FB

FB


Ads

Kamis, 15 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 060

Belasan orang Pulau Neraka itu lalu beristirahat agak jauh dari “kuburan” itu, karena kalau kakek itu sedang berlatih seperti itu, sama sekali tidak boleh diganggu dan mereka harus menjaga kuburan itu agar tidak ada yang berani mengusiknya.

Akan tetapi merekapun tidak berani menjaga terlalu dekat, karena kakek sinting ini benar-benar aneh dan galak sekali, dan biarpun berada di dalam peti mati yang sudah dikubur, agaknya masih dapat mendengar percakapan mereka yang di atas! Karena itu, mereka lebih “aman” menjaga di tempat yang agak jauh, akan tetapi siang malam mereka bergilir menjaga dan memperhatikan kuburan itu.

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takutnya hati Kwi Hong. Dia mendengar suara berdebuknya tanah bergumpal-gumpal yang jatuh menimpa peti matinya, sampai akhirnya yang terdengar hanya suara gemuruh tidak jelas lagi. Kemudian sunyi, sunyi sekali dan yang tampak hanyalah hitam pekat di sekelilingnya dan di tengah-tengah, tepat di atasnya, terdapat sebuah bulatan sinar yang menyilaukan mata.

Dia tidak tahu benda apa itu, setelah ia meraba-raba dengan tangannya, barulah ia mengerti bahwa sinar bulat itu adalah sebuah lubang, lubang dari batang bambu yang tentu saja menembus keluar tanah kuburan dari mana cahaya matahari masuk bersama hawa.

Makin ngeri hati Kwi Hong. Lubang bambu itu merupakan gantungan nyawanya! Kalau lubang itu tertutup.... ihh, dia bergidik dan mendadak saja napasnya terasa sesak sekali, seolah-olah hawa di dalam peti mati telah habis dan lubang itu telah tertutup!

“Kakek sinting....!” Dia memaki gemas. “Kalau engkau menipuku dan aku sampai mati disini, aku akan menjadi setan dan belum puas hatiku kalau setanku belum mencekik lehermu sampai putus!”

Tiba-tiba terdengar suara, jelas akan tetapi terdengar seperti amat jauh, suara dari balik kubur!
“Uwaaahhh, ganas sekali engkau! Belum menjadi setan sudah demikian ganas, apalagi kalau benar-benar menjadi setan! Kwi Hong, engkau muridku, aku Gurumu, mana mungkin Guru mencelakakan murid? Kau lihat, ada tabung bambu untuk hawa segar. Bernapaslah dalam-dalam, pejamkan matamu, dan dengarkan baik-baik, kita mulai berlatih pernapasan, samadhi dan menghimpun sin-kang dari hawa inti sari bumi....”

Dengan penuh perhatian Kwi Hong mendengarkan suara kakek itu yang terdengar jelas sekali, mendengarkan cara-cara berlatih pernapasan yangg istimewa, kemudian mencobanya dalam praktek dengan petunjuk-petunjuk suara kakek itu. Dia bukan saja dilatih pernapasan yang amat aneh, juga dilatih untuk bernapas di dalam ruang tertutup di bawah tanah!

“Jangan memandang ringan latihan ini, muridku. Tahukah mengapa kami tokoh-tokoh dan datuk-datuk Pulau Neraka melakukan latihan ini? Terciptanya dari keadaan yang memaksa kami. Bayangkan saja keadaan Pulau Neraka pada ratusan tahun yang lalu, sebelum semua kesukaran dapat ditaklukkan seperti sekarang ini. Hidup di permukaan pulau merupakan hal yang mustahil apalagi kalau ular-ular dan semua binatang berbisa mengamuk, rawa-rawa mengeluarkan hawa beracun dan terbawa angin menyapu seluruh permukaan pulau! Terpaksa nenek moyang kami mencari tempat persembunyian di dalam tanah! Namun masih saja diancam bahaya oleh ular-ular dan kelabang-kelabang berbisa. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah mengubur diri hidup-hidup dan terciptalah cara berlatih seperti ini!

Mengapa dilakukan dalam sebuah peti mati? Karena dari sebuah peti kunolah ditemukan ilmu-ilmu rahasia yang kami miliki. Ketika seorang diantara nenek moyang kami bersembunyi di dalam tanah dengan mengubur diri hidup-hidup, melindungi tubuhnya dalam sebuah peti mati kuno yang ditemukan di dalam tanah ketika dia menggali lubang, dia menemukan ukiran-ukiran dan coretan-coretan di dalam peti mati itu yang ternyata adalah ilmu-ilmu rahasia yang agaknya ditinggalkan oleh nenek moyang Bu Kek Siansu yang kebetulan mati dikubur di Pulau Neraka! Nah, setelah kau tahu akan riwayat singkatnya, belajarlah baik-baik karena sesungguhnya, biarpun sifatnya berbeda, namun pada dasarnya ilmu-ilmu Pulau Neraka adalah satu sumber dengan ilmu-ilmu Pulau Es.”

Dengan tekun dan kini sama sekall tidak berani memandang rendah kepada kakek sinting itu, Kwi Hong diam-diam memusatkan perhatiannya dan mentaati semua petunjuk kakek itu, berlatih dengan penuh ketekunan dan penuh ketekatan, tidak merasa ngeri atau takut lagi karena dia sudah menyerahkan mati hidupnya di tangan kakek yang menjadi gurunya itu.

Sebetulnya apakah yang terjadi dengan orang-orang Pulau Neraka? Mengapa mereka berada di situ dan bagaimana pula dengan Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka? Seperti telah diceritakan di bagian depan, pasukan pemerintah menyerbu Pulau Neraka dan melihat bahwa Pulau Neraka itu sudah kosong, pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya itu lalu membakar pulau itu.

Para penghuni Pulau Neraka telah lebih dahulu disingkirkan oleh Lulu, diajak mengungsi meninggalkan pulau dan karena Lulu maklum bahwa pulau-pulau di sekitar tempat itu tidak aman bagi anak buahnya, maka dia memimpin rombongan perahu yang dipakai mengungsi itu ke pantai di sebelah barat pulau.

Puteranya, Wan Keng In, pada waktu terjadi penyerbuan itu, tidak berada di pulau karena memang puteranya itu pergi bersama gurunya yang belum pernah dijumpai Lulu. Ketika perahu-perahu yang ditumpangi oleh hampir seratus lima puluh orang penghuni Pulau Neraka itu tiba di pantai, ternyata Wan Keng In telah berada di tepi pantai, berdiri tegak dan bertolak pinggang dengan sikap angkuhnya.

“Ibu, kulihat dari jauh asap mengepul di pulau kita dan sekarang ini Ibu hendak membawa anak buah kita kemana? Apa yang telah terjadi?”

“Pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Untung aku telah menduganya terlebih dahulu dan membawa anak buah melarikan diri,” jawab Lulu.

“Ahh, mengapa melarikan diri? Mengapa Ibu tidak memimpin anak buah melawan? Sungguh memalukan sekali, lari terbirit-birit seperti serombongan pengecut. Bukankah Pulau Neraka sebagai sarangnya orang-orang berilmu tinggi?”

Lulu memandang puteranya dengan marah.
“Enak saja mencela! Engkau sendiri mengapa tidak datang melihat pulau kita terancam? Bagaimana kita mampu melawan pasukan pemerintah yang jumlahnya seribu orang lebih? Dan pasukan itu dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi seperti Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, pendeta India Maharya, kedua orang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dan masih banyak lagi panglima yang lihai.”

“Ibu adalah Ketua Pulau Neraka, masa takut menghadapi mereka?” Keng In membantah.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari tepi pantai.
“Ha-ha-ha, Ketua boneka seperti Ibumu mana mungkin mampu menandingi mereka, muridku? Engkaulah yang dapat menandingi Koksu itu dan kaki tangannya!”

Lulu cepat membalikkan tubuhnya dan melihat seorang kakek tua setengah telanjang berjalan terbungkuk-bungkuk dari dalam air laut! Mula-mula yang tampak hanya tubuh atas sepinggang, makin lama air makin dangkal dan makin tampaklah tubuhnya, akhirnya dia berjalan dengan tubuh tertutup cawat dan kaki telanjang, berjalan terbungkuk-bungkuk di atas pasir menghampiri mereka sambil tertawa-tawa.

Melihat kakek ini, serta-merta semua orang Pulau Neraka mengeluarkan seruan kaget dan ketakutan, lalu mereka menjatuhkan diri berlutut dan menelungkup, tidak berani mengangkat muka apalagi memandang! Melihat ini, Lulu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh puteranya, yaitu orang pertama dari Pulau Neraka yang berjuluk Cui-beng Koai-ong.

“Orang tua, agaknya engkau yang berjuluk Cui-beng Koai-ong. Kalau engkau menganggap aku Ketua Boneka, mengapa selama itu engkau diam saja? Karena engkau takut terhadap Pendekar Super Sakti, maka engkau hendak menggunakan aku sebagai umpan? Kakek yang sombong dan pengecut, hendak kulihat sampai dimana kelihaianmu maka kau berani mengambil anakku sebagai murid tanpa minta ijin kepada aku yang menjadi Ibunya!”






“Ibu, jangan.!”

Wan Keng In berseru kaget ketika melihat ibunya menerjang maju dan menyerang kakek aneh itu dengan sebuah pukulan yang amat dahsyat. Memang Lulu sudah marah sekali, maka begitu dia menyerang, dia telah menggunakan jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang di tangan kiri dan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di tangan kanan. Dua tenaga inti yang berlawanan ini, yang kiri dingin yang kanan panas, adalah tenaga inti mukjijat yang dahulu dia latih bersama kakak angkatnya di Pulau Es.

“Desss! Dessss!”

Hebat bukan main benturan pukulan kedua tangan wanita sakti itu, akan tetapi kakek setengah telanjang yang menangkis kedua pukulan itu dengan dorongan tangan, hanya terdorong mundur tiga langkah saja sambil terkekeh-kekeh mengejek! Hal ini membuat Lulu menjadi makin penasaran dan sambil mengeluarkan suara melengking dia sudah menerjang lagi dengan pengerahan tenaga yang lebih hebat.

“Ibu, jangan! Kau takkan menang!”

Keng In kembali mencegah, akan tetapi ibunya tidak mempedulikan seruannya, dan pemuda inipun tidak dapat berbuat sesuatu karena ibunya sudah melancarkan serangannya dengan amat cepat dan dahsyat kepada Cui-beng Koai-ong yang memandang dengan mulut menyeringai.

“Heh-heh, Ibumu sudah bosan hidup, muridku. Kalau dia ingin mati, jangan dilarang, jangan dihalangi, biarlah!” Kakek itu berkata dan ejekan ini tentu saja membuat Lulu menjadi makin penasaran dan marah.

“Plak! Plek!”

Kedua telapak tangan Lulu kini bertemu dengan kedua telapak tangan kakek itu, melekat dan terjadilah kini adu tenaga sakti yang amat dahsyat antara kedua orang ini. Dari dua pasang telapak tangan yang saling melekat itu, keluarlah asap seolah-olah empat buah tangan itu sedang terbakar!

“Suhu, harap jangan bunuh Ibu.”

Wan Keng In berkata memohon gurunya karena dia maklum bahwa ibunya tentu akan celaka kalau melanjutkan perlawanannya terhadap kakek yang amat sakti itu.

Akan tetapi, kedua orang sakti yang sedang mengadu tenaga itu, mana sudi mendengarkan kata-kata Keng In yang kebingungan? Lulu sudah marah sekali, merasa terhina dan dia mengerahkan seluruh sin-kangnya untuk menyerang kakek itu, sedangkan Cui-beng Koai-ong yang wataknya sudah terlalu aneh, tidak lumrah manusia lagi itu, terkekeh-kekeh senang karena maklum bahwa wanita itu tentu akan tewas di tangannya.

Sementara itu, para anggauta Pulau Neraka yang menyaksikan pertandingan hebat itu, memandang dengan mata terbelalak. Mereka itu suka dan tunduk kepada Lulu yang selama ini menjadi ketua mereka, akan tetapi mereka pun amat takut kepada Cui-beng Koai-ong.

Yang paling bingung adalah Wan Keng In. Pemuda ini menjadi pucat wajahnya. Untuk menghentikan pertandingan adu nyawa itu, dia merasa tidak sanggup dan tidak berani, akan tetapi kalau tidak dihentikan, tentu ibunya akan tewas! Ingin dia menangis saking bingungnya, dan dia hanya dapat membujuk dan mohon kepada gurunya dan ibunya menghentikan pertandingan itu.

Kini Lulu maklum bahwa sesungguhnya, puteranya tidak sombong kalau mengatakan bahwa ilmu kepandaian kakek itu hebat bukan main. Setelah kedua tangannya melekat pada kedua tangan kakek itu, dia merasa betapa seluruh tenaga sin-kangnya tersedot dan tidak berdaya, bahkan kini kedua telapak tangannya terasa panas seperti terbakar, tanpa dia mampu menariknya atau melepaskannya dari telapak tangan lawan.

Rasa nyeri yang hebat mulai terasa oleh tangannya, namun Lulu mengerahkan seluruh daya tahannya dan tidak mau memperlihatkan rasa nyeri, tidak mau menyerah kalah dan mengambil keputusan untuk melawan sampai mati! Asap yang mengepul dari kedua tangannya kini bukan hanya uap dari hawa sin-kang, melainkan asap dari telapak tangannya yang mulai terbakar dan terciumlah bau yang hangus dan sangit!

“Suhu, harap maafkan Ibuku....!”

Wan Keng In berseru dan berlutut di depan kaki gurunya. Akan tetapi sekali menggerakkan kaki kiri, tubuh Keng In terlempar dan gurunya berkata,

“Jangan ikut campur! Kalau wanita ini bosan hidup, dia akan mati di tanganku, ha-ha-ha!”

Lulu merasa betapa kedua tangannya panas sekali dan tenaga sin-kangnya makin lama makin menjadi lemah, tubuhnya mulai gemetar dan dia maklum bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama lagi. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.

“Ha-ha-ha, Twa-suheng sungguh keterlaluan! Orang sudah berjasa, menggantikan kita memimpin anak buah kita, tidak diberi hadiah malah hendak dibunuh. Dia seorang wanita lagi, apakah tidak memalukan?”

Tahu-tahu muncullah seorang kakek yang pendek sekali, yang matanya lebar dan begitu dia berada disitu, kakek ini dari belakang menepuk punggung Lulu dan melanjutkan kata-katanya,

“Engkau tidak lekas pergi dari sini mau menanti apalagi?”

Begitu punggungnya ditepuk, Lulu merasa ada tenaga yang amat hebat menyerbu dari punggungnya, melalui kedua lengannya sehingga lenyaplah tenaga menyedot dari Cui-beng Koai-ong dan begitu dia menarik kedua tangannya, tubuhnya terjengkang ke belakang seperti didorong. Lulu cepat berjungkir balik, memandang kedua telapak tangannya yang sudah menjadi hitam terbakar, matanya kini memandang ke kiri, ke arah kakek pendek yang telah menolongnya.

“Apakah engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?”

Tanyanya secara langsung, sedikitpun tidak menaruh hormat karena biarpun kakek ini sudah menyelamatkan nyawanya, namun tetap saja dia adalah tokoh Pulau Neraka yang telah mempermainkannya, membiarkan dia menjadi Ratu Boneka!

“Ha-ha-ha, selamat bertemu, Toanio! Aku memang seorang yang tidak terhormat, seorang siauw-jin sehingga tidak berharga untuk bertemu dengan Toanio. Sebelum saat ini, Suhengku paling suka membunuh orang, harap Toanio suka memaafkannya.”

Muka Lulu menjadi merah sekali. Berhadapan dengan kedua orang kakek yang demikian aneh sikap dan wataknya, dia merasa seperti menjadi seorang anak kecil yang tidak berdaya sama sekali.

“Keng In, hayo kita pergi!” bentaknya kepada puteranya yang kini berdiri sambil menundukkan mukanya.

“Maaf, Ibu. Aku tidak bisa pergi meninggalkan Suhu. Aku masih mempelajari ilmu dan.... menurut Suhu...., aku ditunjuk untuk memimpin anak buah Pulau Neraka.”

“Wan, Keng In! Engkau anakku! Engkau harus taat kepadaku. Hayo kita pergi meninggalkan setan-setan ini!” Lulu membentak lagi.

“Aku tidak mau pergi, Ibu.” Keng In membantah.

“Kau...., lebih berat kepada mereka ini daripada kepada Ibumu?”

“Maaf, Ibu. Kita sudah banyak menderita, sudah banyak terhina. Kini aku memperoleh kesempatan menerima ilmu yang tinggi dari Suhu agar kelak dapat kupergunakan untuk membalas orang-orang yang telah membuat Ibu menderita. Bagaimana Ibu akan dapat menghadapi kekuatan Pulau Es kalau aku tidak memperdalam ilmuku?”

“Ha-ha-ha! Ibumu tidak memusuhi Pulau Es, muridku. Biarpun dia telah menderita karena Pendekar Siluman, ternyata dia masih belum dapat melupakan pria yang dicintanya itu. Bahkan dia baru-baru ini membantu Pulau Es ketika diserbu pasukan. Ha-ha-ha, mana kau tahu akan isi hati wanita, biarpun wanita itu Ibumu sendiri?” Cui-beng Koai-ong berkata.

“Hayaaaa! Twa-suheng, urusan orang lain perlu apa kita mencampurinya? Suheng sendiri sudah bersumpah tidak akan mengambil murid, kini tahu-tahu Suheng telah mempunyai seorang murid. Apa artinya ini?” Bu-tek Siauw-jin mencela suhengnya yang tertawa-tawa tadi.

“Siauw-jin! Engkau mau apa mencelaku? Aku mengambil murid atau tidak, kau ada hak apa mencampurinya? Kalau suka boleh lihat kalau tidak suka boleh minggat!”

“Bagus! Kalau Twa-suheng melanggar sumpah, akupun tidak takut melanggarnya! Kita sama-sama lihat saja, murid siapa kelak yang lebih hebat! Toanio, puteramu telah menjadi murid Cui-beng Koai-ong, biar kau larang juga akan percuma saja. Lebih baik kau pergi meninggalkan kami, karena kalau sekali lagi Twa-suhengku yang manis ini turun tangan terhadapmu, biarpun aku sendiri akan sukar untuk menyelamatkan nyawamu.”

“Dia benar.... dia benar...., pergilah!” Cui-beng Koai-ong mengomel.

Diam-diam Lulu bergidik. Puteranya telah menjadi murid seorang manusia iblis seperti itu, yang selain amat sakti juga amat aneh wataknya. Dipandangnya sepintas lalu kedua orang kakek itu seperti orang-orang yang gila. Akan tetapi diapun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi mereka, maka setelah sekali lagi memandang ke arah puteranya yang tetap menundukkan muka, Lulu segera meloncat dan lari pergi meninggalkan tempat itu.

Hanya satu tujuan hidupnya sekarang, yaitu mencari Suma Han dan mohon pertolongan kakak angkatnya juga satu-satunya pria yang dicintanya itu, untuk turun tangan menyelamatkan puteranya dari cengkeraman iblis-iblis itu!

Demikianlah, setelah Lulu meninggalkan orang-orang Pulau Neraka yang telah kehilangan pulau itu, para anak buah Pulau Neraka menganggap Keng In sebagai Ketua mereka, menggantikan kedudukan ibunya, sedangkan dua orang kakek itu tetap saja menjadi tokoh-tokoh yang ditakuti dan ditaati, tidak hanya oleh semua orang Pulau Neraka, juga oleh Ketuanya!

Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek yang biarpun terhitung sute dari Cui-beng Koai-ong namun memiliki ilmu kepandaian yang sama tingkatnya dan diam-diam dikagumi dan disegani oleh suhengnya itu, lalu pergi sambil menyuruh lima belas orang anak buah membawa sebuah peti mati kosong untuk berlatih di tempat yang akan dipilihnya sendiri.

Secara kebetulan sekali, di tengah jalan kakek ini bertemu dengan Kwi Hong yang dianggapnya berjodoh untuk muridnya, apalagi setelah kakek pendek ini tahu bahwa gadis itu adalah keponakan dan juga murid Pendekar Super Sakti.

Karena kalah dalam pertarungan, juga karena dia sendiri memang ingin memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi, Kwi Hong menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, berlatih secara menyeramkan, yaitu di dalam peti mati berdekatan dengan peti mati gurunya yang baru, menerima gemblengan-gemblengan ilmu mengatur napas, samadhi dan mengumpulkan sin-kang secara luar biasa, mengambil inti sari daya sakti bumi! Dia melatih diri dengan tekun, dengan tekad membulat mempertaruhkan nyawa!

Ilmu samadhi dan menghimpun hawa daya sakti bumi yang dilatih oleh Bu-tek Siauw-jin dan kini dia ajarkan kepada Kwi Hong adalah sebuah ilmu yang mujijat. Sesungguhnya latihan inilah yang mendatangkan kekuatan sin-kang yang tidak lumrah dalam diri Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua orang tokoh Pulau Neraka yang selalu menyembunyikan diri itu. Ilmu mujijat ini disertai dengan ilmu silat Inti Bumi yang amat dahsyat pula, yang diciptakan oleh seorang tokoh Pulau Es yang karena kesalahan dibuang di Pulau Neraka.

Orang sakti ini menjadi sakit hati dan putus harapan maka dia “membunuh diri” dengan jalan mengubur dirinya hidup-hidup di dalam sebuah peti mati di Pulau Neraka. Akan tetapi, rasa penasaran dan dendam di hatinya membuat dia sebelum mati, menciptakan ilmu mujijat ini dan dicoret-coretnya ilmu ciptaannya di ambang kematian itu di sebelah dalam peti matinya!

Kebetulan sekali seorang kakek pimpinan Pulau Neraka yang menyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari ancaman binatang-binatang berbisa dan hawa berbisa di Pulau Neraka, mendapatkan peti mati di dalam tanah itu dan membaca tulisan dan ukiran di dalam peti, maka berhasillah dia menguasai ilmu itu yang kemudian diwariskan kepada anak cucunya sehingga yang terakhir menjadi ilmu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin!

Hanya kedua orang inilah yang memiliki ilmu ini, bahkan mendiang sute mereka Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek sendiri tidak memiliki ilmu ini.

Tidak sembarang orang dapat menguasai ilmu silat dan menghimpun tenaga sakti Inti Bumi itu karena caranya berlatih amat menyeramkan dan mempertaruhkan nyawa. Wan Keng In sendiri yang banyak menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Cui-beng Koai-ong, masih belum berani melatih diri dengan ilmu mujijat itu. Kwi Hong yang berwatak berani mati dan nekat secara kebetulan sekali kini menjadi orang ketiga di dunia ini yang melatih diri dengan Ilmu Inti Bumi!

Para anak buah Pulau Neraka yang menjaga di tanah kuburan itu, tidak berani mengganggu, bahkan mendekat saja mereka tidak berani. Mereka sudah mengenal dua orang datuk Pulau Neraka yang amat mereka takuti itu, karena bagi dua orang datuk itu, apalagi Cui-beng Koai-ong, membunuh manusia seperti membunuh nyamuk saja, dan watak mereka sukar sekali diikuti.

Mereka maklum bahwa sebelum kakek pendek itu keluar dari dalam tanah, mereka harus menjaga dengan mati-matian agar jangan sampai kuburan itu diganggu orang. Kalau kakek dan muridnya yang baru itu sudah keluar dari dalam tanah, barulah mereka bebas dari tugas berat ini, kecuali tentu saja kalau ada perintah baru dari kakek pendek yang aneh itu.

Pada malam hari ke tiga, orang-orang Pulau Neraka itu menjadi terkejut ketika melihat munculnya serombongan orang yang mereka kenal sebagai orang-orang Thian-liong-pang! Rombongan itu terdiri dari delapan belas orang dipimpin oleh seorang dara remaja yang cantik jelita dan yang mereka kenal sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang, dan seorang laki-laki tinggi besar yang lengan kirinya buntung dan berwajah menyeramkan.

Laki-laki berlengan satu ini wajahnya muram dan sinar matanya berkilat, orangnya pendiam akan tetapi sikap semua anggauta rombongan amat hormat kepadanya, bahkan puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri kelihatan bersikap manis kepadanya.

Orang ini adalah seorang tokoh baru yang telah berjasa mengorbankan tangannya untuk Thian-liong-pang sehingga Ketua perkumpulan itu menaruh penghargaan kepadanya dan menurunkan ilmu yang dahsyat kepadanya, yang membuat dia bahkan lebih lihai daripada sebelum lengan kirinya buntung! Dia adalah Kiang Bok Sam yang lengan kirinya buntung oleh Pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In dan kini telah menjadi seorang lihai sekali dengan lengan kanannya.

Nirahai telah menurunkan Ilmu Sin-to-ciang (Telapak Tangan Golok Sakti) kepadanya sehingga lengannya itu lebih lihai daripada lengan kiri mendiang Su Kak Houw yang berjuluk Toat-beng-to itu. Dengan ilmu-ilmunya yang baru dia terima dari Ketuanya sebagai pembalas jasanya mengorbankan lengan kiri, kini dia menjadi orang ke dua sesudah Tang Wi Siang di Thian-liong-pang.

Bahkan dibandingkan Sai-cu Lo-mo, dia masih lebih berbahaya karena sambaran tangan kanannya atau permainan tongkat kuningan dengan tangan tunggalnya selalu mendatangkan maut bagi setiap orang lawannya.

Orang-orang Pulau Neraka yang sedang bertugas menjaga “kuburan” Bu-tek Siau-jin dan muridnya yang sedang berlatih di bawah tanah, tidak berani mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang mereka tahu merupakan lawan yang amat lihai.

Rombongan Pulau Neraka ini dipimpin oleh Kong To Tek dan Chi Song, dua orang tokoh Pulau Neraka yang bermuka merah muda yang pernah diutus oleh Ketua mereka mengunjungi Thian-liong-pang untuk menguji kepandaian para pimpinan Thian-liong-pang dan secara mudah dirobohkan oleh “ketua” Thian-liong-pang yang di luar tahu mereka pada waktu itu dipalsukan Gak Bun Beng.

Maka kini melihat munculnya tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang dipimpin oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri, mereka memberi isyarat dengan kedipan mata kepada para anak buahnya agar tetap berdiam di tempat persembunyian mereka dan tidak mengganggu orang-orang Thian-liong-pang yang kini berkumpul dan beristirahat di sebuah bangunan kuburan kuno tidak jauh dari tempat persembunyian orang-orang Pulau Neraka.

Tadinya rombongan Pulau Neraka mengira bahwa rombongan Thian-liong-pang itu hanya lewat dan kebetulan beristirahat saja di tanah kuburan itu, akan tetapi ternyata bahwa sampai malam tiba, mereka tidak pergi dari situ, bahkan membuat api unggun dan berjaga sambil bercakap-cakap, seolah-olah mereka itu dalam keadaan siap menghadapi musuh!

Melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang itu, gelisah hati rombongan Pulau Neraka. Mereka ingin sekali melihat datuk mereka menghabiskan atau menghentikan latihannya agar mereka bebas tugas dan mereka dapat memilih dua kemungkinan, yaitu menggempur orang-orang Thian-liong-pang atau meninggalkan tempat itu.

Sekarang mereka merasa serba salah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang Thian-liong-pang itu, dan tidak tahu apakah musuh-musuh lama itu sudah tahu akan kehadiran rombongan Pulau Neraka atau belum. Dalam keadaan bersembunyi dan tidak menentu ini mereka merasa tidak enak hati sekali.

Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai tampak berseri mengusir embun pagi yang menyelimuti hutan dan sebidang tanah kuburan di anak bukit itu, tampaklah tujuh orang hwesio tua dengan langkah tenang dan wajah serius memasuki tanah kuburan dan langsung berhadapan dengan rombongan Thian-liong-pang.

“Bagus sekali, kiranya Thian-liong-pang sudah siap menanti di tempat ini! Ternyata Thian-liong-pang masih merupakan sebuah perkumpulan besar yang suka memegang janjinya!”

Seorang diantara para hwesio tua itu, yang bertubuh kurus bermuka tengkorak dan berjenggot hitam, tangan kiri memegang tasbih, tangan kanan memegang hud-tim (kebutan) berkata tenang.

“Thian-liong-pang selamanya memegang janji dan sejak dahulu adalah perkumpulan besar yang tiada bandingnya!” Milana berkata nyaring sambil manyapu tujuh orang hwesio itu dengan sinar matanya yang lembut. “Memenuhi permintaan para sahabat di dunia kang-ouw untuk mengadakan pertemuan, kami menggunakan tempat yang sunyi ini agar diantara kita dapat bicara dan bergerak tanpa mengacaukan manusia lain karena disini yang tinggal hanyalah orang-orang mati. Nah, setelah kami yang mewakili Ketua Thian-liong-pang berada disini dan Cu-wi Losuhu sudah datang, apakah kehendak Cu-wi mengajukan tantangan kepada pihak kami untuk mengadakan pertemuan?”

Seorang hwesio berjenggot putih yang berwajah lembut melangkah maju, memandang kepada Milana dan teman-temannya, lalu berkata,

“Omitohud...., seorang dara remaja yang lembut menyambut kami sebagai wakil Thian-liong-pang! Nona, di manakah Ketua Thian-liong-pang sendiri? Mengapa mewakilkan urusan besar kepada seorang gadis muda seperti Nona?”

Milana cepat menjura dengan hormat, hatinya tidak enak menghadapi sikap hwesio yang agung dan penuh wibawa, juga amat halus itu. Seringkali dia terpaksa merasa canggung dan tertekan batinnya dalam memenuhi tugas dalam Thian-liong-pang atas perintah ibunya.

Biarpun ia tahu bahwa ibunya bukan orang jahat, dan Thian-liong-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah, namun kadang-kadang sikap keras hendak menang sendiri dari perkumpulan yang dipimpin ibunya, membuat gadis yang memiliki dasar watak halus itu merasa canggung dan tidak enak.

“Harap Lo-suhu suka memaafkan, Thian-liong-pangcu tidak dapat sembarangan hadir dalam setiap pertemuan, apalagi kami lihat bahwa Ketua Siauw-lim-pai sendiripun tidak datang memimpin rombongan Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, Ketua kami mewakilkan kepada kami yang bertanggung jawab penuh akan segala keputusan dalam pertemuan yang diadakan di tempat ini.”

Hwesio itu mengangguk-angguk, namun pada wajahnya yang halus itu masih terbayang ketidak puasan hatinya. Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpulan atau partai persilatan yang besar dan terkenal sekali, sekarang rombongan Siauw-lim-pai yang terdiri dari tokoh-tokoh bukan tingkat rendah, hanya disambut oleh seorang gadis muda Thian-liong-pang!

“Omitohud, Nona yang muda pandai bicara. Bolehkan pinceng mengetahui, kedudukan apa yang Nona miliki di Thian-liong-pang?”

“Nona kami adalah puteri Pangcu, kalian ini hwesio-hwesio tua terlalu banyak bicara! Nona kami wakil Pangcu dalam pertanggungan jawab, akan tetapi aku Kiang Bok Sam juga berhak mewakili Pangcu menghadapi orang-orang yang banyak cerewet!”

Tiba-tiba Si Lengan Buntung itu sudah meloncat maju dan tangan tunggalnya sudah melintangkan toyanya di depan dada, sepasang matanya mendelik dan sikapnya menakutkan.

Para hwesio kelihatan tercengang dan hwesio tua itu cepat berkata,
“Omitohud...., maafkan pinceng yang tidak tahu bahwa Nona adalah puteri Thian-liong-pangcu sendiri! Kalau begitu, kami merasa terhormat sekali. Pinceng adalah Ceng Sim Hwesio, murid kepala dari Suhu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai.”

“Harap Lo-suhu suka menceritakan apa yang dikehendaki oleh Siauw-lim-pai maka menuntut agar diadakan pertemuan dengan pihak kami.”

Milana cepat bertanya mendahului Bok Sam yang ia tahu amat keras wataknya dan biarpun jarang bicara, sekali mengeluarkan suara, dapat mengejutkan dan menyinggung perasaan hati orang!

“Sudah bertahun-tahun Siauw-lim-pai mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang menyinggung perasaan dunia kang-ouw, menculik tokoh-tokoh kang-ouw, merampas kitab pelajaran dan pusaka partai-partai lain....”

“Akan tetapi kami selalu menjaga agar tidak mengganggu Siauw-lim-pai yang kami pandang sebagai perkumpulan sahabat!” Milana cepat membantah. “Sedangkan mengenai urusan dengan tokoh-tokoh dan perkumpulan lain, mengenai peminjaman kitab atau pusaka, kami rasa tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Siauw-lim-pai seperti juga kami tidak pernah mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai sendiri.”

Ceng Sim Hwesio, murid kepala Ketua Siauw-lim-pai, Ceng Jin Hosiang, menarik napas panjang dan melanjutkan kata-katanya yang dipotong oleh nona muda itu,

“Tepat sekali ucapan Nona dan kenyataannya pun kami pihak Siauw-lim-pai tidak pernah mencampuri urusan itu, bukan? Akan tetapi semenjak pertemuan yang menghebohkan di Pegunungan Ciung-lai-san, terjadilah hal-hal yang dilakukan oleh Thian-liong-pang dan sekali ini karena menyangkut persoalan negara dan rakyat, terpaksa kami harus mencampurinya!”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar