FB

FB


Ads

Selasa, 20 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 070

"Ihhh, keparat!"

Koksu menjadi marah sekali, dengan pecut buntungnya dia menotok dari belakang, mengarah punggung Milana. Dara itu meloncat ke depan menghindar, akan tetapi dia disambut oleh pukulan Thian Tok Lama yang telah berjongkok dan mengirim dorongan pukulan dengan tangan kiri. Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke depan, menyambut tubuh Milana yang masih melayang turun.

"Siuuuuutttt!"

Milana yang merasa datangnya angin pukulan dahsyat menyambarnya, terkejut bukan main. Dia berusaha untuk berjungkir balik, akan tetapi tidak keburu dan terpaksa dia mengerahkan sin-kang ke arah dada dan perutnya untuk menahan serangan itu.

"Dessss!"

Angin pukulan menghantam perut Milana, membuat dara itu terjengkang dan hampir terbanting keras kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri miring dan menekan lantai dengan tangan, lalu meloncat bangun.

Napasnya sesak, mukanya pucat dan dia merasa dadanya sakit. Akan tetapi pada saat itu, senjata di tangan Maharya kembali telah menyambar ke arah kakinya. Agaknya pendeta ini akan merobohkannya tanpa membunuhnya, maka menyerang ke arah kaki Milana, tentu saja Milana yang tentu tidak membolehkan kakinya dibabat senjata, meloncat ke atas, dan pedangnya menyambar ke arah leher Maharya yang cepat mengelak ke belakang.

"Gadis berkepala batu!"

Koksu membentak marah. Dia menjadi penasaran sekali. Masa mereka bertiga, kakek-kakek yang berilmu tinggi, harus mengeroyok seorang gadis remaja? Dengan marah dia menerjang dengan pecut yang ujungnya buntung itu, dan kini pecut itu menjadi kaku, dipergunakan sebagai tongkat menotok jalan darah di tengkuk Milana.

"Haiiiitttt!"

Milana memutar tubuh, mengelebatkan pedang dengan niat untuk membabat pecut Koksu agar putus tengahnya. Akan tetapi Koksu tiba-tiba membuat pecut lemas dan pedang menyambar dibiarkannya lewat, kemudian pecut yang sudah lemas itu menyusul dan melibat pedang Milana! Dara itu berusaha menarik pedangnya, akan tetapi tidak berhasil.

"Brett.... auhhhh!"

Milana melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Paha kirinya tampak dan berdarah karena celana dan kulit pahanya robek diserempet senjata Maharya. Akan tetapi, gadis yang sedikitnya mewarisi watak keras dan berani mati dari ibunya ini, tidak menjadi jerih, bahkan tangannya kanan kiri bergerak dengan cepat. Tampak sinar-sinar menyambar dibarengi bau harum ke arah tiga orang kakek dan empat orang panglima.

"Awas jarum!" teriak Maharya.

Untung dia berseru keras sehingga empat orang panglima yang dibandingkan tiga orang kakek itu, jauh lebih rendah tingkat kepandaiannya, dapat cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan.

Koksu, Maharya dan Thian Tok Lama tentu saja dengan mudah dapat meruntuhkan jarum-jarum yang menyambar mereka. Thian Tok Lama kembali mengirim pukulan dari belakang kepada tubuh Milana yang mengeluh perlahan dan roboh miring. Pahanya yang kiri terluka berdarah dan perut serta dadanya juga terluka, biarpun tidak amat parah namun membuat napasnya sesak dan tenaga sin-kangnya tak dapat ia kerahkan.

"Iblis-iblis tua bangka tak tahu malu, mengeroyok seorang anak perempuan!"

Tiba-tiba terdengar suara dan tampak bayangan berkelebat amat cepat memasuki ruangan itu melalui jendela yang tadi pecah oleh Maharya. Sukar diikuti pandangan mata bayangan itu dan tahu-tahu Pendekar Super Sakti telah berdiri di situ, berkata halus kepada Milana.

"Bangkitlah dan duduk di punggungku!"

Milana girang bukan main melihat munculnya ayahnya ini. Cepat ia meloncat bangun, menahan rasa nyeri di paha, perut dan dadanya, kemudian ia meloncat ke punggung Suma Han, mengaitkan kedua kakinya yang panjang di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengannya di atas kedua pundak. Semua gerakan ini dilakukan selagi Suma Han berdiri dengan satu kaki, sedikitpun tidak bergoyang dan pandang matanya ditujukan kepada Maharya.

"Hemmm, kulihat engkau memperoleh kemajuan setelah berada di kota raja, Maharya!" katanya halus namun nadanya penuh teguran dan ejekan. "Akan tetapi hanya kemajuan lahiriah dan duniawi yang kau peroleh, sedangkan batinmu makin mundur dan makin mendekati jurang kehancuran!"

"Pendekar Siluman! Engkau manusia kaki buntung sejak dahulu memang sombong! Apa kau kira aku takut kepadamu?" jawab Maharya.

Koksu yang melihat munculnya pendekar yang ditakuti ini, cepat mengeluarkan suitan tiga kali untuk memberi aba-aba kepada para pengawalnya sehingga terdengarlah suara hiruk pikuk di luar ruangan itu dan puluhan orang pengawal telah mengurung tempat itu dengan ketat, siap untuk melakukan penyerbuan dan pengeroyokan!

"Hemmm, sungguh Koksu negara sekarang ini amat gagah perkasa!" Suma Han mengejek.

Im-kan Seng-jin Bbong Ji Kun berkata lantang.
"Pendekar Siluman, engkau datang seperti maling, tentu saja kami mempersiapkan orang untuk mengepungmu! Engkau adalah To-cu dari Pulau Es, mengapa sekarang engkau mencampuri urusan kami dengan puteri Ketua Thian-liong-pang?"

"Bhong-koksu, aku melindungi gadis ini adalah urusan antara aku dan dia sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan engkau. Dan memang aku sengaja datang kesini untuk bicara dengan engkau dan Maharya!"

Suara Suma Han penuh wibawa dan sikapnya tetap tenang, sedikitpun tidak kelihatan gentar biarpun menghadapi pengepungan orang-orang pandai ditambah puluhan orang pasukan pengawal.

"Heh, Pendekar Siluman! Engkau mencariku mau apa?"

Maharya membentak, agaknya marah sekali karena menurut perkiraan pendeta ini, yang membunuh Thai Li Lama dan muridnya, Tan Ki, dan juga yang merampas Hok-mo-kiam, tentulah Pendekar Siluman ini.

"Maharya, perlukah engkau bertanya lagi? Engkau telah membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Aku datang untuk minta kembali pedang itu!"






Dapat dibayangkan betapa mendongkolnya hati Maharya, akan tetapi diam-diam kakek ini percaya akan kata-kata Pendekar Siluman. Seorang sakti seperti Si Kaki Buntung itu tentulah tidak mau bicara bohong dan ucapannya tadi membuktikan bahwa pembunuh muridnya dan perampas pedang Hok-mo-kiam bukanlah Pendekar Siluman.

"Kalau tidak kuberikan engkau mau apa?" tantangnya dan merasa tidak perlu lagi memberi tahu kehilangan pedang itu.

"Aku akan menggunakan kekerasan memaksamu mengembalikannya kepadaku!" kata pula Suma Han.

Bhong Ji Kun tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha! Sungguh hebat sekali, sungguh besar sekali mulutnya dan luar biasa kesombongannya! Pendekar Siluman, engkau hanya seorang yang berkaki satu, kini menggendong gadis yang luka parah itu, masih bicara sombong hendak menggunakan kekerasan terhadap seorang pembantuku! Hemmm, setelah kau mengatakan keperluan mencari Paman Guruku, sekarang ceritakan apa pula keperluanmu mencari aku?"

"Bhong-koksu, engkau juga pandai berpura-pura. Bukan engkau yang harus bertanya melainkan akulah yang ingin bertanya kepadamu, mengapa engkau memimpin pasukan menyerbu Pulau Es dan Pulau Neraka? Aku datang untuk minta pertanggungan jawabmu, dan sebelum engkau menjelaskan, jangan harap engkau akan lolos dari tanganku!"

"Ha-ha-ha, benar-benar manusia sombong! Engkau tahu bahwa engkau sejak dahulu adalah seorang manusia buruan musuh kerajaan. Engkau tahu bahwa aku adalah seorang koksu negara, tentu saja apa yang kulakukan merupakan tugas dari pemerintah! Suma Han, Pendekar Siluman, engkau menyerahlah bersama gadis itu. Melawan pun takkan ada gunanya karena kalian telah terkepung dan sebentar lagi datang pasukan yang ratusan orang jumlahnya. Andaikata engkau mampu lolos dari gedung ini, engkau pun tak mungkin dapat lolos dari kota melalui ribuan orang tentara penjaga."

"Kalian memang manusia-manusia yang curang dan pengecut, beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan jumlah besar. Aku tahu betul bahwa pemerintah Kerajaan Ceng tidak akan mengganggu Pulau Es dan Pulau Neraka yang selamanya tidak pernah memberontak atau melawan pemerintah. Tentu karena dorongan kehendakmu dan orang-orang macam Maharya inilah maka terjadi penyerbuan. Bhong Ji Kun dan Maharya, aku menantang kalian menyelesaikan urusan antara kita secara jantan, atau kita putuskan dan selesaikan di ujung senjata!"

"Ha-ha-ha, kematian sudah berada di ujung hidung masih berlagak mengeluarkan tantangan. Serbu dan bunuh pemberontak-pemberontak ini!"

Bhong Ji Kun berseru sambil menudingkan pedang Pek-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Milana tadi ke arah Suma Han sebagai isyarat kepada para pengawalnya yang sudah mengurung di luar pintu dan jendela ruangan itu.

"Alan, pegang yang amat erat, kita harus keluar dari sini lebih dulu!"

Suma Han berbisik kepada gadis yang berada di gendongan punggungnya. Dia bukan seorang nekat dan maklum bahwa kalau dia mengamuk menuruti nafsu kemarahannya terhadap Bhong-koksu dan Maharya, tak mungkin dia dapat menandingi ratusan, bahkan ribuan orang perajurit pengawal.

Juga dia tidak ingin menyebar maut diantara para perajurit itu, maka dia mengambil keputusan untuk melarikan diri lebih dulu, mengobati luka-luka Milana, kemudian mencari jalan untuk dapat berhadapan dengan musuh-musuhnya tanpa campur tangan pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.

"Jangan harap dapat melarikan diri!"

Bhong-koksu berteriak dan dari pintu besar menyerbulah enam orang pengawal yang berpakaian sebagai perwira-perwira dengan senjata di tangan. Mereka serempak maju menubruk dan menyerang pendekar berkaki buntung yang menggendong gadis terluka itu.

Mereka belum pernah bertemu dengan Suma Han, dan biarpun mereka sudah mendengar akan Pendekar Super Sakti yang seperti dalam dongeng saja, kini melihat laki-laki berambut panjang putih dan berkaki buntung sebelah itu, mereka memandang rendah. Apalagi pria yang tidak kelihatan menyeramkan itu hanya bersenjata sebatang tongkat butut, masih menggendong seorang gadis yang terluka pula! Mereka yakin bahwa sekali serbu saja mereka tentu akan dapat merobohkan Si Buntung itu.

"Rrrrtttttt!!"

Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung menyambut hujan senjata itu dan tampak senjata para penyerbu beterbangan disusul robohnya tubuh mereka malang melintang dan mereka tak mampu bangkit kembali, bahkan bergerak pun tidak karena mereka sudah pingsan semua! Suma Han meloncat ke arah pintu setelah merobohkan enam orang penyerbu pertama, akan tetapi pintu telah penuh dengan pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.

"Tolol! Kepung dan jaga saja, jangan menyerang sebelum diperintah!" Bhong-koksu berseru memaki para pasukan anak buahnya. "Para panglima pengawal, majulah membantu kami menangkap pemberontak!"

Anak buah pasukan pengawal tidak ada yang berani maju lagi, bukan hanya karena seruan Koksu itu, akan tetapi juga mereka merasa ngeri melihat betapa enam orang teman mereka roboh seolah-olah tanpa sebab. Mereka melihat betapa enam orang teman mereka tadi menyerang dengan senjata terangkat, akan tetapi tidak tampak pria kaki buntung itu bergerak, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan yang diselimuti sinar bergulung-gulung dan tahu-tahu enam orang itu menggeletak tak bergerak lagi, agaknya tewas! Mereka tidak tahu bahwa Suma Han tidak membunuh mereka berenam, hanya merobohkan mereka dengan totokan yang membuat mereka pingsan saja.

Sebelas orang panglima pengawal memasuki ruangan dengan senjata di tangan. Mereka menyingkirkan tubuh enam orang pengawal yang pingsan dan mayat dua orang panglima yang tadi roboh oleh pedang Milana, kemudian bersama panglima-panglima tinggi terdahulu, yaitu Bhe Ti Kong dan tiga orang lain, semua berjumlah lima belas orang panglima pengawal, kini maju mengurung.

Diluar barisan pengurung ini berdiri Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan Maharya. Koksu yang menganggap bahwa pecut merahnya yang sudah buntung itu tidak berguna lagi, memegang pedang Pek-kong-kiam, Maharya yang memegang senjata tombak bulan sabit juga bersiap-siap, sedangkan Thian Tok Lama berdiri dengan tangan kosong karena dia lebih mengandalkan kedua tangan berikut lengan bajunya daripada senjata tajam.

Tiga orang sakti ini berdiri dengan mata terbelalak. Biarpun mereka mengandalkan pasukan yang berjumlah besar sedangkan lawan yang hanya satu orang cacat yang menggendong gadis terluka, namun mereka merasa agak jerih karena maklum betapa saktinya lawan yang mereka hadapi sekarang. Maharya berdiri dengan mata mendelik dan muka masih merah padam karena marah dan juga tersinggung hatinya oleh ejekan Pendekar Super Sakti tadi.

Memang terjadi banyak perubahan pada pendeta dari barat ini. Biarpun bentuk pakaiannya masih amat sederhana, hanya kain itu yang dililit-lilitkan pada tubuh, namun kain itu bukan sembarang kain, melainkan kain sutera yang mahal dan halus sekali. Kain pengikat kepalanya juga berbentuk sederhana, akan tetapi kain pengikat kepala itu dihias dengan beberapa butir mutiara yang besar dan berkilauan, dan dilengkapi dengan sebuah bulu burung dewata yang indah!

Juga sepasang kakinya "ada kemajuan" seperti yang diucapkan Suma Han tadi. Kalau dahulu kedua kakinya telanjang, kini kedua kaki itu memakai alas kaki dari kayu terukir halus dengan tombol terbuat daripada emas yang dijepit oleh ibu jari dan jari kedua kakinya. Hebatnya, biarpun kakinya beralaskan kelom kayu, akan tetapi kedua kaki itu masih dapat bergerak gesit dan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun!

Lima belas orang pegawal itu adalah panglima-panglima yang memiliki kepandaian tinggi dan bukanlah ahli-ahli silat sembarangan. Mereka itu dipimpin oleh Bhe Ti Kong melakukan pengurungan dan membentuk barisan bersenjata golok pedang atau senjata tombak trisula gagang pendek seperti yang dipergunakan Bhe Ti Kong.

Gerakan mereka rapi dan begitu Bhe Ti Kong mengeluarkan aba-aba dengan suara yang nyaring sekali, tiba-tiba barisan itu bergerak dan mereka yang berdiri di belakang Suma Han, sebanyak empat orang, telah menyerang dengan senjata mereka. Karena tubuh belakang pendekar itu tertutup oleh tubuh Milana yang digendongnya, tentu saja otomatis serangan-serangan itu mengancam tubuh Milana!

Dengan kaki tunggalnya, tiba-tiba Suma Han memutar tubuh menghadapi empat orang itu, memandang dengan sinar mata aneh dan.... empat orang itu menghentikan serangan mereka, tubuh mereka kaku seperti arca dalam posisi menyerang seolah-olah mereka telah terkena totokan yang membuat tubuh mereka kaku!

Padahal Suma Han sama sekali tidak pernah bergerak dan ternyata bahwa sinar mata Pendekar Super Sakti inilah yang dalam sekejap mata saja sudah menguasai mereka berempat itu!

Tiba-tiba Maharya mengeluarkan teriakan dalam bahasa asing yang amat aneh dan melengking nyaring. Kiranya itu adalah semacam mantera yang mempunyai daya pengaruh amat kuat, menggetarkan perasaan dan empat orang itu tiba-tiba terguling roboh dan sadar!

Mereka saling berpandangan dengan heran, kemudian meloncat bangun dengan senjata di tangan, bingung karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Bhe Ti Kong dan kawan-kawannya menyerbu dari kanan kiri dan depan, sehingga belasan batang senjata yang dahsyat menyambar ke arah tubuh Suma Han dan Milana.

Suma Han menggunakan gerak kilatnya, tubuhnya mencelat ke belakang yang sudah tak terjaga lagi karena empat orang panglima tadi masih bengong terlongong dan kacau, tongkatnya diputar cepat dan tubuhnya yang mencelat ke belakang itu sudah sampai ke dinding, kaki tunggalnya menyentuh dinding sehingga tubuhnya kembali mencelat ke depan, kini dialah yang menyerbu barisan itu!

Para panglima terkejut melihat bayangan yang berkelebat cepat, mereka mengangkat senjata masing-masing dan terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi disusul teriakan mereka karena senjata mereka telah patah, ada yang terlempar, dan lima orang diantara mereka terguling roboh karena terdorong oleh hawa sakti yang membuat tubuh mereka menggigil kedinginan. Tiga orang diantara mereka yang agak kuat sin-kangnya berhasil merangkak bangun, akan tetapi dua orang yang lemah, tak dapat bangkit lagi dan pingsan!

"Mundur....!"

Maharya berseru marah. Bhe Ti Kong yang maklum bahwa dia dan teman-temannya bukanlah lawan Pendekar Kaki Buntung itu, segera mengundurkan diri dan memimpin para panglima untuk memperketat penjagaan dengan pasukan masing-masing.

Maharya kini menerjang Suma Han dengan senjatanya yang mengerikan. Gerakannya dahsyat sekali dan mulutnya terus berkemak-kemik membaca mantera, kadang-kadang hanya berbisik-bisik, kadang-kadang nyaring sedangkan matanya terus melotot menatap sepasang mata Pendekar Super Sakti. Ternyata pendeta India ini menggunakan ilmunya untuk menolak pengaruh sakti dari pandang mata Suma Han dan kini dia menggerakkan senjatanya menyerang ke arah dada pendekar itu.

"Dessss!"

Maharya terhuyung ke belakang ketika senjatanya kena ditangkis, demikian kuat tenaga dari pendekar itu, jauh lebih kuat dibandingkan dengan dahulu, belasan tahun yang lalu ketika Pendekar Super Sakti bertanding melawan Maharya.

Maharya terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa selama bertahun-tahun itu, Pendekar Super Sakti bertambah kuat sedangkan dia bertambah lemah, hal ini selain pengaruh usia, juga karena selama itu dia banyak memboroskan tenaga dengan berfoya-foya dan bersenang-senang, sedangkan lawannya menghimpun tenaga dalam hidup berprihatin.

"Singggg....!"

Pedang di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar, merupakan sinar putih cemerlang, mengarah leher Suma Han.

"Awas....!"

Milana berseru kaget. Dara ini sejak tadi mengempitkan kedua kaki di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengan di leher, matanya yang indah bentuknya itu terbelalak lebar, mukanya pucat dan ia khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan ayah kandungnya yang terkepung oleh banyak orang pandai itu.

"Trangggg!"

"Jangan khawatir, Alan....!"

Suma Han tanpa menoleh sudah berhasil menangkis pedang di tangan Bhong Ji Kun dan diam-diam pendekar ini terkejut karena tangkisan yang dilakukan untuk mengukur tenaga itu mendapat kenyataan bahwa tenaga sin-kang yang memegang pedang itu tidak kalah kuat dibandingkan dengan Maharya!

Ternyata bahwa Koksu itu merupakan orang yang amat lihai, dan dia harus mencatat hal ini di dalam hatinya. Agaknya di dalam ilmu silat, Koksu itu tidak kalah lihai dari Maharya yang ternyata adalah paman gurunya sendiri, hanya mungkin kalah berbahaya karena Maharya memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat. Orang pertama yang tangguh adalah Maharya, ke dua adalah Koksu inilah.

"Kok-kok-kok! Wuuut-wuuut-wuuuttt!"

"Awas pukulah Si Gundul itu, Paman!"

Milana kembali berseru kaget. Dia sendiri sudah merasakan akibat hebat dari tenaga pukulan pendeta Lama itu yang telah melukainya biarpun pukulan itu dilakukan dari jarak jauh.

Tentu saja tanpa diperingatkan Suma Han sudah mengenal suara "kok-kok" seperti suara katak buduk yang keluar dari perut Thian Tok Lama karena pendeta Lama itu adalah musuhnya belasan tahun yang lalu. Dia memutar tubuh dan menghadapi lawan ini dan tepat seperti dugaannya, Thian Tok Lama telah berjongkok, tangan kiri menekan perut dan tangan kanan dengan lengan dilonjorkan membuat gerakan mendorong tiga kali ke arah Suma Han. Itulah pukulan Hek-in-hwi-bong-ciang dan dari tangan kanannya itu keluar uap hitam bergulung-gulung!

Tiga kali pukulan yang ditujukan kepada Suma Han ini tentu saja jauh bedanya dengan pukulan Thian Tok Lama yang tadi merobohkan Milana. Karena tidak ingin membunuh dara itu sesuai dengan kehendak Koksu, tadi Thian Tok Lama hanya mempergunakan seperempat tenaganya saja, akan tetapi kini, menghadapi musuh lama yang ia tahu amat tangguh itu, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul sampai tiga kali ke arah dada kanan kiri dan pusar!

Suma Han memindahkan tongkat ke tangan kanannya, kemudian diapun mendorong ke depan dengan telapak tangan kirinya. Dari telapak tangan ini meluncur tenaga sakti dahsyat sekali menyambut pukulan tiga kali beruntun dari Thian Tok Lama.

Dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan bertemu tiga kali di udara dengan amat hebat. Seketika uap hitam pertama yang datang melayang, terhenti dan tersusul oleh gulungan uap hitam ke dua dan ke tiga, berkumpul menjadi satu dan seperti terjadi dorong-mendorong, akan tetapi akhirnya uap hitam yang telah terkumpul dan bergumpal-gumpal itu kembali ke arah Thian Tok Lama dengan perlahan, makin lama makin cepat.

Thian Tok Lama masih berjongkok dengan tangan kanan dilonjorkan, telapak tangan terbuka. Wajahnya pucat sekali, keringat dingin sebesar kacang tanah menghias kepala dan mukanya. Dia maklum bahwa keselamatan nyawanya terancam hebat. Untuk menghindarkan diri tidak mungkin lagi, dan kini pukulannya Hek-in-hwi-hong-ciang telah membalik dan mengancam untuk menghancurkan isi dada dan isi perutnya sendiri, "dipaksa" kembali oleh dorongan hawa sakti dari tangan Suma Han!

Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi, tentu saja Koksu dan Maharya maklum akan keadaan kawan mereka, maka serentak Maharya menyerang dengan senjatanya. Serangan berbahaya sekali karena tombak bulan sabit itu membabat ke arah kaki tunggal Suma Han, sedangkan pedang di tangan Bhong Ji Kun menusuk lambung kiri!

Menghadapi serangan ganas dan secepat kilat ini, terpaksa Suma Han meninggalkan Thian Tok Lama dengan jalan menggunakan Soan-hong-lui-kun, kakinya mengenjot dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas sehingga serangan kedua orang itu betapapun cepatnya, tidak dapat mengenai sasarannya.

Milana sampai memejamkan mata saking ngerinya. Seolah-olah terasa olehnya ujung kedua senjata itu yang menyambar dekat dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas! Dia pernah menunggang burung rajawali dengan ayah kandungnya ini, namun dibandingkan dengan kecepatan gerakan burung itu, gerakan ayahnya ini lebih cepat lagi. Kalau dia tidak erat-erat memeluk tentu dia akan terlempar jatuh!

Akan tetapi, ketika Milana membuka kedua matanya, ia menjadi makin ngeri. Ayahnya telah turun lagi dan kini ayahnya dikeroyok tiga oleh Maharya, Bhong Ji Kun, dan Thian Tok Lama yang menyerang secara bertubi-tubi dan hebat, sedangkan lima belas orang panglima yang kini tinggal tiga belas karena yang dua orang masih roboh pingsan, mengepung dan membantu dengan kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba dari belakang, kanan atau kiri.

Milana merasa gelisah sekali. Lawan amat banyak dan lihai, sedangkan ayahnya hanya seorang diri, dan masih menggendongnya pula. Tentu saja dengan menggendongnya gerakan ayahnya menjadi terhalang dan terganggu, tidak leluasa lagi. Kalau sampai ayahnya terpukul dan tewas, tentu dia sendiripun tidak akan selamat, dan.... ibunya akan celaka pula.

Sebaliknya, kalau ayahnya berhasil meloloskan diri, biarpun dia sendiri tertawan, dia tidak akan dibunuh karena bukankah dia hendak dipergunakan sebagai umpan untuk memancing kedatangan ibunya? Kini ada ayahnya, kalau mendampingi ibunya, biarpun dia tertawan apakah mereka berdua yang bergabung menjadi satu tidak akan mampu membebaskannya? Andaikata tidak berhasil sekalipun, yang pasti, ibunya akan selamat! Dia tidak boleh mementingkan diri sendiri saja.

"Paman.... beritahukan kepada Ibu.... mereka tadi.... berunding untuk membunuh Ibu...."

Milana berbisik di dekat telinga Suma Han yang menjadi terheran-heran. Tadipun dia sudah merasa heran melihat Alan puteri Thian-liong-pang dikeroyok dan dilukai. Bukankah menurut desas-desus, Thian-liong-pang kini merupakan kaki tangan pemerintah? Mengapa puteri Ketuanya malah dilukai dan Ketuanya sendiri, menurut Alan, akan dibunuh?

"Jangan khawatir, kita akan dapat lolos dari sini!" Suma Han menjawab, berbisik.

"Tidak.... engkau saja pergi, Paman...." Milana berbisik pula.

Suma Han terkejut, tidak mengerti apa yang dikehendaki gadis itu. Pada saat itu, tiba-tiba Maharya menusukkan tombak bulan sabitnya ke arah muka Suma Han, dan beberapa detik kemudian, Bhong Koksu menerjang dari belakang dengan sebuah loncatan dahsyat, pedangnya membacok dari atas ke bawah mengarah kepala Milana!

"Trangggg!"

Suma Han menangkis senjata Maharya dan membatalkan tongkatnya untuk menangkis pedang yang menyambar dari atas. Dia tidak tahu betapa seorang panglima tinggi mendekati meja kecil bundar dan memutar meja itu. Tiba-tiba saja lantai yang diinjaknya terbuka!

Milana yang melihat hal ini, terkejut sekali. Dengan menggendongnya, mana mungkin ayahnya dapat melepaskan diri dari bahaya? Cepat dia melepaskan kedua kakinya yang mengempit pinggang dan kedua lengannya yang merangkul leher, membiarkan tubuhnya terlepas dan terjatuh ke bawah!

"Alan....!"

Suma Han sudah berhasil meloncat dengan Soan-hong-lui-kun. Biarpun lantai itu terbuka ke bawah, namun ujung kakinya yang masih menyentuh lantai tadi dapat dipergunakan untuk membuat tubuhnya mencelat ke kanan, selain menghindarkan lubang jebakan, juga menghindarkan pedang dari atas yang dibacokkan oleh Bhong-koksu.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tubuh Alan yang berada di gendongannya terlepas dan jatuh. Hal ini sama sekali tidak diduga-duganya, maka dia tidak dapat mencegahnya. Cepat tubuhnya yang masih mencelat itu membuat gerakan seekor burung walet dan matanya terbelalak melihat tubuh Alan melayang jatuh ke dalam lubang jebakan yang lebarnya dua meter persegi dan kelihatan gelap saking dalamnya.

"Alan....!"

Tiba-tiba tubuh Suma Han menukik ke bawah dan bayangannya tak tampak, berkelebat memasuki lubang itu, menyusul Alan! Lantai yang menjebaknya itu kini tertutup kembali secara otomatis. Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan wajah pucat saling pandang, akhirnya mereka tersenyum dan menarik napas lega.

"Hebat bukan main dia....!" Thian Tok Lama memuji musuh lama itu.

"Heran sekali, mengapa dia mati-matian membela puteri Ketua Thian-liong-pang?"

Maharya juga berkata, namun masih penasaran kerena dia tidak tahu siapa yang merampas Hok-mo-kiam.

"Sudahlah, dia sudah begitu tolol memasuki kamar tahanan di bawah tanah bersama gadis itu. Tak mungkin mereka dapat lolos. Bahkan amat baik untuk memancing datangnya Ketua Thian-liong-pang. Kalau kita berhasil membasmi Pendekar Siluman dan Ketua Thian-liong-pang, ha-ha-ha, bereslah urusan kita dan pasti akan berhasil!" Tiba-tiba Bhong Ji Kun menepuk dahinya sendiri dan berkata, "Aih.... aihh! Mengapa aku begitu tolol? Tentu saja dia membela gadis itu mati-matian, puteri Thian-liong-pang! Ha-ha-ha! Tentu saja!"

Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan para panglima memandang Koksu itu dengan heran. Hanya Bhe Ti Kong yang berani bertanya,

"Harap Koksu suka memberitahukan kami. Mengapa dia menolong gadis itu?"

"Bubarkan dulu semua pengawal dan suruh bereskan tempat ini. Suruh periksa apakah mereka benar-benar telah berada di dalam kamar tahanan dan perkuat penjagaan di luar kamar-kamar tahanan di bawah tanah! Kemudian susul aku ke dalam kamar untuk mendengar mengapa Suma Han membela gadis itu mati-matian."

Para pembantu koksu itu cepat mengerjakan perintah ini, kemudian Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan tiga orang panglima tinggi lainnya mememui Koksu dalam kamarnya.

"Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar yang dahulu melarikan diri bersama Suma Han Si Pendekar Super Sakti. Kalau Puteri Milana itu anak Puteri Nirahai, dan melihat betapa Pendekar Super Sakti membelanya mati-matian, maka tidak akan keliru kiranya dugaanku bahwa dia adalah ayahnya!"

Semua yang mendengarkan mengangguk-angguk.
"Akan tetapi hal ini harus dirahasiakan, karena kalau Kaisar mendengarnya, biarpun puteri itu telah menjadi orang buruan kiranya Kaisar akan tergerak hatinya dan menaruh kasihan mendengar bahwa Beliau telah mempunyai seorang cucu dari Puteri Nirahai."

Kemudian para pendengarnya mengangguk Setelah mendengar pelaporan panglima rendahan yang memeriksa ke bawah bahwa dua orang itu telah berada di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dan bahwa pendekar kaki buntung itu tengah merawat luka-luka gadis itu, sedangkan penjagaan dilakukan dengan kuat, Bhong Ji Kun tertawa senang kemudian mengajak para pembantunya melanjutkan perundingan mengenai rencana mereka merebut kekuasan Kaisar!

**** 070 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar