FB

FB


Ads

Kamis, 22 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 071

Betapapun tinggi dan mahirnya tingkat gin-kang Milana, namun dengan perut dan dada terasa nyeri karena terguncang dan terluka oleh pukulan Thian Tok Lama, sedangkan paha kirinya robek kulitnya, kiranya dia akan terbanting juga ke atas lantai kamar tahanan jika tidak cepat-cepat Suma Han bertindak, melayang turun dan mendahuluinya, memondongnya sebelum tubuh dara itu terbanting ke atas lantai!

Akan tetapi dara itu tidak menjadi girang ditolong ayahnya. Sebaliknya dia merasa makin gelisah dan terkejut sekali karena tadinya dia mengira ayahnya itu telah berhasil membebaskan diri untuk memberitahukan ibunya. Siapa kira, ayahya itu malah menyusulnya ke bawah!

"Aihhhh.... mengapa engkau berada di sini....?" Milana menegur penuh kekecewaan dan penyesalan.

"Hemm, Alan, mengapa engkau melepaskan diri dari pondonganku tadi?"

Suma Han menegur setelah menurunkan tubuh dara itu duduk di atas lantai yang terbuat dari batu hitam.

Setelah menghela napas melepaskan kekesalan hatinya, Milana menjawab,
"Aku sengaja melepaskan diri agar Paman tidak terganggu dan dapat meloloskan diri, kemudian memberitahukan Ibu, sehingga Paman dan Ibu dapat bekerja sama untuk membebaskan aku dan untuk menghadapi mereka yang hendak membunuh Ibu. Siapa tahu, Paman malah menyusulku kesini. Apa perlunya Paman menyusulku, tidak membebaskan diri yang kuyakin dapat Paman lakukan setelah tidak menggendongku?"

Suma Han tersenyum dan merasa makin suka kepada dara ini.
"Perbuatanmu itu baik dan cerdik, akan tetapi juga bodoh sekali, tidak tahu bahwa dirimu terluka cukup hebat dan akan berbahaya kalau tidak segera diobati."

"Aku tidak pernah khawatir tentang diriku, hanya khawatir tentang Paman.... eh, maksudku agar Paman dapat memberi tahu Ibu...." Milana menjadi gugup karena tentu saja dia tidak boleh menyatakan kecemasannya akan keselamatan Pendekar Super Sakti yang "bukan apa-apa" dengan dia! "Mengapa Paman membiarkan diri terjun ke dalam lubang jebakan pula?"

"Alan yang baik dan bodoh! Biarpun menggendongmu, apa kau kira aku akan begitu mudah mereka robohkan? Tidak, aku masih mempunyai harapan besar untuk meloloskan diri. Akan tetapi engkau terjatuh ke dalam jebakan, terpaksa aku menyusulmu karena tidak mungkin aku membiarkan engkau yang terluka terjerumus ke dalam jebakan seorang diri. Kalau engkau tidak terluka, mungkin lain lagi. Aku menyusulmu karena harus mengobatimu. Engkau terkena pukulan beracun."

Diam-diam hati Milana menjadi girang dan terharu, sehingga terusirlah kekecewaannya. Ayahnya ini benar-benar seorang pendekar tulen! Seorang satria pilihan! Kalau ayahnya mengenal dia sebagai anak kandung, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi ayahnya tidak mengenalnya, bahkan dia adalah puteri musuhnya, seorang tawanan, namun ayahnya ini rela berkorban diri ikut masuk ke dalam jebakan karena tidak tega melihatnya terluka dan ingin mengobatinya!

Dia yang sejak kecil rindu akan kasih sayang ayah, kini melihat sikap ayahnya, ingin dia menangis dan berlutut memeluk kaki tunggal orang yang menjadi ayah kandungnya itu. Terhadap orang bukan anaknya saja demikian baik budi, apalalagi kalau tahu dia anaknya!

"Luka di pahaku bukan apa-apa, Paman. Hanya tergores sedikit....!"

"Hemm, kulit dan daging terobek kau bilang hanya tergores. Akan tetapi luka di paha itu memang tidak berbahaya, yang harus segera diobati adalah luka akibat pukulan Thian Tok Lama. Bagian mana yang terkena?"

"Di perut dan dada, Paman. Rasanya sesak napas dan perih-perih di dalam perut."

"Hemmm, kuatkan hatimu dan jangan salah duga, Alan. Aku terpaksa harus melihat tempat yang terpukul untuk menentukan sampai berapa hebat lukanya. Cukup kau buka sedikit pakaianmu, memperlihatkan ulu hatimu dan perut di atas pusar, sebentar saja."

Kalau saja laki-laki lain yang ingin melihat ulu hati dan perutnya, biarpun dia terluka parah dan hendak diobati, tentu dia tidak akan sudi melakukannya. Akan tetapi setelah beberapa hari melakukan perjalanan dengan Pendekar Super Sakti, setelah dengan penuh keyakinan mengenal watak pendekar besar ini, andaikata pendekar ini bukan ayahnya sendiri sekalipun, tentu Milana akan memenuhi permintaannya tanpa ragu-ragu. Apalagi ayahnya sendiri!

Maka dengan gerakan wajar dan sedikitpun tidak kelihatan malu-malu, dara itu lalu membuka pakaiannya dari depan berikut pakaian dalam, memegangi pakaian itu di kanan kiri memperlihatkan bagian tubuh depan dari leher sampai ke pusar.

Suma Han yang sudah berlutut dengan kaki tunggalnya hendak memeriksa tubuh dara yang sudah berbaring terlentang di atas lantai, terpesona dan terbelalak, matanya terbuka lebar dan jelas sekali tampak dadanya terguncang turun naik, napasnya agak memburu.

Diam-diam Milana terkejut bukan main, seperti kilat menyambar ke dalam kepalanya dugaan yang mengerikan kalau-kalau ia salah mengenal ayahnya ini, salah mengenal wataknya!

"Ini.... apakah ini....?"

Tiba-tiba Suma Han berkata dengan suara gemetar dan jari tangannya menyentuh belahan dada di atas ulu hati dimana tampak sebuah mata kalung terbuat dari emas berhiaskan batu kemala berwarna hijau, berbentuk seekor burung Hong berbulu hijau.

Leher Milana seperti dicekik. Hampir dia terisak untuk menyatakan penyesalan hatinya yang telah secara keji menuduh ayahnya seorang laki-laki yang berwatak cabul dan mata keranjang. Kiranya ayahnya bukan terpesona oleh kulitnya yang halus dan putih kekuningan, melainkan terpesona oleh mata kalungnya!

"Itu hanya mata kalung, Paman."

"Mata kalung ini.... burung Hong berbulu hijau.... eh.... aku.... aku pernah melihatnya.... di dada seorang.... aih, Alan, dari mana engkau memperoleh benda ini?"

Ketika Milana mengangkat pandang mata dan bertemu pandang dengan ayahnya, dara ini mengkirik. Pantas saja ayahnya dijuluki Pendekar Siluman oleh para musuhnya. Mata ayahnya benar-benar bukan seperti mata manusia kalau sudah memandang seperti itu. Seolah-olah keluar sinar yang melebihi ujung pedang tajamnya, yang menusuk dan langsung menembus dada menjenguk isi hati!

Milana menjadi khawatir sekali. Kalung ini adalah pemberian ibunya! Dan dia tahu bahwa yang memakai kalung seperti ini, menurut penuturan ibunya, hanyalah puteri-puteri Kaisar! Celaka sekarang, tentu akan terbongkar rahasia ibunya, rahasianya!






"Ini....? Ah, ini pemberian Ibuku, hasil pencurian anak buah Thian-liong-pang dari kamar pusaka istana Kaisar!" Milana melihat sinar mata itu menjadi kecewa, seperti mata orang yang salah mengira. "Eh, Paman. Mengapa Paman bersikap begini aneh? Hendak memeriksa lukaku ataukah hendak memeriksa kalung?"

Suma Han menghela napas panjang, dengan sukar dia mengalihkan pandang matanya dari mata kalung itu, betapa tidak akan terguncang hatinya melihat mata kalung itu. Dahulu ia pernah mengagumi mata kalung itu di dada wanita lain yang sama halus dan putih seperti dada gadis ini!

"Ohhh.... maafkan aku."

Dengan cekatan dan cepat dia melihat ulu hati dan perut dara itu, kemudian meraba dengan telapak tangannya sebentar, lalu bangkit berdiri.

"Ah, untung pendeta Tibet itu tidak menggunakan seluruh tenaga Hek-in-hwi-hong-ciang. Agaknya memang dia tidak berniat membunuhmu. Lukamu tidak berbahaya, hanya terguncang saja. Bereskan kembali bajumu."

Milana memakai kembali dan mengancingkan kembali bajunya. Kemudian Suma Han memeriksa paha yang terluka. Diambilnya sebungkus obat luka dari saku bajunya, dan begitu luka itu diberi obat bubuk berwama merah, rasa nyerinya hilang dan terasa dingin nyaman.

Kemudian Suma Han duduk di belakang dara itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung atas dan bawah. Hanya beberapa menit saja dia melakukan pengobatan ini. Milana merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang amat panas, yang menyusup masuk ke dalam tubuhnya, berputaran di sekitar perut dan dadanya. Setelah pendekar itu melepaskan kedua tangannya, rasa nyeri di dalam dada dan perutnya lenyap sama sekali! Tentu saja dia menjadi girang dan kagum bukan main!

"Terima kasih, Paman. Semua rasa nyeri lenyap. Aku sudah sembuh. Sayang sekali Paman tertawan di sini dan pedang Pek-kong-kiam pemberian Paman itu terampas oleh Koksu."

"Jangan menyesalkan hal yang sudah terjadi. Engkau perlu beristirahat agar kesehatanmu cepat pulih sama sekali. Rebah dan tidurlah."

Milana menurut, merebahkan diri dan berbaring menghadapi ayahnya. Suma Han duduk menekuk kaki tunggalnya seperti orang bersila, alisnya berkerut dan dia seperti orang termenung, sama sekali tidak mempedulikan keadaannya, tidak memeriksa tempat tahanan seolah-olah tidak ada pikiran untuk berusaha keluar dari situ! Wajah tampan yang dikelilingi rambut putih itu kelihatan berduka sekali.

Milana merasa kasihan. Ayahnya kelihatan berduka sekali. Apakah karena tertawan ini? Mustahil! Ayahnya sengaja membiarkan dirinya tertawan, hanya untuk dapat mengobatinya! Ah, tentu karena mata kalung tadi! Tentu teringat akan Puteri Nirahai! Benarkah ini? Apakah ayahnya masih mencinta ibunya? Kalau masih mencinta, seperti ibunya yang kadang-kadang juga tampak mencinta ayahnya, mengapa mereka saling berpisah?

"Paman, kenapa Paman terkejut melihat kalungku? Siapakah yang dahulu pernah memakai kalung ini, Paman?"

Suma Han hanya menoleh sebentar, akan tetapi pandang matanya sayu dan seolah-olah dia tidak melihat wajah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya terdengar suara menggumam dari bibirnya yang tetap tertutup, melalui hidung,

"Hemmm...."

Sunyi sejenak dan pendekar itu tetap duduk melamun, sedangkan Milana merasa makin kasihan. Jelas, tentu ayahnya itu sedang mengenang ibunya! Ingin dia mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi antara kedua orang tuanya itu. Ibunyapun selalu menutup mulut kalau ditanya mengenai hal ini, seakan-akan merasa tidak senang untuk bicara tentang itu. Ingin pula dia tahu rahasia apa yang terdapat antara ayahnya dan Pulau Neraka sehingga ayahnya bersikap demikian lunak terhadap Wan Keng In yang jahat.

"Apakah engkau tidak percaya kepadaku?"

Tiba-tiba Milana bertanya, suaranya agak nyaring karena suara ini tanpa disadarinya timbul dari hatinya, melalui mulut sehingga dia sendiri menjadi kaget.

Akan tetapi pertanyaan itu menyadarkan Suma Han. Pendekar ini menoleh dan mereka saling berpandangan. Melihat wajah dara itu, entah mengapa, timbul sesuatu yang mengharukan dan mesra di hati Suma Han sehingga timbul niat di hatinya untuk membuka semua isi hatinya, untuk membuka semua rahasianya terhadap dara ini!

Hanya ada seorang saja di dunia ini yang telah dia percaya, yaitu Phoa Ciok Lin, bekas saudara seperguruannya di waktu dia kecil dahulu, yang kini telah menjadi wakilnya urusan dalam di Pulau Es. Kepada wanita yang dia tahu amat mencintanya itu, cinta sepihak, dia telah membukakan semua rahasia hatinya, telah menumpahkan semua isi hatinya dan kini perasaan seperti itu timbul ketika dia bertemu pandang dengan gadis ini!

"Alan, ketahuilah bahwa aku pernah melihat kalung yang persis seperti yang kau miliki itu tergantung di leher.... isteriku."

"Aku pernah mendengar bahwa Paman Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es adalah seorang yang tidak beristeri."

"Aku pernah mempunyai isteri, Alan."

"Dimanakah dia sekarang, Paman?"

"Entah dimana...."

"Kalung ini adalah curian dari kamar pusaka istana, dan menurut keterangan, hanya puteri-puteri Kaisar saja yang memakainya. Bagaimana isteri Paman dapat memakai kalung seperti ini? Apakah Paman juga mencuri dari istana lalu dihadiahkan kepadanya?" Milana memancing.

Suma Han menggeleng-geleng kepala. Agaknya ragu-ragu, kemudian setelah sekali lagi memandang wajah dara itu, melihat betapa sinar mata dara itu penuh keharuan dan penuh harapan mendengar ceritanya dia lalu berkata,

"Dengarlah, ia adalah seorang puteri Kaisar! Dia adalah Puteri Nirahai! Dan dia telah meninggalkan aku! Ohh!"

Melihat betapa pendekar itu menutupi muka dengan kedua tangan, Milana tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya bercucuran, akan tetapi dia menahan diri, menekan hatinya agar jangan menjeritkan sebutan ayah, hanya jari tangannya saja yang diangkat menyentuh lengan pendekar itu, suaranya agak tergetar.

"Paman.... jangan.... jangan bersedih...."

Suara yang penuh getaran ini membuat Suma Han menurunkan kedua tangan dan tampaklah dua titik air mata menuruni pipinya. Dia terkejut dan memegang tangan gadis itu ketika melihat betapa gadis itu mencucurkan air mata!

"Kau.... kau menangis?"

Milana mengangguk, berusaha tersenyum sehingga menambah kemesraan dan keharuan yang membayang di wajahnya karena biarpun bibirnya tersenyum paksaan, sepasang matanya basah!

"Aku kasihan sekali kepadamu, Paman. Mengapa dia meninggalkan Paman yang begini baik hati? Mengapa dia begitu kejam?"

"Tidak! Dia tidak kejam, Alan, mungkin akulah yang bersalah, aku.... ah, aku tidak tahu harus berbuat apa. Sebaiknya kau mendengar semua yang terjadi antara aku dan isteriku."

"Baik, akan kudengarkan, Paman dan terima kasih sebelumnya atas kepercayaanmu kepadaku."

"Kami saling mencinta, Puteri Nirahai dan aku. Sampai-sampai dia meninggalkan istana, meninggalkan Kaisar yang menjadi ayahnya dan meninggalkan kedudukan mulia karena dia adalah seorang panglima tertinggi di kerajaan ayahnya. Akan tetapi setelah kami berdua melarikan diri sebagai orang-orang buruan kerajaan, dan kami berkumpul sebagai suami isteri selama sebulan, dia meninggalkan aku! Dia mengajakku pergi menghambakan diri ke Mongol, aku menolaknya dan dia pergi sendiri, meninggalkan aku. Hidupku menjadi hampa, aku merana seorang diri, kemudian aku kembali ke Pulau Es, dimana aku dahulu menggembleng diri ketika masih muda sekali, dan menjadi To-cu disana. Dan.... begitulah.... agaknya kami berdua, dia dan aku memang tidak berjodoh...."

Milana mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa tidak setuju dengan tindakan ibunya. Mengapa ibunya meninggalkan suami yang dicintanya? Seorang isteri seharusnya mengikuti suaminya, kemana pun suaminya pergi!

"Apakah Paman tidak pernah berjumpa dengan dia lagi?"

"Pernah kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan dia.... dia telah mempunyai seorang anak perempuan, dia anakku.... anak kami.... dia telah mengandung ketika pergi meninggalkan aku ke Mongolia."

Suma Han tak dapat melanjutkan ceritanya karena kembali dia melamun dan kelihatannya berduka sekali.

Melihat itu, Milana yang hanya ingin mendengar penuturan tentang ayah kandungnya itu, segera mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan pikiran ayahnya.

"Paman, ketika Paman bertemu dengan Wan Keng In, Paman telah memperlihatkan sikap amat lunak. Ada hubungan apakah kiranya Paman dengan dia? Dan mengapa dia mengatakan bahwa Paman telah merusak penghidupan ibunya, telah membikin sengsara ibunya?"

Benar saja, pertanyaan ini membuat Suma Han sadar dan dapat melupakan Nirahai. Akan tetapi, perhatiannya kini berpindah kepada Lulu oleh pertanyaan itu dan kesedihan yang lebih besar lagi melanda hatinya!

"Engkau sudah banyak mendengar riwayatku, baiklah engkau dengar seluruhnya, Alan. Ibu Keng In bernama Lulu, dan dia itu adalah adik angkatku yang menikah dengan seorang sahabatku bernama Wan Sin Kiat, seorang pemuda yang gagah perkasa dahulu. Mereka mempunyai seorang putera, yaitu Wan Keng In."

Milana mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya karena dia merasa heran sekali.
"Apakah ayah pemuda itu dahulu ketua Pulau Neraka?"

"Ah, sama sekali tidak! Wan Sin Kiat dahulu adalah seorang pejuang yang amat gagah perkasa, bahkan dia akhirnya tewas karena gugur dalam perjuangan."

"Aihhh, kalau begitu, mengapa adik angkatmu itu bisa menjadi To-cu Pulau Neraka yang kabarnya ganas dan lihai seperti iblis? Dan mengapa pula puteranya memusuhimu dan kulihat dia amat membencimu? Apakah adik angkatmu itu yang telah menjadi To-cu Pulau Neraka, juga membencimu?"

Suma Han mengangguk.
"Seperti juga Nirahai, Lulu telah membenciku. Semua orang di dunia ini membenciku...."

"Mengapa, Paman?"

"Panjang ceritanya, Nona. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah engkau mendengar seluruhnya. Akupun tadinya tidak tahu bahwa dia marah dan membenciku, sebelum aku bertemu dengan dia di Pulau Neraka, ketika aku membebaskan Kwi Hong yang diculiknya. Seperti juga dengan Nirahai, aku tadinya tidak tahu bahwa dia membenciku, baru kuketahui setelah aku bertemu dengannya. Aku seorang manusia bodoh dan segala canggung...."

Milana memegang tangan pendekar itu.
"Tidak! Engkau seorang gagah perkasa yang tiada keduanya di dunia! Engkau seorang yang paling jantan, paling berbudi mulia di dunia ini!"

Mata Suma Han terbelalak, kemudian dia berkata setelah gadis itu melepaskan pegangan tangannya dan menunduk karena baru Milana sadar bahwa kembali dia dikuasai hatinya.

"Ketika aku bertemu dengannya di Pulau Neraka, aku terkejut mengenal Ketua Pulau Neraka itu bukan lain adalah adik angkatku sendiri, Lulu. Dari mulutnya sendiri aku mendengar pengakuannya yang luar biasa, bahwa dia semenjak dahulu mencintaku, bukan sebagai adik angkat, melainkan sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Dia menyalahkan aku yang telah menjodohkannya dengan Wan Sin Kiat padahal kami saling mencinta, katanya.

Setelah memperoleh seorang putera, dia meninggalkan suaminya karena tidak tahan lagi berpisah dengan aku, lalu membawa puteranya pergi, Wan Sin Kiat gugur dalam perjuangan karena diapun tahu akan isi hati isterinya, bahwa isterinya itu sesungguhnya mencinta aku, maka Wan Sin Kiat seolah-olah membunuh diri dengan berjuang secara nekat. Lulu menyatakan bahwa dia hanya bisa hidup sebagai isteriku atau sebagai.... musuhku! Hampir sama dengan pendirian Nirahai yang katanya mencintaku akan tetapi juga siap untuk memusuhiku dengan kebencian yang tiada taranya."

Milana mendengarkan penuturan itu tanpa pernah berkejap mata, seolah-olah pandang matanya bergantung kepada bibir Pendekar Super Sakti yang bicara bergerak-gerak. Hatinya tertarik sekali, terbayang dalam pikirannya semua pengalaman ayahnya, dan ia seolah-olah ikut pula hidup dalam pengalaman itu, ikut merasa suka dukanya, merasa tegang, terharu dan penasaran. Barulah sesudah pendekar itu berhenti bicara, ia terlempar kembali ke dunia kenyataan dengan masih membawa semua perasaan terharu dan penasaran.

"Paman, tidak perlu kutanya lagi, kiranya tentu Paman mencinta isteri Paman, Puteri Nirahai itu, bukan?"

"Tentu saja. Kalau tidak, tentu aku tidak menjadi suaminya."

"Bagaimanna perasaan Paman terhadap Lulu itu? Apakah Paman juga cinta kepada wanita aneh itu?"

Suma Han mengangguk, persis seperti pengakuannya ketika Phoa Ciok Lin juga menanyakan hal yang sama. Akan tetapi kalau Phoa Ciok Lin, sebagai seorang wanita yang sudah lebih matang oleh usia dan lebih maklum akan lika-liku cinta antara pria dan wanita yang mengandung banyak keanehan, gadis itu masih penasaran dan mendesak.

"Bukan cinta kakak angkat?"

"Bukan, Alan. Terus terang saja, aku mencinta Lulu sebagai seorang pria terhadap wanita. Bahkan semenjak dahulu dia kucinta. Dialah cinta pertamaku, dan aku tak pernah berhenti mencintanya. Antara kami terdapat api cinta yang kekal, semenjak kami masih belum dewasa, akan tetapi karena hubungan kami sebagai kakak dan adik angkat, kami berdua menganggapnya sebagai cinta saudara. Setelah dia kukawinkan dan kami saling berpisah, barulah terasa bahwa sesungguhnya kami saling mencinta sebagai pria dan wanita! Aku menemukan cintaku yang ke dua terhadap Nirahai, akan tetapi gagal pula."

"Paman, kini aku mengerti mengapa Paman bersikap lunak terhadap Wan Keng In. Kiranya dia adalah putera sahabat baik dan adik angkat Paman, jadi dia masih keponakan Paman sendiri. Tentu Paman tidak sampai hati untuk mencelakainya, untuk menghancurkan hati Lulu, wanita yang Paman cinta."

"Hemm, engkau masih begini muda akan tetapi dapat menyelami perasaanku, Alan. Memang demikianlah halnya."

"Paman, siapakah antara mereka berdua yang lebih Paman cinta, Puteri Nirahai ataukah Lulu?"

Milana bertanya sambil miringkan tubuh, menghindarkan pandang matanya dan kini dia tidak mengangkat muka, melainkan merebahkan kepalanya di atas lantai dengan telinga menempel lantai.

"Hemm, pertanyaan aneh karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu bahkan hatiku sendiripun belum pernah. Aku mencinta keduanya, sukar untuk dikatakan dan diukur siapa yang lebih kucinta, sungguhpun dasar yang mendorong cinta kasihku berbeda. Terhadap Nirahai didorong oleh anak kami itu, sedangkan terhadap Lulu didorong oleh masa muda kami.... heii, ada apakah, Alan?"

Suma Han terkejut ketika melihat sepasang mata gadis itu terbelalak penuh keheranan dan alisnya berkerut, wajahnya agak berubah. Atas pertanyaannya, Alan menudingkan telunjuk ke lantai dan berbisik.

"Ada suara tertawa di bawah lantai!"

Suma Han mengerutkan alisnya. Tak mungkin, kata hatinya. Dia telah memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari gadis itu, sin-kangnya amat kuat dan pendengarannya tentu jauh lebih tajam. Kalau gadis itu dapat mendengar suara ketawa, masa dia tidak mendengar apa-apa sama sekali? Suma Han menggeleng kepala dan berkata tirih,

"Alan, jangan bingung sehingga engkau mendengar yang bukan-bukan. Percayalah, aku akan mampu membawamu keluar dari tempat ini!"

Milana bangkit duduk dan berkata,
"Benar-benar ada orang tertawa di bawah lantai ini, Paman. Kalau tidak percaya, kau dengarlah sendiri!"

Suma Han memandang ke lantai dan dia tertarik. Ternyata ada sebuah lubang kecil di lantai itu, dimana tadi Alan menaruh kepalanya. Agaknya melalui lubang kecil itulah dia mendengar suara dari bawah. Kalau begitu mungkin juga!

Suma Han lalu mendekatkan kepala pada lantai dan menempelkan telinganya di dekat lubang lantai dan.... tak salah lagi! Ada suara orang tertawa-tawa dan bicara di bawah! Bahkan bukan hanya suara satu orang, melainkan dua orang. Suara yang lucu karena diseling tertawa-tawa dan yang dibicarakan juga hal-hal yang lucu, dijawab oleh suara halus seorang wanita. Tiba-tiba Suma Han tersentak kaget ketika mengenal bahwa suara wanita itu adalah suara Kwi Hong!

"Hemmm, kurasa muridku yang bengal, Giam Kwi Hong, berada di ruangan bawah lantai ini," katanya.

Ucapannya itu membuat Milana terheran-heran. Suma Han memindahkan tubuhnya dan dia mendengarkan dari bagian lain dengan hanya menempelkan telinga di lantai karena begitupun sudah cukup jelas baginya untuk dapat menangkap percakapan di bawah, agar gadis itu dapat ikut mendengarkan.

Milana lalu cepat menempelkan telinganya tepat pada lubang kecil itu dan begitu dia mendengar percakapan di bawah yang memasuki telinganya secara sayup-sayup namun cukup jelas, dia tak dapat menahan diri, tertawa cekikikan karena merasa lucu!

"Heh-heh, sungguh untung besar kita! Mendapat teman yang menarik!" terdengar suara parau yang tertawa-tawa dan lucu itu berseru.

"Dikeram seperti ini bagaimana bisa disebut untung besar?" terdengar suara wanita. "Dan siapa teman itu?"

"Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik. Bukankah ada suara jangkerik disini. Hayo kita cari dia!"

Diam sejenak, tidak terdengar apa-apa, akan tetapi mudah bagi dua orang yang mencuri dengar itu untuk menduga bahwa dua orang yang berada di bawah lantai itu tentu sedang sibuk mencari jangkerik! Seperti dua orang anak kecil saja!

"Celaka tiga belas! Sial dangkalan! Dia bersembunyi di dalam lantai berbatu! Mana bisa mengeluarkan dia?" terdengar pula suara parau.

"Apa sukarnya! Kita gali saja, biar dia bersembunyi di balik besi masa pedangku tidak bisa menggalinya?"

"Wahhh, tidak tepat! Pedangmu begitu tajam, jangan-jangan bukan hanya batunya yang tergali akan tetapi juga tubuhnya hancur terkena pedangmu!"

"Habis bagaimana?" Wanita itu bertanya, suaranya agak penasaran.

"Engkau memang bodoh! Sudah menjadi muridku masih bodoh! Bagaimana mengeluarkan jangkerik dari lubangnya tanpa bahaya melukainya? Tentu saja mengaliri lubangnya dengan air. Kalau dia terendam air di dalam lubangnya, tentu dia akan keluar sendiri!"

"Akan tetapi dari mana kita mendapatkan air untuk itu? Untuk minum saja kadang-kadanng kurang! Si bedebah-bedebah itu harus kuhajar kalau tidak menambah jatah minuman untuk kita!"

"Hssshhh! kita adalah orang-orang tahanan, mana bisa mau enak saja? Dan engkau betul memalukan sekali karena bodohmu. Kenapa ribut-ribut mencari air? Bukankah kita, seperti setiap orang manusia di dunia ini, masing-masing mempunyai simpanan air yang cukup di dalam perut?"

"Ihhh! Suhu jorok sekali!"

"Kenapa jorok? Apanya yang jorok? Masa bicara tentang air kencing saja dikatakan jorok? Siapa sih orangnya yang tidak mengenal air kencing? Kalau aku kencingi lubang ini, masa jangkerik itu tidak akan cepat-cepat keluar?"

"Suhu, jangan!" Terdengar mereka berdua tertawa-tawa. "Jangkerik itu mungkin kuat bertahan di dalam lubangnya, akan tetapi aku yang tidak kuat akan baunya!" Kembali mereka tertawa-tawa.

"Kalau Suhu nekad, aku tidak mau lagi berlatih!"

"Wah-wah-wah, kau mengancam, ya? Kalau begitu biarlah jangkerik itu mengerik di dalam lubangnya, akan tetapi engkau harus berlatih sekarang juga, hendak kulihat sampai dimana kemajuanmu."

Suma Han mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tertawa geli seperti puteri Ketua Thian-liong-pang itu, melainkan dengan terheran-heran mendengar murid atau keponakannya itu menyebut "suhu" kakek yang ugal-ugalan dan agaknya benar-benar seorang yang aneh sekali itu.

Keheranannya memuncak ketika tiba-tiba ia mendengar suara mendesir di bawah itu. Itulah suara pedang yang digerakkan secara mujijat! Tak mungkin Kwi Hong dapat bermain pedang sehebat itu, seperti badai mengamuk, biar dia menggunakan Li-mo-kiam sekalipun! Akan tetapi, siapa lagi kalau bukan Kwi Hong?

Kalau Pendekar Super Sakti terheran-heran mendengarkan sambaran angin gerakan pedang yang dimainkan Kwi Hong, pembaca tentu terheran-heran bagaimana gadis dengan gurunya yang sinting itu bisa berada di dalam kamar tahanan di bawah tanah, bahkan letaknya di bawah kamar tahanan Suma Han? Kita tinggalkan dulu Suma Han yang terheran-heran untuk mengikuti perjalanan Kwi Hong bersama gurunya yang sinting itu.

**** 071 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar