FB

FB


Ads

Kamis, 22 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 073

"Nah, itulah! Engkau pun termasuk seorang munafik, hanya untuk plintat-plintut mengikuti ketahyulan manusia yang pura-pura suci saja. Jangan engkau terseret oleh kebiasaan umum yang belum tentu benar. Karena umum biasanya makan daging ayam, maka enak saja engkau makan daging ayam. Karena umum tidak biasa makan daging kelabang, biarpun selamanya engkau belum pernah merasakannya, mudah saja kau bilang tidak enak dan menjijikkan. Munafik!"

Kwi Hong merasa bohwat (kehabisan akal), karena biarpun ucapan gurunya kasar dan seenak perutnya sendiri, kebenarannya dalam ucapan itu sukar dibantah.

"Maaflah, Suhu. Akan tetapi benar enakkah daging kelabang?"

Suaranya halus dan penuh penyesalan itu sekaligus mengusir kemarahan Bu-tek Siauw-jin yang sudah menyeringai kembali!

"Heh-heh-heh, engkau mau tahu rasanya? Pernahkah engkau makan daging udang?"

"Pernah, bahkan sering kali, Suhu. Ketika masih tinggal di Pulau Es, di sebelah timur pulau terdapat bagian laut yang dihuni banyak udang besar, sebesar lengan tangan dan sering kali anak buah kami menangkap udang-udang besar itu."

"Pernah kau makan daging udang yang dipanggang dalam tanah liat?"

"Belum pernah. Bagaimana, Suhu?"

"Wah, kalau begitu engkau belum tahu benar-benar rasanya daging udang! Apalagi udang besar seperti itu. Mula-mula udang itu dilumuri tanah liat basah cukup tebal sampai tidak kelihatan kulitnya, kemudian dipanggang dan dibiarkan sampai tanah liat itu menjadi kering sekali. Setelah tanah liat itu retak-retak dan mengeluarkan bau gurih, nah, itu tandanya udangnya sudah matang. Kalau sudah tampak uap keluar dari bungkusan tanah yang retak-retak, panggang udang itu boleh diangkat dari api. Tanah liat yang sudah kering itu dikupas dan kulit udangnya tentu akan terbawa dan terkupas pula karena melekat pada tanah liat dan kini hanya tinggal daging udangnya, putih bersih kemerahan panas-panas beruap dan sedap baunya. Rasanya? Wah, kalau digigit kenyal-kenyal akan tetapi lunak, sedap manis.... hemm!"

Kwi Hong menelan ludah. Timbul seleranya dan dia kemecer (mengeluarkan air liur) mendengar penuturan itu.

"Nah, daging kelabang pun rasanya sama dengan daging udang! Yang lima ekor ini akan kupanggang dalam tanah liat, akan tetapi yang bunting itu harus direbus, karena kalau dipanggang, racunnya banyak yang hilang. Direbus juga enak, coba saja nanti."

Berkuranglah rasa jijik di hati Kwi Hong, Apalagi setelah dia mencari air sungai yang terdapat dalam bagian bukit yang subur, kemudian mereka memasak kelabang dan memanggang yang lima ekor, gurunya tiada hentinya menceritakan kelezatan daging kelabang yang dagingnya sejenis dengan daging udang, kepiting, belalang, jangkerik, dan lain binatang yang kulitnya keras.

Kesibukan memasak udang itu berlangsung sampai pagi, karena tidak mudah bagi Kwi Hong mencari air dan daun-daun bumbu di dalam hutan di waktu malam seperti itu, sungguhpun sinar bulan banyak membantunya. Akan tetapi, akhirnya masakan-masakan itu selesai di waktu pagi.

"Nah, kau makan dulu seekor daging panggang sebagai cuci mulut!" kata Bu-tek Siauw-jin.

Kwi Hong tertawa. Benar-benar lucu. Masa cuci mulut dengan daging panggang, dan lagi mana ada cuci mulut sebelum makan? Akan tetapi dia tidak membantah dan bersama suhunya, dia mengupas tanah liat yang sudah kering.

Benar saja kulit kelabang itu ikut terkupas dan tampaklah kini dagingnya yang putih kemerahan dan mengepulkan uap tipis yang sedap. Melihat suhunya makan daging itu dengan lahapnya, Kwi Hong lalu menggigit daging yang dipegangnya dan benar-benar gurunya tidak membohong. Rasanya enak sekali, gurih dan enak manis, seperti daging udang!

"Jangan dihabiskan, separuh saja. Yang separuh untuk nanti setelah kau makan daging rebus."

Kwi Hong tersenyum, tanpa membantah lagi dia mengambil panci kecil dimana daging kelabang bunting itu telah dimasak. Bu-tek Siauw-jin mengambil sebuah guci arak dan menuangkan arak ke dalam masakan itu. Uap mengepul dan bau wangi arak merah itu bercampur dengan bau gurih sedap namun ada pula bau yang amis dan keras.

"Makan dagingnya sedikit-sedikit saja agar tidak terlalu mengejutkan tubuhmu. Jangan khawatir apapun yang terasa olehmu, makan terus sampai habis. Ingat, yang kau makan ini bukan hanya daging yang lezat, akan tetapi terutama sekali obat untuk menyempurnakan latihan ilmu yang kuajarkan kepadamu."

Kwi Hong mengangguk, menggunakan sepotong kayu menusuk daging itu dan mulai menggigit dan memakan daging itu. Terpaksa ia memejamkan mata karena berbeda dengan ketika makan daging kelabang panggang tadi, kini daging kelabang yang direbus kelihatan putih dan besar, juga agak kehitaman di sebelah dalamnya, hitam kehijauan dia tahu adalah racun kelabang yang amat jahat!

Rasanya memang ada enaknya, akan tetapi lebih banyak tidak enaknya daripada enaknya. Memang ada bau sedap, akan tetapi hampir tertutup sama sekali oleh bau amis dan keras bahkan bau arak itupun tidak dapat melenyapkan bau amis. Rasanya memang gurih, akan tetapi terasa pula getir dan pahit, juga ada rasa keras yang membuat lidah terasa seperti ditusuk-tusuk. Namun Kwi Hong dengan nekat mengunyah dan menelan. Hanya sebentar mengunyah, tidak menunggu sampai lembut asal tidak terlalu besar, lalu ditelannya!

Dia terus memejamkan mata dan biarpun terasa betapa dada dan perutnya panas sekali ketika makanan itu ditelannya, dia makan terus. Biarlah kalau dia akan mati karena ini, pikirnya. Sudah kepalang! Makin lama hawa panas makin hebat sehingga terasa gerah sekali. Keringatnya membasahi pakaian, seolah-olah dia merasa tubuhnya dipanggang. Akan tetapi, Kwi Hong adalah seorang gadis yang berhati keras dan nekat. Dia terus makan sampai akhirnya daging kelabang bunting habis ditelannya.

Kepalanya pening. Akan tetapi sebuah tangan menekan tengkuknya. Jari tangan Bu-tek Siauw-jin menotok punggung, rasa ingin muntah yang timbul hilang, kemudian telapak tangan gurunya menempel di punggungnya dan dari telapak tangan itu menjalar hawa dingin sejuk yang melawan hawa panas di tubuhnya.

Akan tetapi sebentar saja tangan gurunya ditarik kembali ketika Kwi Hong yang teringat akan Swat-im Sin-kang, mengerahkan inti tenaga dingin untuk melawan serangan hawa panas itu. Sin-kangnya sudah amat kuat, apalagi Im-kang yang didapatkannya ketika berlatih di Pulau Es, bahkan lebih kuat daripada Im-kang yang disalurkan gurunya tadi. Hal ini adalah karena latihan Im-kang di Pulau Es merupakan puncak latihan menghimpun hawa dingin yang sukar dapat dimiliki oleh mereka yang berlatih di tempat panas.

"Bagus! Engkau dapat menahan hawa panas. Nah, makanlah sisa daging panggang itu."

"Suhu, aku sudah tidak ada nafsu lagi untuk makan daging...."






"Ih, jangan membantah! Ini perlu sekali untuk membuat perutmu kenyang dan terisi cukup...."

"Aku sudah kenyang sekali."

"Bodoh, kalau tidak kau isi sampai penuh sekali, mana dapat bertahan selama tiga hari tiga malam?"

"Apa maksudmu, Suhu?"

"Sudahlah, jangan banyak membantah. Makan sisa daging panggang ini dan habiskan!"

Karena maklum bahwa menghabiskan daging panggang ini termasuk kepentingan latihan itu, bukan semata-mata untuk membikin kenyang atau makan enak, Kwi Hong terpaksa makan habis sisa daging panggang. Perutnya menjadi kenyang sekali.

"Sekarang, minum kuah dalam panci itu sampai habis."

"Wah, mana perutku kuat, Suhu? Sudah terlalu kenyang dan kuah itu banyak sekali!"

Kwi Hong membantah. Sebetulnya bukan soal terlalu kenyang, akan tetapi dia merasa jijik kalau harus minum kuah itu. Baru dagingnya saja tadi sudah begitu memuakkan, apalagi kuahnya!

"Kwi Hong, tahukah engkau bahwa kuahnya ini yang jauh lebih penting? Andaikata engkau tidak makan dagingnya, masih tidak mengapa, akan tetapi kalau tidak minum kuahnya, kurasa akan sia-sia semua latihanmu. Sari obat berada di dalam kuah inilah!"

Kwi Hong bergidik. Yang dimaksudkan suhunya dengan "sari obat" tentulah sari dan semua racun yang mengeram di dalam perut kelabang itu! Apa boleh buat! Sudah terlalu jauh dia melangkah, andaikata mendaki gunung sudah hampir sampai puncaknya. Dia mengangkat panci, membawa bibir panci menempel bibirnya, memejamkan mata, menahan napas agar hidungnya tidak mencium bau yang memuakkan itu, membuka mulut dan menuangkan isi panci itu sekaligus ke dalam perutnya melalui mulut!

Begitu isinya habis, Kwi Hong mengeluh, panci kosong terlepas dari pegangannya dan terguling pingsan! Bu-tek Siauw-jin sudah siap, menerima tubuhnya dan membiarkan dara itu rebah terlentang di atas tanah sambil menyeringai dan tersenyum-senyum puas.

"Engkau hebat, muridku. Engkau hebat! Ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang dapat dilakukan Suheng kepadamu. Heh-heh-heh, betapa suheng akan mencak-mencak kalau melihat muridnya kalah oleh muridku!"

Kalau tadi Kwi Hong tahu bahwa dia akan pingsan selama tiga hari tiga malam, kiranya dia akan pikir-pikir dulu untuk minum kuah itu! Dan hal ini sudah diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin maka tadi kakek sinting ini setengah memaksa muridnya menghabiskan daging kelabang panggang agar selama tiga hari tiga malam pingsan itu, muridnya tidak akan terlalu kelaparan!

Pada pagi hari yang ke empat, Kwi Hong siuman, menggerakkan tangan, mengeluh perlahan dan membuka mata. Ia merasa tubuhnya panas dan lapar sekali. Ketika melihat gurunya duduk bersila tak jauh dari situ sambil memandangnya dan tersenyum-senyum, Kwi Hong cepat bangkit duduk. Segera ia memejamkan kedua matanya karena begitu ia bangkit duduk, matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut keras.

"Jangan tergesa-gesa, Kwi Hong. Tenang-tenang sajalah! Engkau baru saja bangkit dari kematian dan mulai hidup baru. Ha-ha-ha!"

Kwi Hong membuka matanya kembali.
"Apa yang terjadi, Suhu? Apakah aku tertidur?"

"Engkau tidur, juga pingsan, bahkan boleh dibilang mati selama tiga hari tiga malam! Dan engkau telah berhasil!"

Kwi Hong teringat kembali.
"Aihh! Ketika minum kuah itu.... aku lalu pingsan selama tiga hari tiga malam?"

Kwi Hong duduk bersila dan mulailah dia digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin dengan ilmu yang mujijat, yang diciptakan oleh kakek aneh ini selama menyembunyikan diri. Kakek itu benar-benar amat tekun melatih muridnya, bahkan dia kini yang mencarikan makan untuk muridnya agar Si Murid tidak usah menghentikan latihan, dan hanya berhenti kalau perlu makan saja.

Sampai dua pekan Kwi Hong disuruh melatih diri. Karena memang pada dasarnya gadis ini telah memiliki kekuatan sin-kang yang hebat berkat latihan yang ia terima dari Pendekar Super Sakti, maka dalam waktu singkat saja dia sudah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kakek sinting itu, padahal bagi orang lain, belum tentu akan dapat dikuasai dalam latihan bertahun-tahun!

Kemudian, berdasarkan tenaga mujijat ini Bu-tek Siauw-jin menambahkan jurus-jurus yang aneh dan dahsyat dalam ilmu pedang Kwi Hong. Juga dara ini dilatih menggunakan pukulan-pukulan dengan telapak tangan, pukulan yang amat hebat karena hawa pukulannya mengandung ancaman maut, mengandung hawa beracun yang selamanya belum pernah dia pelajari.

Tanpa disadarinya, Kwi Hong yang semenjak kecil menerima gemblengan-gemblengan pamannya dengan ilmu-ilmu tinggi yang bersih, kini telah mempelajari ilmu-ilmu golongan hitam!

Memang benar bahwa segala ilmu dapat dipergunakan untuk kebaikan maupun kejahatan, tergantung manusianya. Akan tetapi, ilmu golongan sesat atau golongan hitam mengandung sifat-sifat yang ganas, kejam dan dahsyat, sehingga sekali turun tangan dapat merampas nyawa lawan dengan mudahnya!

Demikianlah sambil melatih diri setiap ada kesempatan, Kwi Hong diajak oleh gurunya melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Dasar kakek sinting, begitu tiba di kota raja, dia langsung saja menuju ke gedung koksu, berdiri di depan pintu gerbang karena para penjaga melarang kakek sinting ini masuk. Sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang, kakek itu berteriak,

"Heh, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, keluarlah kamu dan hayo lawan aku Bu-tek Siauw-jin! Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku meninggalkan muridku ini karena aku tidak pantas lagi menjadi gurunya!"

Para penjaga yang tadinya menghadang dan melarang kakek ini melalui pintu gerbang menjadi terkejut karena suara itu membuat mereka terpelanting ke kanan kiri dan mereka tidak mampu bangkit lagi, tubuh mereka menggigil dan mereka hanya dapat memandang dengan mata terbelalak saja ketika kakek itu bersama dara jelita di sampingnya memasuki pintu gerbang istana koksu seenaknya!

Kwi Hong juga terkejut, tidak menyangka bahwa gurunya akan bersikap selancang ini. Mestinya, menurut pendapatnya, mereka menyelidik dan menyusup ke dalam istana koksu di malam hari. Akan tetapi gurunya dengan terang-terangan menantang sambil berteriak-teriak seperti itu! Mana ada seorang koksu yang berpangkat tinggi ditantang begitu saja seperti seorang anak kecil menantang berkelahi anak kecil?

Teriakan yang disertai khi-kang kuat itu tidak saja membuat para penjaga di luar terpelanting, akan tetapi juga mengejutkan seluruh isi istana koksu karena bangunan besar itu seolah-olah tergetar dan akan ambruk!

Berbondong-bondong keluarlah pasukan pengawal dengan senjata di tangan. Akan tetapi mereka menjadi ragu-ragu ketika melihat bahwa yang berjalan masuk dengan langkah lenggang kangkung itu hanyalah seorang kakek tua sekali yang tubuhnya pendek, hanya setinggi pundak dara jelita yang berjalan di sampingnya!

"Manusia lancang! Apakah engkau sudah bosan hidup berani mengacau gedung koksu?" Seorang perwira pengawal membentak.

"Heh-heh! Memang aku sudah bosan hidup!" jawab Bu-tek Siauw-jin seenaknya saja. "Apakah engkau ini Giam-lo-ong tukang cabut nyawa?"

Perwira itu merasa diejek dan dihina, maka cepat ia mengayun goloknya membacok ke arah kepala Bu-tek Siauw-jin. Kakek itu sama sekali tidak bergerak, juga dara cantik yang berdiri di sebelahnya dengan wajah dingin sama sekali tidak peduli.

"Wuuuuuttt.... krekkkk!"

"Hayaa.... aduuuuhhh....!"

Perwira itu berteriak dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya, seperti juga goloknya yang patah ketika bertemu dengan kepala kakek sinting itu!

Para anggauta pasukan pengawal tentu saja memandang dengan bengong dan tak seorangpun berani maju menyerang. Sementara itu, Bhong Koksu sendiri bersama para pembantunya juga mendengar gema suara yang mengandung khi-kang kuat itu dan kini berbondong-bondong mereka keluar dari istana. Melihat munculnya koksu, para pasukan lupa akan rasa ngerinya dan menyerbu ke depan untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin.

"Tahan....!" Seruan ini keluar dari mulut pendeta Maharya yang kemudian berbisik kepada koksu, "Harap Taijin perintahkan pasukan mundur. Dia adalah seorang yang tidak boleh dibuat main-main!"

"Semua pasukan mundur, biarkan kami menyambut tamu!"

Koksu berseru dan para panglima segera membubarkan pasukan pengawal yang sudah mengurung dan hendak turun tangan mengeroyok. Setelah para pasukan mundur, Bhong Ji Kun, Maharya dan Thian Tok Lama bersama lima orang panglima tinggi termasuk Bhe Ti Kong, maju menghampiri kakek pendek dan gadis cantik itu.

Ketika mereka semua mengenal Kwi Hong mereka terkejut dan diam-diam mereka siap untuk mencabut senjata. Tentu saja mereka semua mengenal Giam Kwi Hong, murid atau keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es yang dahulu pernah mereka tawan dalam kapal ketika mereka menyerbu Pulau Es itu. Tentu kedatangannya ada hubungannya dengan penyerbuan Pulau Es, akan tetapi siapakah kakek pendek yang tertawa-tawa itu?

Bu-tek Siauw-jin tidak memandang kepada orang lain kecuali kepada Maharya. Setelah memperhatikan pendeta India ini dari kepala sampai ke kaki naik turun beberapa kali, akhirnya dia tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha, bukankah engkau ini Si Maharya yang dulu seringkali bertanding gulat melawan aku di lereng Himalaya?"

Maharya merangkap sepuluh jari tangannya ke depan hidung sebagai penghormatan lalu menjawab sambil tertawa pula,

"Siauw-jin, engkau masih hidup? Sungguh panjang usiamu!"

"Ha-ha-ha, tentu saja usiaku panjang karena aku masih ingin membuat engkau sekali lagi meniru bunyi kambing untuk menyatakan kalah. Heh-heh, Kwi Hong muridku, pernahkah kau mendengar permainan adu tenaga bergulat, yang kalah harus mengeluarkan bunyi seperti kambing sebagai tanda menyerah?"

Kwi Hong semenjak tadi menyapu orang-orang di depannya itu dengan pandang mata penuh kebencian, sikapnya dingin dan tangannya sudah gatal-gatal untuk segera turun tangan menyerang dan membalas dendam.

"Belum pernah, akan tetapi aku tidak tertarik, aku lebih suka melihat pendeta busuk ini mengembalikan Hok-mo-kiam kepadaku!"

"Ha-ha-ha, nanti dulu, itu urusan kecil. Dahulu, di lereng Himalaya, aku seringkali bergulat dengan Maharya ini dan entah sudah berapa kali dia meniru bunyi kambing menyatakan kalah. Wah, dia pandai benar meniru bunyi kambing, benar-benar seperti kambing tulen, ha-ha-ha!"

"Suhu, kurasa sekarang dia lebih pandai meniru bunyi anjing yang suka menjilat telapak kaki orang berpangkat!" Kwi Hong berkata mengejek.

Bhong Koksu segera maju dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Bu-tek Siauw-jin yang dia dapat menduga tentu seorang yang amat sakti sehingga paman gurunya begitu menghormat dan mengalah.

"Harap maafkan kalau saya tidak mengenal Locianpwe yang agaknya sudah mengenal baik Paman Guru Maharya. Kehormatan apakah yang akan Locianpwe berikan kepada kami dengan kunjungan ini?"

Koksu ini bersikap cerdik. Dia tahu bahwa gadis ini adalah murid Pendekar Super Sakti, mengapa kini menyebut suhu kepada kakek pendek ini? Setelah muncul sebagai murid kakek ini, dia bersikap hati-hati dan sengaja tidak mau menegur Kwi Hong.

"Ha-ha-ha, engkau murid keponakan Si Maharya? Koksu, kalau begitu engkau tentu murid sahabat ahli pembuat pedang Nayakavhira!"

"Ahh! Locianpwe sudah mengenal mendiang guru saya?"

"Ha-ha-ha! Nayakavhira adalah sahabat kontan, tidak seperti Maharya ini yang sejak mudanya dahulu licik dan curang. Jadi engkau muridnya? Aku mendengar dahulu bahwa Nayakavhira hanya mempunyai seorang murid, yaitu pemuda tukang penggembala kuda!"

Wajah Koksu merah sekali karena dialah yang dimaksudkan itu. Dialah penggembala kuda itu! Cepat ia menyembunyikan pecutnya, senjata yang tadinya dibawanya untuk menghadapi musuh. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin lebih cepat lagi, tangannya bergerak dan tahu-tahu pecut itu seperti hidup, terlepas dari tangan Koksu dan berpindah ke tangannya.

"Bagus! Engkau penggembala kuda itu? Dan sekarang menggembalakan orang-orang termasuk paman gurunya sendiri? Ha-ha-ha!"

Kakek itu mengembalikan pecutnya dan Koksu menjadi pucat. Cara kakek itu merampas pecutnya tadi saja sudah membuktikan bahwa kakek ini benar-benar lihai bukan main!

"Siauw-jin, engkau selamanya benar-benar seorang siauw-jin (manusia rendah budi)!" Maharya membentak marah. "Apakah kedatanganmu mau mencari permusuhan? Ataukah engkau masih mengingat akan hubungan lama dan kini hendak mencoba kepandaianku! Boleh kau coba, mengenai ilmu silat, ilmu sihir atau ilmu kebatinan!"

"Maharya, kembalikan pedang Hok-mo-kiam, kalau tidak, akan kubunuh sekarang juga engkau!"

"Bocah sombong!"

Maharya membentak, tangan kirinya bergerak dan asap hitam menyambar ke arah muka Kwi Hong. Hanya sebuah serangan ringan saja, akan tetapi asap itu mengandung racun yang dapat membikin pingsan lawan. Namun Kwi Hong hanya tersenyum, sedikitpun tidak mengelak sehingga angin pukulan berikut asap itu mengenai mukanya.

Maharya terbelalak melihat betapa gadis itu sama sekali tidak terpengaruh, baik oleh angin pukulannya maupun oleh asap beracun! Kwi Hong sudah menggerakkan jari tangan hendak mencabut pedang, akan tetapi tiba-tiba gurunya menyentuh lengannya dan tertawa.
"Ha-ha-ha, Maharya. Melawan muridku saja engkau tidak akan menang, maka engkau tidak menarik lagi menjadi lawan bertanding. Lawan mengadu kecerdikan dengan teka-teki, engkaupun takkan menang. Dahulupun, teka-tekiku yang paling mudah sudah kuberi waktu tiga hari tiga malam engkau masih tidak mampu memecahkannya. Apalagi sekarang! Eh, Kwi Hong, tahukah engkau bahwa teka-teki yang amat sederhana saja dia dahulu tidak becus menebak. Teka-tekiku dahulu itu begini, biar semua orang mendengar betapa mudahnya. Ada sebuah benda mati tercipta dari yang hidup, berkepala dan bertubuh lengkap, akan tetapi seluruh anggauta tubuhnya, dari kepala sampai ke kakinya, semua menjadi satu. Nah, apa itu?"

Kwi Hong termenung, mengasah otak dan anehnya, semua orang disitu semua kelihatan mengerutkan alis, semua mencari pemecahan cangkriman ini, termasuk para panglima dan para pasukan yang berdiri di tempat jauh akan tetapi ikut mendengarkan kata-kata Si Kakek Pendek.

Melihat ini Maharya terkejut bukan main. Biarpun hanya berupa olok-olok dan teka-teki yang dibuat kelakar, namun suara kakek itu ternyata telah mempengaruhi semua orang sehingga mereka semua lupa keadaan dan ikut mencari jawabannya. Ini saja sudah membuktikan betapa kuat sin-kang kakek itu, betapa mujijat dan tidak akan menanglah dia kalau bertanding ilmu sihir!

Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara tertawa bergelak, suara ketawa yang melengking panjang dan bergema di udara seperti guntur, juga mirip suara kuda meringkik, dan semua orang menjadi sadar dengan penuh keheranan betapa mereka tadi mencurahkan seluruh perhatian dan memeras otak untuk mencari jawaban sebuah teka-teki, sungguh merupakan hal yang janggal sekali pada saat seperti itu!

"Hemm, Maharya, engkau sekarang bisa tertawa. Kwi Hong, dia sekarang memandang rendah karena dahulu telah kuberi tahu jawabannya."

"Suhu, apa sih jawabannya? Teka-tekimu itu aneh dan sukar sekali!"

"Jawabannya? Dengar baik-baik....!"

Kembali semua orang, termasuk Koksu sendiri, mendengarkan penuh perhatian. Maharya terkejut dan pendeta ini maklum bahwa pada detik itu kalau Si Kakek Pendek mau mempergunakan kekuatannya, bisa saja dia mempengaruhi semua orang yang berada di situ, disuruh tidur tentu tidur, disuruh apa saja tentu menurut karena mereka semua telah terjatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan hebat dari kakek pendek itu.

Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin hanya mendemonstrasikan kekuatannya saja dan tidak mau melakukan sesuatu, melainkan melanjutkan ucapannya yang sengaja dihentikan sebentar untuk menguasai perhatian semua orang.

"Jawabannya adalah.... semut dipelintir. Ha-ha-ha-ha!"

Semua orang memandang heran, termasuk Kwi Hong.
"Eh, Suhu, mengapa semut dipelintir?"

"Heh-heh, bukankah semut itu kalau dipelintir, seluruh anggauta tubuhnya menjadi satu, sukar dibedakan mana kepala mana kaki lagi? Dan semut itu tadinya hidup, maka benda yang berupa semut dipelintir itu tercipta dari yang hidup dan tentu saja menjadi benda mati!"

Semua orang, termasuk Koksu, tersenyum menyeringai karena merasa dipermainkan seperti anak kecil oleh kakek yang sinting ini.

"Bertanding kesaktian, engkau tentu kalah, Maharya. Bertanding sihir, engkau masih harus berguru seratus tahun lagi. Bertanding teka-teki pun engkau tidak akan menang...."

"Siauw-jin, aku menantangmu untuk bertanding pengetahuan kebatinan!" tiba-tiba Maharya berkata tegas.

"Heh-heh, begitu? Boleh! Paling-paling engkau paham filsafat Hindu dan Buddha, dan aku sudah hafal semua."

"Harus memakai taruhan!" kembali Maharya berkata. "Tentu saja kalau kau berani, kalau tidak akupun tidak akan memaksamu."

"Wah-wah, semenjak dahulu engkau memang licik dan curang, bermulut manis dan pandai menggunakan akal bulus! Tahu kau akal bulus? Kalau berdepan, menyembunyikan kepala ke dalam perut, kalau ditinggal, menggigit dari belakang! Akan tetapi jangan kira aku takut. Nah, apa taruhannya?"

"Begini! Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan mengenai hidup yang amat pelik dan engkau harus dapat menjawabnya dengan tepat berikut uraian dan alasannya agar jangan ngawur belaka. Kalau engkau mampu menjawabnya, kami akan menerimamu sebagai tamu dan sahabat baik, dan semua permintaan Nona yang menjadi muridmu ini tentu akan kami pertimbangkan baik-baik. Akan tetapi kalau engkau tidak bisa menjawab, engkau dan muridmu harus pergi dari sini tanpa banyak ribut lagi dan tidak boleh mencari perkara. Aku beri waktu satu bulan kepadamu dan selama kau memikirkan jawabannya, engkau boleh tinggal di dalam kamar tahanan bersama muridmu selama sebulan dengan jaminan makan minum secukupnya. Bagaimana? Beranikah kau menerima tantanganku ini?"

"Ha-ha-ha! Cukup adil! Boleh sekali, akan tetapi ingat, kalau sampai aku bisa menjawab, segala permintaanku harus kau penuhi. Permitaanku tidak banyak, hanya menantang Koksu, engkau dan dia ini.... eh, bukankah aku pernah melihat hwesio gendut ini di Tibet? Kalau tidak salah, ada seorang lagi yang kurus kering, dua orang Lama dari Tibet...."

Thian Tok Lama merangkap kedua tangan di depan dadanya.
"Omitohud, ingatan Locianpwe benar-benar tajam sekali. Memang pinceng adalah Thian Tok Lama dari Tibet."

"Bagus! Dari India, dari Tibet, semua berkumpul disini mengabdi kepada Mancu, ya? Luar biasa. Nah, aku akan menantang kalian bertiga mengadu ilmu, sedangkan permintaan muridku adalah.... eh, Kwi Hong, apa permintaanmu kalau aku menang bertaruh? Jangan malu-malu, katakan saja!"

"Suhu," Kwi Hong mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. "Mengapa urusan ini dibuat main-main? Lebih baik sekarang saja gempur mereka!"

"Wah, jangan begitu! Apa kau mau merampas kesenanganku bertaruh? Jangan khawatir, aku pasti menang. Nah, kalau aku menang, apa permintaan dan tuntutanmu?"

"Permintaanku, pertama Maharya harus mengembalikan Hok-mo-kiam dan kupotong ujung hidungnya yang terlalu panjang karena dia telah berani membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang. Ke dua, Koksu yang memimpin pasukan yang merusak Pulau Es harus membangun kembali pulau itu seperti dahulu dan berlutut minta ampun ke depan Pendekar Super Sakti, menerima segala hukuman dan keputusan yang dijatuhkan oleh Pendekar Super Sakti."

"Nah, bagaimana, Maharya?"

Koksu hendak membantah. Tentu saja tuntutan itu amat berat dan tak mungkin dilaksanakan. Biarpun kakek pendek ini lihai bukan main, akan tetapi setelah berani memasuki istananya dan dikurung oleh ratusan pengawal, bahkan kalau dia menggerakkan pasukan sampai ribuan orangpun tidak sukar, perlu apa takut dan mengalah. Akan tetapi Maharya sudah cepat menjawab,

"Boleh! Nah, mari kita masuk ke ruangan dalam untuk mulai bertanding pengetahuan ilmu kebatinan."





Tidak ada komentar:

Posting Komentar