!"

"Ah, masa jawaban begitu? Engkau terpengaruh oleh kalimat terukir di dinding itu, diperkuat pula oleh bunyi ayat pertama kitab To-tik-keng yang memang ada persamaan dengan kalimat di dinding itu."

"Justeru keduanya cocok pula dengan jawaban pertanyaan Maharya. Jawaban ini sekaligus menghancurkan pertanyaan itu, Paman"

"Alan, engkau masih terlalu muda untuk mencampuri urusan ini. Yang diajukan adalah pertanyaan gawat yang tak pernah dapat terjawab oleh manusia, yaitu apakah yang dinamakan Aku Sejati? Kalimat di dinding dan ayat pertama To-tik-keng sama sekali tidak menerangkan siapa sebetulnya Aku Sejati!"

"Sudah jelas diterangkan bahwa sebetulnya tidak ada apa-apa, Paman! Yang ada itu bukan, karena diadakan oleh pikiran manusia. Yang bisa dinamakan bukanlah nama sejati! Awal Langit Bumi adalah Tanpa Nama. Jadi jelas bahwa yang dikatakan Aku Sejati itu sesungguhnya bukanlah yang sejati! Aku Sejati yang dimaksudkan itu hanyalah buatan pikiran manusia saja, jadi palsu karena dia ada oleh pikiran yang mengada-ada! Yang sejati tentu tidak bisa disebut dengan nama. Adakah manusia di dunia ini yang sudah bertemu dengan Aku yang Sejati?"

"Husshh! Jangan engkau lancang, Alan. Tentu saja ada. Manusia-manusia suci di jaman dahulu tentu sudah tahu akan Aku Sejati itu, mungkin di jaman sekarang pun ada yang memiliki kesucian sedemikian tinggi sehingga dapat mengerti dan bertemu dengan Akunya yang Sejati!"

"Ah, hal itu tidak mungkin, Paman!"

"Mengapa tidak mungkin?"

"Misalnya aku yang bertemu dengan Aku-ku yang Sejati, habis siapa itu yang bertemu dan siapa pula yang ditemui? Apakah ada dua Aku? Yang palsu dan yang sejati saling bertemu, yang palsu maupun yang sejati, hanyalah khayalan pikiran saja, Paman. Karena pikiran mengingat akan pelajaran yang pernah dipelajarinya, pernah mendengar tentang Aku Sejati, mencarinya, maka timbullah bayangan Aku Sejati yang bukan lain juga khayalan pikiran sendiri belaka!"

Suma Han mengangguk-angguk.
"Hemm.... hemm.... biarpun uraianmu itu tidak berdasarkan filsafat-filsafat kuno, akan tetapi masuk diakal pula!"

Suma Han termenung, wajahnya makin lama makin terang, dan beberapa kali dia mengangguk-angguk dan menggumam.

"Engkau hebat, A1an.... engkau membuka kesadaranku.... engkau membuka mata batinku...."

Milana tidak mengerti dan terheran-heran. Akan tetapi dia kagum sekali melihat betapa wajah Pendekar Super Sakti itu kini berubah, berseri dan bersinar seolah-olah kemuraman yang tadinya selalu merupakan awan menutupi wajah tampan itu kini terusir bersih.

"Terima kasih, Alan....!"

Tiba-tiba Suma Han merangkul pundak dara itu dan memeluknya, mencium dahinya. Milana terkejut, mengira bahwa Suma Han hendak berbuat tidak sopan, akan tetapi ketika ayahnya itu mencium dahinya, Milana terisak dan memejamkan matanya.

Ingin dia balas memeluk dan menjeritkan sebutan ayah, akan tetapi perasaan ini ditahannya. Suma Han memegang pundak gadis itu dan mendorongnya, memandang wajah cantik itu dan Milana melihat betapa wajah ayahnya kini benar-benar cemerlang dan penuh kebahagiaan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar