FB

FB


Ads

Selasa, 20 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 068

Demikianlah kata Lulu yang masih menggores di hatinya. Tentu saja dia sukar untuk dapat menerima tuntutan Lulu yang selain menjadi adik angkatnya, juga sudah menikah dengan orang lain biarpun kini sudah menjadi janda, dan mengingat bahwa dia sudah menjadi suami Nirahai!

Karena penolakannya, Lulu memusuhinya, sesuai dengan sumpahnya! Akan tetapi, sekarang Pulau Neraka telah dibakar pemerintah, bagaimana nasib wanita yang menjadi cinta pertamanya itu? Bagaimana pula nasib Nirahai? Aihh, sikap Nirahai yang amat aneh, sama anehnya dengan sikap Lulu. Masih terngiang di telinganya suara isterinya itu penuh dengan kemarahan,

"Kini aku tidak sudi menyembah-nyembah minta kau bawa! Dan hanya dengan paksaan saja engkau akan dapat membawaku ke Pulau Es. Dengan paksaan, kau dengar? Aku sudah cukup menderita dan sakit hati karena kau biarkan, seolah-olah aku bukan isterimu. Engkau laki-laki lemah, kejam dan canggung!"

Suma Han kembali menarik napas panjang menundukkan muka dan menyangga kepalanya dengan kedua tangan, seolah-olah kepalanya tiba-tiba menjadi amat berat begitu dia terkenang kepada Lulu dan Nirahai. Apa yang harus dia lakukan agar mereka berdua, wanita-wanita yang dicintanya itu dapat berada di sampingnya, menyegarkan rasa dahaga yang selama ini dia derita, menyembuhkan sakit rindu yang selama ini membuat hidupnya tanpa gairah, memenuhi sisa hidupnya dengan kebahagiaan sebagai penebus kesengsaraan yang sudah amat lama dirasakannya?

"Ahh, Lulu...., Nirahai....!"

Suma Han merasa jantungnya seperti diremas-emas. Memang demikianlah manusia pada umumnya. Selama hidupnya, semenjak dia mulai mengerti, manusia telah kehilangan kebebasan dan kewajarannya. Mulailah datang kesengsaraan bersama dengan pengertian itu!

Mulailah manusia dicengkeram dan dikurung dalam sangkar yang berupa pikiran, berupa gagasan yang dibentuk semenjak dia mengerti. Segala macam gerak dan langkah hidup ditentukan oleh gagasan, oleh pikiran yang bukan lain adalah Sang Aku yang penuh dengan loba, dangki, iri, takut, khawatir, yang kesemuanya timbul karena iba diri, sayang diri yang didorong rasa takut kehilangan kesenangan, kehilangan ketenteraman.

Suma Han adalah seorang pendekar besar, pendekar sakti, yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Namun semua itu hanyalah duniawi, lahiriah belaka. Karena itu ilmu kepandaiannya tidak akan dapat membebaskan dia daripada duka dan khawatir. Dia berduka mengenangkan dua orang wanita yang dicintanya, dan dia khawatir kalau-kalau sisa hidupnya akan tetap merana seperti yang dirasakannya selama ini.

Dua orang wanita yang dia tahu amat mencintanya, akan tetapi yang karena keadaan tidak dapat hidup berdampingan dengannya. Karena keadaankah? Ataukah karena jalan pikiran antara mereka yang tidak cocok? Ataukah mereka berdua yang aneh, apakah dia sendiri yang tidak pandai menundukkan hati wanita? Akan tetapi semenjak masih setengah dewasa dahulu, Lulu selalu menurut akan semua kata-katanya! Mengapa sekarang berbeda? Ah, tentu saja berubah, pikirnya. Dahulu Lulu mentaati segala kata-katanya karena merasa sebagai adik angkatnya, sekarang.... wanita itu cintanya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria.

Teringat akan Lulu, terbayanglah dia akan pertemuannya dengan Lulu di Pulau Neraka, teringat pula tentang Pulau Neraka yang telah dibumi hanguskan, dan akan burung rajawali Pulau Neraka yang berhasil ia taklukkan dan jinakkan. Rajawali! Dia terkejut karena tidak melihat burung itu ketika ia tiba-tiba menengadah. Tadi masih tampak burung itu beterbangan di atas kuil, kadang-kadang menyambar turun di depan kuil. Akan tetapi sekarang tidak tampak.

Suma Han mencelat keluar mencari-cari burung itu dengan pandang matanya. Namun tetap saja tidak tampak bayangan burung itu. Suma Han menjadi curiga, lalu mengeluarkan suara melengking nyaring. Suara yang keluar dari dadanya, dengan pengerahan khi-kang sehingga suara panggilan itu bergema sampai jauh sekali.

Setelah mengeluarkan suara melengking sampai tiga kali berturut-turut, Suma Han diam tak bergerak menanti jawaban. Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara burung itu, bukan sebagai jawaban panggilan, melainkan suara memekik kemarahan! Dia merasa heran sekali. Suara burung seperti itu hanya dikeluarkan kalau burung itu berhadapan dengan musuh atau terancam bahaya, atau sedang kesakitan!

Khawatir kalau burung itu terancam bahaya, Suma Han lalu mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya berloncatan cepat sekali seperti terbang. Dia tidak memasuki dusun di sebelah selatan kuil karena suara burung itu datangnya dari arah kiri dan kini sudah tampak olehnya dari jauh burungnya sedang bertempur melawan seekor burung lain! Burungnya terdesak karena burung rajawali lainnya yang menjadi lawan itu bertubuh lebih besar.

Suma Han mempercepat loncatan-loncatannya mendaki sebuah anak bukit dan tiba-tiba ia berdiri dengan jantung berdebar tegang, matanya tidak lagi memandang ke arah burungnya yang sedang bertempur, melainkan ke bawah karena disitu terjadi pertandingan lain yang lebih menegangkan hatinya.

Dia melihat Alan, gadis tawanannya, puteri Ketua Thian-liong-pang itu, sedang bertempur melawan seorang pemuda jangkung yang lebih lihai sekali, ditonton oleh beberapa orang yang mukanya beraneka warna. Anak buah Pulau Neraka!

Alan mempergunakan Pek-kong-kiam, menyerang dengan gerakan yang cepat sekali sehingga tubuh dara itu lenyap terbungkus sinar pedangnya sendiri yang bergulung-gulung dan berwarna putih. Akan tetapi, pemuda jangkung itu menghadapinya dengan kedua tangan kosong dan kelihatan bersilat seenaknya saja!

Dengan beberapa loncatan tinggi, tubuh Suma Han mencelat dan hinggap di atas atap sebuah podok tua yang berdiri tak jauh dari tempat pertandingan. Jantungnya makin berdegup tegang ketika melihat wajah pemuda tampan itu. Wajah itu mirip sekali dengan mendiang Wan Sin Kiat, suami Lulu!

Melihat betapa disitu hadir enam orang yang mukanya berwarna merah muda dan hijau pupus, mudah saja bagi Suma Han untuk menduga, siapa adanya pemuda ini. Tentu inilah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka, putera Lulu dan mendiang Wan Sin Kiat! Bukan main hebatnya gerakan pemuda itu sehingga diam-diam Suma Han merasa kagum sekali.

Akan tetapi, melihat senyum dan sinar mata pemuda itu, ada sesuatu yang membuat hati Suma Han kecewa, karena senyum dan sinar mata pemuda itu membayangkan hal yang mengerikan, watak yang aneh dan tak dapat dipercaya! Banyak sudah dia melihat senyum dan sinar mata seperti itu yang hanya dimiliki oleh datuk-datuk golongan sesat. Apalagi ketika mendengar suara pemuda itu ketika berkata mengejek kepada Alan, hatinya makin tidak enak lagi.

"Heh-heh-heh, Nona manis. Mengapa engkau masih nekat melawan aku? Bukankah sudah jelas bahwa engkau bukan lawanku? Dan sejak tadi aku tidak pernah menyerangmu, karena aku tidak ingin melukaimu, tidak ingin mengalahkanmu karena takut kalau engkau merasa tersinggung. Hal ini sudah membuktikan betapa mendalam cintaku kepadamu, Nona!"

"Iblis keji, siapa sudi kepadamu?"

Gadis itu membentak dan mengirim sebuah tusukan ke arah ulu hati pemuda itu. Suma Han yang berada di atas atap melihat betapa tusukan pedang itu hebat sekali dan diam-diam dia terkejut karena mengenal jurus itu berdasarkan Ilmu Pedang Sin-coa-kun (Ilmu Pedang Ular Sakti). Padahal Ilmu Pedang itu adalah sebuah diantara ilmu-ilmu sakti dari Pendekar Sakti Suling Emas!






Akan tetapi ia teringat bahwa ibu dara itu adalah Ketua Thian-liong-pang yang terkenal memiliki dan mengenal segala macam ilmu silat yang diambilnya dengan segala macam cara pula, kalau perlu dengan menculik tokoh-tokoh kang-ouw! Mungkin saja Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa itu berhasil pula mencuri dasar-dasar Sin-coa Kiam-hoat yang bersumber dari Sin-coa-kun.

Akan tetapi dengan kagum Suma Han melihat betapa pemuda itu berhasil mengelak dengan mudah, seolah-olah sudah mengenal jurus ini, kemudian menggunakan Ilmu Pukulan Toat-beng-bian-kun yang amat hebat!

Suma Han mengerti bahwa Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas Pencabut Nyawa) merupakan ilmu pukulan yang sakti dan ampuh dari Lulu yang mendapatkan ilmu pukulan ini dari mendiang Nenek Maya yang sakti. Dia sudah siap untuk menyelamatkan gadis itu dari pukulan itu ketika dengan heran dia melihat bahwa pemuda itu bukan mempergunakan pukulan sakti yang semestinya ditujukan ke arah leher itu diselewengkan menjadi sebuah totokan ke arah pundak!

Akan tetapi, hampir Suma Han berseru kaget dan kagum melihat betapa nona itu dapat mengelak secara tepat sekali, yaitu dengan berjongkok dari bawah, kakinya menyambar merupakan sebuah tendangan yang dibarengi dengan sabetan pedang. Kakinya menendang ke arah pusar sedangkan pedangnya menyambar ke arah leher!

Yang membuat Suma Han terheran adalah cara gadis itu mengelak dari jurus Toat-beng-bian-kun, demikian tepat dengan berjongkok seolah-olah gadis itu sudah mengenal pula jurus Toat-beng-bian-kun! Apakah Ketua Thian-liong-pang juga sudah berhasil mencuri ilmu peninggalan Nenek Maya itu? Sungguh tidak mungkin! Kalau sudah demikian jauh, tentu Ketua Thian-liong-pang merupakan seorang lawan yang luar biasa dan amat berat!

Setelah melihat dengan jelas bahwa ilmu kepandaian pemuda itu jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian puteri Ketua Thian-liong-pang, apalagi setelah pemuda itu kini mengeluarkan ilmu dengan gerakan amat aneh, sambil tertawa-tawa mempermainkan dara itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus sebelum diterkamnya, Suma Han lalu melayang dari atas sambil berseru,

“Tahan dulu....!"

Pada saat itu Wan Keng In telah berhasil mengempit pedang lawannya di bawah lengan kiri ketika dara itu menusuk dadanya, dan tangan kanannya bergerak menyambar untuk mencengkeram pundak Milana.

Melihat ini, Suma Han sudah menggerakkan tongkatnya yang berubah menjadi sinar yang menyambar antara tangan Wan Keng In dan pundak Milana. Melihat sinar ini, Keng In cepat menarik kembali tangannya, dan terpaksa dia melepaskan kempitan pedang itu ketika ada sinar meluncur ke arah dadanya. Ia meloncat mundur dan tertawa mengejek.

"Ha-ha-ha! Sudah kudengar suara lengkinganmu tadi! Bukankah engkau ini yang berjuluk Pendekar Siluman, bekas Majikan Pulau Es berkaki buntung yang sombong?"

Pemuda itu berdiri dengan tegak, kedua tangan bertolak pinggang, pandang matanya yang tajam penuh kebencian, mulutnya tersenyum penuh ejekan.

Enam orang tokoh Pulau Neraka, dua wanita empat pria, menjadi terkejut sekali mendengar ucapan pemuda itu. Mereka berenam sudah menjadi pucat ketika menyaksikan munculnya Pendekar Siluman itu dan mereka sudah menunduk dengan hati tergetar dan jerih. Kini mendengar ucapan tuan muda mereka, benar-benar mereka menjadi kaget dan makin takut karena maklum bahwa siauw-tocu mereka telah mengucapkan penghinaan terhadap Pendekar Super Sakti itu!

Milana juga marah sekali. Yang dimaki buntung sombong adalah ayahnya! Maka dengan muka merah dia sudah menusukkan pedangnya ke arah perut pemuda itu sambil membentak,

"Manusia iblis bermulut busuk!"

"Trangggg!"

Milana meloncat mundur ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah tongkat Pendekar Super Sakti!

"Bersabarlah dan biarkan aku bicara dengan dia." Suma Han berkata halus ketika melihat dara itu memandangnya dengan mata terbelalak heran.

"Ha-ha-ha-ha, Nona yang cantik jelita! Apakah engkau tidak mengenal keparat ini? Dia adalah Pendekar Siluman, To-cu Pulau Es musuh besar kami dan musuh besar Thian-liong-pang. Dia adalah musuh kita berdua, Nona! Mari kita berdua membunuh manusia busuk ini!"

Milana ingin berteriak kepada pemuda itu, mengatakan bahwa dia adalah puteri Pendekar Super Sakti, akan tetapi ditahannya karena dia harus melindungi rahasia ibunya, maka terpaksa dia hanya menelan kemarahannya dan tidak menjawab ucapan pemuda itu. Hanya diam-diam dia merasa tidak puas mengapa ayah kandungnya begitu sabar menghadapi pemuda yang demikian menjemukan dan yang telah berani menghina Pendekar Super Sakti.

Tentu saja Milana tidak tahu mengapa Suma Han bersikap demikian sabar terhadap Keng In. Wan Keng In adalah putera Lulu, jangankan mengingat akan ibunya, sedangkan mengingat akan ayahnya, Wan Sin Kiat yang pernah menjadi sahabat baik Suma Han saja, pendekar ini tentu bersikap sabar sekali dan banyak mengalah.

"Engkau tentu Wan Keng In, putera Majikan Pulau Neraka, bukan?"

Suma Han bertanya dengan suara halus memandang wajah pemuda itu penuh perhatian dan penyelidikan. Wajah yang amat tampan, bentuk wajahnya seperti wajah Wan Sin Kiat. Mulut dan matanya seperti mulut dan mata Lulu, akan tetapi sungguh sayang sekali, karena persamaan itu hanya pada bentuknya saja, namun sifatnya jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikannya seperti bumi dengan langit.

Senyum Lulu adalah senyum yang manis dan membuat dunia makin cerah, senyum yang menimbulkan rasa gembira di hati siapapun juga, membuat orang yang menyaksikan senyum itu ingin tersenyum pula. Sinar mata Lulu adalah sinar mata yang membayangkan kejujuran hati, kepolosan dan kelembutan hati yang wajar dan tidak dibuat-buat.

Akan tetapi, senyum pemuda ini mendatangkan rasa ngeri, karena senyumnya biarpun menambah ketampanan wajahnya, mengandung sesuatu yang dingin mengerikan hati orang yang melihatnya. Adapun sinar mata pemuda itu amat tajam menusuk, seolah-olah menjenguk isi hati orang yang dipandangnya, akan tetapi mengandung sifat kejam dan penuh kebencian dan ketidak percayaan, pandang mata orang yang sama sekali tidak mengenal cinta kasih antara manusia.

"Benar, dan aku pula yang pernah mengalahkan dan menghina muridmu dan keponakanmu! Aku pula yang telah lama menanti munculmu, yang telah menantangmu untuk mengadu nyawa. Kebetulan sekali sekarang kau muncul! Pendekar Siluman Suma Han, aku Wan Keng In pada saat ini menantangmu untuk bertanding mengadu nyawa kalau engkau berani!"

"Siauw-tocu....!" Seorang anak buahnya berseru kaget.

"Plakkk....!"

Entah bagaimana digerakkannya, tahu-tahu tangan Keng In telah menampar dan tubuh anak buahnya itu terguling-guling sampai lima meter lebih, kemudian berhasil bangun dengan muka bengkak dan ada tanda lima buah jari tangan di pipinya!

Mendengar ucapan dan menyaksikan sikap itu, Suma Han merasa jantungnya seperti ditusuk. Ahh, mengapa Lulu yang berwatak demikian lembut dan menyenangkan, dapat mempunyai anak seperti ini? Wan Sin Kiat bekas sahabatnya dahulu, ayah dari anak inipun seorang gagah perkasa. Mungkin lebih keras dan liar dibandingkan dengan Lulu, juga berjiwa petualang, akan tetapi tidak jahat apalagi keji.

"Wan Keng In, tahukah engkau, dengan siapa kau bicara?"

"Tentu saja! Dengan Suma Han, Pendekar Super Sakti, juga disebut Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang pandai ilmu sihir. Nah, boleh coba sihir aku, atau boleh kau serang aku dengan ilmu-ilmumu yang katanya setinggi langit itu!"

"Ah, anak muda.... tidak pernahkah ibumu bicara tentang aku....?”

"Jangan sebut-sebut nama Ibuku!" tiba-tiba pemuda itu membentak marah sekali, lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung Suma Han sambil berkata dengan keras dan penuh kebencian, "Karena orang macam engkau inilah ibuku menderita sampai belasan tahun, hidup merana dan selalu berduka! Karena orang macam engkaulah maka ibuku sampai menjadi Ketua Pulau Neraka dan aku hidup di pulau itu sejak kecil! Dan karena ibulah maka sekarang aku menantangmu untuk bertanding mati-matian, Suma Han!”

"Wan Keng In, tahukah engkau bahwa mendiang Ayahmu, Wan Sin Kiat, adalah seorang sahabat baikku, seperti saudaraku sendiri?"

"Tutup mulutmu yang palsu! Mendiang Ayahku mati karena engkau! Keparat!"

Keng In menerjang dengan hebat, menggunakan pedang Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar berkilat dan membawa hawa yang mengerikan. Serangan itu dahsyat bukan main, dan hanya dengan menggunakan kelincahan Ilmu Soan-hong-lui-kun saja Suma Han berhasil menghindarkan diri dari sambaran sinar berkilat itu.

"Wan Keng In, Ibumu adalah adik angkatku!"

"Engkau membuat hidupnya sengsara! Kakak angkat macam apa engkau ini? Aku telah mengambil keputusan untuk memusuhimu, dan sekarang aku akan membunuhmu, bukan hanya karena Ibuku, akan tetapi juga karena engkau menghalagi aku membawa pergi Nona calon isteriku ini."

"Orang muda, engkau tersesat. Ibumu akan berduka sekali melihat engkau seperti ini...."

"Tak perlu banyak cakap lagi!"

Wan Keng In sudah menerjang lagi dengan lebih hebat lagi karena dia sudah marah, serangannya dahsyat, apalagi kini dia mempergunakan Lam-mo-kiam. Sinar pedang itu berkilat dan menyambar dengan suara bercuitan. Suma Han merasa berduka sekali melihat putera Lulu seperti itu, cepat ia menggerakkan tongkatnya dan menangkis dari samping agar tongkatnya tidak bertemu dengan mata pedang yang amat ampuh itu.

"Tranggg....!"

Keduanya terloncat mundur akibat benturan hebat antara pedang dan tongkat. Wan Keng In tidak merasa heran ketika merasa betapa lengannya tergetar karena dia sudah mendengar dan maklum bahwa Pendekar Super Sakti merupakan lawan yang amat tangguh dan memiliki tenaga sin-kang yang jarang terdapat tandingannya.

Akan tetapi Suma Han terkejut dan kagum bukan main. Pemuda itu benar-benar amat hebat, dan dari benturan antara tongkat dan pedang tadi, dia dapat mengukur kekuatan pemuda itu yang jauh lebih besar kalau dibandingkan dengan tenaga sin-kang yang dimiliki Lulu!

Biarpun maklum akan ketangguhan lawan, Wan Keng In tidak menjadi gentar, bahkan dia makin marah dan sudah menerjang dengan hebatnya. Dia mengeluarkan seluruh ilmu pedang yang ia pelajari dari Cui-beng Koai-ong dan dari ibunya, mengerahkan seluruh tenaganya yang mujijat karena gurunya, datuk pertama dari Pulau Neraka telah menggemblengnya dengan latihan-latihan sin-kang yang tidak lumrah sehingga dia menguasai kekuatan sin-kang yang bercampur dengan ilmu hitam.

Begitu pemuda itu mainkan pedangnya, mengerahkan sin-kang menggunakan tangan kiri membantu pedangnya mendorong-dorong ke depan, nampak betapa tubuhnya diliputi kabut hitam dan dari dalam kabut itu mencuat sinar-sinar kilat pedangnya melancarkan serangan maut ke arah Suma Han secara bertubi-tubi.

Hati Pendekar Super Sakti merasa tidak karuan menghadapi serangan ini. Berbagai perasaan bercampur aduk. Dia merasa terharu karena menyaksikan putera Lulu sudah menjadi seorang pemuda dewasa, merasa kagum melihat ilmu silat pemuda ini yang benar-benar amat hebat, jauh lebih tinggi daripada kepandaian Lulu, dan biarpun dasarnya tidak lebih hebat daripada dasar ilmu silat yang dimiliki Kwi Hong, namun pemuda ini tentu tidak dapat terlawan oleh Kwi Hong karena selain memiliki ilmu pedang yang aneh dan sin-kang yang mengeluarkan kabut hitam, juga cara bertempur pemuda ini nekat dan kejam, mengandung serangan-serangan ganas. Akan tetapi di samping rasa keharuan dan kekaguman ini, dia juga merasa berduka dan marah menyaksikan betapa keponakannya telah tersesat seperti itu.

Sampai puluhan jurus Suma Han menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini menghindarkan diri, kadang-kadang mendorong pedang dari samping. Melihat betapa sambaran tangan kiri pemuda itu bahkan tidak kalah lihainya oleh pedang di tangan kanan, diam-diam Suma Han maklum bahwa hanya gerak kilatnya saja yang akan mampu menandingi ilmu pedang pemuda itu!

Mengenai tenaga sin-kang, tentu saja dia masih menang beberapa tingkat. Kalau dia menghendaki, dengan Soan-hong-lui-kun, tentu dia akan dapat menggunakan ujung tongkatnya untuk merobohkan pemuda itu, juga dengan sin-kangnya, dia dapat mengadu tenaga dan menangkan pertandingan.

Akan tetapi dia tidak tega melakukan hal ini, tidak tega melukai putera Lulu. Tadinya dia ingin menggunakan kekuatan sihirnya, akan tetapi hal itu tentu akan membuat pemuda itu tidak tunduk kepadanya, tidak membuatnya dia kapok. Kalau dia ingin supaya pemuda itu menjadi jerih, dia harus menundukkannya dengan ilmu kepandaian.

"Wan Keng In, aku tidak ingin bertanding denganmu. Katakanlah dimana Ibumu, aku ingin bicara dengannya!"

"Kau harus mati di tanganku, atau boleh kau membunuhku kalau mampu!"

Pemuda itu berteriak dan memutar pedangnya dengan cepat, mengirim tusukan ke arah dada Suma Han disusul dorongan telapak tangan kiri dari bawah mengarah pusar.

"Trakkkk....! Plakkk....!"

Suma Han tidak mengelak, melainkan menggerakkan tongkatnya menerima pedang itu dari samping sedangkan tangan kanannya menyambut dorongan telapak tangan pemuda itu dengan telapak tangannya pula. Sepasang senjata dan dua buah tangannya itu saling bertemu dan melekat!

Keng In terkejut bukan main. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa tongkat butut lawannya itu dapat menyambut pedangnya, sedangkan pukulan tangan kirinya mengandung hawa beracun yang amat ampuh, kini telapak tangannya juga disambut oleh telapak tangan Pendekar Siluman, melekat dan tak dapat ia tarik kembali seperti juga pedangnya yang melekat pada tongkat!

"Hemmm...., orang muda, kalau aku tidak mengingat Ibumu, tentu akan kucabut saja tunas buruk seperti engkau ini. Pergilah!"

Suma Han yang mempergunakan tenaga sin-kangnya untuk mengatasi pemuda itu, mengerahkan tenaga sakti dan tubuh Wan Keng In terlempar sampai enam tujuh meter ke belakang. Pemuda itu terhuyung akan tetapi tidak roboh, juga tidak terluka karena memang lawannya tidak ingin melukainya.

Wajah yang tampan itu menjadi agak pucat. Wan Keng In seorang pemuda yang keras hati dan tidak mengenal takut, juga dia benci sekali kepada orang yang dianggapnya membikin sengsara ibunya itu. Akan tetapi dia bukan seorang bodoh dan dia maklum bahwa kalau dia berlaku nekat menyerang terus, akhirnya dia akan kalah dan celaka. Pertandingan membuktikan bahwa belum tiba saatnya dia menentang Pendekar Super Sakti.

Dia harus menyempurnakan dulu ilmu kesaktian yang dia pelajari dari gurunya, Cui-beng Koai-ong. Setelah memandang ke arah Suma Han dengan mata mendelik beberapa menit lamanya, dia mendengus, membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi dari tempat itu, diikuti lima orang anak buahnya yang pergi tanpa berani mengeluarkan sepatah katapun, bahkan sama sekali tidak berani melirik ke arah Pendekar Siluman. Kekalahan tuan muda mereka tadi mereka terima dengan sewajarnya karena memang mereka maklum akan kesaktian pendekar kaki buntung itu.

Suma Han berdiri mengikuti pemuda itu dengan pandang matanya sampai akhirnya bayangan pemuda dan lima orang anak buahnya itu lenyap di balik anak bukit. Tiba-tiba terdengar olehnya suara seperti bisikan namun cukup jelas, pemuda itu!

"Suma Han, ingat saja engkau! Kalau aku sudah selesai menamatkan ilmuku, kelak akan kucari engkau untuk kita bertanding lagi mati-matian! Biarpun kepandaianmu tinggi seperti siluman, engkau Si Kaki Buntung ini akhirnya tentu akan mampus di tanganku!"

Wajah Suma Han menjadi merah sekali, akan tetapi diam-diam ia makin kagum. Khi-kang yang disalurkan untuk mengeluarkan suara dari jarak jauh itu sudah cukup hebat! Diam-diam dia merasa berduka. Dia tidak akan peduli dan memusingkan kalau dia dimusuhi tokoh-tokoh sesat dari manapun juga dan betapa saktinya pun.

Akan tetapi, dimusuhi pemuda itu, putera Lulu, benar-benar merupakan hal yang membuatnya berduka dan cemas. Sementara itu, tiada habis rasa heran dari hatinya kalau mengingat betapa jujur, halus dan baik watak Lulu, sedangkan Wan Sin Kiat juga seorang pendekar yang gagah perkasa dan selalu menentang kejahatan. Akan tetapi, mengapa putera mereka menjadi seorang pemuda iblis seperti itu?

Suma Han menarik napas panjang. Ahh, tidak keliru kiranya bahwa watak manusia dibentuk oleh keadaan sekitarnya. Anak itu semenjak kecil dibawa oleh ibunya ke Pulau Neraka dan tentu saja setiap hari anak itu melihat watak-watak penghuni Pulau Neraka yang terkenal ganas, liar kejam dan palsu. Dan agaknya Lulu sendiri terlalu sibuk dengan pekerjaan sebagai Ketua Pulau Neraka, atau mungkin sekali terlalu memanjakan putera tunggalnya itu, sehingga pembentukan watak anak itu sepenuhnya dikuasai oleh keadaan sekelilingnya!

Kembali Suma Han menarik napas panjang. Betapa akan hancur hati Lulu kalau menyaksikan sepak terjang puteranya. Dia tahu bahwa Lulu sendiri mempunyai perasaan hati yang aneh terhadapnya. Bisa mencinta sehingga ingin menjadi isterinya, akan tetapi juga bisa membenci sehingga ingin pula memusuhinya kalau tidak dapat menjadi isterinya. Akan tetapi andaikata menjadi musuhnya, wanita itu tentulah seorang musuh yang gagah perkasa dan jujur dan watak Lulu tak mungkin berubah biarpun sudah menjadi Ketua Pulau Neraka.

"Paman, mengapa Paman berduka?" Tiba-tiba terdengar suara halus di sampingnya.

Suma Han seperti baru sadar dari mimpinya. Dia menoleh dan memaksa bibirnya tersenyum ketika melihat Alan sudah berdiri di situ dan memandangnya dengan sinar matanya yang lembut. Melihat wajah cantik dan sinar mata lembut penuh kasih ini hati Suma Han menjadi makin sakit dan duka.

Dara jelita lni adalah puteri ketua Thian-liong-pang, seorang wanita iblis berkerudung yang terkenal jahat dan kejam. Seorang wanita seperti iblis itu dapat mempunyai puteri sebaik ini, mengapa sebaliknya seorang wanita seperti Lulu mempunyai seorang putera sejahat itu?

"Paman, mengapa Paman kelihatan berduka?"

Kembali Milana bertanya. Tadi ketika melihat ayahnya bertanding melawan pemuda itu, dia menonton dengan penuh kagum, akan tetapi juga kecewa karena ayahnya membebaskan pemuda itu begitu saja tanpa melukainya sedikitpun. Kemudian ia melihat ayahnya berdiri termenung seperti arca, dengan wajah yang tampan itu sebentar merah sebentar pucat, berkali-kali menghela napas panjang sambil memandang ke depan, ke arah perginya Wan Keng In dan anak buahnya tadi.

"Ohh, tidak apa-apa, Alan. Hanya.... eh, dimana rajawali kita?"

"Dia terbang dikejar oleh rajawali besar tadi, Paman. Dua ekor burung tadi bertanding, dan rajawali peliharaan Paman terdesak dan luka-luka. Mereka bertanding sambil terbang tinggi sehingga aku tidak dapat membantu."

"Hemm, biarlah. Burung itu memang berasal dari Pulau Neraka, agaknya kini ditundukkan kembali oleh bekas majikannya. Alan, bagaimana engkau tadi dapat bertemu dan bertanding dengan dia?"

"Aku sedang menuju ke dusun untuk mencari bahan masakan ketika aku bertemu dengan rombongan Pulau Neraka itu keluar dari dusun. Karena aku tahu betapa jahatnya mereka, aku lalu melarikan diri akan tetapi mereka mengejar dan aku tersusul disini. Tentu saja aku melawan sedapatku, akan tetapi dia lihai sekali. Paman, mengapa Paman tadi membiarkan dia pergi? Orang seperti itu seperti seekor ular yang beracun dan jahat, kalau tidak dibasmi, tentu kelak hanya akan mencelakai orang lain saja."

Suma Han menarik napas panjang.
"Aku tak mungkin dapat membunuhnya, Alan. Engkau tidak tahu.... ahhh...." Wajah pendekar itu kelihatan berduka sekali.

Melihat ini, Milana merasa kasihan kepada ayah kandungnya. Tentu ada sesuatu antara ayah kandungnya dengan Pulau Neraka, ada rahasia yang besar yang membuat ayahnya itu bersikap lunak terhadap Wan Keng In.

"Aku tidak berhasil memasakkan sesuatu untukmu, Paman. Maafkan...."

"Tidak mengapa, Alan. Aku tadi sudah makan roti kering, cukup kenyang. Marilah kita melanjutkan perjalanan. Kota raja tidak jauh lagi, di sana tentu banyak rumah makan besar dan kita dapat makan sepuasnya."

Milana tidak membantah dan berangkatlah mereka berdua menuju ke selatan, ke kota raja. Sebentar saja mereka sudah melalui jalan raya menuju kota raja yang ramai dan tampak banyak penunggang kuda atau kereta-kereta berkuda yang datang dari beberapa jurusan menuju ke kota raja, ada pula yang bersimpang jalan, yaitu mereka yang baru saja meninggalkan kota raja.

Sudah belasan tahun Suma Han tidak pernah muncul di kota raja. Biarpun di dunia kang-ouw nama Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu Pulau Es merupakan nama yang paling menonjol dan amat terkenal, namun jarang ada orang pernah melihat Pendekar Super Sakti, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw sebagian besar belum pernah bertemu dengan pendekar itu. Apalagi penduduk kota raja!

Maka kini Suma Han dengan enak dapat memasuki kota raja tanpa khawatir akan dikenal orang, baik oleh penduduk maupun oleh para perajurit penjaga. Di kota raja, yang sudah lama ditinggalkannya itu, tentu hanya beberapa gelintir orang saja yang pernah bertemu dengannya dan mereka itu adalah orang-orang berkedudukan tinggi seperti Thian Tok Lama, Koksu dan lain-lain yang tentu berada di dalam gedung masing-masing dan tidak pernah berkeliaran di dalam kota.

Milana sendiri tidak asing di kota raja. Sudah sering dia keluar masuk kota raja, akan tetapi diapun tidak dikenal orang sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang. Oleh karena itu, diapun memasuki pintu gerbang kota raja di samping Suma Han dengan hati tenteram dan tidak khawatir dikenal orang.

Apalagi semenjak dia melakukan perjalanan di samping ayah kandungnya, terutama setelah ayahnya itu menyelamatkan dengan mudah dari tangan Wan Keng In, hati Milana menjadi tenang dan penuh kepercayaan bahwa selama ia berada di samping ayahnya, tidak ada seorangpun yang akan dapat mengganggunya!

Wajahnya berseri gembira ketika dia memasuki kota raja dengan ayahnya, penuh kebanggaan karena kiranya tidak banyak orang yang dapat berdampingan dengan Pendekar Super Sakti! Dia bukan hanya berdampingan, bahkan dia adalah puterinya, puteri kandungnya biarpun hal ini masih terpaksa harus dia rahasiakan dari pendekar itu sendiri.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar