FB

FB


Ads

Kamis, 15 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 053

Thian Lok Lama menggeleng kepalanya yang gundul.
"Pinceng rasa bukan seorang diantara tokoh-tokoh kang-ouw. Tak mungkin mereka berani melakukan pembunuhan-pembunuhan ini karena mereka tahu bahwa Sute dan Tan-siucai adalah orang-orangnya pemerintah. Pinceng kira pembunuhnya tentulah orang-orang yang telah menentang kita di Pulau Es."

"Ahhh, wanita Pulau Neraka yang seperti setan itu?" Maharya bertanya.

Thian Tok Lama mengangguk.
"Mungkin dia, mungkin pula bocah yang sekarang telah menjadi lihai bukan main itu."

"Gak Bun Beng?" Bhong Ji Kun menyambung.

Thian Tok Lama mengangguk.
"Keturunan Gak Liat itu sekarang luar biasa ilmunya dan mengingat akan watak ayahnya yang liar, bisa saja dia melakukan hal-hal yang tidak lumrah."

"Hemmm, siapa tahu kalau-kalau Pendekar Siluman yang melakukan ini."

"Pendekar Siluman....?"

Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun berseru, keduanya terkejut dan wajah mereka berubah. Mengapa mereka tadi tidak teringat akan Pendekar Super Sakti itu? Kalau dia yang datang, memang tidak perlu diherankan lagi kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai!

"Lebih banyak kemungkinan dia sendiri yang datang dan melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Dan dirampasnya pedang itu menebalkan keyakinanku bahwa Pendekar Super Sakti yang datang sore tadi. Akan tetapi, harap Taijin jangan khawatir. Memang kita sedang menunggu munculnya orang-orang Pulau Es dan orang-orang Pulau Neraka, bukan? Boleh jadi Pendekar Siluman lihai sekali, akan tetapi saya pernah menandinginya, dan ternyata dia tidaklah lebih lihai daripada saya, atau boleh dibilang tingkat kami sebanding. Kalau dibantu oleh Taijin dan Thian Tok Lama, tentu mudah saja mengalahkannya."

"Akan tetapi, Susiok (Paman Guru), bagaimana kalau dia dibantu oleh Gak Bun Beng dan oleh wanita Pulau Neraka itu?"

Maharya menggeleng kepala.
"Saya rasa wanita itu adalah Ketua Pulau Neraka yang disohorkan. Antara Pulau Neraka dan Pulau Es belum pernah ada kerja sama, dan kalau dia dahulu turun tangan, sama sekali bukan untuk membantu Pulau Es, hanya karena marah bahwa daerahnya dilanggar. Andaikata dia maju pula, bersama pemuda itu, tidak perlu kita takut. Para ciangkun memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, dan seribu orang pasukan merupakan kekuatan yang melebihi sepuluh orang Pendekar Siluman!"

Biarpun kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai merupakan pukulan yang cukup mengejutkan, namun hati para pimpinan pasukan pemerintah ini masih besar. Malam itu tidak ada peristiwa sesuatu dan pada keesokan harinya, setelah mengirim rombongan mata-mata yang menyamar sebagai orang-orang kang-ouw, Bhong Ji Kun dan para pembantunya mengintai tanah tandus yang dijadikan tempat pertemuan itu dari atas lereng terdekat, mempergunakan teropong dan memeriksa keadaan.

Tang Wi Siang yang mewakili ketuanya, setelah semua tamu berkumpul, berkata dengan suara nyaring,

"Cu-wi sekalian yang terhormat! Pangcu kami menghaturkan selamat datang pada Cu-wi sekalian. Maksud dari undangan Pangcu kami mengumpulkan Cu-wi sekalian yang dianggap mewakili dunia kang-ouw, adalah untuk mempererat persahabatan dan untuk mendengarkan usul Pangcu yang akan disampaikan oleh Pangcu sendiri. Silakan Cu-wi mendengarkan!"

Pintu pondok di atas itu terbuka perlahan dan muncullah Ketua Thian-liong-pang yang mukanya berkerudung. Melihat wanita itu, semua orang memandang dan mereka yang pernah diculik dan pernah berhadapan dengan ketua itu, memandang dengan muka merah masih merasa penasaran akan tetapi juga dengan hati jerih karena mereka tahu akan kelihaian wanita itu.

Adapun mereka yang belum pernah bertemu dengan tokoh ini, memandang dengan hati penuh kengerian karena mereka hanya mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia, sedangkan orangnya pun begitu menyeramkan, mukanya dikerudung sehingga semua orang ingin melihat bagaimana wajah yang bersembunyi di balik kerudung itu. Sudah tuakah? Ah, tak mungkin, tubuh wanita itu biarpun tersembunyi di balik pakaian yang longgar, jelas bukan tubuh seorang wanita tua!

Dan tangan yang tersembul dari balik lengan baju itu berkulit halus, berjari kecil meruncing dengan kuku yang kemerahan, terpelihara baik-baik! Sepasang mata yang memandang dari balik lubang kerudung penutup muka itulah yang menimbulkan rasa serem dan menundukkan hati orang, begitu terang, begitu tajam dan penuh wibawa, mata seorang manusia yang agaknya tidak mengenal bantahan!

Nirahai, wanita berkerudung Ketua Thian-liong-pang itu, sejenak berdiri memandang sekeliling dan dengan pandang mata cepat ia menyapu tokoh yang hadir, mengenal mereka dan dapat menduga dari partai dan perkumpulan mana mereka itu. Dia merasa kecewa bukan main ketika tidak melihat adanya rombongan Pulau Neraka dan Pulau Es!

Benar-benar menggemaskan, pikirnya. Mengapa Suma Han tidak muncul? Dan dimana adanya tokoh-tokoh Pulau Neraka? Tanpa mengalahkan keduanya itu, nama Thian-liong-pang takkan terangkat naik! Dan tiba-tiba ia melihat rombongan terdiri dari belasan orang yang tak dapat ia duga dari partai atau golongan mana. Matanya mengeluarkan sinar penuh kecurigaan, akan tetapi dia tidak menyatakan sesuatu, hanya mulai dengan bicaranya yang singkat, halus merdu namun terdengar sampai jauh karena ia keluarkan dengan pengerahan khi-kang yang luar biasa kuatnya.

"Cu-wi sekalian! Untuk mempersatukan dunia kang-ouw, kita harus menentukan perkumpulan mana yang patut menjadi perkumpulan induk, dan tokoh mana yang patut dijadikan pemimpin yang dapat disebut Bengcu (pemimpin rakyat). Kami setelah mempelajari dan meneliti keadaan, minta Cu-wi sekalian suka mengakui Thian-liong-pang sebagai perkumpulan induk, dan aku sendiri menjadi Bengcu, kecuali kalau ada diantara Cu-wi yang dapat membuktikan bahwa ada orang yang lebih patut menjadi Bengcu daripada aku. Kalau ada diantara Cu-wi yang tidak setuju, boleh maju!"

Bukan main tekeburnya ucapan Ketua Thian-liong-pang ini sehingga semua orang memandang dengan alis berkerut dan merasa tidak setuju, sungguhpun tidak ada yang berani membantah dengan keras. Hanya terdengar suara-suara kontra, dan dari golongan para hwesio dan tosu terdengarlah ucapan-ucapan,

"Omitohud...."

"Siancai....!"






Nirahai bukanlah seorang bodoh, kalau dia tadi mengeluarkan ucapan itu memang dia sengaja untuk memancing sikap menentang sehingga orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi akan bangkit dan menentangnya.

Setelah bertahun-tahun dia menggembleng diri, bahkan tidak segan-segan mencuri ilmu-ilmu dari lain partai, dia menganggap bahwa tidak akan ada orang lagi yang dapat menandinginya, dan satu-satunya yang dia anggap merupakan lawan berat kiranya hanyalah Suma Han dan Ketua Pulau Neraka yang belum pernah dia jumpai.

"Cu-wi, negara telah aman, pemerintah tidak menghendaki pertentangan. Karena itu, kalau kita orang-orang dunia kang-ouw tidak bersatu dan tidak mempunyai seorang pemimpin yang mempersatukan kita, bagaimana kita semua dapat menghadapi urusan-urusan besar? Tanpa pemimpin selalu hanya akan timbul pertentangan-pertentangan diantara kita sendiri yang mengakibatkan kehancuran dan kelemahan, juga menimbulkan banyak korban. Karena itu, lebih baik sekarang kita berhadapan secara gagah, memilih seorang Bengcu yang tepat dan korban-korban dalam perebutan dan pemilihan ini tidak akan banyak, juga yang kalah dan tewas, mati sebagai seorang gagah. Aku sudah bicara, terserah kepada Cu-wi bagaimana menghadapinya!"

Setelah berkata demikian Nirahai mengibaskan lengannya dan memasuki pondok. Pintu pondok segera ditutup lagi.

"Ibu, mengapa Ibu melakukan semua ini?"

Di dalam pondok itu, Milana berbisik kepada Ibunya. Nirahai melepas kerudung dan menghapus keringat dari muka dan lehernya. Puterinya memandang wajah ibunya yang cantik itu berselimut awan kesengsaraan batin.

"Untuk memancing datangnya Majikan Pulau Es dan Pulau Neraka." Jawabnya pendek lalu mengenakan kerudung kepalanya lagi.

Milana menghela napas. Hening sejenak dan dara itu berbisik.
"Ibu.... begitu.... begitu bencikah Ibu kepada Ayah....?"

Mata di balik kerudung itu memancarkan api.
"Benci? Tidak ada orang yang lebih kubenci di dunia ini!"

Milana merasa jantungnya tertusuk dan ia menunduk. Kembali keadaan hening dan tiba-tiba Milana mengangkat mukanya ketika mendengar isak tertahan. Ibunya telah terisak menangis! Milana terharu, menggerakkan tangan menyentuh tangan ibunya dan berbisik lagi
"Ibu.... sangat cintakah kepada Ayah....?"

Nirahai memejamkan matanya dan mengangguk. Milana mengerti, keduanya diam dan mencurahkan perhatian keluar pondok. Dari celah-celah dinding pondok mereka dapat melihat seorang hwesio tinggi kurus dari rombongan Siauw-lim-pai melangkah maju dan berkata nyaring sambil memandang pondok di atas.

“Thian-liong-pangcu! Pinceng menerima tugas dari Ketua kami untuk menyampaikan penyesalan Siauw-lim-pai akan sepak terjang Thian-liong-pang selama ini yang melakukan penculikan-penculikan terhadap tokoh-tokoh kang-ouw. Siauw-lim-pai tidak mau ikut-ikut dalam soal pemilihan Bengcu, dan tidak akan mengakui Bengcu manapun juga karena Siauw-lim-pai tidak mau mengikatkan diri, juga tidak ingin menanam permusuhan. Hanya menjadi kewajiban Siauw-lim-pai untuk menegur perkumpulan yang bertindak sewenang-wenang, dan kalau teguran Siauw-lim-pai ini tidak menyenangkan hati Pangcu, pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai siap mempertanggung-jawabkannya!”

Setelah hwesio tinggi kurus itu mundur, majulah seorang tosu berambut putih dari rombongan Hoa-san, dan diapun berteriak nyaring.

“Pinto mewakili Hoa-san-pai, juga memprotes penculikan atas diri sute kami Bhong Tek-cu yang dilakukan oleh Thian-liong-pang, dan pinto mewakili Hoa-san-pai untuk minta Thian-liong-pangcu mempertangung-jawabkan perbuatan itu sekarang ini! Tentang pemilihan Bengcu, Hoa-san-pai tidak akan mencampurinya!”

Setelah melihat majunya wakil-wakil partai besar seperti Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, besarlah hati para tokoh kang-ouw, dan berturut-turut majulah Ang-lo-jin Ketua Bu-tong-pai yang berkata,

“Saya sebagai ketua Bu-tong-pai merasa terhina atas perlakuan Thian--liong-pang yang lalu, maka saya minta pertanggungan jawab Thian-liong-pangcu di tempat terbuka ini!”

Dan dengan alasan yang sama pula majulah wakil-wakil dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai. Melihat perkembangan ini, Tang Wi Siang merasa gelisah juga dan beberapa kali dia memandang ke atas seolah-olah mengharapkan ketuanya turun tangan. Tak lama kemudian terdengar suara Ketua Thian-liong-pang.

“Wi Siang, sebutkan wakil-wakil dari mana saja yang minta pertanggungan jawabku?”

Dengan suara gemetar karena tidak mengira akan demikian banyaknya partai yang menentang ketuanya, Tang Wi Siang menjawab,

“Dari Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Bu-tong-pai, Lam-hai-pang, Sin-to-pang dan Pek-eng-pai, semua enam partai!”

Tiba-tiba pintu pondok terbuka dan muncullah Ketua Thian-liong-pang.
“Hanya enam partai saja? Ataukah masih ada lagi? Harap Cu-wi yang ingin mencoba kepandaianku, tidak malu-malu, nyatakan saja terus terang!”

Setelah tidak ada yang menjawab, Nirahai berkata,
“Para wakil dari enam partai yang minta pertanggungan jawab, persilakan maju!”

Dari Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai masing-masing maju seorang hwesio dan seorang tosu, dari Bu-tong-pai majulah Ang Siok Bi dan seorang suhengnya, murid dari ayahnya, sedangkan dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai, masing-masing maju tiga orang wakil yang merupakan murid-murid kepala.

Ang-lojin tidak maju sendiri karena dia merasa malu hati dan tidak enak kalau sebagai ketua dia harus maju sendiri. Dengan demikian, wakil dari enam partai itu berjumlah tiga belas orang, murid-murid kepala dari partai-partai yang tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

“Bagus! Kulihat Cu-wi yang mewakili partai yang minta pertanggungan jawabku, ada tiga belas orang telah berkumpul. Dan untuk membuktikan bahwa aku sebagai calon Bengcu mempunyai tanggung jawab dan kepandaian untuk memimpin Cu-wi sekalian, aku akan menghadapi Cu-wi sekaligus. Bersiaplah, aku akan mengalahkan Cu-wi!”

Setelah berkata demikian tampak tubuh wanita berkerudung itu melayang dari atas pondok yang tinggi itu bagaikan seekor burung garuda, langsung meluncur ke arah tiga belas orang itu.

Mereka ini sudah siap dan tampak sinar senjata berkilauan ketika mereka mencabut senjata mereka. Namun Nirahai tidak menghunus pedangnya yang masih tergantung di punggungnya, tubuhnya terus meluncur dan bagaikan seekor burung walet menyambar ke arah mereka.

Tiga belas orang itu menggerakkan senjata masing-masing menyambut bayangan tubuh yang menyambar-nyambar itu, demikian cepat gerakan wanita ini sehingga sukar diikuti pandangan mata. Tampak bayangan tubuhnya berkelebat diantara sinar senjata itu dan terdengarlah bunyi berkerontangan, senjata-senjata terpental dan ketiga belas orang mengeluarkan teriakan kaget disusul robohnya tubuh mereka seorang demi seorang, cepat sekali sampai ketiga belas orang itu semua terpelanting roboh! Dan tubuh wanita berkerudung itu berdiri di tengah tengah, antara mereka yang roboh ke kanan kiri, ada yang terlentang, ada yang menelungkup, ada yang miring.

Tiga belas orang itu terkejut bukan main, demikian pula mereka yang menyaksikan kehebatan wanita berkerudung itu, hampir mereka tak dapat percaya betapa dengan tangan kosong, wanita berkerudung itu benar-benar telah mengalahkan mereka dan hebatnya mereka tidak terluka hebat, hanya roboh oleh dorongan-dorongan tenaga sin-kang yang amat kuat dan didahului kecepatan yang tidak tampak oleh mata mereka!

Ang Siok Bi yang tadinya merasa penasaran karena ayahnya pernah diculik kini bangkit bersama yang lain-lain, memandang wanita berkerudung itu dengan muka pucat dan diam-diam mereka semua mengakui bahwa kalau wanita itu menghendaki, kalau wanita itu menggunakan senjata atau melakukan pukulan yang berat, tentu mereka roboh untuk tidak bangkit kembali!

“Nah, Cu-wi sudah menyaksikan bahwa aku telah berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatanku dan sepak terjang Thian-liong-pang. Ketahuilah bahwa semua tokoh yang pernah menjadi tamu kami, tidak ada yang diganggu, mengapa Cu-wi merasa penasaran? Sekarang, menggunakan kesempatan ini, aku mengajak siapa saja diantara Cu-wi yang masih penasaran untuk menguji kepandaian, terutama sekali kutujukan kepada Majikan Pulau Neraka dan Majikan Pulau Es!”

Tantangan ini tidak ada yang berani menjawab, dan mereka semua saling pandang, mencari ke kanan kiri mengharapkan munculnya dua jago yang selama ini namanya menggemparkan dunia kang-ouw, yaitu Ketua Pulau Neraka yang tak pernah ada yang melihatnya, dan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es.

Namun, tidak tampak mata hidung kedua orang tokoh itu, bahkan tidak tampak seorangpun tokoh dari kedua pulau itu. Keadaan menjadi sunyi, semua orang masih seperti terpesona, menyaksikan kelihaian Ketua Thian-liong-pang, sedangkan tiga belas orang yang kalah tadi mengambil senjata masing-masing dan kembali ke kelompok mereka, tidak ada yang berani melawan lagi karena masing-masing maklum bahwa mereka bukanlah tandingan wanita berkerudung yang hebat bukan main itu.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari rombongan orang yang tak dikenal Nirahai yaitu rombongan dari lima belas orang yang tadi dicurigainya.

“Ha-ha-ha! Pulau Es sudah terbasmi, sedangkan Pulau Neraka pun penghuninya sudah melarikan diri semua, bukankah Ketua Thian-liong-pang sama dengan menantang angin kosong?”

Lima belas orang itu adalah mata-mata yang dikirim oleh Bhong Ji Kun. Mereka terdiri dari panglima-panglima yang berkepandaian tinggi, dan yang setelah tiba di situ sekarang berkumpul menjadi sekelompok.

Hati mereka besar dan mereka berani bicara karena mengandalkan pasukan yang berada di sekeliling tempat itu. Pula, mereka sengaja mengeluarkan kata-kata menghina kedua pulau itu untuk memancing keluarnya tokoh-tokoh mereka seperti yang dikehendaki oleh Koksu.

Nirahai memutar tubuhnya menghadapi rombongan itu, kemudian sekali kakinya tampak bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan mereka, mata di balik kerudung itu menyambar-nyambar tajam,

“Kalian siapakah? Dari golongan dan partai apa?” tanyanya tiba-tiba, suaranya dingin.

Seorang diantara mereka yang tinggi besar dan brewok, agaknya merasa tidak senang menyaksikan sikap Ketua Thian-liong-pang itu, maka dia menjawab sambil mengangkat dada, suaranya tegas dan nyaring,

“Kami adalah orang-orang kang-ouw perantau yang tertarik mendengar pertemuan ini dan ingin melihat-lihat. Apakah hal ini dilarang?”

“Hemmm! Memang undangan kami ditujukan kepada semua orang kang-ouw, tentu saja tidak ada yang melarang orang menonton. Akan tetapi kalian telah berani menghina Pulau Neraka dan Pulau Es, agaknya kalian memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka! Aku akan suka sekali mencoba dan melayani kepandaian kalian yang telah berani bicara besar di sini.”

Lima belas orang itu adalah panglima-panglima yang biasanya membagi perintah dan dihormati serta ditaati anak buah mereka. Kini menghadapi sikap Ketua Thian-liong-pang, mereka menjadi marah sekali. Tidak biasa mereka diperlakukan seperti itu oleh siapapun juga!

“Heiii! Thian-liong-pangcu! Kalau kami menghina Pulau Es dan Pulau Neraka, apa hubungannya itu dengan Thian-liong-pang? Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang berani melawan pemerintah, maka dihancurkan dan dibasmi! Kami rasa Thian-liong-pang tidaklah seperti iblis-iblis Pulau Neraka dan.... augghhhh....!”

Tiga orang diantara rombongan itu yang berdiri paling depan, roboh dan tewas seketika, terkena sambaran sinar hitam yang tiba-tiba saja melayang ke arah si pembicara dan dua orang temannya.

“Thian-liong-pangcu! Engkau berani membunuh orang-orang pemerintah?” Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thian Tok Lama telah berada di situ!

Nirahai cepat membalikkan tubuh dan “srattt!” Dia telah mencabut pedangnya, akan tetapi dia tidak memandang Thian Tok Lama, melainkan memandang ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh! Dia tahu bahwa yang menyambar dan menewaskan tiga orang tadi adalah gumpalan-gumpalan tanah yang disambitkan dengan tenaga dahsyat sekali! Tanpa menoleh ke arah Thian Tok Lama, dia berkata,

“Thian Tok Lama, kiranya mereka ini adalah mata-mata pemerintah yang sengaja kau kirim untuk melakukan penyelidikan?”

Suaranya dingin sekali akan tetapi matanya masih ditujukan ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh.

Thian Tok Lama terkejut bukan main. Benar-benar seorang yang aneh sekali Ketua Thian-liong-pang ini, selain kepandaiannya tinggi, ternyata begitu bertemu telah mengenalnya!

“Benar!” jawabnya. “Akan tetapi mereka dan kami bertugas untuk menyelidiki orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka, kalau mereka datang ke sini. Kiranya tiga orang penyelidik kami malah kau bunuh!”

Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Tanah yang bergoyang tadi pecah seperti meletus dan tampak debu dan uap mengepul tinggi. Tanah itu terbuka dan tampak.... sebuah peti mati yang perlahan-lahan terbuka dan dari dalam peti mati itu bangkit sesosok mayat yang seperti baru saja hidup kembali. Tubuh seorang kakek tua renta, berkepala botak, bertubuh kurus dan dalam keadaan.... telanjang bulat! Mukanya pucat, persis muka mayat yang tidak mempunyai darah sama sekali.

Jangankan para tokoh yang berada di situ, sedangkan Nirahai sendiri, bahkan Thian Tok Lama, berdiri terpukau di tempatnya, memandang dengan mata terbelalak.

“Mayat hidup” itu batuk-batuk lalu bangkit berdiri, telanjang seperti bayi, lalu meloncat keluar dari dalam peti mati.

“Uhk-uhk-uhk.... anak-anak kecil berani menghina Pulau Neraka. Akulah orang Pulau Neraka dan yang membunuh, heh-heh.... malah semua yang berani menghina akan kubunuh.”

Tiba-tiba saja, mayat hidup yang kelihatan lemah, kurus kering itu “terbang” ke arah rombongan panglima yang tinggal sepuluh orang lagi. Kelihatannya seperti terbang karena gerakannya luar biasa sekali cepatnya, seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak tanah.

Melihat gin-kang sehebat itu, Nirahai sendiri sampai terbelalak, dan Thian Tok Lama berkemak-kemik membaca doa dalam bahasa Tibet karena dia menyangka bahwa mayat hidup itu benar-benar siluman yang muncul dari bawah tanah!

Bukan main cepatnya kejadian itu, sekali sambar, mayat hidup itu telah merangkul empat orang panglima. Tangannya bergerak, mulutnya menyeringai dan.... dijambaknya rambut kepala mereka itu seorang demi seorang, diputarnya dan ditarik sehingga.... kepala itu coplok, lehernya putus, darah menyembur keluar.

Tiga orang lainnya hanya melongo dan pucat, seolah-olah tak mampu bergerak dalam rangkulan mayat hidup itu, sehingga seorang demi seorang putuslah lehernya. Mayat mereka dilempar-lemparkan oleh Si Mayat Hidup yang sudah bergerak maju lagi ke arah sisa para panglima.

Enam orang panglima sudah mendapatkan kembali kesadarannya, maklum akan datangnya bahaya mengancam, maka mereka itu sudah menghunus pedang atau golok masing-masing. Melihat Si Mayat Hidup menerjang maju, mereka membacok dan menusuk. Si Mayat Hidup sama sekali tidak mempedulikan dan enam batang senjata datang menghantamnya seperti hujan.

“Tak-tok.... bak-buk....!”

Senjata-senjata itu mengenai tubuh, akan tetapi semua terpental seperti mengenai tubuh dari karet yang ulet, kenyal dan keras! Dan kembali empat orang telah dirangkul, “dicopot” kepala mereka dari badan dan mayat mereka dilemparkan. Darah membanjir ke mana-mana, dan tubuh serta muka kakek itu telah berlumuran darah segar! Melihat ini, dua orang panglima sisa yang sepuluh orang tadi, membuang senjata mereka dan hendak lari.

“Heh-heh, anak-anak nakal, hendak lari kemana? Ke sinilah bersama Kakek!”

Mayat hidup itu berkata, dan tangan kanannya menggapai ke arah dua orang panglima yang sedang lari dan.... sungguh aneh, kedua orang itu biarpun kelihatan masih menggerakkan kedua kaki untuk lari, namun mereka bukannya maju ke depan melainkan.... mundur ke belakang seolah-olah ada tenaga ajaib yang menarik dan membetotnya ke arah mayat hidup itu!

Akan tetapi, sebelum dua orang itu sampai terpegang, Thian Tok Lama sudah meloncat ke depan dan sudah memasang kuda-kuda setengah berjongkok, perutnya berbunyi dan tangan kanannya berubah biru. Kemudian, dengan pengerahan tenaga sin-kang, dia memukul ke arah punggung mayat hidup itu.

“Dessss!”

Mayat hidup itu terlempar sampai tiga meter, akan tetapi tidak roboh dan membalikkan tubuh, mulutnya menyeringai sedangkan Thian Tok Lama terkejut bukan main. Dia seolah-olah memukul benda kering yang hanya terlempar, akan tetapi tenaganya tidak dapat menembus tubuh itu!

“Heh-heh-heh!”

Mayat hidup itu melihat awan hitam yang keluar dari tangan Thian Tok Lama yang memukul tadi.

“Itukah Hek-in-hwi-hong-ciang? Eh, Gundul, kepandaianmu lumayan juga!”

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tubuh Nirahai telah berhadapan dengan mayat hidup itu. Ia membentak sambil menodongkan pedangnya.

“Orang tua, benarkah engkau dari Pulau Neraka? Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?”

Bertanya demikian, Nirahai mengkirik ngeri, bukan karena gentar menyaksikan kelihaian mayat hidup itu, melainkan dia merasa jijik berhadapan dengan seorang laki-laki yang telanjang bulat, biarpun laki-laki itu seorang kakek.

Mayat hidup itu menyeringai lebar, menggaruk-garuk punggungnya seolah-olah pukulan dahsyat tadi hanya menimbulkan rasa gatal.

“Banyak orang pandai sekarang! Aku bukan ketua apa-apa, akan tetapi akulah orang yang paling tua di Pulau Neraka. Aku adalah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)!”

“Cui-beng Koai-ong, aku Thian-liong-pangcu menantangmu untuk mengadu kepandaian. Jagalah seranganku!”

Nirahai yang merasa penasaran sudah menggerakkan pedangnya, menusuk ke arah dada mayat hidup itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika melihat bahwa mayat hidup yang kini dia percaya adalah seorang kakek yang masih hidup itu sama sekali tidak mengelak.

“Crokkk!”

Pedang yang mengenai dada itu menempel dan tidak dapat menancap, dan tangan kakek itu sudah meraih hendak menangkap pergelangan tangan Nirahai. Gerakannya cepat dan aneh sekali.

“Aihhhh!”

Nirahai menarik pedangnya dan cepat meloncat ke samping, kemudian mengirim serangan lagi, memilih bagian yang lemah, yaitu leher kakek itu. Kembali Si Kakek Aneh tidak menangkis, membiarkan pedang membacok lehernya sambil tangannya mencengkeram ke arah lambung Nirahai!

“Plakk!”

Pedang itu kembali tidak dapat menembus kulit leher dan hampir saja lambung Nirahai kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat mengelak dengan gerakan yang amat cepat.

“Hayaaaa....! Kau pun hebat, Ketua Thian-liong-pang!” Kakek itu terkekeh memuji.

Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan pasukan yang dipimpin oleh Bhong Ji Kun telah datang menyerbu! Dari teropongnya Bhong Ji Kun menyaksikan betapa orang-orangnya tewas secara mengerikan. Maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat, dia lalu mengerahkan pasukannya menyerbu, sedangkan dia sendiri bersama Maharya lari mendahului untuk membantu Thian Tok La-ma yang sudah ia suruh turun terlebih dahulu tadi.

Melihat ini, para tokoh kang-ouw yang tidak ingin terlibat dalam pertentangan dengan pemerintah, lalu mengundurkan diri dan pergi dari tempat itu. Adapun para anak buah Thian-liong-pang yang mengira bahwa pasukan-pasukan itu hendak menyerbu mereka, sudah menyambut dan terjadilah perang tanding dimana banyak sekali pasukan roboh dan tewas menghadapi tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang amat lihai itu.

“Dia telah membunuh orang-orang kita!”

Thian Tok Lama menuding ke arah kakek telanjang yang masih bertanding melawan Nirahai. Untung bahwa Ketua Thian-liong-pang ini memiliki kegesitan yang luar biasa sehingga cengkeraman-cengkeraman dan pukulan-pukulan Cui-beng Koai-ong selalu mengenai angin kosong belaka, akan tetapi semua bacokan Nirahai tiada gunanya, tidak dapat melukai tubuh kurus kering yang kebal itu.

Nirahai menjadi makin penasaran dan tidak mau mengalah begitu saja. Kini pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung, sebagian melindungi tubuhnya, sebagian lagi melakukan serangan-serangan kilat yang semua ditujukan ke arah sepasang mata kakek telanjang.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar