FB

FB


Ads

Selasa, 20 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 067

“Hu-hu-huukkk….”

Milana tak dapat menahan kesedihan hatinya lagi ketika dia sudah berdua saja dengan Pendekar Super Sakti di atas punggung burung rajawali yang terbang tinggi menembus awan. Mula-mula dia merasa bahagia sekali dapat duduk membonceng ayah kandungnya di atas punggung rajawali itu, hal yang sudah lama dia impi-impikan.

Akan tetapi dia teringat kembali kepada ibunya, teringat akan peristiwa antara ibu dan ayahnya, akan permusuhan antara ibu dan ayahnya dan akan rahasia ibunya yang tidak diketahui ayahnya. Bagaimana dia dapat bergembira biarpun kini dia dapat membonceng ayah kandungnya kalau ayahnya itu tidak mengenal dan dia tidak boleh memperkenalkan diri?

Dia tidak akan memperkenalkan diri sebagai Milana, sebagai puteri Pendekar Super Sakti ini, demi menjaga rahasia ibunya. Betapapun juga dia harus membela ibunya! Dan diapun kini mendapat kesempatan untuk mengenal dari dekat orang macam apakah yang menjadi ayah kandungnya ini.

“Eh, Nona mengapa engkau menangis?”

Tiba-tiba Suma Han bertanya kepada dara yang duduk di depannya, membelakanginya ketika ia mendengar dara itu terisak.

“Apakah setelah menjadi tawananmu, aku tidak boleh menangis?” Milana bertanya tanpa menoleh.

“Hemm.... wanita dan tangis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tentu saja engkau boleh menangis, akan tetapi kurasa, sebagai puteri seorang ketua perkumpukan besar macam Thian-liong-pang, amatlah memalukan kalau harus memperlihatkan kekecilan hati dan menjadi seorang yang cengeng.”

Rasa panas membubung ke dada Milana dan dia menggigit bibir, mengusir sisa tangis yang berada di dalam dadanya.

“Aku tidak cengeng! Aku tidak kecil hati!” bantahnya.

Suma Han yang duduk di belakangnya, tersenyum. Dia maklum bahwa tentu puteri Ketua Thian-liong-pang ini membencinya dan menganggapnya musuh, akan tetapi semenjak tadi, dia sudah melihat perbedaan watak yang besar sekali antara Ketua Thian-liong-pang dan puterinya ini. Gadis ini sama sekali tidak berwatak kejam, liar dan ganas seperti ibunya. Sebaliknya dara ini mempunyai watak lembut, terbukti dari isaknya dan pencelaannya kepada ibunya ketika berada di hutan tadi.

Kini, kembali tampak sifat halusnya dengan isak yang tertahan-tahan akan tetapi betapapun juga, ada setitik darah ibunya sehingga dara ini melawan perasaan sendiri dan kini berpura-pura memperlihatkan sikap keras seperti sikap ibunya! Ahh, betapa terbuka keadaan hati dan pikiran dara ini baginya sehingga biarpun dara itu duduk membelakanginya dan dia tidak dapat melihat wajahnya yang memang belum diperhatikannya benar-benar, dia sudah dapat menjenguk isi hati dan mengenal wataknya!

“Kalau begitu mengapa menangis?”

Ih, betapa halus suara ayahnya! Orang yang mempunyai suara halus dan menggetarkan perasaan yang halus pula itu tak mungkin seorang jahat, biarpun dijuluki Pendekar Siluman sekalipun! Bagaimana ibunya mencacinya sebagai seorang yang pengecut, tidak berjantung, tiada perasaan?

“Kenapa engkau menawan aku? Apakah benar untuk menekan Thian-liong-pang agar tidak membantu pemerintah membasmi para pengacau dan pemberontak lagi?”

Milana merasa betapa orang yang duduk di belakangnya itu menghela napas panjang. Ingin sekali dia menengok dan memandang wajah yang menimbulkan rasa sayang dan kagum di dalam hatinya itu, ingin melihat tarikan muka itu dan sinar mata yang aneh itu.

Akan tetapi, pada saat itu dia sedang bersandiwara, harus beraksi seperti orang yang asing sama sekali, yang tidak mengenal Pendekar Super Sakti, maka tidak akan sopanlah sebagai seorang gadis tertawan kalau dia ingin memandang muka pria yang menawan.

“Nona, biarlah engkau mendengar hal yang sesungguhnya. Bukan menjadi pendirianku untuk mempergunakan cara pemerasan seperti ini, untuk menggunakan seorang gadis muda sebagai alat untuk menekan Thian-liong-pang. Cara ini, tepat seperti pendapat ibumu, adalah cara seorang pengecut. Kalau memang aku berniat menentang Thian-liong-pang, tentu akan kupergunakan cara laki-laki, yaitu langsung menentangnya dan menghadapinya seperti seorang gagah, tinggal melihat hasilnya, menang atau kalah. Akan tetapi, setelah aku melihatmu disana tadi.... hemm, aku berpendapat lain dan aku menawanmu dengan maksud lain pula....”

Berdebar keras jantung Milana dan dia menarik tubuh ke depan agar orang yang berada di belakangnya itu jangan sampai tahu debar jantungnya. Dia lupa bahwa yang duduk di belakangnya adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga pendengarannya sudah amat tajam, dapat membedakan debar jantung yang berubah, apalagi dari jarak demikian dekat! Ayah kandungnya ini menawannya bukan untuk dipergunakan sebagai sandera, bukan untuk memeras dan menekan Thian-liong-pang! Habis untuk apa?

“Maksud apalagi kalau bukan untuk menekan Ibuku?” tanyanya, menekan hatinya agar suaranya terdengar biasa.

Tentu saja Suma Han dapat membedakan pula suara menggetar yang terbawa oleh perasaan tegang itu, dan dia tersenyum, menduga tentu gadis ini mengira bahwa dia mempunyai niat yang bukan-bukan!

“Ketika aku melihatmu disana tadi, timbul rasa kasihan di hatiku. Betapa seorang gadis muda yang berdasarkan watak halus dan hati penuh welas asih dan mulia, bergelimang dalam perbuatan-perbuatan rendah yang dilakukan oleh Thian-liong-pang! Kalau dibiarkan saja, akhirnya tentu anak itu akan menjadi rusak dan menjadi seorang wanita yang kejam, liar, ganas dan berwatak iblis, seperti ibunya yang menjadi Ketua Thian-liong-pang! Karena itu, timbul niatku untuk membawamu pergi dari lingkungan kotor ini!”

Tiba-tiba Milana menoleh dan matanya terbelalak penuh kemarahan.
"Tidak! Biarkan aku kembali! Aku tidak peduli, aku lebih senang kalau menjadi seperti Ibu! Dia tidak jahat, engkaulah yang jahat dan kejam! Engkau membiarkan Ibuku merana dan sengsara dalam hidupnya!"

"Hahhh....? Apa maksudmu? Aku membikin Ibumu hidup sengsara?"

Milana terkejut sendiri. Dia telah kelepasan bicara. Cepat ia memutar otak mencari alasan.
"Tentu saja engkau telah menculik aku, anaknya, bagaimana Ibu tidak merasa sengsara dalam hidupnya memikirkan keselamatanku?"

"Ah, begitukah? Kalau dia masih mempunyai perasaan seperti seorang ibu biarlah dia sadar bahwa dalam hidupnya, jauh lebih penting memikirkan masa depan puterinya daripada melampiaskan nafsu kemurkaan melalui Thian-liong-pang. Biarlah dia menderita agar dia sadar. Kalau dia sudah sadar, akupun tentu saja tidak akan suka memisahkan seorang anak dari ibu kandungnya."

Setelah berkata demikian, Suma Han menepuk leher rajawali dan menekan berat tubuhnya ke kiri sehingga burung itu segera menukik ke kiri dan meluncur turun. Burung itu meluncur cepat sekali sehingga biarpun Milana telah memiliki kepandaian tinggi, dia merasa pening dan ngeri juga. Akan tetapi di depan penawannya, atau bahkan ayah kandungnya, dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya, dan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya, dia bertanya,

"Engkau mau membawa aku kemana?"






"Engkau takut?"

Wah, ayahnya ini benar-benar amat waspada!
"Tidak!" jawabnya, akan tetapi suaranya gemetar juga ketika ia melirik ke bawah dan melihat seolah-olah dia dibawa jatuh ke bawah dengan kecepatan mengerikan!

"Jangan takut, menunggang burung ini lebih aman daripada menunggang seekor kuda."

Milana tidak mejawab lagi karena percuma saja dia hendak menyembunyikan rasa ngerinya. Setelah penculiknya tahu, tidak lagi berpura-pura dan untuk mengusir rasa takutnya, dia memegangi tangan Pendekar Super Sakti yang membiarkannya saja sambil diam-diam tersenyum karena Suma Han maklum betapa ngeri dan takutnya menunggang burung rajawali, apalagi kalau menukik turun, bagi seorang yang belum biasa. Dia sendiri ketika mula-mula menunggang burung garuda di Pulau Es, juga berkunang-kunang dan merasa ngeri!

Burung itu hinggap di atas tanah di luar sebuah dusun. Suma Han meloncat turun diikuti oleh Milana. Suma Han lalu mendorong tubuh burung rajawali itu sehingga terlempar ke atas dan burung itu segera terbang tinggi.

"Mengapa kita turun disini? Engkau hendak membawaku kemana?"

Sambil membalikkan tubuhnya rnenghadapi gadis itu Suma Han menjawab,
"Kita akan pergi ke...."

Tiba-tiba Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya dan dia berdiri dengan mata terbelalak dan mulut agak terbuka seperti terkena pesona ketika memandang wajah dara itu. Baru sekarang dia dapat melihat wajah Milana dengan jelas dan dari jarak dekat. Mulut itu! Mata itu! Mata yang mengandung sinar seolah-olah dua ujung pedang yang amat runcing menusuk sampai ke lubuk hati! Mata dan mulut yang sangat dikenalnya, tidak asing sama sekali baginya, akan tetapi selama hidupnya baru sekali ini dia berjumpa dengan puteri Ketua Thian-liong-pang!

"Kau.... kau kenapa, Paman?" Milana bertanya.

Suaranya yang halus itu menyadarkan Suma Han. Dia menarik napas panjang lalu menggunakan kedua telapak tangannya untuk menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggosok seluruh mukanya terus ke leher dan ke tengkuknya yang dirasakan meremang tanpa dia ketahui sebabnya.

"Aaahhh.... tidak apa-apa...."

Dia menghindarkan pandang matanya bertemu dengan sinar mata gadis itu dan tidak ingin lagi memandang wajah itu lama-lama karena merasa aneh dan.... ngeri!

"Aku hendak membawamu ke kota raja."

"Ke kota raja? Mengapa kesana, Paman? Apakah engkau sekarang tinggal di kota raja setelah.... setelah.... kudengar...."

Karena Pulau Es merupakan tempat tinggal ayah kandungnya, tempat yang sudah lama ia rindukan, maka mendengar betapa pulau itu dibakar, Milana merasa terkejut dan duka, maka sekarang diapun merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya.

"Setelah Pulau Es dibakar? Tidak, aku tidak tinggal di kota raja atau dimana pun."

"Jadi, engkau sekarang tidak mempunyai tempat tinggal, Paman?"

Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam merasa betapa aneh keadaan mereka berdua itu. Dia adalah penculik dan gadis itu yang diculik dan ditawannya, akan tetapi mereka bercakap-cakap seperti seorang paman dan keponakannya saja, saling bersimpati dan saling menaruh kasihan!

"Kalau begitu, kemana Paman hendak ke kota raja?"

"Aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah membakar Pulau Es dan Pulau Neraka, dan aku akan merampas kembali Pedang Hok-mo-kiam...."

"....yang dicuri oleh Pendeta Iblis Maharya dan muridnya?"

"Eh, bagaimana engkau bisa tahu?" tiba-tiba Suma Han bertanya dan kembali dia merasa jantungnya seperti diguncang ketika memandang wajah yang cantik jelita luar biasa itu.

Ingin rasanya Milana menampar mulutnya sendiri karena kelepasan bicara itu.
"Siapa yang tidak tahu, Paman? Hal itu sudah diketahui di dunia kang-ouw, dan aku mendengar dari Ibuku."

Suma Han tidak merasa heran. Peristiwa itu diketahui oleh orang lain, juga oleh Gak Bun Beng. Andaikata pemuda itu tidak membicarakannya di luar, bisa jadi kalau Tan-siucai atau Gurunya membual bahwa mereka telah merampas Hok-mo-kiam dari tangan Pendekar Super Sakti sehingga peristiwa itu diketahui oleh Ketua Thian-liong-pang yang lihai dan berpengaruh.

"Hemm, begitukah? Benar, pedang itu akan kurampas kembali dari tangan mereka. Aku mendengar bahwa kini merekapun membantu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan berada di kota raja."

"Wah, Paman hendak mencari banyak musuh di kota raja. Bagaimana dengan aku?"

"Engkau ikut saja denganku, tidak akan ada yang berani mengganggu."

"Habis, untuk apa aku ikut kalau hanya disuruh menonton? Apakah Paman.... ingin supaya aku membantu Paman itu?"

Suma Han tertawa. Bocah ini sungguh menyenangkan hatinya. Sikapnya begitu halus dan wajar, sedikitpun juga tidak memperlihatkan sikap bermusuhan padahal jelas bahwa dia telah membawanya secara paksa!

"Tidak, Nona. Engkau ikut saja denganku dan di waktu terluang, aku akan mengajarkan ilmu kepadamu."

Hampir saja Milana bersorak saking girang hatinya. Diantara hal-hal yang amat dirindukan adalah belajar ilmu dari ayah kandungnya, dari Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang terkenal di seluruh jagad!

Akan tetapi dia menahan diri dan hanya kelihatan betapa bibirnya yang merah dan berbentuk kecil mungil indah itu merekah dalam senyum, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak dan bersinar-sinar penuh keriangan hati. Hal ini tidak lepas dari pandangan mata Suma Han sehingga diam-diam pendekar ini merasa terharu dan timbul rasa suka yang mendalam di hatinya terhadap gadis ini, timbul pula niat hatinya untuk menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi kepadanya!

"Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali!"

"Ha-ha-ha...!"

Suma Han sendiri sampai terkejut. Bertahun-tahun sudah dia tidak pernah tertawa. Akan tetapi kini, tanpa disadarinya, dia telah tertawa begitu bebas, suara ketawa yang langsung keluar dari dalam hatinya. Bocah ini telah menciptakan sesuatu yang amat aneh dalam hatinya!

"Paman, kenapa kau tertawa?"

"Aku.... tertawa....? Ahhh, karena mendengar ucapanmu yang lucu tadi, Nona. Kau bilang aku baik sekali padahal aku adalah penculikmu!"

"Biarpun begitu, sikapmu amat baik kepadaku, Paman dan aku suka ikut bersamamu. Aku merasa bahwa dengan ikut padamu, aku akan mengalami hal-hal yang hebat, dan lagi, menerima pelajaran ilmu dari Pendekar Super Sakti merupakan hal yang amat menyenangkan sekali. Bagaimana aku tidak menjadi gembira dan menganggap Paman seorang yang amat baik? Nanti kalau bertemu dengan Ibu aku akan meyakinkan hatinya betapa baiknya budi pekerti Paman."

Suma Han menghela napas.
"Aaahh.... kalau ada yang menganggap baik tentu ada yang menganggap sebaliknya, yaitu jahat. Dan aku sendiri tidak tahu siapa yang lebih benar diantara mereka yang menyebut baik dan mereka yang menyebutku jahat."

"Bagaimana ini? Aku tidak mengerti, Paman?"

"Tak usah kau pikirkan. Jangan merusak hatimu yang masih polos itu dengan teka-teki hidup yang tiada habisnya, juga tiada gunanya. Eh, Nona, engkau kuanggap sebagai muridku atau sebagai.... keponakanku sendiri.... ehhh, aku jadi teringat kepada Kwi Hong! Kemana gerangan perginya bocah bengal yang sukar diurus itu?"

"Kwi Hong? Apakah Paman maksudkan bahwa keponakan Paman yang bernama Kwi Hong pergi tanpa pamit?"

Suma Han mengangguk.
"Bocah itu nakal bukan main. Dia pergi merantau tidak menggelisahkan karena ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk menjaga diri. Akan tetapi, dia membawa pergi pedang Li-mo-kiam, itulah yang menggelisahkan hatiku...."

Tiba-tiba Milana meloncat kaget.
"Aihhh....! Kalau begitu diakah....?"

Terbayang olehnya seorang gadis yang telah menyelamatkannya ketika ia hampir saja tertawan oleh Wan Keng In, seorang gadis yang keluar dari dalam peti mati, dan yang memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kilat! Gadis itu pula yang telah mengacau di rumah penginapan, menyelidiki keadaan rombongan Thian-liong-pang! Ahh, mengapa dia begitu pelupa? Tentu gadis perkasa itu Kwi Hong!

"Heiii! Apa engkau pernah bertemu dengannya?" Suma Han bertanya kaget.

Milana mengangguk, belum berani membuka mulut karena dia harus menekan perasaannya yang terguncang. Bertemu dengan Kwi Hong dan dia tidak mengenalnya, apakah Kwi Hong juga tidak mengenalnya ketika menyelidiki rumah penginapan? Dan apakah Kwi Hong baru mengenalnya ketika turun tangan menolongnya?

"Aku pernah bertemu dengan seorang gadis cantik yang membawa pedang bersinar kilat, Paman. Dia pernah menyelidiki rombongan Thian-liong-pang, hampir tertangkap olehku, akan tetapi dia lihai sekali dan dapat meloloskan diri. Kemudian, dia muncul pula bersama orang-orang Pulau Neraka!"

"Ah, kalau begitu bukan Kwi Hong! Tak mungkin dia bersama orang-orang Pulau Neraka."

"Akan tetapi dia telah menolongku ketika aku hampir tertawan oleh pemuda iblis, putera Majikan Pulau Neraka."

"Apa? Coba kau ceritakan yang jelas, Nona."

Dengan singkat Milana menceritakan bentrokan yang terjadi antara rombongan Thian-liong-pang yang dipimpinnya melawan rombongan Pulau Neraka.

"Mula-mula pihak kami sudah mendekati kemenangan, lalu tiba-tiba muncul pemuda iblis yang lihai itu. Aku hampir saja tertawan olehnya, kemudian muncul gadis itu dari dalam peti mati dan dengan sebatang pedang yang bersinar kilat, dia telah menyelamatkan aku dengan membabat putus tali sutera yang mengikatku. Karena aku maklum bahwa tempat itu berbahaya bagi rombonganku, aku lalu mengajak rombonganku segera pergi meninggalkan tempat itu."

"Dan gadis itu bagaimana?"

"Entah, Paman. Ketika aku pergi, dia sedang bertanding dengan hebatnya melawan pemuda iblis yang juga memegang sebatang pedang yang bersinar kilat!"

"Hemmm, Sepasang Pedang Iblis....!" Suma Han berkata perlahan sambil mengerutkan alisnya.

Milana sudah mendengar dari Gak Bun Beng betapa sepasang pedang itu telah ditemukan Bun Beng. Li-mo-kiam, pedang betina, diberikan oleh Bun Beng kepada Kwi Hong sedangkan yang jantan, Lam-mo-kiam, terampas oleh Wan Keng In putera Majikan Pulau Neraka. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu karena kalau dia menyebut Bun Beng, tentu ayah kandungnya itu akan mengenal dan dengan demikian, rahasia ibunya terbongkar.

"Apakah benar dia itu keponakanmu, Paman?"

"Agaknya begitulah. Dan dia tentu terancam bahaya...." Suma Han menggeleng kepala. "Akan tetapi, dia keluar dari sebuah peti mati, katamu? Hemm.... kalau begitu dia bukan Kwi Hong."

Di dalam hatinya, Milana sekarang merasa yakin bahwa gadis yang meloncat keluar dari peti mati itu pasti Kwi Hong. Setelah diingatkan, kini dia dapat membayangkan wajah gadis itu dan dia merasa yakin bahwa gadis itu, juga gadis yang pernah dia "lasso" kakinya di atas genteng di rumah penginapan, tentu Giam Kwi Hong orangnya! Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan, isi hatinya itu.

"Nona, kulanjutkan pertanyaanku yang tadi terganggu oleh persoalan Kwi Hong yang bengal. Aku hendak bertanya, siapakah namamu, Nona?"

Terkejut juga hati Milana mendengar pertanyaan ini. Ayahnya, ayah kandungnya sendiri, menanyakan namanya. Tidakkah amat ganjil ini? Ingin ia berteriak menyebutkan namanya, berteriak mengaku bahwa dia adalah puteri Si Pendekar itu sendiri, ingin ia menangis dan mencela ayahnya yang seolah-olah tidak mempedulikan anaknya!

Akan tetapi Milana terpaksa harus menekan keinginan hatinya ini karena dia harus melindungi rahasia ibunya. Entah mengapa ibunya menyembunyikan diri di balik kerudungnya itu, dia sendiri tidak tahu. Entah mengapa ibunya tidak mau berbaik dengan ayahnya, tidak mau mengaku bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah ibunya, dia sendiri tidak tahu. Betapapun juga, dia harus membela ibunya, harus melindungi rahasianya.

"Paman, panggil saja aku.... Alan...."

"Hemmm, nama palsu, ya?"

Milana mengangguk.
"Maaf, Paman. Aku tidak boleh memperkenalkan namaku kepadamu."

"Aku mengerti. Ibumu selalu bersembunyi di balik kerudung, penuh rahasia, tentu anaknyapun penuh rahasia pula. Tidak mengapalah, Alan, aku akan menyebutmu Alan seperti yang kau kehendaki. Mari kita melanjutkan perjalanan ke kota raja."

"Kenapa tidak menunggang rajawali saja, tidak melelahkan dan lebih cepat?"

Milana membantah karena memang amat menyenangkan hatinya menunggang rajawali itu, berboncengan dengan ayahnya.

"Tidak, Alan. Dari sini ke kota hanya perjalanan tiga empat hari saja dan melalui banyak dusun dan kota. Kalau kita menunggang rajawali, tentu akan menarik banyak perhatian orang."

"Dan burung itu sendiri bagaimana?"

"Dia sudah jinak dan dia akan mengikuti aku dari angkasa. Setiap kali kubutuhkan, kupanggil tentu dia datang."

"Sungguh menyenangkan sekali mempunyai binatang peliharaan seperti itu, Paman. Akan tetapi.... aku pernah mendengar bahwa binatang peliharaan Paman di Pulau Es bukan rajawali, melainkan garuda putih."

Suma Han menghela napas teringat akan dua ekor burung garudanya.
"Mereka telah tewas di tangan orang-orang yang merampas Hok-mo-kiam. Burung rajawali inipun dari Pulau Neraka, aku temukan dalam keadaan ketakutan karena Pulau Neraka dibakar. Aku dapat menundukkannya dan sekarang dia sudah jinak dan penurut."

Demikianlah, dua orang itu berjalan memasuki dusun sambil bercakap-cakap. Mereka kelihatan begitu rukun, sama sekali tidak pantas sebagai seorang yang ditawan dan penawannya, lebih patut sebagai keluarga. Namun, hanya Milana seorang yang tahu bahwa mereka adalah anak dan ayah, ayah kandung!

Dua hari kemudian, mereka telah tiba di tapal batas, kota raja hanya tinggal lima puluh li jauhnya, perjalanan setengah hari. Karena mereka datang dari arah utara, mereka melalui daerah yang agak tandus dan pada pagi hari itu, mereka beristirahat di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipakai lagi, di luar sebuah dusun.

Suma Han mengeluarkan bungkusan roti kering yang tinggal dua potong dan sebuah guci terisi air yang diisi penuh dalam perjalanan tadi. Tanpa bicara dia menyerahkan sepotong roti kering kepada gadis itu, yang diterimanya tanpa berkata-kata pula, akan tetapi tidak segera dimakannya karena Milana kini duduk sambil memandang ayah kandungnya.

Pendekar Sakti itu duduk bersandar dinding butut, kaki tunggalnya ditekuk bersila, tongkat melintang di atas pahanya, tangan kiri memegang roti kering sepotong. Melihat gadis itu tidak segera makan rotinya, dia berkata,

"Tinggal ini roti bekalku, akan tetapi perjalanan sudah dekat. Makanlah, Alan."

Namun dara itu tidak mau makan rotinya dan melihat betapa ayah kandungnya itu makan roti kering, kelihatan dipaksakan dan seret melalui kerongkongan, hatinya menjadi terharu sekali.

"Paman, kasihan sekali engkau, hanya makan roti kering tawar dan air! Aku pandai masak, Paman. Aku ingin memasakkan yang enak-enak untuk kau makan."

Suma Han menunda makannya, memandang dara itu dengan heran dan tersenyum.
"Engkau aneh sekali. Di tempat sunyi seperti ini, andaikata pandai masak sekalipun, apa yang hendak dimasak? Bahannya tidak ada, bumbu-bumbunyapun tidak ada, yang ada hanya bahan bakar dan api!"

"Di selatan sana sudah tampak sebuah dusun, tentu ada yang menjual bahan dan bumbu. Kalau Paman percaya kepadaku, aku akan kesana membeli bahan kemudian akan kumasakkan yang enak untuk Paman."

"Percaya? Tentu saja aku percaya kepadamu, Alan."

Wajah Milana berseri dan ia meloncat bangun.
"Benarkah Paman percaya kepadaku? Terima kasih, Paman. Aku akan pergi dulu mencari bahan masakan!" Gadis itu membalikkan tubuh dan berlari keluar dari kuil tua.

"Heiii, Alan! Nanti dulu!"

Dara itu berhenti, menengok dan memandang dengan wajah kecewa.
"Paman takut kalau aku melarikan diri?"

Suma Han tersenyum, menggeleng kepala dan mengeluarkan sebatang pedang dari buntalannya.
"Aku percaya kepadamu, akan tetapi kau bawalah pedang ini untuk membela diri kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan."

Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Milana. Ayah kandungnya, biarpun belum tahu bahwa dia adalah puterinya, sudah menaruh kepercayaan dan menaruh sayang kepadanya! Cepat ia berlari menghampiri pendekar itu menerima pedang dan menjura,

"Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali, selain percaya bahwa aku tidak akan melarikan diri, juga engkau ingat akan keselamatanku." ia memandang pedang di tangannya, mencabut dari sarungnya dan berseru girang. "Ah, pedang pusaka yang indah! Pedang pusaka apakah ini, Paman?"

"Namanya Pek-kong-kiam, dahulu menjadi pegangan keponakanku. Akan tetapi sekarang dia tidak memerlukannya lagi. Pergilah, Alan, dan hati-hatilah."

Alan mengangguk, memasangkan pedang di pinggangnya kemudian berlari-lari kecil meninggalkan kuil itu, dipandang oleh Suma Han dengan bengong.

Setelah bayangan dara itu lenyap, dia menarik napas panjang.
"Ahhh, Suma Han, apakah engkau benar-benar memiliki dasar watak yang kotor? Mengapa engkau seperti tergila-gila kepada dara itu?"

Ingin pendekar sakti ini menempiling kepalanya sendiri. Ada sesuatu dalam diri dara itu yang amat menarik hatinya, seperti besi sembrani menarik besi! Ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia merasa suka sekali, merasa ingin sekali berdekatan selalu, memandang wajah jelita itu, melihat senyum yang cerah dan mata yang lebar seperti matahari kembar itu. Seolah-olah dia berhadapan dengan seorang yang sudah lama sekali dikenalnya, yang amat dekat dengan hatinya, seolah-olah ada perasaan yang memenuhi hatinya bahwa sudah semestinya dan sewajarnya kalau gadis itu selalu berada di dekatnya!

"Keparat!" Suma Han menepuk tanah di depannya. "Aihhh, Nirahai.... Lulu.... kalianlah yang membuat aku menjadi begini! Aku rindu kepada kalian, rindu akan kasih sayang wanita sehingga begitu bertemu dengan gadis ini aku seperti orang tergila-gila!" Ia mengeluh lalu duduk termenung. "Apakah yang harus kulakukan agar aku dapat berkumpul kembali dengan Nirahai? Dengan Lulu?"

Nirahai adalah isterinya, yang ia cinta dan yakin bahwa isterinya itupun mencintanya. Akan tetapi mengapa sikap Nirahai seaneh itu? Mengapa? Dan Lulu? Dia mencinta adik angkatnya itu, mencintanya dengan sepenuh hatinya, bukan cinta saudara, melainkan cinta seorang pria terhadap wanita yang pertama kali merebut kasihnya. Terkenang dia akan ucapan-ucapan Lulu ketika mereka bertemu di Pulau Neraka.

"Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua kenyataan dalam hidupku. Menjadi isterimu atau menjadi musuhmu!"





Tidak ada komentar:

Posting Komentar