FB

FB


Ads

Selasa, 20 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 064

"Aahhh...!"

Tiba-tiba Keng In berdiri tak bergerak, pedang yang diangkat ke atas kepala itu tidak jadi dilanjutkan gerak serangannya dan dia memandang ke depan dengan muka pucat.

Di depannya telah berdiri Bu-tek Siauw-jin, Si Kakek Pendek yang tahu-tahu telah berada di depan pemuda itu dengan lengan kiri dilonjorkan, tangan terlentang terbuka seperti orang minta-minta.

"Kembalikan pedang muridku itu!"

Sejenak Keng In terbelalak bingung, masih belum dapat menerima ucapan itu. Gadis itu murid susioknya? Teringat ia akan anggota Pulau Neraka yang tewas secara aneh. Kini mengertilah dia. Tentu Bu-tek Siauw-jin inilah yang telah membunuh wanita yang membelenggu Kwi Hong, dan kakek ini pula yang membuat gadis itu tadi mampu membebaskan diri dari pada totokannya!

Keng In adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, akan tetapi menghadapi paman gurunya ini yang bahkan disegani oleh Cui-beng Koai-ong sendiri, dia tidak berani melawan. Hanya keraguannyalah yang membuat dia masih belum menyerahkan pedang yang diminta itu.

"Akan tetapi... Susiok..."

"Masih berani membantah dan tidak berikan pedang itu kepadaku?"

Cepat dan gugup Keng In menyerahkan pedang itu yang diterima oleh Bu-tek Siauw-jin dan dilemparkannya pedang itu kepada muridnya. Kwi Hong menyambut pedang itu dengan hati girang sekali.

"Maaf, Susiok. Teecu tidak tahu bahwa dia murid Susiok..."

"Hemmm, sekarang sudah tahu!"

"Tapi... dia adalah keponakan dan murid Pendekar Siluman!"

"Ha-ha-ha-ha-ha-heh-heh! Dan engkau sendiri siapa, anak siapa? Heh-heh, setidaknya Pendekar Siluman adalah Majikan yang tulen dari Pulau Es!"

Mendengar ucapan ini, wajah Keng In menjadi merah sekali. Dia merasa terhina dan marah, akan tetapi terpaksa dia menahan kemarahannya. Dengan ucapan itu, paman gurunya yang ugal-ugalan itu hendak mengingatkan bahwa dia hanyalah putera dari seorang Majikan atau Ketua Boneka dari Pulau Neraka!

Sama saja dengan mengatakan bahwa paman gurunya itu masih lebih baik dari pada gurunya dalam hal menerima murid dan bahwa keponakannya atau murid dari Majikan Pulau Es masih lebih baik dari pada putera dari Ketua Boneka Pulau Neraka!

"Susiok...!"

"Kau mau apa?"

"Teecu tidak apa-apa, akan tetapi teecu akan menceritakan kepada Suhu tentang keanehan ini."

"Hemmm, kalau engkau mengira akan dapat mempergunakan Gurumu sebagai perisai maka engkau adalah seorang pengecut dan seorang yang bodoh!"

"Teecu tidak bermaksud mengadu... hanya... teecu rasa Susiok telah salah menerima murid..."

"Desssss!"

Tiba-tiba tubuh Keng In terpental sampai beberapa meter jauhnya. Tidak tampak kakek pendek itu menyerang, akan tetapi tahu-tahu pemuda itu terlempar! Keng In cepat meloncat berdiri lagi, diam-diam dia terkejut akan tetapi juga lega bahwa susioknya yang aneh itu tidak melukainya.

"Kau berani memberi kuliah kepadaku tentang bagaimana mengambil murid?" Bu-tek Siauw-jin membentak.

"Maaf, teecu mohon diri...!"

"Pergilah! Dan ingat, kelak muridku ini yang akan menandingimu!"

Keng In menjura dan meloncat pergi, loncatannya jauh sekali seperti terbang sehingga mengagumkan hati Kwi Hong. Lebih terkejut lagi gadis ini ketika mendengar suara bisikan yang halus dan jelas dari jauh, suara pemuda itu.

"Kita sama lihat saja apakah perempuan bodoh ini akan dapat menandingiku!"

Bu-tek Siauw-jin mengerutkan alisnya dan menoleh kepada para anak buah Pulau Neraka yang kini sudah menjatuhkan diri berlutut semua.

"Lekas kalian pergi dari sini, tinggalkan mayat-mayat itu biar dimakan burung gagak!"

Anak buah Pulau Neraka itu menjura, kemudian bangkit dan pergi tanpa mengeluarkan kata-kata lagi. Bu-tek Siauw-jin lalu berkata kepada muridnya, suaranya singkat dan ketus, berbeda dengan biasanya yang suka berkelakar.

"Mari kita pergi!"

Kwi Hong menurut dan berjalan mengikuti kakek pendek itu keluar dari tanah kuburan, menuruni bukit kecil. Akan tetapi akhirnya dia tidak kuat menahan penasaran hatinya dan berkata,

"Suhu, bagaimana engkau bersikap begitu kejam, membiarkan mayat anak buahmu terlantar di sana dan dimakan gagak?"

Mulut kakek itu tidak kelihatan bergerak, akan tetapi terdengar suara ketawanya, seolah-olah suara itu keluar dari perut melalui lubang lain, bukan mulut!

"Heh-heh-heh! Engkau merasa kasihan kepada mayat yang tidak bernyawa lagi, akan tetapi tidak kasihan kepada burung-burung gagak yang kelaparan!"






Kwi Hong terbelalak.
"Suhu! Biarpun sudah menjadi mayat yang tak bernyawa, akan tetapi itu adalah mayat-mayat manusia! Teecu tidak biasa bersikap kejam, sejak kecil diajar supaya berperi kemanusiaan oleh paman atau guru teecu!"

Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin menghentikan langkahnya dan memandang muridnya dengan mata lebar dan mulut menyeringai, kemudian dia tertawa bergelak,

"Ha-ha-ha-ha! Semenjak kecil, manusia diajar segala macam kebaikan! Manusia mana yang sejak kecilnya tidak diajar dan dijejali segala macam pelajaran tentang kebaikan oleh ayah bunda atau guru-gurunya? Agama bermunculan dengan para pendetanya. Ahli-ahli kebatinan bermunculan saling bersaing, mereka semua berlomba untuk menjejalkan pelajaran tentang kebaikan kepada manusia-manusia, semenjak manusia masih kecil sampai menjadi kakek-kakek.

Akan tetapi, adakah seorang saja manusia yang baik di dunia ini? Setiap orang manusia, menurut ajaran agama masing-masing, berlomba keras dalam teriakan anjuran agar mencinta sesama manusia, namun didalam hati masing-masing menanam dan memupuk perasaan saling benci, bahkan yang pertama-tama adalah membenci saingan masing-masing dalam menganjurkan cinta kasih antar manusia! Gilakah ini? Atau aku yang gila? Ha-ha-ha! Muridku, kalau engkau melakukan kebaikan karena ajaran-ajaran itu, bukanlah kebaikan sejati namanya, melainkan melaksanakan perintah ajaran itu! Engkau ini manusia ataukah boneka yang hanya bergerak dalam hidup menurut ajaran-ajaran yang membusuk dan melapuk dalam gudang ingatanmu?

Engkau sendiri dalam pertandingan dengan enak saja membunuh manusia lain, sama sekali tak merasa akan kekejaman perbuatanmu, tetapi baru melihat aku meninggalkan mayat agar membikin kenyang perut gagak yang kelaparan, kau katakan kejam! Ha-ha-ha, muridku. Pelajaran pertama bagi manusia umumnya, termasuk aku, adalah mengenal wajah sendiri yang cantik, akan tetapi juga mengenal isi hati dan pikiran kita sendiri yang busuk, jangan hanya mengagumi lekuk lengkung tubuh sendiri yang menggairahkan akan tetapi juga mengenal isi perut yang tidak menggairahkan!"

Kwi Hong memandang gurunya dengan sinar mata bingung. Gurunya ini bukan manusia lumrah, bukan orang waras. Tentu agak miring otaknya. Sekali bicara tentang hidup, kacau balau tidak karuan. Maka dia diam saja, kemudian melanjutkan langkah kakinya ketika melihat gurunya sudah berjalan kembali dengan langkah pendek.

"Kau tentu tidak dapat menangkan Keng In sebelum engkau mahir betul menggunakan Ilmu Menghimpun Tenaga Inti Bumi. Bocah itu telah berhasil mewarisi kepandaian Suheng. Lihat saja warna mukanya tadi!"

Kwi Hong cemberut, dalam hatinya dia tidak senang dikatakan bahwa dia tidak akan menang menghadapi Keng In. Kini mendengar disebutnya warna muka pemuda itu dia mengingat-ingat.

"Warna mukanya biasa saja. Mengapa, Suhu?"

"Justru yang biasa itulah yang luar biasa!" Gurunya menjawab dan berjalan terus.

Kwi Hong menoleh, terbelalak tidak mengerti.
"Eh, apa maksudmu, Suhu?"

"Begitu bodohkah engkau? Semua murid Pulau Neraka memiliki wajah yang berwarna, apakah engkau lupa? Bahkan Ketua Boneka, ibu bocah itu sendiri, mukanya berwarna putih seperti kapur! Itulah tanda orang yang memiliki tingkat tertinggi Pulau Neraka yang menjadi akibat himpunan sinkang yang mengandung hawa beracun pulau itu! Bahkan mendiang Sute Ngo Bouw Ek pun mukanya masih berwarna kuning, berarti bahwa ibu bocah itu masih setingkat lebih tinggi dari padanya.

Hanya aku dan Suheng Cui-beng Koai-ong saja yang tidak terikat oleh warna muka, bisa mengubah warna muka sesuka hati kami berdua. Hal itu menandakan bahwa kami berdua adalah dapat mengatasi pengaruh hawa beracun Pulau Neraka, dan tingkat kami sudah lebih tinggi. Kalau sekarang Wan Keng In sudah menjadi biasa warna kulit mukanya, hal itu berarti bahwa diapun sudah terbebas dari pengaruh hawa beracun, berarti tingkatnya sudah lebih tinggi dari tingkat ibunya sendiri!"

"Wah, hebat sekali kalau begitu!" Diam-diam Kwi Hong bergidik. Kalau benar-benar pemuda itu tingkatnya sudah melampaui tingkat kepandaian Majikan Pulau Neraka, benar-benar merupakan lawan yang berat! "Teecu menerima gemblengan Suhu, jangan-jangan muka teecu akan menjadi berwarna pula!"

“Heh-heh-heh, jangan bicara gila! Kalau engkau berlatih di atas Pulau Neraka, tentu saja engkau akan mengalami keracunan dan mukamu berubah-ubah sesuai dengan tingkatmu sebelum engkau dapat mengatasi hawa beracun itu. Akan tetapi engkau kulatih di luar Pulau Neraka. Pula, engkau telah memiliki dasar sin-kang dari Pulau Es yang amat kuat, kiranya engkau hanya akan terpengaruh sedikit dan setidaknya kalau engkau berlatih disana, engkau mendapatkan warna putih atau kuning.

Sudahlah, mulai sekarang engkau harus benar-benar mencurahkan perhatian, berlatih dengan tekun. Melihat kemajuan dan tingkat bocah tadi, aku hanya akan menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi saja kepadamu. Inipun hanya akan dapat kau andalkan untuk memenangkan pertandingan melawan Keng In kalau engkau berlatih dengan sungguh-sungguh hati dan mati-matian.”

Mereka berjalan terus dan sampai lama keduanya tidak bicara. Tiba-tiba Kwi Hong bertanya,
“Suhu, sebetulnya yang mempunyai kepentingan mengalahkan Wan Keng In itu siapakah? Teecu ataukah Suhu?”

Kakek itu berhenti dan menengok kepada muridnya, memandang dengan mata terbelalak kemudian tertawa bergelak,

“Ha-ha-ha, habis kau kira siapa?”

“Teecu tidak mempuyai urusan pribadi dan tidak mempunyai permusuhan langsung dengan pemuda Pulau Neraka itu, sungguhpun teecu tidak suka kepadanya. Kalau tidak kebetulan bertemu dengannya, teecu tidak bertempur dengannya dan teecu juga tidak akan mencari-cari dia untuk diajak bertanding. Hal itu berarti bahwa kalau teecu mati-matian mempelajari ilmu sudah tentu bukan dengan tujuan untuk semata-mata kelak dipergunakan untuk menandingi orang itu.”

“Kalau begitu, mengapa tadi engkau sudah enak-enak di dalam peti, tahu-tahu engkau keluar dan menyerangnya?”

“Karena teecu tidak ingin dia mencelakai dara itu.”

“Hemm, bocah puteri Ketua Thian-liong-pang itu! Mengapa engkau membantunya?”

Kwi Hong tak dapat menjawab. Tadi ketika ia membuka peti matinya dan melihat Milana, ia segera mengenal dara itu sebagai Milana, puteri dari pamannya, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai! Akan tetapi, begitu mendengar bahwa dara itu adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, dia menjadi ragu-ragu, bahkan teringat bahwa yang hampir mencelakainya ketika dia mengintai di rumah penginapan rombongan Thian-liong-pang, yang menggunakan tali sutera hitam panjang, juga gadis itulah! Benarkah gadis itu Milana? Kalau benar Milana, mengapa disebut puteri Ketua Thian-liong-pang? Maka, kini pertanyaan gurunya tak dapat ia menjawabnya sebelum dia yakin benar apakah dara itu Milana atau bukan.

“Teecu.... teecu tidak bisa diam saja melihat seorang gadis terancam bahaya.”

“Ha-ha-ha, cocok dengan semua pelajaran tentang kebaikan yang kau terima sejak kecil dari Pamanmu?”

Disindir demikian, Kwi Hong diam saja, hanya cemberut. Kemudian dia mendapat kesempatan membalas.

“Telah teecu katakan tadi bahwa teecu tidak mempunyai kepentingan mengalahkan Wan Keng In. Akan tetapi Suhu agaknya bersemangat benar untuk melihat teecu mengalahkan dia! Apakah bukan karena Suhu ingin bersaing dengan Supek Cui-beng Koai-ong?”

Kakek itu melotot, kemudian menghela napas dan membanting-banting kakinya seperti sikap seorang anak-anak yang jengkel hatinya.

“Sudahlah! Sudahlah! Engkau benar! Memang demikian adanya. Suheng telah melanggar sumpah, mengambil murid! Maka akupun memilih engkau sebagai murid untuk kelak kupergunakan menandingi muridnya agar Suheng tahu akan kesalahannya! Nah, katakan bahwa engkau tidak mau membantu aku! Tidak usah berpura-pura!”

Kwi Hong tersenyum. Suhunya ini benar-benar seorang yang amat aneh, luar biasa, agak sinting, sakti seperti bukan manusia lagi, akan tetapi sikapnya menyenangkan hatinya! Biarpun ugal-ugalan, akan tetapi entah bagaimana tidak menjadi benci, malah dia suka sekali.

“Suhu, sebagai murid tentu saja teecu akan membantu Suhu karena sebagai seorang guru yang mencinta muridnya, tentu Suhu juga selalu ingin membantu muridnya seperti teecu, bukan?”

“Wah-wah-wah, dalam satu kalimat saja, engkau mengulang-ulang sebutan guru dan murid beberapa kali sampai aku jadi bingung! Katakan saja, apa yang kau ingin kulakukan untuk membantumu agar kelak engkaupun akan suka membantuku?”

Kwi Hong tersenyum lebar. Biarpun kelihatan sinting, gurunya ini ternyata cerdik sekali dan mudah menjenguk isi hatinya. Dia teringat akan urusan Gak Bun Beng, dan teringat akan niatnya meninggalkan pamannya. Dia berniat pergi ke kota raja, membantu Bun Beng menghadapi musuh-musuhnya yang berat, dan juga untuk merampas kembali pedang Hok-mo-kiam yang dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya.

Tanpa bantuan seorang sakti seperti gurunya ini, mana mungkin dia akan berhasil menghadapi orang-orang sakti seperti Koksu Negara Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan dua orang pembantunya yang hebat itu, sepasang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Belum lagi kalau berhadapan dengan Tan-siucai dan gurunya yang sakti, Si Ahli Sihir Maharya!

“Suhu, sebelum bertemu dengan Suhu, teecu telah lebih dulu menjadi keponakan dan murid Pendekar Super Sakti. Berarti, biarpun teecu berhutang kepada Suhu, akan tetapi teecu juga sudah berhutang budi kepada Pendekar Super Sakti yang belum teecu balas. Benarkah pendapat ini?”

Betapa kaget hati Kwi Hong ketika melihat gurunya itu menggeleng kepala kuat-kuat!
“Tidak benar! Tidak betul! Orang yang melibatkan diri dalam hutang-piutang budi, baik yang berhutang maupun sebagai yang menghutangkan adalah orang bodoh karena hidupnya tidak akan berarti lagi! Katakan saja apa yang akan kau lakukan dan apa yang dapat kubantu tanpa menyebut tentang hutang-piutang budi segala macam!”

Kwi Hong menelan ludahnya sendiri. Sukar juga menentukan sikap menghadapi seorang sinting dan kukoai (ganjil) seperti gurunya ini! Akan tetapi dia teringat akan watak gurunya yang seperti kanak-kanak ketika mengadu jangkerik, yaitu gurunya tidak bisa menerima kekalahan! Gadis yang cerdik ini segera berkata,

“Suhu, urusan mengalahkan Wan Keng In adalah urusan mudah saja. Asalkan Suhu mau mengajarkan teecu dengan sungguh-sungguh dan teecu akan berlatih dengan tekun, apa sih sukarnya mengalahkan bocah sombong itu? Akan tetapi teecu mempunyai beberapa orang musuh yang benar-benar amat sukar dikalahkan, amat sakti, jauh lebih sakti daripada sepuluh orang Wan Keng In. Bahkan, dengan bantuan Suhu sekalipun teecu masih ragu-ragu dan khawatir apakah akan dapat mengalahkan mereka....?”

“Uuuuttt! Sialan kau! Aku sudah maju membantu masih khawatir kalah? Jangan main-main kau! Siapa musuh-musuhmu itu? Asal jangan tiga orang pengawal Tong Sam Cong saja, masa aku tidak mampu kalahkan?”

Yang dimaksudkan oleh kakek itu dengan tiga orang pengawal Tong Sam Cong adalah tiga tokoh sakti dalam dongeng See-yu, yaitu tiga orang pengawal Pendeta muda Tong Sam Cong atau Tong Thai Cu yang melawati ke Negara Barat (India) untuk mencari kitab-kitab Agama Buddha. Mereka itu adalah Si Raja Monyet Sun Go Kong, Si Kepala Babi Ti Pat Kai dan See Ceng.

“Biarpun tidak sesakti para pengawal Tong Thai Cu, akan tetapi teecu sungguh tidak berani memastikan apakah dengan bantuan Suhu sekalipun teecu akan dapat mengalahkan mereka. Mereka itu adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji-Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Maharya!”

Kwi Hong sengaja tidak menyebut nama Tan-siucai karena untuk menghadapi orang ini tidaklah terlalu berat.

Kakek itu tiba-tiba menjadi bengong.
“Kau.... bocah begini muda.... sudah menanam bibit permusuhan dengan orang-orang macam mereka itu?”

“Harap Suhu tidak perlu mengalihkan persoalan. Kalau Suhu merasa jerih dan tidak berani membantu teecu menghadapi mereka teecu pun tidak dapat menyalahkan Suhu karena mereka memang amat sakti. Hanya Paman Suma Han saja kiranya yang akan dapat mengalahkan mereka.”

Kakek itu tersentuh kelemahannya. Mukanya menjadi merah sekali dan kedua lengannya digerak-gerakkan ke kanan kiri. Terdengar suara keras dan empat batang pohon di kanan kirinya tumbang dan roboh terkena pukulan kedua tangannya!

“Siapa bilang aku jerih? Kalau Suma Han pamanmu yang buntung itu dapat menandingi mereka, mengapa aku tidak? Haiiii, bocah tolol, kau terlalu memandang rendah Gurumu! Lihat saja nanti, aku akan membikin empat orang tua bangka itu terkencing-kencing dan terkentut-kentut minta ampun kepadamu! Haiii! Mengapa kau bermusuh dengan mereka?”

“Pendeta India yang bernama Maharya itu telah membunuh burung-burung garuda peliharaan dan kesayangan teecu di Pulau Es bahkan telah merampas pedang pusaka yang teecu amat sayang.”

“Hemm, aku akan hajar dia dan paksa dia mengembalikan pedang. Wah, kau mempunyai sebuah pedang pusaka lain lagi? Apakah Pedang Iblis macam yang kau bawa itu? Hati-hati, dengan segala macam pusaka seganas itu, jangan-jangan akan berubah menjadi iblis!”

“Tidak, Suhu. Pedang pusaka itu adalah sebatang pedang pusaka sejati yang amat ampuh dan bersih.”

“Heh-heh-heh! Pedang dibuat untuk memenggal leher orang, menusuk tembus dada orang, merobek perut sampai ususnya keluar, mana bisa dibilang bersih?”

“Adapun Bhong Ji Kun Si Koksu Tengik itu, bersama dua orang pembantunya Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, mereka adalah orang-orang yang memimpin pasukan membakar Pulau Es. Karena itu mereka adalah musuh-musuh besar teecu dan teecu hanya dapat mengandalkan bantuan Suhu untuk dapat menghajar mereka.”

“Uuut! Bocah bodoh. Setelah engkau mempelajari ilmu dariku dengan tekun dan berhasil baik, apa sih artinya keledai-keledai tua beberapa ekor itu? Tidak usah kubantu, engkau sendiri sudah cukup, lebih dari cukup untuk mengalahkan mereka.”

“Akan tetapi, teecu tidak percaya dan tidak akan tenang kalau tidak bersama Suhu. Karena itu, marilah kita pergi ke kota raja mencari mereka, Suhu.”

“Tapi kau harus berlatih....”

“Sambil melakukan perjalanan, teecu akan tekun berlatih.”

“Tapi aku harus mampir dulu ke kaki Gunung Yin-san, di dekat padang pasir.”

“Ihh, tempat itu tandus dan sunyi, mengapa Suhu hendak kesana? Tentu disana tidak ada orangnya.”

“Memang tidak ada orangnya karena aku kesana bukan untuk mencari orang.”

“Habis, mencari apa?”

“Mencari kelabang!”

“Ihhhh....!”

“Kenapa ihhh? Engkau tidak tahu, kelabang disana berwarna merah darah, panjangnya satu kaki, besarnya seibu jari kaki!”

“Ihhhh....!” Kwi Hong mengkirik, makin geli dan jijik.

“Eh, masih belum kagum? Racun kelabang raksasa merah itu tiada keduanya di dunia ini. Mengalahkan semua racun yang berada di Pulau Neraka!”

Kwi Hong menahan rasa jijik dan gelinya agar tidak menyinggung hati gurunya yang kadang-kadang aneh dan pemarah itu, maka dia berkata mengangguk-angguk,

“Wah, kalau begitu hebat. Akan tetapi, untuk apa Suhu mencari Kelabang Raksasa Raja Racun itu?”

“Bulan ini adalah musim bertelur, aku hendak menangkap seekor kelabang betina yang akan bertelur. Sebelum telur-telur itu dikeluarkan, harus dapat kutangkap dia, karena telur-telur yang masih berada di dalam perutnya itu mengandung racun yang paling ampuh karena terendam di dalam sumber racun kelabang itu.”

“Hemm, menarik sekali,” kata Kwi Hong memaksa diri. “Setelah ditangkap, lalu untuk apa, Suhu?”

“Kupotong bagian perut yang penuh telur itu, kemudian kumasak dengan arak merah....”

“Wah, dimasak dengan arak perut penuh telur beracun ganas itu?” Kwi Hong menelan ludah, bukan saking kepingin melainkan untuk menekan rasa muaknya. “Mengapa menyiksa betinanya yang sedang bertelur, Suhu? Bukankah kabarnya kelabang jantan lebih hebat racunnya?”

“Memang demikian biasanya, akan tetapi setelah tiba masa kawin disusul masa bertelur, semua racun berkumpul di tempat telur. Kau tidak tahu, kelabang raksasa di tempat itu mempunyai kebiasaan aneh dan menarik sekali. Di musim kawin, si betina pada saat bersetubuh menggigit leher si jantan dan menghisap darah si jantan berikut racunnya sampai tubuh si jantan itu kering dan mati! Diulanginya perkawinan aneh ini sampai dia menghisap habis darah dan racun lima enam ekor jantan, barulah perutnya menggendut terisi telur. Nah, di tempat telur itulah berkumpulnya semua racun!”

Cuping hidung Kwi Hong bergerak-gerak sedikit karena dia merasa makin muak.
“Suhu mencari barang macam itu, memasaknya dengan arak, untuk Suhu makan?”

Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya perlahan.
“Bukan....!”

Kwi Hong memandang terbelalak.
“Habis, untuk apa....?” Hatinya sudah tidak enak.

“Untuk kau makan!”

“Uuuukhhh!”

Kwi Hong mencekik leher sendiri menahan agar jangan sampai muntah, matanya terbelalak memandang gurunya yang tertawa terkekeh-kekeh.

“Bocah tolol! Jangan memikirkan jijiknya, akan tetapi pikirkan khasiatnya! Kalau engkau makan itu, segala macam racun di dunia ini tidak akan dapat mempengaruhi tubuhmu, baik racun yang masuk melalui darah atau melalui perutmu! Dan racun itu cocok sekali untuk membangkitkan tenaga Inti Bumi yang kau latih!”

Kwi Hong tidak dapat membantah lagi, akan tetapi setiap kali teringat akan perut kelabang penuh telur beracun yang harus dimakannya, perutnya sendiri menjadi mual dan dia kepengin muntah! Hal ini agaknya amat menyenangkan kakek itu, sehingga di sepanjang jalan, Bu-tek Siauw-jin selalu mengulangi godaannya dengan menceritakan tentang segala macam kelabang dan binatang-binatang menjijikkan, hanya untuk membuat muridnya mual, jijik dan ingin muntah! Orang yang aneh luar biasa pula!

**** 064 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar