FB

FB


Ads

Kamis, 22 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 072

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong yang tadinya tertawan oleh Wan Keng In, dibebaskan oleh Bu-tek Siauw-jin, gurunya dan juga paman guru Wan Keng In. Kemudian guru dan murid ini menuju ke kota raja, akan tetapi Kwi Hong terpaksa harus mentaati kehendak gurunya untuk melakukan perjalanan melalui padang pasir di utara untuk mencari racun kelabang untuk keperluan Kwi Hong sendiri dalam menerima gemblengan ilmu mujijat yang tinggi dari kakek sinting itu.

Mereka tiba di tempat itu, sebuah pegunungan yang aneh, jauh dari dunia ramai dan tidak ada seorang pun manusia di sekitar tempat itu. Kwi Hong merasa heran bagaimana gurunya dapat menemukan tempat seperti ini. Kadang-kadang mereka melalui hutan yang penuh pohon-pohon aneh, akan tetapi ada bagian di pegunungan itu yang gundul tidak ada pohonnya sama sekali, bahkan rumputpun tidak dapat tumbuh di situ seolah-olah tanahnya mengandung racun yang membunuh semua tanaman.

Ada pula bagian yang penuh pasir, akan tetapi tampak bekas-bekas pohon, hanya tinggal batangnya yang besar setinggi tiga empat meter, tanpa daun sehelaipun dan sudah kering. Di tempat inilah Bu-tek Siauw-jin mencari kelabang!

Kakek itu berhenti di bagian yang penuh pasir dan di sana-sini tampak sisa pohon mati itu, memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk.

"Di sinilah.... hemmm sudah tercium bau mereka dan tampak bekas mereka...."

Kwi Hong mengempiskan cuping hidungnya, mencium-cium, dan memang ada tercium bau amis yang aneh olehnya.

"Awas udara di sini beracun! Napas yang masuk harus dibakar dengan sin-kang!" kakek itu berkata sambil tertawa-tawa.

Melihat sikap kakek itu yang suka berkelakar, Kwi Hong memandang rendah dan bernapas seperti biasa.

"Suhu.... celaka....!" Tiba-tiba dia mengeluh, kepalanya pening, perutnya mual seperti diaduk dari dalam.

"Wah, bocah bandel! Sudah diberi tahu tidak percaya. Hayo cepat duduk bersila, atur pernapasanmu."

Kwi Hong cepat duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin lalu menempelkan telapak tangan kirinya di punggung, membantu gadis itu mengusir keluar hawa beracun dari dalam dada. Beberapa kali Kwi Hong mengeluarkan hawa dari perut melalui mulut dan akhirnya kepeningan kepalanya lenyap.

"Tempat ini penuh hawa beracun, jangan memandang rendah sebelum engkau memakan racun kelabang!"

Kata kakek itu ketika Kwi Hong meloncat bangun. Kini gadis itu berhati-hati sekali, bernapas dengan teratur dan mempergunakan hawa murni dan sin-kangnya.

"Suhu, apa yang berkilauan itu?"

Tiba-tiba Kwi Hong menuding ke bawah. Tampak ada benda seperti batu permata yang sebesar kepalan tangan.

"Hemm, itu batu biasa."

"Ah, tidak mungkin, Suhu. Batu gunung biasa masa berkilauan seperti itu. Tentu batu mulia."

"Kau tidak percaya? Coba pegang baru kau tahu!"

Kwi Hong, membungkuk, dan tangannya mengambil batu itu. Tiba-tiba ia berteriak dan melepaskan batu itu kembali, telapak tangannya telah menjadi hitam dan terasa panas dan perih. Batu mengandung racun yang luar biasa!

"Ha-ha-ha! Itulah air liur kelabang yang membasahi batu. Kelihatan berkilauan menarik akan tetapi sebetulnya mengandung racun yang berhahaya. Biarpun sih-kangmu sudah kuat, kalau tanganmu terkena racun ini, tanpa mendapatkan obat anti racun yang tepat, lambat laun akan membusuk, dan hancur seperti terkena penyakit kusta!"

"Kalau sudah tahu berbahaya, mengapa Suhu menyuruh aku memegangnya?" Kwi Hong menuntut.

"Heh-heh-heh, kalau belum jatuh terpeleset, mana bisa hati-hati?"

"Suhu membiarkan aku keracunan? Mana ada guru seperti ini?"

"Ha-ha-ha! Bodoh, aku hanya membikin engkau matang dalam pengalaman. Terkena racun begitu saja, kalau ada aku apa artinya? Biar racun yang seratus kali lebih hebat, selama aku masih menjadi gurumu, engkau tidak akan celaka."

Bu-tek Siauw-jin mengeluarkan sebuah batu yang berwarna hijau dari saku bajunya, menyambar tangan Kwi Hong dan menempelkan batu hijau itu kepada tangan yang telapaknya berubah hitam. Dalam waktu singkat semua hawa beracun telah tersedot oleh batu dan tangan gadis itu pulih seperti biasa.

"Batu ini sebuah benda pusaka yang ampuh!" Kwi Hong tertarik sekali dan ingin memilikinya.

"Ha-ha-ha! Batu macam ini saja apa artinya? Kalau engkau sudah selesai berlatih ilmu, tidak perlu mengandalkan batu mati seperti ini!"

Kwi Hong menjadi bersemangat sekali. Ingin dia segera memikiki ilmu yang dapat membuat dia kebal akan segala racun! Dia memang harus memiliki kepandaian yang tinggi agar kelak ia dapat menandingi Wan Keng In, pemuda yang amat dibencinya itu!

"Mari kita lekas mencari kelabang bertelur itu, Suhu!"






"Hushh! Bukan kelabang bertelur. Kalau sudah bertelur, tidak ada gunanya lagi. Yang kucari adalah kelabang bunting!"

Kwi Hong menghela napas menyabarkan hatinya.
"Baiklah, kelabang bertelur, kelabang bunting atau kelabang busung sama saja, yang perlu lekas kita menemukannya."

"Tidak begitu mudah. Pergilah engkau ke hutan di sebelah kanan itu dan engkau harus dapat menangkap hidup seekor ayam hutan betina yang gemuk. Nah, pergilah cepat sebelum malam tiba!"

"Baik, Suhu." Kwi Hong membalikkan tubuh hendak meloncat pergi.

"Awas, jangan keliru. Yang betul-betul gemuk, lho, dan jangan yang terlalu tua, darahnya sudah kurang manis!"

Di dalam hatinya Kwi Hong mengomel. Gurunya ini cerewet benar, akan tetapi karena maklum bahwa kecerewetan gurunya itu biarpun dilebih-lebihkan menurut wataknya yang sinting, bukan tidak ada artinya, maka dia hanya mengangguk dan mengingat baik-baik pesan itu lalu melesat pergi dengan cepat. Tak lama kemudian gadis itu telah kembali kepada gurunya, kedua tangannya memegang dua ekor ayam hutan betina yang gemuk-gemuk!

"Eh. kenapa dua ekor?"

"Yang seekor untuk kelabang bunting, yang seekor lagi untuk Suhu dan aku!"

"Ha-ha-ha-ha, kau pintar sekali!"

Bu-tek Siauw-jin menerima seekor ayam, mengikat kedua kaki ayam itu dan mencabuti bulunya. Ayam itu tentu saja berkeok-keok kesakitan akan tetapi kakek sinting itu tidak peduli, mencabuti terus sambil berkata,

"Eh, kenapa bengong saja? Lekas potong leher ayam itu dan bakar dagingnya."

Kwi Hong memutar leher ayam. Setelah binatang itu mati, dia mencabuti bulu-bulunya, mengeluarkan isi perutnya yang diminta oleh gurunya untuk kelabang di samping ayam hidup yang diberunduli semua bulunya. Kwi Hong membuat api membakar daging ayam, kemudian bersama gurunya makan daging panggang sambil menanti datangnya malam gelap.

"Menurut perhitunganku, sekarang tepat bulan purnama! Kelabang-kelabang itu akan keluar dan kalau terjadi perebutan ayam mulus ini, engkau jangan kaget dan diam saja. Setelah ayam itu diseret, barulah kita mengikuti karena para pemenang itu terus akan membawa ayam ini kepada kelabang betina yang bunting. Yang menang tentu kelabang jantan yang terkuat, maka betinanya tentu juga paling hebat!"

"Menurut penuturan Suhu, kelabang jantannya sudah dibunuh oleh yang betina."

"Memang, di waktu terjadi perkawinan. Akan tetapi setelah bunting, tidak ada lagi kelabang jantan yang mengganggunya, dan kelabang jantan yang menyerahkan hadiah-hadiah adalah calon-calon pengantin-pengantin dan calon bangkai karena pada waktu perkawinan merekapun akan mati konyol. Ha-ha-ha!"

Kwi Hong merasa ngeri dan membenci kelabang betina yang pekerjaannya hanya kawin, membunuh pengantin jantan, dan bertelur saja itu! Akan tetapi dia juga ngeri kalau mengingat bahwa dia harus makan perut kelabang yang demikian menyeramkan, yang amat beracun, sedangkan air liurnya saja sudah demikian hebatnya!

Malam tiba, kakek sinting itu membiarkan api unggun bernyala terus.
"Setelah bulan purnama muncul dan keadaan di sini cukup terang, baru api ini kita padamkan. Betapapun lihai dan beracun, kelabang-kelabang itu takut melihat cahaya api. Kalau sekarang api kita padamkan, mereka akan bermunculan dan tak hanya ayam dan isi perut ayam yang mereka serang, akan tetapi juga mereka akan menyerang kita."

"Ihhhh....!" Kwi Hong mengkirik ngeri. "Kalau nanti bulan sudah muncul dan api kita padamkan, mereka datang dan menyerang kita bagaimana?"

"Apa sukarnya? Kita meloncat ke atas pohon-pohon mati itu, mereka tidak akan mampu mengejar."

"Sekarang kita bisa meloncat ke sana, Suhu."

"Dasar bodoh! Kalau mereka kita biarkan datang sebelum bulan muncul dan kita menyelamatkan diri ke atas pohon mati, bagaimana kita akan dapat mengikuti kemana mereka membawa pergi ayam yang kita umpankan itu?"

Sekarang mengertilah Kwi Hong dan dia merasa tegang. Bicara tentang kelabang-kelabang itu, tidak ada nafsu makan lagi padanya sehingga sisa daging ayam panggang itu diganyang habis oleh Bu-tek Siauw-jin, bahkan agaknya dia masih belum puas karena terdengar suara keletak-keletuk bunyi tulang-tulang sayap dan kaki ayam pecah-pecah karena gigitannya, untuk diisap sungsumnya!

"Suhu, bulan sudah muncul. Lihat!"

Tiba-tiba Kwi Hong yang sejak tadi memandang ke arah timur, berteriak sambil menudingkan telunjuknya.

"Biarkan dia naik agak tinggi sampai tempat ini terang betul," jawab guruya yang masih enak-enak saja menggerogoti tulang kaki ayam.

Akhirnya bulan purnama sudah menyinarkan cahayanya yang cemerlang dan daging berikut tulang ayam panggang sudah habis dikunyah hancur oleh kakek sinting itu. Bu-tek Siauw-jin lalu melemparkan ayam gundul yang diikat kakinya ke atas tanah di samping isi perut ayam yang dipanggang tadi, kemudian memadamkan api dan mengajak muridnya meloncat ke atas dua batang pohon mati yang berdampingan.

Dengan tergesa-gesa karena ngeri, Kwi Hong mendahului gurunya meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di atas puncak batang pohon mati seperti seekor burung garuda sigapnya. Gurunya juga mencelat ke atas dan hinggap di pohon ke dua. Batang pohon yang tingginya lebih dari tiga meter itu cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atasnya sambil memandang ke bawah. Dan tempat itu jelas kelihatan ayam gundul yang mereka pergunakan sebagai umpan karena cahaya bulan dengan lembutnya menyinari seluruh tempat itu.

Kurang lebih dua jam mereka menanti, dua jam penuh ketegangan dan terasa seperti dua pekan bagi Kwi Hong. Beberapa kali dia menoleh ke arah gurunya dan melihat betapa gurunya itu duduk melenggut di atas puncak batang pohon, tidur-tidur ayam kekenyangan daging ayam.

Beberapa kali tubuh kakek itu mendoyong ke sana-sini kelihatannya seperti akan jatuh, akan tetapi selalu dia tersentak kaget sebelum terguling dan melenggut lagi. Tentu saja hati Kwi Hong mendongkol sekali. Orang setengah mati karena tegang, gurunya enak-enak melenggut, bahkan kini terdengar dengkurnya perlahan.

Tiba-tiba Kwi Hong mencium bau yang amat keras, bau yang amis dan memuakkan dan mendadak terdengar suara gurunya,

"Awas, jangan berisik dan atur napasmu, lawan hawa beracun. Mereka sudah datang!"

Kwi Hong cepat mengerahkan sin-kang, mengatur pernapasan dan melindungi paru-paru dengan hawa murni, matanya memandang ke bawah dengan terbelalak dan sama sekali tidak berani mengeluarkan suara.

Dilihatnya ayam yang diikat itu masih bergerak-gerak, menggerakkan leher dan berusaha melepaskan diri. Bau makin keras dan dari sebelah kanan tampaklah kini olehnya benda yang berkilauan, bergerak-gerak mendekat. Kelihatan panjang sekali, akan tetapi setelah dekat, barulah tampak olehnya bahwa yang datang adalah barisan kelabang yang besar-besar dan panjang-panjang!

Karena binatang-binatang itu merayap beriringan dari jauh yang tampak hanya sinar berkilauan kulit mereka dan kelihatan seperti sebuah benda atau ular yang panjang. Tidak kurang dari lima belas ekor kelabang yang kulitnya merah mengkilap, panjangnya masing-masing antara dua puluh sampai tiga puluh senti meter!

Kwi Hong bergidik. Sudah pernah dia melihat kelabang, akan tetapi besarnya paling-paling hanya sebesar jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari sepuluh senti. Belum pernah dia melihat kelabang-kelabang raksasa seperti itu!

Barisan kelabang itu makin dekat dengan umpan, dan makin ngeri pula rasa hati Kwi Hong. Tiba-tiba ayam itu meronta dan berkeok-keok keras tanda ketakutan dan Kwi Hong memejamkan kedua matanya melihat betapa belasan ekor kelabang itu seperti terbang cepatnya mencelat ke depan, memperebutkan ayam yang kelabakan sebentar, lalu tak bersuara lagi.

Barulah Kwi Hong berani membuka matanya. Ayam itu telah mati, akan tetapi kini belasan ekor kelabang itu saling serang, saling gigit dan saling terjang dengan hebat. Mereka memperebutkan bangkai ayam seperti yang telah dituturkan oleh gurunya!

Kwi Hong melirik ke arah gurunya dan melihat kakek itu tersenyum-senyum menyeringai lebar dan menggosok-gosok kedua tangannya kelihatan girang sekali, bahkan mulutnya bergerak-gerak dan mengeluarkan air liur seperti sikap seorang kelaparan melihat daging empuk! Kwi Hong bergidik! Gurunya benar-benar bukan manusia! Baru saja mengganyang habis seekor ayam panggang, hanya diambil sedikit olehnya, dan sekarang melihat kelabang-kelabang gemuk, sudah keluar air liurnya! Benar-benar manusia sinting, atau bukan golongan manusia! Betapapun juga, harus dia akui bahwa gurunya amat baik kepadanya, dan ilmu-ilmu yang diberikan kepadanya benar-benar hebat!

Saking ganasnya kelabang-kelabang itu, pertempuran tidak berlangsung lama. Sepuluh ekor kelabang yang lebih kecil sudah menggeletak tak bergerak, mati. Empat ekor yang lebih besar dan agaknya luka-luka tidak mempedulikan luka mereka dan dengan lahap mereka kini merasa puas dengan isi perut ayam. Karena isi perut itu cukup banyak terutama ususnya yang panjang, empat ekor kelabang itu memperoleh bagian yang cukup dan dari atas mereka tampak seperti ulat-ulat sutera sedang lahap makan daun murbei!

Kwi Hong melihat bahwa seekor kelabang yang terbesar dan tentu yang telah keluar sebagai pemenang dalam perebutan tadi, kini menggondol bangkai ayam gundul dan dia benar-bedar tercengang akan kekuatan kelabang itu! Dengan mulut menggigit leher ayam, kelabang itu mampu membawa bangkai ayam itu dengan gerakan cepat menuju ke sebuah diantara pohon-pohon mati yang terbesar, memasuki sebuah lubang di bawah pohon dan lenyap!

"Bagus! Tempatnya di bawah pohon itu! Mari....!"

Bu-tek Siauw-jin tertawa girang dan meloncat turun diikuti oleh Kwi Hong. Ketika dara itu melayang turun, begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia sudah menahan jerit dan meloncat lagi melihat benda melintang di bawah kakinya. Benda itu disangkanya kelabang, akan tetapi ternyata hanyalah kayu lapuk!

"Siapkan pedangmu!"

Bu-tek Siauw-jin berbisik.
"Aku akan mencabut pohon itu dan kalau engkau melihat seekor kelabang yang amat besar dan gemuk, jangan ragu-ragu, kau bacok putus bagian kepala dan ekornya, kemudian bagian tengahnya cepat kau masukkan ke dalam botol ini dan tutup rapat."

Kakek itu menyerahkan sebuah botol kosong yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Karena hatinya merasa tegang, Kwi Hong tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk. Kalau dia disuruh menghadapi lawan manusia, biar musuhnya amat banyak dan seganas iblis, dara perkasa itu takkan merasa gentar seujung rambut pun. Akan tetapi disuruh menghadapi kelabang-kelabang yang menggelikan dan menjijikkan ini, benar-benar dia merasa tegang dan semua bulu yang tumbuh di tubuhnya berdiri tegak!

Dengan hati-hati dia mencabut pedangnya, dipersiapkan di tangan kanan yang agak gemetar, tangan kiri memegang botol dan pernapasan tetap teratur agar tidak terserang hawa beracun yang amat hebatnya memenuhi tempat itu. Dengan hati-hati dia lalu mengikuti gurunya menghampiri pohon besar di mana kelabang raksasa yang membawa bangkai ayam tadi lenyap.

Bu-tek Siauw-jin menghampiri pohon, merangkul batang pohon yang sebesat tubuh manusia itu dengan kedua lengannya, berjongkok, kemudian bangkit berdiri sambil mengerahkan tenaga menjebol batang pohon yang tingginya tiga setengah meter itu. Terdengar suara keras ketika akar-akar kering pohon itu patah-patah dan terjebol berikut tanahnya, disusul suara lebih keras karena pohon itu telah dilemparkan jauh oleh kakek sinting.

Hampir Kwi Hong menjerit ketika melihat seekor kelabang besar merayap keluar dan kelihatan marah sekali. Kelabang ini mulutnya masih menggigit kepala ayam, kini seperti hendak menyerang kaki Kwi Hong. Gadis ini melihat bahwa kelabang ini besar sekali, perutnya menggembung dan warna kulitnya sama seperti Kelabang-kelabang yang tadi, merah darah akan tetapi agak kehijauan dan mengeluarkan sinar mengkilap. Sekilas pandang ia melihat bangkai ayam di dalam lubang bekas jebolan pohon dan di samping bangkai ayam itu menggeletak pula kelabang besar yang tadi membawa bangkai, sudah mati pula. Agaknya Sang "Ratu" kelabang yang bunting ini benar-benar amat ganas. Disanjung dan dirayu oleh kelabang besar, dihadiahi bangkai ayam gundul gemuk, malah dibalas dengan membunuhnya!

"Kelabang celaka!" Kwi Hong marah dan gemas sekali teringat akan ini, dua kali pedangnya berkelebat.

"Cres! Cress!"

Dia terkejut karena pedangnya bertemu dengan kulit yang amat alot dan keras. Andaikata bukan Li-mo-kiam yang berada di tangannya, tentu dia akan kecelik kalau tidak mengerahkan sin-kang, karena kulit kelabang itu ternyata amat tebal. Akan tetapi Li¬mo-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuhnya menggila, maka dua kali sabetan itu berhasil baik, tubuh kelabang terpotong menjadi tiga, leher dekat kepala dan dekat ekornya putus! Akan tetapi bagian tengahnya yang masih panjang itu menggeliat-geliat hidup sehingga Kwi Hong merasa jijik untuk mengambilnya.

"Bodoh, lekas masukkan botol!" Bu-tek Siauw-jin membentak.

Kwi Hong menabahkan hatinya, disambarnya bagian badan yang masih panjang dan menggeliat itu. Hampir saja dilepaskannya kembali karena jari-jari tangannya merasa geli dan jijik, seperti memegang ular saja. Akan tetapi karena botol di tangan kirinya sudah siap, dia cepat memasukkan bagian tubuh yang menggeliat-geliat itu ke dalam botol, menutupkannya rapat-rapat kemudian hendak mengambil kembali pedangnya yang tadi dia tancapkan di atas tanah ketika tangan kanannya mengambil tubuh kelabang.

"Aihhh....!"

Kwi Hong menjerit dan tidak jadi mengambil pedang karena melihat betapa seluruh tangan kanannya menjadi merah kehitaman dan mulailah terasa kaku dan lumpuh!

"Itulah racunnya yang kuat sekali. Nih, pegang batu hijau ini!"

Gurunya menyerahkan batu hijau ke tangan kanan Kwi Hong yang keracunan. Gadis itu menerima batu hijau dan menggenggamnya. Sebentar saja warna tangannya putih kembali, racun yang amat jahat itu disedot habis oleh batu hijau.

"Kau simpan batu itu dan tak akan ada racun dapat mempengaruhi kulitmu. Akan tetapi kalau engkau sudah selesai berlatih dan sudah makan perut kelabang bunting, tubuhmu lebih kebal dari racun, lebih hebat daripada batu hijau itu!"

Kakek ini tertawa-tawa, lalu dia mengambil bangkai kelabang jantan yang berada di dalam lubang, kemudian mengajak Kwi Hong kembali ke tempat tadi. Dapat dibayangkan betapa jijik hati Kwi Hong ketika melihat empat ekor kelabang besar yang tadi dengan lahap makan isi perut ayam, kini masih melingkar di tempat tadi, diam tak bergerak sama sekali dan tubuh mereka menjadi gemuk dan menggembung seperti mau pecah. Seluruh isi perut ayam habis bersih, dan anehnya, sepuluh ekor kelabang yang telah mati tadi pun lenyap tak tampak bekasnya sama sekali.

"Ha-ha-ha, heh-heh-heh! Untung besar! Empat ekor ini benar-benar gembul dan kiciak (pelahap dan segala macam dimakan tanpa jijik)! Bangkai sepuluh ekor temannya sendiri masuk perut! Ha-ha-ha, kita pesta besar! Engkau makan kelabang bunting, aku mengganyang lima ekor kelabang gembul!"

Sambil berkata demikian, kakek sinting itu menggunakan kedua tangannya menangkap empat ekor kelabang itu yang sama sekali tidak melawan atau meronta karena memang sudah tak dapat bergerak saking kenyangnya! Dia mengumpulkan empat ekor kelabang kekenyangan itu dengan bangkai kelabang terbesar yang mati di dalam lubang betina. Empat kali telunjuknya bergerak memukul dan empat ekor kelabang itu mati dengan kepala pecah.

"Sebetulnya, daging kelabang paling enak kalau digoreng dan dimakan dengan cocol kecap, hemmm.... sedap bukan main. Sayang di sini tidak ada minyak, maka kita godok saja. Dimasak kuah juga enak sekali, kuahnya sedap dan banyak vitamin! Heh-heh-heh!"

Kwi Hong merasa hendak muntah. Akan tetapi ditekannya persaan itu dan berkata,
"Suhu, aku khawatir takkan dapat menelan kelabang ini...." Dia meletakkan botol terisi kelabang bunting itu ke depan suhunya.

"Eh-eh, bodoh! Apa engkau hendak menyia-nyiakan kesempatan baik mendapatkan ilmu yang membuat tubuhmu kebal akan segala racun yang dapat menimbulkan sin-kang yang tiada tandingannya di dunia? Pula, apa kau kira daging kelabang tidak enak?"

"Aku jijik, Suhu. Dan tentu saja tidak enak!"

"Wah-wah, picik sekali engkau. Heh, murid tolol. Kapankah engkau pernah makan daging kelabang?"

"Selama hidupku belum pernah!" jawab Kwi Hong cepat-cepat untuk menyatakan bahwa selama ini, sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, dia hidup "bersih"!

"Itulah tololnya! Kalau selama hidupmu engkau belum pernah makan daging kelabang, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa daging kelabang tidak enak dan menjijikkan? He, Kwi Hong, jangan engkau meniru-niru manusia-manusia yang berwatak munafik itu!"

"Hemm, urusan makan daging kelabang, mengapa menyangkut urusan orang berwatak munafik?" Kwi Hong terheran.

"Tentu saja sama! Orang-orang munafik itu pun begitu, hanya karena membaca kitab atau mendengar ucapan mulut orang lain, tanpa membuktikan dan menyatakan sendiri, sudah mengambil keputusan mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi! Sampai-sampai ada yang mati-matian bersumpah bahwa dia mati-matian membenci dan memusuhi segala setan dan iblis!"

"Tentu saja, Suhu!"

Kakek sinting itu memandang muridnya dengan mata terbelalak, lalu meloncat berdiri dan membanting-banting kedua kakinya, seperti anak kecil yang rewel dan sudah siap menangis!

"Apa? Engkau....? Muridku....? Engkau pun ikut-ikutan latah dan munafik? Jadi engkau pun membenci dan memusuhi setan dan iblis? Coba katakan, kenapa kau membenci mereka?"

"Hemm.... karena mereka jahat, karena musuh manusia!"

"Ngawur! Apakah setan dan iblis itu ada? Pernahkah engkau bertemu dengan setan dan iblis?"

Melihat suhunya mencak-mencak dan memekik-mekik marah, Kwi Hong menjadi gentar juga. Dia menggeleng kepala dan menjawab

"Tidak pernah ada, Suhu."

"Kau tidak pernah bertemu dengan setan atau iblis, engkau tidak tahu apakah mereka itu ada atau tidak, bagaimana engkau sudah mengambil keputusan memusuhi dan membenci mereka, bagaimana bisa mengatakan mereka jahat dan musuhmu? Eh, bocah tolol. Coba jawab lagi, pernahkah engkau diganggu setan atau iblis? Dicubit? Dipukul? Dimaki atau ditipu? Hayo jawab yang jujur! Pernahkah engkau diperlakukan jahat oleh setan atau iblis? Kalau pernah, kapan dan di mana, dan bagaimana? Ceritakan!"

Kwi Hohg melongo. Gurunya ini benar-benar sinting, akan tetapi ditanya seperti itu, dia tidak dapat menjawab. Tentu saja dia belum pernah bertemu, dan kalau belum pernah bertemu, bagaimana mungkin dia bisa diganggu. Bahkan ada atau tidaknya setan iblis masih merupakan teka-teki yang tak dapat dijawab dengan kenyataan. Kembali dia menggeleng kepala,

"Belum pernah, Suhu!"





Tidak ada komentar:

Posting Komentar