FB

FB


Ads

Kamis, 15 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 055

Kwi Hong dan Phoa Ciok Lin yang hidup bersama sisa anak buah Pulau Es di tepi pantai utara, menanti kedatangan Pendekar Super Sakti sampai beberapa lamanya, namun yang dinanti-nanti tak kunjung datang.

Mereka menjadi prihatin sekali dan untung bagi mereka bahwa pantai yang bertebing tinggi dan di bawahnya terdapat guha itu merupakan tempat persembunyian yang baik. Pula di atas tebing terdapat hutan-hutan yang menjamin mereka dengan sayur-sayuran dan buah-buahan, juga mereka dapat pergi ke dusun-dusun jauh ke daratan untuk mendapatkan segala keperluan hidup mereka sehari-hari. Untuk keperluan daging mereka tidak kekurangan karena selain mereka bisa mencari ikan laut, juga di hutan terdapat binatang-binatang hutan yang dapat mereka buru.

Phoa Ciok Lin hanya menyuruh mereka yang dapat dipercaya untuk naik ke daratan mencari kebutuhan mereka dengan pesan keras agar jangan sampai ada orang tahu tentang keadaan mereka dan jangan sekali-kali menimbulkan keributan.

Yang paling menderita batinnya adalah Kwi Hong. Dara ini sudah tidak betah lagi tinggal di tempat itu, dan ingin sekali dia pergi merantau, akan tetapi selalu Phoa Ciok Lin mencegahnya dan mengatakan bahwa pamannya tentu akan marah kalau dalam keadaan seperti itu pamannya datang sedangkan Kwi Hong tidak berada di situ.

Untuk melewatkan waktu dan menghibur diri, Kwi Hong menyibukkan diri dengan mencari ikan atau berburu binatang di dalam hutan-hutan. Pada suatu hari, ketika dia mencari ikan ke pantai yang agak jauh dari tempat sembunyi mereka, di pantai dangkal, tiba-tiba ia melihat sebuah benda terapung di laut, terbawa ombak dan minggir. Setelah dekat, tampak olehnya bahwa benda itu adalah sebuah peti persegi panjang, diikat dengan tali. Sebagian tali terlepas dan terseret peti yang terbawa ombak.

Kwi Hong cepat lari menghampiri ketika peti terbawa sampai ke tepi dan diam-diam merasa heran mengapa peti yang kelihatan berat itu sampai dapat terbawa ombak kecil ke pantai, seolah-olah ada yang menggerakkannya. Dia menangkap ujung tali yang terlepas, lalu menarik peti ke darat.

Memang cukup berat dan diam-diam ia menduga-duga benda apakah gerangan yang berada di dalam peti. Agaknya angkutan sebuah perahu yang terguling atau terjatuh ke laut, kemudian oleh ombak terdorong sampai ke tepi, pikirnya sambil menarik terus peti itu ke atas pasir sehingga ombak air laut tidak dapat mencapainya. Dengan hati berdebar, dia membuka tali yang mengikat peti itu, kemudian dibukanya penutup itu. Dengan pengerahan tenaga, dapat dia memaksa penutup yang tertutup rapat itu.

“Braaaakkkk....!” Tutup peti terbuka dan Kwi Hong cepat menjenguk peti dengan hati yang tidak sabar lagi.

“Haiiiihhhh....!”

Dara itu menjerit dan hampir dia pingsan saking kagetnya, otomatis kedua tangannya meraba sepasang pipinya yang menjadi pucat, matanya terbelalak memandang ke dalam peti. Biarpun Kwi Hong seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi setan sekalipun, namun sekali ini dia benar-benar terkejut dan ngeri karena tidak menyangka-nyangka bahwa peti itu terisi sebuah.... mayat! Hati siapa takkan terkejut membuka peti yang dikira berisi barang berharga, ternyata terisi mayat seorang kakek tua yang pakaiannya masih baru akan tetapi potongannya tidak karuan itu?

“Iihhh.... hiiihhhh....!”

Kwi Hong menjerit lagi dan matanya terbelalak makin lebar, kemudian dia menggosok-gosok kedua mata dengan tangan seolah-olah tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Mayat itu dapat bergerak! Mula-mula pelupuk mata yang tadinya terpejam itu bergerak-gerak, lalu mata itu terbuka, kemudian mulut yang tak bergigi itu menyeringai dan tertawa.

“Heh-heh-heh-heh-heh!” Kakek yang kurus kering itu melompat keluar dari dalam petinya!

Setelah kini merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah mahluk hidup, bukan mayat yang hidup kembali, hati Kwi Hong menjadi tenang dan keberaniannya timbul kembali. Ia segera memandang penuh perhatian dan mendapat kenyataan bahwa biarpun kelihatannya seperti mayat, namun sesungguhnya yang berdiri di depannya, bertubuh tinggi kurus kering ini adalah seorang kakek yang sangat tua, begitu tuanya sampai tidak berdaging lagi, mukanya pucat tak berdarah seperti mayat dan matanya mengerikan karena batas antara manik mata hitam dan putihnya sudah kabur membuat mata itu seperti berwarna putih semua.

Kakek tua renta yang seperti mayat hidup ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong, tokoh utama dan pertama dari Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri saja! Barulah sesudah tanpa disengaja dia bertemu dengan Wan Keng In dalam persembunyiannya di Pulau Neraka dan dia mengambil pemuda itu sebagai muridnya, kakek ini mulai mau berkenalan lagi dengan dunia ramai, bahkan dengan dunia kang-ouw.

Akan tetapi karena sudah puluhan tahun dia mengasingkan diri, mempelajari ilmu yang aneh-aneh, melakukan tapa dan pantangan yang tidak lumrah, bahkan tempat pertapaan yang paling digemarinya adalah di dalam peti-peti mati bekas mayat yang sudah tua sekali sehingga dia seolah-olah dalam puluhan tahun ini tidur bersama kerangka-kerangka manusia, maka sekali keluar di dunia ramai dia membuat geger dengan kelakuannya yang tidak lumrah manusia!

Dia ternyata amat sayang kepada Wan Keng In sehingga hanya pemuda yang menjadi muridnya itu saja yang dapat menguasainya dengan bujukan-bujukan bahkan kadang-kadang dengan teguran-teguran seperti kalau orang menghadapi anak kecil.

Ketika mendengar dari muridnya akan pertemuan orang-orang pandai dari dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang, kakek ini menyatakan ingin menghadirinya. Keng In sudah melarang gurunya karena maklum bahwa gurunya tentu akan membikin kacau, sedangkan dia sendiri masih prihatin memikirkan Pulau Neraka yang dibumi-hanguskan oleh pasukan-pasukan pemerintah.

Akan tetapi kakek itu nekat dan muncul secara tak terduga-duga karena sebelumnya dia sudah bersembunyi di dalam peti mati di bawah tanah dan begitu dia muncul, benar saja menimbulkan geger!

Anehnya, kakek ini seperti memiliki getaran yang ajaib sehingga secara luar biasa muncul pula dua orang sutenya di tempat pertemuan orang kang-ouw itu yang mengakibatkan tewasnya Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek.

Keng In membawa pergi gurunya dan setengah memaksa gurunya untuk mengenakan pakaian yang telah dibelinya. Kakek itu menurut, tetapi beberapa hari kemudian ia lenyap kembali tanpa pamit!

Demikianlah, secara tak terduga-duga, kakek ajaib itu berada dalam peti yang didaratkan Kwi Hong. Kiranya kakek ini timbul rindunya untuk mengunjungi Pulau Neraka, agaknya dia lupa akan penuturan muridnya bahwa Pulau Neraka telah dibumi hanguskan oleh pasukan pemerintah.






Akan tetapi, sebelum tiba di Pulau Neraka kakek itu ketiduran di dalam petinya sehingga peti yang merupakan perahu, dan tempat tidur itu, terbawa ombak sampai minggir dan secara kebetulan saja dia bertemu dengan Kwi Hong.

“Heh-heh-ha-ha-ha, bocah kurang ajar! Orang sedang enak-enak tidur diganggu! Kau agaknya minta dihajar!”

Cui-beng Koai-ong yang sudah berdiri di depan Kwi Hong menegur dan biarpun dari kerongkongannya terdengar suara kekeh seperti orang tertawa, akan tetapi mulutnya yang tak bergigi lagi itu cemberut, dan kedua kakinya bergantian dibanting-banting ke atas pasir seperti seorang anak kecil kalau marah dan kecewa.

Kwi Hong adalah seorang dara yang berhati keras, akan tetapi menyaksikan keadaan kakek yang seperti anak-anak ini, yang amat aneh dan yang dapat ia duga tentu bukan orang sembarangan, segera menjura dengan sikap hormat dan berkata,

“Mohon maaf sebanyaknya, Locian-pwe. Karena tidak tahu maka saya berani mengganggu, tidak mengira bahwa Locianpwe yang berada dalam peti itu.”

“Hayo berlutut dan mengaku kakekmu sebagai Sucouw (Kakek Guru Besar), baru aku mau mengampunimu!”

Dahulu ketika pertama kali berjumpa dengan Wan Keng In, kakek itu juga berkata demikian dan Keng In menuruti kemauannya, maka pemuda itu lalu diambil murid dan diajari ilmu-ilmu yang amat luar biasa.

Akan tetapi Kwi Hong adalah seorang gadis yang keras hati. Sebagai keponakan dan juga murid Pendekar Siluman yang terkenal tentu saja dia tidak sudi mengaku kakek itu sebagai sucouw, karena hal itu sama saja mengakui kakek ini sebagai kakek guru dari pamannya! Kalau dia melakukan ini, berarti sebuah penghinaan telah dilontarkan kepada nama besar Pendekar Super Sakti.

“Locianpwe,” jawabnya dengan suara dingin, “saya telah melakukan kesalahan yang tidak saya sengaja dan untuk itu telah mohon maaf kepadamu. Harap Lo-cianpwe tidak menuntut yang terlalu berat. Locianpwe bukan sucouw saya, tidak mugkin saya mau mengakui Locian-pwe sebagai Sucouw. Sudahlah, saya mempunyai banyak pekerjaan!”

Setelah berkata demikian, Kwi Hong membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya itu.

“Heeiiiihh! Berhenti! Jangan harap kau bisa pergi sebelum berlutut dan mengakui aku sebagai Sucouw!”

Kwi Hong terkejut bukan main. Dia sedang melangkah cepat, akan tetapi baru lima enam langkah, setelah meninggalkan kakek itu kurang lebih empat meter jauhnya, tiba-tiba tubuhnya terhenti dan kakinya tak dapat digerakkan ke depan, seolah-olah ada tenaga mujijat menahannya dari depan, atau lebih tepat lagi, tenaga mujijat itu menyedot dan menahannya dari belakang!

Dia menjadi penasaran, dikerahkannya sin-kangnya dan dia memaksa diri melangkah ke depan. Kakinya dapat digerakkan, namun langkahnya tetap di tempat, sama sekali tidak dapat maju sejengkal pun!

“Heh-heh-heh, anak nakal! Mana bisa kau pergi begitu saja sebelum memehuhi permintaanku? Hayo kembali kesini!”

Makin kagetlah Kwi Hong ketika tubuhnya tertarik ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat, yang membuat dia ketika bertahan, hampir terjengkang. Cepat ia membalikkan tubuhnya dan melihat betapa kakek itu hanya melambaikan tangan kiri, dari mana menyambar tenaga yang dahsyat, yang menariknya, maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan orang yang memillki ilmu kepandaian luar biasa dan yang tidak berniat baik terhadap dirinya.

Dia merasa menyesal sekali mengapa dia meninggalkan Li-mo-kiam, karena untuk menghadapi lawan yang begini pandai, dia harus melawan dengan mati-matian, dan kalau pedang pusaka itu berada di tangannya, tentu dia akan dapat melawan lebih baik. Betapapun juga, melihat betapa kakek itu menyeringai mengerikan dan tubuhnya seperti terbetot ke depan, Kwi Hong membentak marah,

“Kiranya engkau iblis yang jahat!”

Dia lalu meloncat ke depan dan memukul dengan tenaga Swat-im Sin-ciang, yaitu tenaga inti es yang merupakan pukulan paling ampuh dari gadis perkasa ini.

“Cieeettt.... bukkk....!” Tubuh kakek itu terpental bergulingan dan dia bangkit lagi sambil menggigil.

“Ihhh, dingin....! Eh, apakah kau dari Pulau Es?” tanyanya.

Kwi Hong terbelalak. Pukulannya yang mengenai dada tadi hebat sekali, dia telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Namun kakek itu hanya terpental, dan cepat dapat bangkit lagi sambil sedikit menggigil kedinginan, bahkan dari suaranya dapat ia ketahui bahwa kakek itu sama sekali tidak terluka! Mendengar pertanyaan itu, Kwi Hong menjawab cepat untuk membikin kakek yang lihai luar biasa itu menjadi takut.

“Benar! Aku adalah keponakan dan murid dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Harap Locianpwe jangan mengganggu aku dan suka pergi, agar jangan membikin marah Pamanku!”

Kakek itu tertawa lebar dan Kwi Hong merasa makin ngeri. Kakek itu tertawa seperti mayat tertawa. Hanya mulutnya saja yang terbuka dan menyeringai dan dari kerongkongannya keluar suara terkekeh, akan tetapi biji matanya yang putih, wajahnya, sama sekali tidak ikut tertawa!

“Heh-heh-hah-hah-hah! Jadi engkau murid Pendekar Siluman? Kebetulan sekali. Sudah lama aku rindu untuk mengadu ilmu dengan Pendekar Siluman, sekarang bertemu dengan muridnya, dapat kuukur sampai dimana kehebatannya!” setelah berkata demikian, kakek itu menyerang!

Serangannya amat luar biasa, tubuhnya mengkerut pendek, kemudian tiba-tiba mencelat ke arah Kwi Hong, kaki tangannya bergerak kacau akan tetapi tahu-tahu kedua tangan yang jari-jarinya kurus seperti kerangka itu mengirim lima kali totokan secara bertubi-tubi.

Gerakan ini mengingatkan Kwi Hong akan gerakan binatang kuda laut yang meloncat, atau semacam ulat yang kalau hendak meloncat selalu menekuk dan mengerutkan tubuhnya, baru tiba-tiba mencelat ke depan. Cepat ia menggerakkan tubuhnya mengelak, lima kali berturut-turut akan tetapi yang terakhir betapapun cepat gerakannya, tetap saja pundaknya tertotok dan tubuhnya menjadi iemas lumpuh.

“Heh-heh-heh! Tidak seberapa!”

Kakek yang mengerikan itu terkekeh, tangannya bergerak lagi ke arah pundak dan totokannya buyar. Lalu Kwi Hong meloncat bangun lagi! Ngeri hati dara ini, karena maklum bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya, setelah berhasil menotoknya lalu membebaskan totokan itu agar dia dapat melawan lagi.

Perasaan ngeri ini sama sekali bukan berarti dia takut, malah sebaliknya. Dia menjadi penasaran dan biarpun maklum bahwa kakek itu sakti sekali, namun dia mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Maka ia cepat membalas dengan serangan cepat, mengunakan i1mu silat yang ia pelajari dari pamannya, semacam ilmu silat yang memiliki dasar ilmu Soan-hong-lui-kun.

Akan tetapi tentu saja tidak seperti Soan-hong-lui-kun yang asli karena ilmu mujijat itu hanya dapat dilatih secara sempurna oleh seorang yang kakinya tinggal sebuah. Pendekar Super Sakti telah mencipta sebuah ilmu silat yang dasarnya memakai ilmu itu, akan tetapi gerakan kakinya tentu saja disesuaikan dengan orang yang berkaki dua.

Namun ilmu ini cukup hebat, tubuh Kwi Hong mencelat ke sana ke mari dan pukulan kedua tangannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang panas, sedangkan kadang-kadang dirobah dengan Swat-im Sin-ciang yang dingin.

“Hebat.... hebat.... eh, ilmu apa ini?”

Kakek itu terkekeh-kekeh, mengelak ke sana ke mari dan kadang-kadang memberi komentar ketika menangkis pukulan-pukulan itu,

“Eh, panas.... Hwi-yang Sin-ciang, ya? Aduhhh, dinginnya, inilah Swat-im Sin-ciang! Ha-ha, akan tetapi bukan apa-apa bagiku!”

“Plak! Plak!”

Ketika Kwi Hong memukul dengan kedua tangannya berturut-turut selagi tubuhnya mencelat ke atas, menukik dan mengirim pukulan Yang-kang dan Im-kang dengan kedua tangan mengarah ubun-ubun kepala kakek itu, Cui-beng Koai-ong menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangannya dan.... Kwi Hong merasa betapa kedua telapak tangannya melekat kepada kedua tangan kakek itu, tak dapat terlepas lagi seperti tersedot oleh hawa yang mujijat. Tubuhnya masih berada di udara, kedua kaki ke atas dan kedua tangannya tersangga oleh kedua tangan Si Kakek sehingga kelihatannya dua orang itu sedang main akrobat!

“Heh-heh-heh!”

Kakek itu tertawa dan sekali dia dorongkan kedua tangannya, tubuh Kwi Hong terlempar jauh ke atas dan ke belakang. Untung bahwa dara ini memiliki gin-kang yang sudah cukup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan jatuh ke atas tanah dengan kedua kaki yang ditekuk lututnya terlebih dulu, tidak sampai terbanting.

Kwi Hong melongo dan dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Lebih baik lari mengambil pedang Li-mo-kiam lebih dulu, atau minta bantuan bibinya, Phoa Ciok Lin. Kalau dia menggunakan pedang itu dan dibantu bibinya, tentu akan dapat merobohkan kakek sakti ini. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari!

“Eiiiiiittt! Baru enak-enaknya bertanding mau pergi kemana?”

Kembali Kwi Hong terkejut karena seperti tadi, tubuhnya tidak dapat maju biarpun kedua kakinya tetap bergerak lari. Dia hanya lari di tempat, padahal jarak antara dia dan kakek itu ada tujuh meter jauhnya! Bulu tengkuknya berdiri, ini tidak lumrah, pikirnya. Bukan kepandaian manusia!

Tiba-tiba terdengar pekik burung di udara. Kwi Hong menengok dan diam-diam mengeluh. Celaka, burung rajawali dari Pulau Neraka. Kalau bocah bengal dari Pulau Neraka yang datang, dia lebih celaka lagi! Dikerahkannya tenaga sin-kangnya, namun tetap saja tubuhnya tak dapat maju dan kakek itu terkekeh-kekeh girang mempermainkan dara itu.

Burung rajawali menyambar turun dan tiba-tiba dari atas punggungnya meloncat turun seorang laki-laki berkaki buntung sebelah. Pendekar Super Sakti Suma Han! Begitu meloncat turun, Suma Han menggerakkan tangan kanannya didorongkan ke depan diantara keponakannya dan kakek itu.

Serangkum tenaga dahsyat menyambar, dan “terputuslah” tenaga kakek yang menyedot tubuh Kwi Hong. Akibatnya, Kwi Hong yang mengerahkan tenaga lari ke depan itu, terdorong ke depan dan nyaris hidungnya yang kecil mancung itu mencium tanah kalau saja dia tidak cepat menekuk leher dan membiarkan bahunya yang terbanting, lalu bergulingan dan hanya pakaiannya saja yang kotor, akan tetapi kulit tubuhnya tidak sampai terluka.

Ia meloncat bangun dan betapa girangnya ketika ia melihat pamannya telah berada disitu. Dengan heran Kwi Hong menoleh ke arah burung rajawali yang kini bertengger di batu karang dan kelihatan tenang-tenang saja. Pamannyalah yang datang menunggang rajawali. Sungguh aneh!

Suma Han berdiri dengan kaki tunggalnya, bersandar tongkat dan memandang kakek kurus itu dengan sinar mata tajam dan dia berkerut. Kakek itupun memandang dan agaknya dia lupa akan kebiasaannya terkekeh, karena kini dia melongo dan meneliti Suma Han dari kakinya yang tinggal sebetah sampai ke rambut kepalanya yang putih berkilau seperti benang-benang perak itu.

“Kau.... kau.... Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es....?” Kakek itu bertanya, suaranya agak gemetar!

Suma Han mengangguk, masih tidak menjawab dan sedang meneliti kakek di depannya. Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi yang membuat dia heran adalah muka yang pucat tak berdarah, dan sukar sekali menaksir usia kakek ini, tentu lebih dari seratus tahun!

Juga kulit pembungkus tulang tanpa daging itu kelihatan kebiruan, dan dia maklum bahwa orang ini memiliki kekebalan yang tidak lumrah dimiliki manusia, maka dia bersikap hati-hati. Betapa herannya ketika dia menjawab dengan anggukan kepala, tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut!

“Sebelumnya hamba, Cui-beng Koai-ong mohon maaf sebanyaknya kepada To-cu Pulau Es bahwa hamba seorang buangan berani bersikap kasar terhadap pemilik Pulau Es!”

Suma Han mengerutkan alisnya yang masih hitam, berbeda dengan rambut kepalanya, kemudian terdengar dia bertanya dengan suara halus dan hormat,

“Locianpwe siapakah? Dan mengapa minta maaf kepadaku?”

Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri, tertawa dan berkata,
“Aku sudah memenuhi sumpah dan kewajiban, sebagai orang buangan dari Pulau Neraka sudah minta maaf. Sekarang, karena kita bertemu bukan di Pulau Es, tingkat kita menjadi sama-sama orang pelarian, ha-ha-ha!”

“Locianpwe dari Pulau Neraka?” Su-ma Han teringat akan Lulu dan kembali diam-diam dia merasa heran sekali. “Masih ada hubungan apakah dengan Ketua Pulau Neraka?”

“Ketua Pulau Neraka? Wanita itu? Heh-heh, dia hanya Ketua palsu, Ketua boneka, ha-ha-ha! Kamilah yang sebetulnya menjadi pimpinan Pulau Neraka! Kami berdua, aku Cui-beng Koai-ong dan Suteku Bu-tek Siauw-jin Si Gila Otak Miring itu! Wanita itu bisa apa? Kalau aku menghendaki, mana bisa dia menjadi Ketua Pulau Neraka?”

Suma Han makin terheran-heran dan diam-diam mengkhawatirkan keadaan Lulu.
“Mengapa Locianpwe membiarkan dia menjadi Ketua?”

“Engkau tertarik sekali kepadanya, bukan? Heh-heh, Pendekar Siluman, karena dia itu adik angkatmu, karena dia mendendam kepadamu, maka kami biarkan saja! Kami senenek moyang telah disumpah untuk menjadi orang buangan dari Pulau Es, tidak diperbolehkan menginjakkan kaki ke Pulau Es! Betapa pun inginku menandingi yang menjadi Ketua Pulau Es, kalau aku tidak boleh datang ke sana, bagaimana mungkin? Maka kubiarkan wanita Adik Angkatmu itu menjadi Ketua, karena dialah merupakan umpan agar aku dapat berhadapan denganmu di luar Pulau Es.

Sayang, ketika kau berani datang ke Pulau Neraka, aku dan Suteku sedang pergi merantau. Akan tetapi, sekarang Pulau Es telah menjadi abu, juga Pulau Neraka, kita sama-sama tidak berpulau, sama-sama menjadi pelarian dan kebetulan kita saling jumpa di sini. Pendekar Siluman, hayo kita mengadu ilmu di sini! Biarlah dendam Pulau Neraka yang sudah ratusan tahun itu kita selesaikan di sini, kau sebagai To-cu Pulau Es harus membayarnya!”

“Nanti dulu, Locianpwe! Setelah Pulau Neraka dibumi hanguskan oleh pasukan pemerintah, lalu bagaimana dengan kedudukan Ketua Pulau Neraka?” Suma Han masih khawatir akan nasib Lulu yang dicintanya.

“Dia? Heh-heh, biarlah menjadi Ketua orang-orang pelarian itu. Tadinya akan kubunuh dia, akan tetapi mengingat bahwa puteranya menjadi muridku, maka.... eh, sudahlah, banyak ngobrol. Hayo kau kalahkan aku!”

Berkata demikian, kakek itu sudah menerjang maju dengan gerakan aneh namun ganas dan dahsyat sekali ke depan, Suma Han mencelat ke atas menghindar dan batu karang pecah berhamburan terkena hantaman kakek itu debu mengepul menandakan betapa hebatnya pukulan tadi.

“Kwi Hong, pergilah, tempat ini berbahaya untukmu!”

Suma Han berkata ketika melihat keponakan dan muridnya itu tampak maju untuk membantunya. Mendengar kata-kata yang nyaring ini, Kwi Hong menghentikan niatnya dan matanya terbelalak menyaksikan pamannya yang sudah bertanding dengan kakek itu.

Matanya menjadi silau dan pandang matanya kabur menyaksikan gerakan pamannya yang telah mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Dia harus membantu, akan tetapi benar kata pamannya, dia membantu hanya akan mengantar nyawa saja, dan sama sekali tidak akan menguntungkan pamannya.

Li-mo-kiam, sebuah diantara Sepasang Pedang Iblis itu! Teringat ini, Kwi Hong lalu meninggalkan tempat itu, berlari cepat sekali. Melihat ini, Suma Han menjadi agak lega hatinya. Lawannya ini berbahaya sekali, biarlah andaikata dia sendiri yang menjadi korban. Namun, dia kecewa juga melihat betapa keponakannya itu lari seperti orang ketakutan setengah mati dan tidak mengira bahwa keponakannya ternyata bernyali demikian kecil.

“Desss!”

Dua telapak tangan saling bertemu bagaikan dua sinar kilat bertumbukan ketika Suma Han menangkis pukulan maut kakek itu. Akibatnya, keduanya terdorong mundur sampai lima langkah.

“Heh-heh-heh, kau boleh juga! Akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan dengan kesaktian Bu Kek Siansu. Aku masih sanggup menandingimu, ha-ha!” Kakek itu tertawa dan siap menerjang lagi.

“Locianpwe, dengarlah dulu. Aku Suma Han biarpun tinggal di Pulau Es dan menjadi pemimpin disana, namun belum pernah aku memusuhi Pulau Neraka. Aku bukanlah keturunan raja yang dahulu berkuasa di Pulau Es, dan aku tidak pernah membuang orang ke Pulau Neraka. Bukan sekali-kali karena aku takut menghadapimu, Cui-beng Koai-ong, akan tetapi perlu apa kita bertanding mati-matian sedangkan kita mengalami nasib yang sama? Pulau kita dibakar pasukan pemerintah tanpa dosa, apakah kita harus saling gempur sendiri?”

“Cukup banyak bicara! Dendam Pulau Neraka yang turun-temurun harus dilunasi sekarang juga!”

Kakek itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang, atau seperti sebatang tombak dilontarkan menuju ke tubuh Suma Han. Pendekar ini terkejut dan kagum, cepat kaki tunggalnya menjejak tanah dan tubuhnya sudah mencelat ke atas mengelak. Kakek itu menahan luncurannya, akan tetapi kedua tangannya ketika meluncur tadi sudah mengirim pukulan dahsyat yang tidak dapat ditariknya kembali, dan terus hawa pukulan itu menghantam jauh ke depan.

“Brakkkk!”

Batu karang dimana burung rajawali bertengger itu hancur. Burung itu terbang dan memekik ketakutan, kemudian hinggap di atas batu karang yang lebih tinggi lagi, matanya jelalatan memandang ke bawah dengan ketakutan.
.
“Bukan main.” Suma Han diam-diam memuji, “Kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi.”

Ketika dia turun, kembali kakek itu menyerang, akan tetapi secepat burung terbang, Ilmu Soan-hong-lui-kun membuat tubuh Suma Han terus mencelat ke sana ke mari, seolah-olah seekor kumbang yang beterbangan di atas setangkai bunga, berkelebatan mengelak dan dari atas membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya sehingga berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan memuji.

“Bukkk!”

Sebuah tamparan tangan kiri Suma Han mengenai pundak kakek itu, namun dia hanya tergetar saja dan terhuyung, sama sekali tidak terluka, padahal tamparan Pendekar Super Sakti itu cukup kuat untuk menumbangkan sebatang pohon yang besarnya setubuh manusia!

Suma Han makin kagum. Dalam hal kecepatan, jelas dia menang karena dengan Ilmunya Soan-hong-lui-kun, kiranya tidak akan ada yang dapat menandinginya dalam hal kecepatan, juga dalam hal tenaga sin-kang, keadaan mereka berimbang dan hal ini dapat diketahuinya ketika mereka tadi mengadu tenaga dan saling terpental ke belakang.

Akan tetapi kakek ini memiliki kekebalan tubuh yang hebat, dalam hal inilah dia kalah. Kalau dia yang terkena pukulan oleh tangan sakti kakek itu, tentu dia takkan dapat bertahan seperti yang dibuktikan oleh kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan kini dia tidak hanya menyerang dengan tangan, melainkan totokan-totokan dengan ujung tongkatnya.

Setelah pertandingan yang luar biasa itu berlangsung seratus jurus lebih, dalam sebuah serangan kilat dari atas, ujung tongkat Suma Han berhasil menotok kepala kakek itu. Tadinya dia maksudkan menotok tengkuk, akan tetapi gerakan mengelak kakek itu membuat tongkatnya mengenai kepala dan diam-diam Suma Han menyesal karena sesungguhnya dia tidak bermaksud membunuh kakek yang sama sekali bukan musuhnya ini.

“Trakkk!”

Rasa menyesal terganti kekaguman dan keheranan ketika kakek itu yang jelas tertusuk tongkat kepalanya, hanya menjadi miring saja tubuhnya, akan tetapi sama sekali tidak terluka! Bukan main! Kalau kekebalannya itu sudah menjalar sampai ke kepala, tidak tahu lagi Suma Han bagaimana dia harus mengalahkan kakek ini.

Satu-satunya jalan baginya hanyalah mengerahkan serangan-serangannya pada kedua mata kakek itu. Dan dugaannya benar karena kakek itu sama sekali tidak mau terserang matanya yang selalu terlindung oleh kedua tangannya sehingga setiap serangan pukulan maupun tusukan tongkat ke arah mata selalu dapat ditangkis dengan lengan tangannya yang biarpun hanya tulang terbungkus kulit, namun amat kuat dan kebal itu.

Diam-diam Suma Han menghela napas dan merasa repot sekali. Betapa mungkin dia akan dapat menang? Tubuh lawan tak dapat dia lukai, sedangkan dia selalu harus mengelak dan menangkis karena sekali saja dia terkena pukulan-pukulan yang amat dahsyat itu, sedikitnya dia tentu akan menderita luka di dalam tubuh. Dan berapa lama dia akan dapat bertahan kalau begini?

Di lain pihak, Cui-beng Koai-ong juga merasa kagum bukan main. Ilmu silat yang dimainkan oleh Pendekar Siluman itu benar-benar tak dikenalnya dan amat cepatnya, mengingatkan ia akan dongeng tentang Kauw Cee Thian atau Sun-go-kong, tokoh siluman atau raja kera yang terdapat dalam dongeng See-yu-ki yang dapat mencelat-celat dari bukit ke bukit dengan kecepatan laksana kilat. Dia memutar otaknya karena kecepatan di udara yang digerakkan tubuh lawannya itu tidak memungkinkan dia untuk menyerang dengan tepat.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar